Usia Siti Khadijah saat Menikah dengan Nabi Muhammad



Jakarta

Siti Khadijah merupakan istri pertama Rasulullah SAW. Usia Siti Khadijah pada saat menikah dengan Nabi Muhammad SAW terpaut 15 tahun lebih tua.

Menurut riwayat masyhur, Siti Khadijah menikah dengan Nabi Muhammad SAW pada usia 40 tahun, sedangkan Rasulullah SAW masih berusia 25 tahun, sebagaimana diceritakan dalam buku Sejarah Terlengkap 25 Nabi karya Rizem Aizid.

Dalam Nilai-nilai Pendidikan Islam dalam Kisah Istri-istri Nabi Muhammad SAW karya Herwanti dan Sutarman dikatakan, Siti Khadijah merupakan seorang wanita di kalangan Quraisy, dengan status janda.


Pada pernikahan sebelumnya Siti Khadijah menikah dengan Abu Halah bin Nabbasy Al Tamimi. Ia dikarunia dua orang anak yang diberi nama Halah dan Hindun. Namun, kebahagiaan itu sirna karena suaminya meninggal dunia.

Setelah kepergian suaminya, Siti Khadijah akhirnya menikah kembali dengan Atiq bin Aid bin Abdullah Al Makhzumi tapi tidak begitu lama karena berakhir dengan perceraian. Setelah itu, Siti Khadijah tidak menikah lagi untuk beberapa tahun.

Hingga pada akhirnya, ia menikah dengan Rasulullah SAW. Pernikahan Siti Khadijah dan Nabi Muhammad SAW yang berbeda usia cukup jauh ini tidak membuat mereka terbebani atau malu dengan yang lain. Karena dalam hati mereka ada hati yang bagaikan sutra yang penuh dengan cinta, kasih sayang dan akhlak yang mulia.

Siti Khadijah dan Rasulullah SAW dikaruniai putra dan putri. Di antaranya Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum, dan Fatimah. Sementara itu, dua orang putra Nabi Muhammad SAW dan Siti Khadijah meninggal dunia terlebih dahulu, yaitu Qasim dan Abdullah.

Sosok Siti Khadijah dan Kisah Cintanya pada Rasulullah

Masih di dalam buku yang sama dijelaskan bahwa Siti Khadjiah merupakan sosok istri yang penuh dengan kasih sayang dan cinta. Ia bahkan rela berkorban untuk membela agama Allah SWT sekaligus menjadi orang pertama yang percaya kepada suaminya seorang Nabi Allah SWT.

Ia juga beriman kepada apa yang diyakini oleh Nabi Muhammad SAW, ia adalah wanita Quraisy pertama yang masuk Islam. Khadijah binti Khuwailid seorang istri yang memiliki gelar Ummul Mukminin pertama. Pengorbanan yang ia berikan kepada Islam tidak hanya harta melainkan jiwa dan raganya pula.

Merangkum dari buku Dakwah Rasullullah Sejarah & Problematika karya Yunan Yusuf dan buku Fathimah Zahra: Biografi Kehidupan & Perjuangannya karya Baqir Syarif Qarasyi, dalam pernikahan pertamanya ini, Rasulullah SAW tidak pernah menikah dengan perempuan mana pun. Baru setelah istri pertama beliau wafat, Rasulullah SAW menikah dengan perempuan lain.

Dikisahkan pula bahwa Siti Khadijah mempersembahkan seluruh kekayaannya demi Islam hingga tidak tersisa apapun lagi, hingga membuatnya jatuh miskin sampai tidak memiliki sebuah tikar untuk alas duduk sekalipun di rumahnya.

Dari situlah Allah SWT memberikan tempat khusus bagi Siti Khadijah. Allah SWT menganugerahinya sebuah istana surga tertinggi. Istana surga ini merupakan istana tertinggi jika dibandingkan dengan istana surga untuk hamba-hamba-Nya yang saleh.

Dalam sebuah riwayat Rasulullah SAW bersabda, “Aku diperintahkan untuk memberi kabar gembira kepada Khadijah, dengan rumah di surga yang terbuat dari mutiara, yang tidak ada suara gaduh di dalamnya dan tidak ada rasa letih.”

Allamah Hurr Amili dalam al-Manzhumah berkata,

“Di surga ada sebuah rumah dari mutiara yang tidak ada suara gaduh di dalamnya dan tidak ada rasa letih”

Tidak hanya itu, Rasulullah SAW juga memberikan kasih sayang istimewa kepada Siti Khadijah. Beliau mencintai Siti Khadijah dengan ikhlas. Mengenai hal ini, Aisyah RA berkata, “Setiap kali Rasulullah SAW berada di rumahku, belau tidak mungkin akan keluar rumah tanpa terlebih dahulu mengingat Khadijah dengan memuji dan menyanjungnya.

Suatu hari ketika ia melakukan hal itu, beliau berkata dengan marah, ‘Bukankah ia tak lebih dari perempuan tua sedangkan Allah SWT telah memberikan yang lebih baik kepadamu!’

Setelah itu, Rasulullah SAW menjadi sangat kecewa hingga rambut bagian depan kepalanya bergetar karena marah dan berkata, ‘Demi Allah! Allah tidak pernah memberikan yang lebih baik darinya kepadaku. Dia beriman kepadaku sementara orang lain tak menerimaku. Dia mendukungku dengan seluruh hartanya sementara masyarakat menyampingkan aku dan Allah menganugerahkan keturunan kepadaku sementara aku tidak memilikinya dari istri-istriku yang lain.'”

Menurut Moenawar Chalil dalam Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad SAW, Siti Khadijah wafat pada tahun kesepuluh kenabian Nabi Muhammad SAW. Ia dimakamkan di Makkah.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Urutan Wali Nikah untuk Perempuan, Siapa Saja?



Jakarta

Wali nikah dalam akad nilah Islam dikatakan jumhur ulama sebagai rukun yang tak bisa dilewatkan, lantaran mempengaruhi keabsahan pernikahan tersebut.

Muhammad Bagir dalam buku Fiqih Praktis 2 menjelaskan maksud perwalian nikah, yakni hak yang diberikan oleh syariat kepada seseorang wali untuk melakukan akad pernikahan atas orang yang diwakilkan.

Senada dengan pendapat tersebut, Ahmad Sarwat dalam Ensiklopedi Fikih Indonesia: Pernikahan menyebut wali nikah adalah orang yang memiliki wilayah atau hak untuk melaksanakan akad atas orang lain dengan seizinnya.


Adapun dalam akad nikah Islam, bukanlah seorang perempuan yang melakukan ijab qabul melainkan oleh wali dari perempuan tersebut. Sehingga lafaz ijab diucapkan oleh si wali dan qabul dilafalkan oleh suami

Posisi Wali dalam Pernikahan

Para ulama berbeda pendapat mengenai posisi wali dalam akad nikah. Masih dari Ensiklopedi Fikih Indonesia: Pernikahan, jumhur ulama seperti Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah menyepakati wali sebagai rukun pernikahan. Dan tanpa adanya wali, maka akad nikah tidak sah.

Mereka bersandar pada Surat Al-Baqarah ayat 221, “Janganlah kamu menikahi perempuan musyrik hingga mereka beriman!” Juga Surat An-Nur ayat 32, “Nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu.”

Selain itu, Nabi SAW melalui sabdanya menegaskan bahwa menikah tanpa izin dari wali adalah perbuatan mungkar. Dari Aisyah, Rasul SAW berkata, “Siapa pun wanita yang menikah tanpa izin walinya maka nikahnya itu batal, nikahnya itu batal dan nikahnya itu batal.

Jika (si lelaki) menggaulinya maka harus membayar mahar buat kehormatan yang telah dihalalkannya. Dan bila mereka bertengkar, maka sultan adalah wali bagi mereka yang tidak punya wali.” (HR Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi & Ibnu Majah)

Sementara ulama yang berpandangan wali tidak termasuk rukun nikah melainkan syarat, yakni Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan ulama lain yang berpaham demikian.

Mereka juga berpendapat bahwa seorang perempuan gadis maupun janda yang sudah baligh, berakal sehat, mampu menguasai dirinya, boleh melakukan akad nikah bagi dirinya sendiri dan tanpa wali. Meski pernikahan diwakilkan oleh wali lebih baik dan sangat dianjurkan.

Mereka mengambil Surat Al-Baqarah ayat 234 sebagai dalil, “Orang-orang yang mati di antara kamu dan meninggalkan istri-istri hendaklah mereka (istri-istri) menunggu dirinya (beridah) empat bulan sepuluh hari.

Kemudian, apabila telah sampai (akhir) idah mereka, tidak ada dosa bagimu (wali) mengenai apa yang mereka lakukan terhadap diri mereka71) menurut cara yang patut. Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Juga dari hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Rasul SAW bersabda, “Para janda lebih berhak atas diri mereka. ” (HR Tirmidzi)

Rizem Aizid dalam bukunya Fiqh Keluarga Terlengkap mengemukakan pendapatnya terkait perbedaan paham ini, “Berdasarkan semua pendapat tersebut, tentunya kita lebih condong kepada pandangan Imam Syafi’i dan Maliki, yang menyebut wali adalah rukun dan syarat sahnya nikah. Dan pendapat inilah yang dipegang kuat oleh perkawinan di Indonesia.”

Orang yang Berhak Menjadi Wali Nikah Perempuan

Yang boleh menjadi wali nikah wanita mesti memenuhi syaratnya seperti yang dilansir Fiqih Praktis 2, yakni laki-laki merdeka, berakal, baligh, dan juga beragama Islam.

Adapun menukil buku Fiqh Keluarga Terlengkap, terdapat empat jenis wali dalam Islam; wali nasab, wali hakim, wali tahkim dan wali maula.

1.Wali Nasab

Merupakan wali yang diambil berdasarkan keturunan, atau yang punya hubungan nasab dengan pengantin perempuan. Mayoritas ulama mengurutkan wali nasab dari paling berhak dan masih hidup, karena yang terdekat adalah amat utama.
1) ayah kandung,
2) ayahnya ayah (kakek) terus ke atas,
3) saudara lelaki seayah-seibu,
4) saudara lelaki seayah saja,
5) anak lelaki saudara laki-laki seayah-seibu,
6) anak lelaki saudara laki-laki seayah,
7) anak lelaki dari anak laki-laki saudara laki-laki seayah-seibu,
8) anak lelaki dari anak laki-laki saudara laki-laki seayah,
9) anak lelaki dari no. 7 di atas,
10) anak lelaki dari no. 8 dan seterusnya,
11) saudara lelaki ayah, seayah-seibu,
12) saudara lelaki ayah, seayah saja,
13) anak lelaki dari no. 11,
14) anak lelaki no. 12, dan
15) anak lelaki no. 13 dan seterusnya.

Bila diringkas, wali nasab terdiri tiga kelompok; ayah kandung seterusnya ke atas, saudara laki-laki ke bawah, dan saudara lelaki ayah ke bawah. Dan urutan di atas harus berurutan, tidak boleh melangkahi satu dengan yang lainnya.

2. Wali Hakim

Sesuai namanya, ialah wali yang berasal dari hakim (qadhi), seperti kepala pemerintah, pemimpin, atau orang yang diberi kewenangan oleh kepala negara untuk menikahkan perempuan yang berwali hakim.

Seorang wanita baru boleh diwakilkan wali hakim apabila; tidak adanya wali nasab seperti yang disebutkan di atas seluruhnya, serta tidak mencukupinya syarat bagi wali nikah di atas jika masih hidup.

Ketentuan wali hakim sendiri adalah tidak menikahkan; perempuan yang belum baligh, pasangan dari kedua pihak keluarga yang tidak sekufu (sepadan), orang yang tanpa mendapat izin dari wanita yang akan menikah, dan orang yang berada di luar wilayah kekuasaannya. Dalam kondisi tersebut, wali hakim dilarang menikahkan.

3. Wali Tahkim

Yaitu wali nikah yang diangkat sendiri oleh calon suami atau calon istri. Syarat akada nikah bisa diwakilkan wali satu ini, jika; wali nasab pada urutan di atas tidak ada seluruhnya atau tidak memenuhi syarat, serta tak adanya wali hakim. Sehingga wali hakim baru boleh menikahkan, apabila tak terdapatnya wali nasab dan wali hakim.

4. Wali Maula

Adalah majikan dari seorang hamba sahaya yang ingin menikah. Maka jika ada wanita yang berada di bawah kuasanya (yakni sebagai budak), maka majikan laki-lakinya boleh menjadi wali akad nikah bagi hamba sahaya perempuannya itu.

Rizem Aizid dalm bukunya menyimpulkan, “Dari keempat jenis, maka urutan yang berhak menjadi wali nikah perempuan adalah wali nasab (paling utama). Kemudian boleh digantikan wali hakim, bila wali nasab tidak ada seluruhnya.”

“Jika wali hakim tidak ada maka boleh diwakilkan oleh wali tahkim. Sementara untuk seorang hamba sahaya wanita yang tidak punya wali nasab, maka bisa dinikahkan oleh wali maula.” tambahnya.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

Fatimah al-Fihri, Pendiri Masjid Al-Qarawiyyin & Madrasah Tertua di Dunia



Jakarta

Nama Fatimah al-Fihri tak bisa dipisahkan dari sejarah pendidikan. Ia adalah muslimah yang mendirikan Masjid dan Madrasah Al-Qarawiyyin yang merupakan madrasah tertua di dunia.

Dalam pandangan masyarakat Jahiliyah, perempuan kerap dijadikan pelengkap dan diidentikkan sebagai barang. Keberadaan perempuan dianggap aib dan pantas direndahkan. Namun, Islam memperlakukan perempuan dengan cara yang berbeda, yakni dengan memuliakannya.

Sejarah Islam mencatat bahwa begitu banyak tokoh muslim perempuan yang berperan penting dalam membangun peradaban. Islam memberikan kesempatan yang sama kepada perempuan untuk menciptakan masyarakat yang teratur lagi beradab.


Salah satu tokoh berpengaruh dan inspiratif adalah Fatimah binti Muhammad Al-Fihriya al Qurashiyah atau dikenal dengan Fatimah al-Fihri. Dalam banyak riwayat, dijelaskan bahwa ia merupakan sosok pendiri Madrasah Al-Qarawiyyin, salah satu pusat pendidikan yang berkembang menjadi universitas pertama di dunia.

Profil Fatimah binti Muhammad al-Fihriya al-Qurashiyah

Fatimah al-Fihri memiliki julukan “Ummu Al-Banin” yang berarti ibu dari anak-anak. Beliau lahir pada tahun 800 M di Tunisia. Dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa Fatimah Al Fihri merupakan seorang muslimah yang taat beribadah dan luhur budinya.

Megutip buku Tokoh Muslim Terkemuka yang disusun oleh Tim Penulis Smart Media, disebutkan bahwa Fatimah terlahir dari keluarga bangsawan dan berpendidikan, namun hal itu tidak membuatnya menjadi pribadi yang sombong. Ayahnya, Muhammad al-Fihri, adalah seorang pedagang sukses yang berasal dari Kota Qairouan atau yang sekarang dikenal dengan nama Tunisia.

Pada awal abad ke-9, ayahnya memboyong keluarganya untuk pindah ke Kota Fez di Maroko dan melebarkan bisnisnya sehingga mereka menjadi pengusaha yang kaya raya. Sayang, ia dan saudara-saudaranya harus merelakan kepergian sang ayah setelah sekian tahun menetap.

Kepedulian Fatimah pada dunia pendidikan membuat namanya cukup tersohor dalam banyak literatur sejarah. Fatimah yang memiliki latar belakang pendidikan mumpuni menyadari bahwa ilmu adalah hal yang dapat mengangkat derajat seseorang dan dengan ilmu maka seseorang akan menjadi mulia.

Fatimah Mendirikan Madradah Al-Qarawiyyin

Selepas kepergian Muhammad Al Fihri, Fatimah dan saudarinya, Maryam, merupakan dua perempuan terdidik yang mewarisi harta melimpah dari sang ayah. Mereka pun menggunakan harta warisan tersebut untuk membangun sebuah masjid. Tepatnya pada Ramadhan 245 H atau 859 M. Sementara itu, Maryam membangun masjid Al Andalus di Spanyol.

Cikal bakal Universitas Al-Qarawiyyin bermula dari aktivitas diskusi yang digelar di masjid tersebut. Komunitas Qarawiyyin yang berasal dari Qairawan (Tunisia) di Kota Fez, Maroko, biasa menggelar diskusi di serambi Masjid Al-Qarawiyyin atau yang dikenal sebagai Jami’ as-Syurafa’.

Menurut pakar sejarah, perubahan status masjid menjadi universitas berlangsung pada masa pemerintahan Dinasti Murabithun dan disempurnakan pada masa pemerintahan Dinasti Bani Marin.

Di tangan Fatimah al-Fihri, proses pembangunan masjid yang berdiri pada masa pemerintahan Dinasti Idrisiyah tersebut penuh dengan kisah spiritual. Konon, Fatimah berpuasa selama pembangunan berlangsung. Seluruh biaya berasal dari kantong pribadinya. Bahkan, ia tidak ingin mengambil keuntungan apapun dari orang lain.

Menyimpan Karya dan Arsip Penting

Dikutip dari buku Sejarah Terlengkap Peradaban Islam yang ditulis oleh Abdul Syukur al-Azizi, Universitas Al-Qarawiyyin berhasil mengumpulkan sejumlah risalah penting dari berbagai disiplin ilmu. Kompilasi dari manuskrip penting disimpan di perpustakaan yang didirikan oleh Sultan Abu-Annan, seorang penguasa Dinasti Marinid.

Beberapa risalah penting lain yang tersimpan di perpustakaan antara lain Mutta of Malik (ditulis pada tahun 795 M), Sirat Ibnu Ishaq (ditulis pada tahun 883 M), salinan kitab suci Al-Qur’an yang dihadiahkan Sultan Ahmed al-Mansur al-Dhahabi pada tahun 1602.

Selain itu, perpustakaan tersebut juga menyimpan salinan asli dari buku karya Ibnu Khaldun berjudul Al-Ibar. Ilmuwan muslim terkemuka itu menghadiahkan buku yang ditulisnya kepada perpustakaan pada tahun 1396 M.

Mencetak Ilmuwan Berpengaruh

Pada tahun 1998, Universitas Al-Qarawiyyin mendapatkan rekor dunia dari Guinness Book of World Records kategori universitas tertua yang menawarkan gelar sarjana.

Sebelumnya, Majalah Time edisi 24 Oktober 1960 juga menuliskan kisah berdirinya Universitas Al-Qarawiyyin dalam tulisan berjudul Renaissance in Fez, yang menyatakan bahwa universitas tersebut berperan besar bagi perkembangan Eropa.

Hal tersebut dikarenakan kala itu banyak ilmuwan muslim maupun nonmuslim yang belajar di Universitas Al-Qarawiyyin, kemudian menerapkan ilmu yang diperoleh dengan memberi dampak pencerahan bagi masyarakat Eropa pada abad ke-15 M.

Melansir buku Journey To Andalusia: Jelajah 3 Daulah yang disusun oleh Marfuah Panji Astuti, beberapa ilmuwan termasyhur yang pernah mengenyam bangku pendidikan di Universitas Al-Qarawiyyin antara lain Al Idrisi sang kartografer (pembuat peta), Ibnu Khaldun atau Al Arabi sang sosiolog, juga nonmuslim seperti Gerbert of Aurillac yang kelak dikenal sebagai Paus Sylvester II, hingga filsuf yahudi Maimonides.

Di kemudian hari, Pope Sylvester II inilah yang mengenalkan sistem desimal dan angka Arab ke Eropa. Sistem desimal dan angka Arab ini kemudian menggantikan sistem angka Romawi Kuno yang telah ada selama lebih dari seribu tahun lamanya. Hingga kini, sistem desimal dan angka Arab telah digunakan secara umum di seluruh dunia.

Selain itu, disebutkan dalam buku Tokoh Muslim Terkemuka: Biografi yang diterbitkan oleh Penerbit Intera bahwa Abu al-Abbas az-Zawawi yang seorang pakar matematika, Ibnu Bajjah yang seorang pakar bahasa Arab dan dokter, dan Abu Madhab al-Fasi yang seorang pemuka dari Mazhab Maliki juga pernah belajar di sana.

Universitas Al Qarawiyyin merupakan pusat antara budaya Barat dan Timur sehingga eksistensinya mampu mengilhami berdirinya Universitas Cordoba dan universitas-universitas lain di dunia.

Demikian profil singkat dan kisah penuh inspirasi dari tokoh muslim perempuan Fatimah al-Fihri. Pengaruhnya yang besar dalam dunia pendidikan tentu didasari oleh kesadaran atas pentingnya menuntut ilmu bagi siapa saja. Semoga penjelasan di atas dapat memberikan manfaat bagi kita semua.

(dvs/dvs)



Sumber : www.detik.com

Niat Keramas Puasa Ramadan dan Tata Caranya dalam Islam



Jakarta

Sebelum menyambut datangnya bulan Ramadan, sebagai umat Islam kita harus menyucikan diri terlebih dahulu dengan mandi keramas. Berikut ini niat mandi keramas dan tata caranya dalam Islam.

Mandi keramas yang dimaksud dalam hal ini adalah mandi wajib. Terlebih bagi wanita yang sebelumnya haid atau nifas atau seseorang yang dalam keadaan junub.

Muhammad Jawad Mughniyah dalam Kitab Al-Fiqh ‘ala al-madzahib al-khamsah mengatakan, para ulama sepakat bahwa apabila seorang wanita sedang haid atau nifas maka puasanya tidak sah.


Sebagian ulama mengatakan suci dari hadats ini termasuk syarat sah puasa, sedangkan sebagian yang lain menyebutnya makruh.

Syafi’i Hadzami dalam bukunya yang berjudul Taudhihul Adilah menjelaskan, apabila seorang muslim dalam keadaan hadats besar, maka ia disunnahkan untuk mandi sebelum terbit fajar. Sebagaimana Syeikh Ibnu Ruslan mengatakan dalam Zubad-nya,

وَالْفِطْرُ بِالْمَاءِ لِفَقْدِ الثَّمَرِ : وَغَسْلُ مَنْ أَحْنَبَ قَبْلَ الْفَجْرِ

Artinya: “Sunnah berbuka dengan air jika ketiadaan kurma. Dan sunnah mandi orang yang junub sebelum fajar.”

Adapun, menurut hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda,

من أَصْبَحَ جُنُبا فَلَا صَوْمَ لَهُ

Artinya: “Barang siapa yang pada pagi hari dalam keadaan berhadats besar maka tak ada puasa baginya.” (HR Bukhari)

Merangkum Kitab Lengkap dan Praktis Fiqh Wanita karya Abdul Syukur Al-Azizi dan buku Tata Cara Puasa Wanita: Seri Fikih Wanita Empat Madzhab karya Muhammad Utsman Ak-Khasyt yang diterjemahkan oleh Abu Nafis, ada beberapa ketentuan mengenai mandi wajib bagi wanita haid yang hendak melakukan puasa.

Dikatakan, apabila darah haid seorang wanita telah berhenti pada waktu sebelum terbit fajar (waktu subuh), lalu dia belum sempat mandi melainkan sesudah terbit fajar (waktu subuh), maka boleh baginya untuk berpuasa.

Sebab, tidak disyaratkan bagi orang yang berpuasa untuk terbebas dari keadaan junub, sementara hukum wanita yang telah berhenti haidnya pada waktu sebelum fajar itu sama dengan orang junub.

Dalam Kitab Fathul Bari, Ibnu Hajar mengatakan bahwa jumhur ulama berpendapat, wanita haid yang suci sebelum fajar dan berniat untuk puasa maka sah puasanya dan tidak tergantung pada mandi junub.

Pendapat serupa juga dinyatakan oleh Syekh Utsaimin dalam Majmu’ Fatawa. Ia menyebut, jika seorang wanita dalam keadaan haid kemudian suci sesaat sebelum fajar pada bulan Ramadan, maka wajib baginya berpuasa pada hari itu walaupun ia belum mandi, kecuali setelah terbit fajar, dan puasanya sah.

Adapun hadits yang dijadikan sandaran oleh Syekh Utsaimin ialah riwayat dari Aisyah RA yang berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصْبِحُ جُنُباً مِنْ جِمَاعِ غَيْرَ احْتِلَامٍ ثُمَّ يَصُومُ فِي رَمَضَانَ

Artinya: “Bahwasanya Rasulullah SAW suatu ketika masih berada dalam keadaan junub di waktu subuh lantaran jima’ (sebelum subuh), bukan karena ihtilam (mimpi basah), lalu beliau menjalankan puasa Ramadan (di hari itu).”

Niat Keramas Puasa Ramadan, Tata Cara, dan Sunnahnya

Melansir buku Panduan Lengkap Shalat Wajib dan Sunah Berikut Juz ‘Amma Untuk Pemula karya Zaky Zamani, berikut niat keramas puasa Ramadan dan tata cara mandi selengkapnya,

1. Niat

Niat dilafalkan bersamaan dengan basuhan (air) pertama ke tubuh. Niat mandi wajib atau keramas puasa Ramadan ialah:

نَوَيْتُ الْغُسْلَ لِرَفْعِ الْحَدَثِ الاَ كَبَرِ فَرْضًا للهِ تَعَالَى

Arab latin: Nawaitul ghusla liraf’il hadasil akbari fardlal lillaahi ta’aalaa

Artinya: “Aku niat mandi wajib untuk menghilangkan hadas besar, fardhu karena Allah Ta’ala.”

2. Membasuh seluruh tubuh, mulai dari ujung rambut sampai dengan ujung kaki, dengan menggunakan air

Selain itu, masih dalam buku yang sama dijelaskan mengenai sunnah mandi untuk menghilangkan hadats, yakni sebagai berikut:

  • Mendahulukan membasuh seluruh kotoran dan najis dari tubuh.
  • Mendahulukan berwudhu sebelum mandi.
  • Membaca basmalah.
  • Berkumur dan menghisap air ke dalam hidung.
  • Menghadap kiblat.
  • Mendahulukan basuhan pada anggota badan yang kanan daripada yang kiri.
  • Membasuh badan hingga tiga kali.
  • Membaca doa sesudah mandi. Doa yang dibaca seperti doa sesudah wudhu.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

8 Amalan di Bulan Ramadan bagi Wanita Haid



Jakarta

Wanita haid termasuk golongan yang terhalang untuk berpuasa. Meski demikian, ada sejumlah amalan di bulan Ramadan yang bagi wanita haid agar tetap mendapatkan keberkahan di bulan suci ini.

Ulama fikih Sayyid Sabiq mengatakan dalam Kitab Fiqih Sunnah-nya, wanita haid yang terhalang untuk puasa Ramadan wajib mengganti puasa yang ia tinggalkan selama masa haid tersebut. Apabila ia memaksakan diri untuk berpuasa, kata Sayyid Sabiq, puasanya tidak bermakna apa pun alias batal.

Amalan bagi Wanita Haid

Meski tidak bisa menjalankan ibadah puasa, wanita haid tetap bisa melakukan berbagai amalan lain. Merangkum karya Himatu Mardiah Rosana dalam buku Ibadah Penuh Berkah Ketika Haid dan Nifas serta buku Do’a dan Amalan Istimewa Ketika Datang Bulan, berikut amalan yang dapat dikerjakan oleh wanita haid saat bulan Ramadan.


1. Berzikir dan Berdoa untuk Memohon Ampunan Allah SWT

Dalam hal ini secara khusus Rasulullah SAW menganjurkan untuk memperbanyak istighfar, berzikir dan berdoa untuk memohon ampunan kepada Allah SWT. Di antara lafadz zikir yang bisa diistiqomahan adalah lafadz yang diajarkan oleh Rasulullah SAW dalam haditsnya.

Dari Abu Hurairah RA, menuturkan bahwa Rasulullah SAW bersabda,

“Ada dua kalimat yang ringan di lisan, berat di timbangan, dan disukai Arrahman, Subhanallah, Wabihamdihi, dan Subhaanallahul ‘azhiim.” (HR Bukhari)

Dijelaskan pula bahwa seorang wanita haid dapat memperbanyak doa di bulan Ramadan baik doa Ma’tsur (diriwayatkan) maupun doa Mashnu (dibuat sendiri).

2. Bersedekah

Bersedekah juga menjadi salah satu amalan yang dapat dikerjakan oleh wanita haid. Dari Abdullah bin Umar dari Rasulullah SAW, bahwa beliau bersabda,

“Wahai kaum wanita! Bersedakahlah kamu dan perbanyaklah istighfar. Karena, aku melihat kaum wanitalah yang paling banyak menjadi penghuni neraka.” (HR Muslim)

3. Memberikan Makanan kepada Orang yang Berbuka Puasa

Bagi orang-orang yang menjamu orang lain untuk berbuka puasa, maka akan mendapatkan balasan sebagaimana yang didapatkan oleh orang yang berpuasa tersebut tanpa dikurangi pahalanya sedikit pun.

Hal tersebut bersandar pada hadits yang diriwayatkan dari Zaid bin Khalid Al-Juhani, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda

“Barang siapa yang memberi makan orang yang berbuka, dia mendapatkan seperti pahala orang yang berpuasa tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa sedikit pun.” (HR At-Tirmidzi)

4. Meringankan Pekerjaan Orang yang Berpuasa

Dijelaskan bahwa bagi wanita haid maupun nifas sangat dianjurkan untuk melayani orang yang sedang berpuasa. Sebab, melayani orang yang berpuasa dan meringankan pekerjaan atau kesusahan mereka bisa membuat balasan sebagaimana orang yang sedang berpuasa.

Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda,

“Barang siapa dapat menunjukkan suatu kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti orang yang melakukannya.” (HR Muslim)

5. Menimba Ilmu untuk Meraih Ketaatan yang Lebih Tinggi kepada Allah SWT

Mencari ilmu termasuk amalan lain yang bisa dilakukan oleh wanita haid di bulan Ramadan. Hal ini bisa dilakukan dengan cara mendatangi majelis ilmu maupun mempelajari isi dalam buku.

6. Beramar Ma’ruf Nahi Munkar

Amalan yang selanjutnya ialah, para wanita haid dapat mendorong sesamanya untuk berbuat kebaikan dan menjauhi kemaksiatan. Oleh karena itu, apabila wanita yang sedang haid membangunkan orang lain untuk sahur dan berpuasa maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang sahur dan berpuasa.

Dijelaskan dalam buku tersebut, apabila wanita haid membangunkan orang lain untuk melaksanakan salat Subuh, maka dia akan mendapatkan pahala seperti salat Subuh. Begitu pun dengan wanita haid yang mendorong orang lain untuk tilawah atau membaca Al-Qur’an, mencari ilmu, silaturahmi, sedakah, dan lain-lain maka dia akan mendapatkan pahala sebagaimana pelaku amal saleh tersebut.

7. Melaksanakan Berbagai Ketaatan Sekaligus Meminimalisir Kemaksiatan

Masih dalam buku yang sama dijelaskan pula, bagi wanita yang masuk di bulan Ramadan dalam keadaan haid atau sempat menjalankan puasa di bulan Ramadan lalu kemudian haid, tidak perlu bersedih karena haidnya.

Hal tersebut dikarenakan haid merupakan perkara yang sudah menjadi ketetapan Allah SWT bagi para wanita.

Disebutkan dalam sebuah riwayat, Rasulullah SAW pernah menghibur Aisyah RA yang sedang sedih karena mengalami haid sedangkan belum sempat untuk menjalankan manasik haji.

Dari Aisyah RA bahwa Nabi SAW pernah menemuinya ketika berada di Sarif sebelum masuk ke Makkah, beliau menemuinya sedang menangis karena datang bulan. Lalu beliau bertanya: “Kenapa, apakah kamu sedang haid?” Aisyah menjawab: “Ya” Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya hal ini telah ditetapkan Allah atas wanita-wanita anak Adam, lakukanlah apa yang biasa di kerjakan dalam berhaji, namun kamu jangan thawaf di Ka’bah.” (HR Bukhari)

8. Memperbanyak Sholawat

Amalan lain yang bisa dilakukan wanita haid saat Ramadan adalah memperbanyak sholawat. Allah SWT berfirman dalam surah AL Ahzab ayat 56,

اِنَّ اللّٰهَ وَمَلٰۤىِٕكَتَهٗ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّۗ يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمً

Artinya: “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bersholawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman! Bersholawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya.”

Menurut sebuah riwayat, orang yang banyak sholawat akan mendatangkan syafaat dari Rasulullah SAW. Sebagaimana beliau SAW bersabda,

أَوْلَى النَّاسِ بِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَكْثَرُهُمْ عَلَىَّ صَلاَةً

Artinya: “Orang yang paling berhak mendapatkan syafa’atku di hari kiamat adalah orang yang paling banyak bersholawat kepadaku.” (HR Tirmidzi dan An-Nasa’i)

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Hukum Wanita Haid Membaca Al-Qur’an, Boleh atau Tidak?



Jakarta

Haid merupakan siklus alami bagi wanita dewasa. Selama haid, seorang muslimah diperbolehkan untuk tidak menjalankan beberapa ibadah wajib. Bagaimana dengan membaca Al-Qur’an?

Haid adalah darah yang keluar dari rahim seorang wanita pada waktu-waktu tertentu yang bukan karena disebabkan oleh suatu penyakit atau karena adanya proses persalinan. Keluarnya darah itu merupakan ketetapan dari Allah kepada seorang wanita.

Dalam agama Islam, wanita yang sedang haid atau nifas tidak diperbolehkan melaksanakan ibadah wajib seperti sholat dan puasa. Bahkan beberapa ulama menganjurkan untuk tidak memegang mushaf Al-Qur’an. Lantas, apakah wanita haid boleh membaca Al Qur’an?


Hukum Membaca Al-Qur’an bagi Wanita Haid

Menurut buku Fiqih Kontroversi Jilid 2: Beribadah antara Sunnah dan Bid’ah karangan HM Anshary, ada kebolehan dalam hukum wanita haid membaca Al-Qur’an. Keterangan ini didasarkan dari salah satu riwayat hadits shahih dari sabda Rasulullah SAW kepada istrinya Aisyah RA.

افْعَلِيْ مَا يَفْعَلُ الحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لاَ تَطُوْفِيْ بِالبَيْتِ حَتَّي تَطْهُرِي

Artinya: Dari Aisyah RA, ia berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Bila kamu mendapat haid, lakukan semua praktek ibadah haji, kecuali bertawaf di sekeliling Kakbah hingga kamu suci,” (Muttafaq ‘alaih).

Anshary menafsirkan, membaca Al-Qur’an bagi wanita haid dibolehkan sebab hal itu termasuk dalam amalan yang paling utama saat menunaikan ibadah haji.

“Seandainya haram baginya dan wanita muslimah membaca Al-Qur’an dalam keadaan haid, tentunya Rasulullah SAW akan menjelaskannya sebagaimana beliau menerangkan hukum sholat ketika haid,” tulis Anshary dalam bukunya.

Hal ini kemudian diperkuat kembali dengan hadits yang mengisahkan pada suatu ketika, Rasulullah SAW meminta kepada Aisyah, “Bawakan kepadaku tikar kecil itu!” Kemudian Aisyah menjawab, “Saya sedang haid, wahai Rasulullah.” Maka beliau bersabda, “Sesungguhnya, haidmu itu tidak di tanganmu.” (HR Bukhari).

Abdul Syukur al-Azizi dalam bukunya Buku Lengkap Fiqh Wanita: Manual Ibadah dan Muamalah Harian Muslimah Shalihah menerangkan bahwa tubuh seseorang yang sedang haid adalah suci. Oleh karena itu, ketika orang yang haid menyentuh benda apa saja termasuk air, tidak lantas membuatnya najis. Namun, bagaimana dengan mushaf Al-Qur’an?

Pada zaman Rasulullah, para wanita haid tidak dilarang untuk membaca Al-Qur’an. Bahkan wanita haid diperintahkan untuk keluar rumah pada hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha) dan mereka bertakbir bersama takbirnya kaum muslimin. Rasulullah SAW juga memerintahkan wanita haid untuk menyempurnakan haji mereka semuanya, kecuali thawaf di Kakbah.

Merangkum buku Bagaimana Rasulullah Mengajarkan Al-Qur’an Kepada Para Sahabat? yang ditulis oleh Dr. Abdussalam Muqbil Al-Majidi, diketahui bahwasannya wanita yang haid mendapatkan dispensasi yang tidak didapatkan oleh yang junub karena orang junub sangat mungkin bersuci dan wanita yang haid jelas tidak akan dalam keadaan suci meskipun telah bersuci.

Perbedaan Pendapat Ulama

Imam Nawawi termasuk ulama yang melarang wanita haid membaca Al-Qur’an. Sementara itu, ulama yang memperbolehkan ialah Bukhari, Ibnu Jarir at-Thabari, dan juga Ibnu Munzir. Bukhari menyebutkan sebuah komentar dari Ibrahim an-Nakha’i, tidak ada salahnya seorang wanita haid membaca ayat Al-Qur’an.

Sebagaimana dikutip oleh Syekh Muhammad al-Utsaimin dalam Fiqh Mar’ah al-Muslimah, Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa tidak ada satupun sunnah yang melarang wanita haid membaca Al-Qur’an. Tidak ada riwayat yang mengatakan Rasulullah SAW melarang wanita haid membaca Al-Qur’an sebagaimana melarang mengerjakan sholat dan puasa.

Oleh karena itu, apabila tidak ada satu riwayat dari Rasulullah yang melarang perkara ini, maka tidak boleh dihukumi haram. Sebab, Rasulullah SAW sendiri tidak mengharamkannya. Akan tetapi, sebagai seorang muslim, hendaknya memang memilih opsi berhati-hati agar tidak menimbulkan hal yang tidak diinginkan karena keragu-raguan.

Solusinya, apabila seseorang sedang berhadas kecil dan wanita haid ingin membaca Al-Qur’an, maka dilarang menyentuh mushaf atau bagian dari mushaf. Pendapat ini dinyatakan oleh empat madzhab, yakni Hanafi (Al-Mabsuth 3/152), Maliki (Mukhtasar al-Khalil hlm: 17-18), Syafi’i (Al-Majmu’ 2/67), dan Hambali (Al-Mughny 1/137).

Dengan demikian, bagi wanita haid yang ingin membaca Al-Qur’an diperbolehkan baginya dengan syarat tidak menyentuhnya. Boleh juga membaca Al-Quran di dalam hati dengan tanpa menggerakkan bibir ataupun menggerakkan bibir dengan syarat dirinya tidak bisa mendengar bacaannya

Maka dari itu, takdir Allah yang dikaruniakan kepada wanita sejatinya tidak menghambat jalannya ibadah. Bahkan, beberapa ulama menyarankan wanita yang haid untuk memperbanyak doa dan berdzikir sebagai pengganti bacaan Al-Qur’an.

(dvs/dvs)



Sumber : www.detik.com

Batasan Aurat Perempuan Muslim, Siapa yang Boleh Lihat?



Jakarta

Dalam Islam, wanita muslim diminta menutup aurat. Kewajiban tersebut termaktub dalam surat An Nur ayat 31, Allah SWT berfirman:

وَقُل لِّلْمُؤْمِنَٰتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَٰرِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ۖ وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ ۖ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ ءَابَآئِهِنَّ أَوْ ءَابَآءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَآئِهِنَّ أَوْ أَبْنَآءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَٰنِهِنَّ أَوْ بَنِىٓ إِخْوَٰنِهِنَّ أَوْ بَنِىٓ أَخَوَٰتِهِنَّ أَوْ نِسَآئِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَٰنُهُنَّ أَوِ ٱلتَّٰبِعِينَ غَيْرِ أُو۟لِى ٱلْإِرْبَةِ مِنَ ٱلرِّجَالِ أَوِ ٱلطِّفْلِ ٱلَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا۟ عَلَىٰ عَوْرَٰتِ ٱلنِّسَآءِ ۖ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِن زِينَتِهِنَّ ۚ وَتُوبُوٓا۟ إِلَى ٱللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ ٱلْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Arab latin: Wa qul lil-mu`mināti yagḍuḍna min abṣārihinna wa yaḥfaẓna furụjahunna wa lā yubdīna zīnatahunna illā mā ẓahara min-hā walyaḍribna bikhumurihinna ‘alā juyụbihinna wa lā yubdīna zīnatahunna illā libu’ụlatihinna au ābā`ihinna au ābā`i bu’ụlatihinna au abnā`ihinna au abnā`i bu’ụlatihinna au ikhwānihinna au banī ikhwānihinna au banī akhawātihinna au nisā`ihinna au mā malakat aimānuhunna awittābi’īna gairi ulil-irbati minar-rijāli awiṭ-ṭiflillażīna lam yaẓ-harụ ‘alā ‘aurātin-nisā`i wa lā yaḍribna bi`arjulihinna liyu’lama mā yukhfīna min zīnatihinn, wa tụbū ilallāhi jamī’an ayyuhal-mu`minụna la’allakum tufliḥụn
Artinya: “Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung,”


Aurat, dalam buku Islam dan Batasan Aurat Wanita tulisan Nuraini dan Dhiauddin diartikan sebagai bagian dari tubuh orang Islam baik laki-laki maupun perempuan yang tidak boleh dilihat oleh orang lain, kecuali suami atau istrinya. Terdapat sejumlah perbedaan pendapat mengenai batasan aurat perempuan.

Batasan Aurat Perempuan

Menurut Quraish Shihab dalam Jilbab: Pakaian Wanita Muslimah menjelaskan batasan aurat perempuan ialah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Hal tersebut mengacu pada sebuah hadits riwayat Ahmad:

“Rasulullah SAW ketika bersabda mengenai masalah mengulurkan ujung pakaian, aku berkata kepada beliau, ‘Wahai Rasulullah bagaimana dengan kami (kaum wanita)?’ Nabi kemudian menjawab, ‘Julurkanlah sejengkal,’ Lalu Ummu Salamah bertanya lagi, ‘Kalau begitu kedua qadam (bagian bawah kaki) akan terlihat?’ Nabi bersabda: ‘Kalau begitu julurkanlah sehasta,” (HR Ahmad).

Bersamaan dengan itu, dalam buku Aurat Wanita Muslimah karya Isnawati Lc MA, wajah dan telapak tangan perempuan tidak termasuk aurat karena dalam surat An Nur ayat 31 dikatakan:

“Janganlah mereka memperlihatkan perhiasan (aurat) mereka, kecuali yang biasa nampak,” (QS An Nur: 31).

Menurut tafsir Ibnu Abbas, maksud dari yang biasa nampak ialah wajah dan kedua telapak tangan. Selain itu, saat wanita berihram, Rasulullah mengharamkan mereka menutup wajah dan telapak tangannya.

Alasan tidak dimasukkannya wajah dan telapak tangan sebagai aurat karena hajat, wajah dari seseorang dapat dikenali dan kedua telapak tangan berperan penting ketika wanita bermuamalah dalam jual beli, kegiatan sosial, hingga mengambil atau memberikan sesuatu. Karenanya, telapak tangan dimaklumi dan dianggap sebagai bagian yang biasa nampak.

Adapun, pendapat lain dari Abu Hanifah, Ats-Tsaurid dan Al-Muzanni, seluruh tubuh wanita adalah aurat. Kecuali wajah, telapak tangan dan kaki. Ketiga anggota tubuh tersebut merupakan bagian yang sering nampak.

Siapa Saja yang Boleh Melihat Aurat Perempuan?

Mengacu pada sumber yang sama, mahram yang boleh melihat aurat perempuan ialah:

1. Mahram karena hubungan keluarga, berarti yang termasuk ke dalam kelompok ini yaitu anak laki-laki, ayah, saudara laki-laki, keponakan dan paman

2. Mahram karena persusuan, yang termasuk ke dalam pihak ini yaitu suami dari ibu susu, anak laki-laki dari ibu susu, saudara laki-laki dari si ibu susu, keponakan dari si ibu susu serta saudara dari ibu susu

3. Mahram karena hubungan pernikahan, yaitu meliputi suami, ayah mertua, anak tiri dari suami, ayah tiri dan menantu laki-laki

Hikmah Menutup Aurat bagi Perempuan Muslim

Berikut ini merupakan hikmah menutup aurat bagi perempuan muslim sebagaimana dikutip dari buku PAI dan Budi Pekerti untuk Kelas X oleh Nenden Munawaroh dan Ijudin.

  • Sebagai bentuk sopan santun dan ramah tamah
  • Untuk menggapai ridha Allah
  • Terhindar dari perilaku pelecehan atau tindak kejahatan lainnya
  • Menjaga kehormatan dan martabat
  • Sebagai bagian dari ibadah

(aeb/lus)



Sumber : www.detik.com

4 Wanita yang Dijamin Masuk Surga oleh Allah SWT



Jakarta

Surga digambarkan sebagai tempat yang begitu indah dengan berbagai kenikmatannya. Menurut sebuah riwayat, ada empat wanita yang dijamin masuk surga.

Umi Salamah dalam buku Wanita Pilihan yang Dirindukan Surga menceritakan, sejak Nabi Adam AS sebagai manusia pertama diciptakan, Allah SWT lalu menciptakan Siti Hawa yang terbuat dari tulang rusuk Nabi Adam AS sebagai pendamping hidup di surga.

Siti Hawa menjadi wanita pertama yang telah menjadi penghuni surga. Hingga lambat laun hadirlah wanita-wanita tangguh yang dijamin masuk surga oleh Allah SWT karena membuka hati serta menerima hidayah dan keimanan yang sangat sulit. Hal itu dikarenakan adanya tantangan yang begitu besar dan harus mereka hadapi.


Rasulullah SAW pernah mengabarkan mengenai wanita yang dijamin masuk surga. Beliau bersabda, “Sebaik-baik wanita surga adalah Khadijah binti Khuwailid, Fatimah binti Muhammad, Maryam binti Imran, dan Asiyah binti Muzahim istri Fir’aun.” (HR Ibnu Hibban, Ahmad, Abu Ya’la, Ath-Thabrani, Abu Daud, dan Al-Hakim)

Wanita yang Dijamin Masuk Surga

1. Khadijah binti Khuwailid

Lestari Ummu Al-Fatih dalam buku 99 Pesan Rasulullah untuk Perempuan: Terapi Hati untuk Wanita yang Mendambakan Surga menceritakan kisah dari Khadijah binti Khuwailid.

Khadijah binti Khuwailid merupakan istri dari Nabi Muhammad SAW yang namanya disebut dalam percakapan antara Rasulullah SAW dengan Malaikat Jibril. Seperti yang diceritakan oleh Abu Hurairah RA,

“Khadijah adalah wanita yang akan menghidangkan sebuah tempayan berisi makanan dan minuman kepadamu di surga. Sampaikanlah salamku kepadanya, bahwa dia kelak akan masuk surga yang penuh dengan kenikmatan dan tiada terdengar suara jerit penderitaan di sana.” (HR Bukhari dan Muslim)

Khadijah binti Khuwailid merupakan sosok wanita pertama yang beriman kepada Allah SWT, ia adalah wanita suci dan mulia. Tingkah lakunya terjaga dari kebiasaan buruk masyarakat jahiliah. Ia memiliki sifat pemurah dan peduli pada kaum dhuafa.

Khadijah binti Khuwailid adalah sosok wanita yang rela mengorbankan harta, jiwa, dan raganya demi tegaknya agama Allah SWT.

2. Fatimah binti Muhammad

Merangkum buku Ternyata Wanita Lebih Mudah Masuk Surga karya Iis Nuraeni Afgandi dan buku Kamulah Wanita Karier yang Hebat karya Arum Faiza dkk, Fatimah Az-Zahra merupakan putri kesayangan Nabi Muhammad SAW yang dikenal sebagai anak yang taat kepada orang tuanya.

Bukan hanya itu, ia juga seorang wanita muslim yang sangat sabar, cerdas, kuat imannya, serta taat kepada suaminya.

Kisah keteladanan Fatimah binti Muhammad ini dapat dijadikan panutan. Ia benar-benar memahami kondisi suaminya Ali bin Abi Thalib.

Dituturkan pada suatu ketika Fatimah binti Muhammad bersama suaminya, Ali bin Abi Thalib sedang mengalami kesulitan ekonomi yang mengakibatkan Fatimah lapar selama tiga hari. Ketika, Ali bertanya, “Apa yang menimpa dirimu, wahai Fatimah?” Fatimah menjawab, “Sejak tiga hari yang lalu kami tidak menemukan sesuatu di rumah.” Lalu Ali bertanya lagi, “Mengapa engkau tidak memberitahuku?” Ia menjawab, “Pada malam pertama kita, dahulu, ayahku, Rasulullah SAW pernah berkata, “Wahai Fatimah, jika Ali datang kepadamu dengan membawa sesuatu, makanlah, dan jika tidak, janganlah engkau memintanya.”

Begitulah kisah Fatimah binti Muhammad yang tidak pernah menyusahkan suaminya dan pantas saja jika Rasulullah SAW mengatakan bahwa Fatimah binti Muhammad adalah salah satu wanita yang dijamin masuk surga.

3. Maryam binti Imran

Melansir dari Kisah-Kisah Teladan dalam Al-Quran karya Munnal Hani’ah, Maryam binti Imran merupakan ibu dari Nabi Isa AS, ia dikenal dengan seorang perempuan salihah dan rajin beribadah. Dia selalu beribadah sepanjang hari kepada Allah SWT. Allah SWT memuliakan Maryam dengan cara yang unik.

Allah SWT meniupkan satu ruh di rahimnya, akhirnya Maryam pun hamil tanpa proses kehamilan seperti perempuan pada umumnya. Kabar kehamilan Maryam ini disampaikan langsung oleh Malaikat Jibril.

Maryam pun meyakini kebenaran akan kabar yang diberikan oleh Malaikat Jibril, dia benar-benar perempuan yang salihah. Maryam menerima apapun keputusan Allah SWT untuk mencegah fitnah.

Hingga akhirnya, Maryam pun pergi mengasingkan diri dan tidak ingin ada yang tahu tentang kehamilannya. Maryam selalu yakin bahwa apa yang terjadi pada dirinya merupakan bentuk kekuasaan Allah SWT.

4. Siti Asiyah binti Muzahim istri Fir’aun

Merujuk pada Arum Faiza dalam buku 11 Kisah Wanita Superhebat di Masa Lalu: Menjadi Wanita Kuat, Cerdas, dan Taat, mengisahkan mengenai Asiyah istri Fir’aun.

Meskipun Asiyah merupakan istri dari Fir’aun, namun ia dijamin masuk surga oleh Allah SWT, seperti yang dikatakan oleh Rasulullah SAW. Pada awalnya, Asiyah menolak untuk dijadikan istri oleh Fir’aun namun penolakan itu berakhir dengan penyeretan kedua orang tuanya dan penyiksaan yang bertubi-tubi.

Hingga akhirnya, Asiyah mengiyakan lamaran Fir’aun. Parasnya yang menawan membuat Fir’aun begitu mencintai Asiyah. Namun, Asiyah berdoa kepada Allah SWT supaya ia dapat dijauhkan dari Fir’aun dan kaumnya yang zalim.

Hal tersebut sesuai dengan firman Allah SWT dalam surah At-Tahrim ayat 11,

وَضَرَبَ اللّٰهُ مَثَلًا لِّلَّذِيْنَ اٰمَنُوا امْرَاَتَ فِرْعَوْنَۘ اِذْ قَالَتْ رَبِّ ابْنِ لِيْ عِنْدَكَ بَيْتًا فِى الْجَنَّةِ وَنَجِّنِيْ مِنْ فِرْعَوْنَ وَعَمَلِهٖ وَنَجِّنِيْ مِنَ الْقَوْمِ الظّٰلِمِيْنَۙ

Artinya: “Allah juga membuat perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, yaitu istri Fir’aun, ketika dia berkata, “Ya Tuhanku, bangunkanlah untukku di sisi-Mu sebuah rumah dalam surga, selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya, serta selamatkanlah aku dari kaum yang zalim.”

Doa Asiyah pun didengar oleh Allah SWT, dan Dia mengutus malaikat untuk memperlihatkan tempatnya di surga. Hingga pada akhirnya, Asiyah gugur sebagai seorang syuhada yang mempertahankan iman dan ia termasuk wanita yang dijamin masuk surga.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Sayyidah Maimunah, Istri yang Terakhir Dinikahi Rasulullah



Jakarta

Sayyidah Maimunah merupakan istri terakhir yang dinikahi Rasulullah SAW. Rasulullah SAW menikahi Maimunah binti Al-Harits Al-Hilaliyah di Sarif dan membangun rumah tangga dengannya di sana. Disebutkan bahwa Sarif berjarak 7 mil dari Kota Makkah.

Disebutkan oleh Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam bukunya Kelengkapan Tarikh Rasulullah, Maimunah adalah bibi (dari pihak ibu) Abdullah bin Abbas. Ibunya Abdullah (yang bernama Ummul Fadhl binti Al-Harits) adalah bibi (dari pihak ibu) Khalid bin Al-Walid.

Nasab dan nama asli Maimunah binti Harits sesungguhnya adalah Barrah binti Harits bin Huzn bin Bujair bin Hazm bin Ruwaibah bin Abdillah bin Hilal bin ‘Amir bin Sha’sha’ah al-Hilaliyyah. Saudari kandungnya adalah Ummul Fadhal Lubabah al-Kubra binti Harits, istri Abbas bin Abdul Muthalib dan ibu dari anak-anak Abbas.


Ia adalah wanita pertama yang beriman sesudah Khadijah. Adapun Ummul Fadhal sendiri adalah wanita yang dikenang oleh Islam sebagai orang yang telah menyerang Abu Lahab yang menjadi musuh Allah, musuh Rasulullah, dan tentunya musuh Islam.

Pernikahan Sayyidah Maimunah dengan Rasulullah SAW

Sebelumnya, Barrah binti Harits menikah dengan Abu Raham bin Abdil ‘Uzza al-‘Amiri yang kemudian meninggal ketika Barrah berusia 26 tahun. Hal ini disebutkan dalam buku Biografi 39 Tokoh Wanita Pengukir Sejarah Islam oleh Bassam Muhammad Hamami, bahwa setelah tahun-tahun berlalu, Rasulullah dan sahabat meninggalkan Kota Mekkah untuk hijrah ke Madinah, hingga terjadi Perjanjian Hudaibiyah.

Kemudian, Rasulullah pun memerintahkan kaum muslimin untuk bersiap pergi ke Mekkah demi menunaikan haji dan umrah. Beliau duduk di atas untanya yang diikuti oleh dua ribu penunggang kuda dari kaum Muhajirin dan Anshar. Setelah melaksanakan thawaf dan doa, Rasulullah menunaikan sholat dua rakaat di sisi Maqam Ibrahim.

Sementara itu, saudari Ummul Fadhal, Asma’ binti ‘Umais dan Sulma binti ‘Umair yang merupakan saudari-saudari Maimunah membisikkan isi hati mereka kepada saudainya tentang keinginannya untuk menjadi istri Rasulullah.

Ummul Fadhal segera pergi untuk menceritakan tentang gejolak jiwa dan keinginan Barrah kepada Abbas, suaminya. Abbas pun segera pergi menemui keponakannya, Muhammad, menawarkan agar beliau menikahi Barrah yang telah merelakan diri untuk beliau.

Di saat itu, Allah pun menurunkan firman-Nya yakni Al-Qur’an surat Al Ahzab ayat 50,

يٰٓاَيُّهَا النَّبِيُّ اِنَّآ اَحْلَلْنَا لَكَ اَزْوَاجَكَ الّٰتِيْٓ اٰتَيْتَ اُجُوْرَهُنَّ وَمَا مَلَكَتْ يَمِيْنُكَ مِمَّآ اَفَاۤءَ اللّٰهُ عَلَيْكَ وَبَنٰتِ عَمِّكَ وَبَنٰتِ عَمّٰتِكَ وَبَنٰتِ خَالِكَ وَبَنٰتِ خٰلٰتِكَ الّٰتِيْ هَاجَرْنَ مَعَكَۗ وَامْرَاَةً مُّؤْمِنَةً اِنْ وَّهَبَتْ نَفْسَهَا لِلنَّبِيِّ اِنْ اَرَادَ النَّبِيُّ اَنْ يَّسْتَنْكِحَهَا خَالِصَةً لَّكَ مِنْ دُوْنِ الْمُؤْمِنِيْنَۗ قَدْ عَلِمْنَا مَا فَرَضْنَا عَلَيْهِمْ فِيْٓ اَزْوَاجِهِمْ وَمَا مَلَكَتْ اَيْمَانُهُمْ لِكَيْلَا يَكُوْنَ عَلَيْكَ حَرَجٌۗ وَكَانَ اللّٰهُ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا

Artinya: Wahai Nabi (Muhammad) sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu istri-istrimu yang telah engkau berikan maskawinnya dan hamba sahaya yang engkau miliki dari apa yang engkau peroleh dalam peperangan yang dianugerahkan Allah untukmu dan (demikian pula) anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu yang turut hijrah bersamamu, dan perempuan mukminat yang menyerahkan dirinya kepada Nabi jika Nabi ingin menikahinya sebagai kekhususan bagimu, bukan untuk orang-orang mukmin (yang lain). Sungguh, Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang istri-istri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki agar tidak menjadi kesempitan bagimu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Abbas pun kembali menemui Barrah dengan wajah yang berseri. Rasulullah kemudian menikahi Barrah pada bulan Syawal 7 Hijriah. Beliau segera membawa istrinya pulang ke Madinah dan mengganti namanya menjadi Maimunah. Hal itu karena pernikahan Rasulullah dengan Barrah berlangsung dalam kesempatan yang penuh rahmat dan indah.

Kebaikan Sayyidah Maimunah

Kebaikan Sayyidah Maimunah RA diakui oleh Sayyidah Aisyah RA. Ukasyah Habibu Ahmad dalam bukunya The Golden Stories of Ummahatul Mukminin menuliskan bahwa Sayyidah Aisyah RA berkata, “Demi Allah, Maimunah adalah wanita yang baik kepada kami dan selalu menjaga silaturahmi di antara kami.”

Dalam catatan sejarah Islam beserta kitab-kitab sirah, tidak terdapat bukti satupun peristiwa atau perselisihan yang terjadi di antara Maimunah RA dengan salah seorang ummul mukminin, terlebih pertengkaran di dalam rumah tangga Rasulullah SAW.

Selepas Rasulullah SAW wafat, Sayyidah Maimunah RA masih hidup dalam waktu yang panjang, yakni hingga lima puluh tahun kemudian. Selama masa hidupnya tersebut, ia tetap menjadi seorang wanita shalihah yang turut menyampaikan dakwah Rasulullah SAW.

Ia juga selalu mengenang mendiang suaminya dengan memanjatkan doa-doa. Sayyidah Maimunah RA wafat pada masa pemerintahan Khalifah Muawiyah bin Abi Sufyan, yaitu pada tahun ke-61 setelah hijrah, di sekitar usianya yang ke-80 tahun.

Saat itu, Sayyidah Maimunah RA sedang dalam perjalanan kembali dari haji. Di suatu tempat dekat dengan daerah Saraf, Maimunah RA merasakan bahwa ajalnya sudah dekat. Ia dimakamkan di tempat itu juga sebagaimana wasiat yang ia sampaikan.

Abdullah bin Abbas turut mensholatinya, ia pun juga termasuk ke dalam orang yang memakamkannya bersama Yazid bin Al-Asham, Abdullah bin Syaddad, dan Abdullah Al-Khaulani.

Itulah kisah dari Sayyidah Maimunah, istri terakhir yang dinikahi oleh baginda Rasulullah SAW. Semoga cuplikan dari kehidupannya yang senantiasa mendukung dan menjunjung tinggi Rasulullah dapat menjadi contoh bagi umat muslim agar semakin mencintai Rasul utusan Allah.

(dvs/dvs)



Sumber : www.detik.com