Siapa Saja Panitia Penyalin Al-Qur’an pada Masa Khalifah Utsman?


Jakarta

Al-Qur’an merupakan sumber hukum dan pedoman hidup bagi umat Islam dalam menjalani setiap aspek kehidupan. Kitab suci ini diturunkan secara berangsur-angsur, di tempat yang berbeda-beda, serta dengan asbabun nuzul yang beragam.

Seiring berjalannya waktu, muncul ide untuk menyatukan seluruh ayat Al-Qur’an agar menjadi sebuah kitab yang dibukukan, yang kemudian dikenal sebagai mushaf. Langkah ini penting agar umat Islam dapat membaca dan mempelajari Al-Qur’an secara utuh tanpa terpencar-pencar.

Proses pengumpulan dan pendokumentasian Al-Qur’an tidak dilakukan oleh satu orang, melainkan oleh tim khusus yang ditunjuk oleh Khalifah Utsman bin Affan. Lantas, siapakah orang-orang yang berjasa dalam menyusun mushaf Utsmani sehingga kini kita bisa mempelajari Al-Qur’an dengan mudah dan seragam?


Panitia Penulisan Al-Qur’an Zaman Khalifah Utsman

Dijelaskan dalam MUSHAF JOURNAL: Jurnal Ilmu Al Quran dan Hadis vol.2 berjudul Jejak Sejarah Penulisan Al-Quran oleh Pakhrujain dan Habibah, Khalifah Utsman bin Affan menyadari pentingnya menyatukan bacaan Al-Qur’an yang beragam di kalangan umat Islam.

Untuk itu, beliau membentuk panitia khusus yang bertugas menyalin dan membukukan Al-Qur’an agar menjadi mushaf seragam.

Panitia tersebut diketuai oleh Zaid bin Tsabit, sahabat yang terkenal karena hafalannya yang kuat dan kemahirannya dalam menulis Al-Qur’an. Tiga anggota lainnya adalah Abdullah bin Zubair, Sa’id bin al-Ash, dan Abdul al-Rahman bin al-Harith bin Hisyam, yang masing-masing memiliki kompetensi tinggi dalam ilmu Al-Qur’an.

Tugas utama panitia ini adalah menyalin lembaran-lembaran Al-Qur’an yang telah dikumpulkan pada masa Khalifah Abu Bakar menjadi beberapa mushaf lengkap. Proses ini dilakukan dengan teliti agar setiap ayat tertulis secara benar dan tidak menimbulkan perbedaan bacaan di kemudian hari.

Dalam pelaksanaan tugasnya, Utsman menekankan agar panitia mengambil pedoman dari bacaan sahabat yang hafal Al-Qur’an.

Apabila terdapat pertikaian terkait dialek atau bacaan, maka panitia harus menuliskannya sesuai dialek Quraisy karena Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa mereka.

Selama proses penyalinan, panitia menggunakan mushaf yang dipinjam dari Hafsah binti Umar sebagai referensi utama. Setelah seluruh mushaf selesai disalin, lembaran asli dari Hafsah dikembalikan kepadanya sebagai bentuk amanah dan penghormatan.

Setelah mushaf-mushaf selesai dibuat, Khalifah Utsman memerintahkan pengumpulan dan pembakaran semua lembaran Al-Qur’an yang telah ditulis sebelum masa itu. Langkah ini diambil untuk menghilangkan keragaman bacaan yang berpotensi menimbulkan perselisihan di kalangan umat Islam.

Jumlah mushaf yang disalin oleh panitia sebanyak lima buah. Empat di antaranya dikirim ke Makkah, Syiria, Basrah, dan Kufah, sementara satu mushaf ditinggalkan di Madinah untuk Khalifah Utsman sendiri, yang kemudian dikenal sebagai Mushaf al-Imam.

Pembukuan Al-Qur’an oleh panitia ini membawa beberapa manfaat penting. Pertama, mampu menyatukan kaum Muslimin pada satu mushaf dengan ejaan tulisan yang seragam sehingga meminimalkan perbedaan bacaan.

Selain itu, penyusunan mushaf Utsmani juga menyatukan urutan surat dan bacaan Al-Qur’an. Dengan demikian, umat Islam di seluruh wilayah dapat mempelajari Al-Qur’an secara seragam, tertib, dan mudah dipahami hingga saat ini.

Sejarah Pembukuan Al-Qur’an

Masih mengutip dari jurnal yang sama, penulisan Al-Qur’an dalam bentuk teks sudah dimulai sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Pada masa itu, beberapa sahabat ditunjuk untuk menuliskan wahyu yang diterima Rasulullah SAW, di antaranya Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi Talib, Muawiyah bin Abu Sufyan, dan Ubay bin Kaab.

Selain mereka, sahabat lainnya juga kerap menulis wahyu meski tidak diperintahkan secara khusus. Media penulisan yang digunakan bervariasi, mulai dari pelepah kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun kayu, pelana, hingga potongan tulang binatang.

Pengumpulan Al-Qur’an pada masa Nabi dilakukan dengan dua cara utama. Pertama, al-Jam’u fis Sudur, yakni para sahabat menghafal wahyu langsung setiap kali turun kepada Rasulullah SAW, memanfaatkan budaya Arab yang kuat dalam menghafal dan menyimpan tradisi lisan.

Kedua, al-Jam’u fis Suthur, yakni pencatatan wahyu pada media tulis. Setiap wahyu yang turun selama 23 tahun masa kerasulan selalu dibacakan Rasulullah SAW kepada para sahabat dan disuruh untuk menuliskannya, sementara penulisan hadis dilarang agar tidak bercampur dengan Al-Qur’an.

Setelah wafat Nabi Muhammad SAW, proses pembukuan Al-Qur’an mulai ditata lebih sistematis. Pada masa Khalifah Abu Bakar, pengumpulan Al-Qur’an menjadi satu mushaf tunggal atas inisiatif setelah banyak sahabat yang gugur di medan perang, sehingga dikhawatirkan sebagian ayat hilang.

Mushaf hasil pengumpulan Abu Bakar disimpan hingga masa Khalifah Umar bin Khattab dan kemudian dipinjam oleh putrinya, Hafsah binti Umar. Pada masa Khalifah Utsman bin Affan, mushaf ini menjadi pedoman untuk disalin menjadi beberapa mushaf yang disebarkan ke seluruh wilayah Islam, sehingga tercipta standar bacaan yang seragam hingga saat ini.

Wallahu a’lam.

(hnh/lus)



Sumber : www.detik.com

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More