Category Archives: Kisah

Mimpi Kakek Nabi untuk Gali Zamzam yang Tertimbun Patung Quraisy



Jakarta

Sumur zamzam di Makkah dulunya pernah ditimbun oleh kabilah Jurhum sebelum mereka meninggalkan tempat itu. Peristiwa ini terjadi sebelum datangnya Islam.

Zamzam adalah sumur Nabi Ismail AS, putra Nabi Ibrahim AS dan Siti Hajar. Sumber air ini berasal dari hentakan kaki malaikat ketika Siti Hajar kebingungan mencari air agar bisa menyusui putranya, saat itu posisi Siti Hajar berada di atas bukit Marwah untuk ketujuh kalinya, sebagaimana diceritakan dalam Qashash al-Anbiyaa karya Ibnu Katsir.

Siti Hajar kemudian turun menuju sumber air itu dan mengambilnya. Air itu pun memancar setelah diciduk oleh Siti Hajar. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas, Rasulullah SAW bersabda,


“Semoga Allah selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada ibunda Ismail, apabila air zamzam itu ditinggalkan begitu saja (atau tidak diciduk airnya) maka niscaya zamzam ini tidak akan menjadi mata air yang mengalir (ke seluruh dunia).”

Siti Hajar bergegas meminum air tersebut dan memberikan susu pada putranya. Malaikat yang menghentakkan sumber air tersebut berkata kepadanya, “Janganlah kamu khawatir ini akan habis, karena di sini akan dibangun rumah Allah oleh anak ini dan ayahnya. Dan sesungguhnya Allah tidak akan menyia-nyiakan keturunannya.”

Setelah mendapatkan perintah dari Allah SWT, Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS membangun Baitullah (Ka’bah). Ibnu Hisyam dalam Sirah Nabawiyah-nya menceritakan, setelah Nabi Ismail AS wafat, Baitullah diperintah oleh putranya, Nabit bin Ismail sampai ia wafat.

Setelah itu, kekuasaan Baitullah beralih ke tangan Mudhadh bin Amru al-Jurhumi. Bani Ismail dan bani Nabit tinggal bersama kakek mereka, Mudhadh bin Amru, dan paman-paman mereka dari Jurhum. Saat itu, Jurhum menjadi penduduk Makkah bersama Qathura.

Hingga pada suatu ketika kedua pihak itu saling serang dan berkompetisi untuk merebutkan kekuasaan. Selang beberapa waktu, Jurhum bertindak zalim dan menodai tempat suci itu. Mereka sewenang-wenang terhadap warga luar Makkah yang masuk ke sana dan memakan harta Ka’bah dari para peziarah.

Pada zaman jahiliah, Makkah tidak menoleransi tindak kezaliman. Siapa pun yang berbuat zalim akan diusir dari sana. Kabilah Jurhum pun akhirnya terusir. Sebelum mereka meninggalkan Makkah, pemimpin mereka membawa dua patung kijang emas dan Hajar Aswad lalu menimbunnya pada zamzam.

Mimpi Abdul Muththalib Diperintahkan Gali Zamzam

Dalam Sirah Nabawiyah itu, Ibnu Hisyam menceritakan kisah dari Muhammad bin Ishaq al-Muththalibi tentang mimpi Abdul Muththalib, kakek Nabi Muhammad SAW. Kala itu Abdul Muththalib bin Hasyim tidur di atas Hijr Ismail, ia bermimpi diperintahkan untuk menggali zamzam.

“Galilah Thaibah!” kata seseorang yang mendatangi Abdul Muththalib dalam mimpinya.

Ketika Abdul Muththalib bertanya, “Apa itu Thaibah?” orang itu lantas menghilang.

Pada malam berikutnya, Abdul Muththalib kembali tidur di Hijr Ismail. Orang yang kemarin mendatanginya dalam mimpi itu datang lagi dan mengatakan, “Galilah Barrah!” Saat Abdul Muthalib menanyakan apa itu Barrah, orang tersebut menghilang.

Kejadian itu kembali terulang. Pada malam berikutnya saat Abdul Muththalib tidur di Hijr Ismail, orang yang sama datang lagi dan berkata, “Galilah Madhuunah!” Sama seperti malam-malam berikutnya, saat Abdul Muththalib menanyakan apa itu Madhuunah, orang itu menghilang.

Pada malam berikutnya Abdul Muththalib kembali didatangi orang yang sama dalam mimpinya. Orang itu berkata, “Galilah zamzam!”

Abdul Muththalib bertanya, “Apa itu zamzam?”

Orang itu menjawab, “Sumur yang takkan pernah habis atau mengering, memuaskan dahaga jemaah haji yang datang berduyun-duyun. Sumur itu ada di antara kotoran dan darah, di sisi lubang gagak berkaki putih, di dekat sarang semut.”

Setelah mendapat penjelasan tersebut, Abdul Muththalib yakin bahwa orang itu bisa dipercaya. Ia pun bergegas mengambil cangkul bersama anaknya, Harits bin Abdul Muththalib. Setelah berhasil menemukan air, ia pun bertakbir.

Ibnu Hisyam juga mengatakan, posisi zamzam saat itu tertimbun di antara dua patung Quraisy yang bernama Isaf dan Nailah. Lokasinya ada di tempat penyembelihan hewan kurban Quraisy.

Dari situlah sebutan Harifatu Abdil Muththalib untuk zamzam muncul. Dinamakan demikian karena orang yang menggali dan berhasil menemukan keberadaan zamzam yang sempat hilang adalah Abdul Muththalib, sebagaimana diterangkan dalam buku Mukjizat Penyembuhan Air Zamzam karya Badiatul Muchlisin Asti.

(kri/erd)



Sumber : www.detik.com

Sosok Panglima Perang Termuda dalam Sejarah Islam, Diangkat pada Usia 18 Tahun



Jakarta

Usamah bin Zaid merupakan salah satu panglima perang Islam pada zaman Nabi Muhammad SAW. Sosoknya juga disebut sebagai sahabat dekat Rasulullah SAW.

Dalam sejarah Islam, Usamah bin Zaid adalah panglima termuda dan terakhir yang ditunjuk langsung oleh Nabi SAW. Ia lahir pada tahun ke-7 sebelum Hijriyah dan merupakan anak dari Zaid bin Haritsah, seperti dinukil dari buku Jika Sungguh-sungguh Pasti Berhasil susunan Amirullah Syarbini M Ag dkk.

Saat diangkat sebagai panglima usia Usamah masih 18 tahun. Karena usianya yang muda, banyak sahabat Rasulullah yang tidak yakin akan kemampuan Usamah bin Zaid.


Bahkan, mereka meragukan keputusan sang rasul sampai akhirnya desas-desus itu sampai ke telinga Umar bin Khattab.

Mengutip buku Para Panglima Perang Islam oleh Rizem Aizid, Umar RA lalu menemui Nabi SAW dan menyampaikan permasalahan itu. Hal tersebut membuat Rasulullah SAW sangat marah, ia menemui para sahabat yang tidak puas akan keputusan beliau. Nabi Muhammad berusaha meyakinkan para sahabat untuk meredak ketidakpuasan mereka.

Meski menjadi panglima termuda, tugas yang diberikan kepada Usamah bin Zaid pada kali pertamanya cukup berat. Nabi SAW memerintahkan Usamah untuk mengusir pasukan Romawi yang mengancam keutuhan masyarakat muslim kala itu.

Pada pasukan tersebut, ada sejumlah sahabat senior seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Sa’ad bin Abi Waqqash, Abu Ubaidah bin Jarrah, dan lain-lainnya. Rasulullah SAW mengangkat Usamah bin Zaid memimpin seluruh pasukan tersebut.

Pada saat itu, Usamah bin Zaid diperintahkan untuk berhenti di Balqa’ dan Qal’atut Darum dekat Gazzah, termasuk wilayah kekuasaan Rum (Romawi). Dalam perang itu, Usamah berhasil membawa kemenangan bagi kaum muslimin.

Kemenangan yang diraihnya menjadi bukti bagi orang-orang yang sebelumnya meragukan Usamah bin Zaid. Selama 40 hari, mereka kembali ke Madinah dengan perolehan harta rampasan perang yang besar tanpa satu korban jiwa.

Dari kemenangan itu pula, Usamah bin Zaid menjadi sosok yang disegani oleh para sahabat. Diceritakan dalam buku Kisah-kisah Pilihan Muslim Cilik Teladan karya M Kholiluddin, Usamah bahkan berhasil mendesak mundur pasukan Romawi dari negeri Syam, Palestina, serta Mesir.

(aeb/erd)



Sumber : www.detik.com

Kisah Wafatnya Nabi Musa yang Sempat Tampar Malaikat Maut


Jakarta

Kisah wafatnya Nabi Musa AS adalah salah satu peristiwa yang penting untuk dipelajari umat Islam. Nabi Musa AS wafat di usia 120 tahun. Sebelum wafatnya, Nabi Musa AS sempat menampar Malaikat Izrail hingga disebut matanya sampai terlepas.

Dikutip dari buku Etika Bisnis Islam oleh Dwi Santosa Pambudi, Nabi Musa AS merupakan keturunan dari Nabi Ibrahim AS dari nasab ayahnya. Nabi Musa AS memiliki istri bernama Shafura yang juga merupakan putri seorang nabi, yakni Nabi Syuaib AS.

Nabi Musa AS adalah nabi yang hidup di zaman kekuasaan raja Mesir, Fir’aun, di mana masyarakatnya penuh dengan kesesatan. Nabi Musa AS diutus oleh Allah SWT untuk menegakkan ketauhidan dan mengajarkan kitab Taurat.


Namun, atas izin Allah SWT, Nabi Musa AS berhasil mengalahkan Fir’aun yang sombong dan sesat dengan mukjizat yang Allah SWT berikan kepadanya yakni, tongkat yang mampu membelah laut merah.

Hingga ajalnya tiba, ada kisah menarik saat menjelang wafatnya Nabi Musa AS yang dipertemukan dengan Malaikat Maut. Seperti apa kisahnya?

Kisah Wafatnya Nabi Musa AS

Kisah wafatnya Nabi Musa AS ini diambil dari buku Kisah-Kisah dalam Hadis Nabi oleh Muhammad Nasrulloh. Saat itu, Nabi Musa AS telah tiba waktunya untuk menghadap Allah SWT. Kemudian Allah SWT mengutus malaikat maut untuk mencabut nyawa Nabi Musa AS.

Malaikat Izrail lantas diubah bentuknya oleh Allah SWT menjadi sesosok manusia ketika hendak mendatangi Nabi Musa AS. Kedatangan Malaikat Izrail yang tiba-tiba ini mengagetkan Nabi Musa AS. Sebab keterkejutannya itu, Nabi Musa AS pun memukul Malaikat Izrail hingga matanya juling dan terlepas. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda:

“Malaikat maut diutus kepada Musa AS. Ketika ia menemuinya, Musa AS mencungkil matanya. Malaikat maut lantas kembali kepada Tuhannya dan berkata, “Engkau mengutusku kepada hamba yang tidak ingin mati.”

Rupanya, Nabi Musa AS mengira bahwa Malaikat Izrail yang menyamar sebagai manusia ini adalah seorang yang tidak dikenal yang hendak menyerangnya. Sehingga Nabi Musa AS berusaha melindungi diri.

Malaikat Izrail pun kembali untuk menghadap Allah SWT. Ia memberitakan bahwa Nabi Musa AS tidak ingin dicabut nyawanya. Kemudian Allah SWT mengutus Malaikat Izrail untuk turun kembali menemui Nabi Musa AS dan menanyakan perihal waktu kematiannya.

Lalu untuk kedua kalinya, Malaikat Izrail mendatangi Nabi Musa AS dalam wujud manusia lagi. Namun, kali ini Nabi Musa AS sudah mengenalinya.

Dalam pertemuan keduanya dengan Malaikat Maut, Nabi Musa AS dipersilakan Malaikat Izrail untuk memilih hidup lama atau dicabut nyawanya. Kemudian, Nabi Musa AS memilih untuk dicabut nyawanya saat itu juga.

Dikisahkan dari Ibnu Katsir dalam buku Kisah Para Nabi, Nabi Musa AS kemudian bertanya kepada Malaikat Izrail. Nabi Musa AS bertanya, “Tanyakanlah kepada Tuhanku, apabila waktu itu telah habis bagaimana selanjutnya?”

Malaikat Izrail pun menjawab, “Kemudian ia harus mati.”

Maka Nabi Musa AS pun berkata, “Kalau begitu hari ini saja, karena waktu tersebut tidak terlalu lama.”

Begitulah kisah Nabi Musa AS wafat. Buku Riwayat 25 Nabi dan Rasul oleh Gamal Komandoko menjelaskan bahwa Nabi Musa AS dicabut nyawanya oleh Malaikat Izrail ketika usianya 120 tahun.

Permintaan terakhir Nabi Musa AS sebelum meninggal adalah menginginkan untuk dimakamkan di dekat Baitul Maqdis. Nabi Musa AS pernah berdoa, “Ya Allah, dekatkanlah aku dengan tanah suci (Baitul Maqdis) hingga sampai sejauh lemparan batu saja.” Hingga Allah SWT mengabulkan permintaan Nabi Musa AS dengan memakamkan Nabi Musa AS tidak jauh dari Baitul Maqdis.

(rah/rah)



Sumber : www.detik.com

Sosok Zaid bin Tsabit, Sahabat Nabi SAW yang Menghimpun Mushaf Al-Qur’an



Jakarta

Zaid bin Tsabit adalah salah satu sahabat Nabi SAW. Sebagai sosok yang dikenal cerdas, Zaid pernah mempelajari bahasa Ibrani dan menguasainya hanya dalam waktu singkat.

Dikisahkan dalam buku Sosok Para Sahabat Nabi susunan Dr Abdurrahman Raf’at Al-Basya dan Abdulkadir Mahdamy, kecerdasan dan kejujuran yang dimiliki Zaid menjadikan dirinya sebagai penulis wahyu Nabi Muhammad SAW. Berkat jasa Zaid, kini umat Islam dapat membaca Al-Qur’an secara utuh.

Menukil buku Sejarah Kebudayaan Islam Madrasah Aliyah Kelas X tulisan H Abu Achmadi dan Sungarso, pemilik nama lengkap Zaid bin Tsabit an-Najjari al-Anshari lahir pada 612 M. Dirinya merupakan keturunan Bani Kazraj yang mulai menetap bersama Nabi SAW ketika beliau hijrah ke Madinah.


Zaid bin Tsabit berhasil meriwayatkan 92 hadits yang 5 di antaranya disepakati bersama Imam Bukhari dan Muslim. Bukhari juga meriwayatkan 4 hadits lainnya yang bersumber dari Zaid, sementara Muslim meriwayatkan 1 hadits lain dari Zaid, seperti dikutip dari buku Akidah Akhlak Madrasah Tsanawiyah karya Harjan Syuhada dan Fida’ Abdillah.

Zaid bin Tsabit diangkat sebagai ulama di Madinah pada bidang fikih, fatwa, dan faraidh atau waris. Pada masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar dan Umar bin Khattab, Zaid diangkat menjadi bendahara.

Sementara itu, pada masa kepemimpinan Khalifah Utsman bin Affan, Zaid ditugaskan sebagai pengurus Baitul Maal. Bahkan, Umar dan Utsman melantik Zaid sebagai pemegang jabatan khalifah sementara ketika mereka menunaikan ibadah haji.

Dikutip dari buku Ikhtisar Tarikh Tasyri’ oleh Dr H Abdul Majid Khon MAg, perang yang pertama diikuti oleh Zaid bin Tsabit adalah perang Khandaq. Sedangkan pada Perang Tabuk, dirinya dipercaya oleh Nabi SAW untuk membawa bendera bani Malik bin Najjar yang dipegang oleh Imarah bin Hazm.

Imarah lalu bertanya kepada Rasulullah, “Apakah sampai kepada engkau tentang aku?”

Nabi SAW menjawab,

“Tidak, tetapi Al-Qur’an didahulukan dan Zaid lebih banyak mengambilnya daripada kamu.” (HR Al Hakim dalam Al-Mustadrak)

Dalam riwayat lainnya, Nabi SAW bahkan menyebut Zaid bin Tsabit sebagai orang yang paling alim. Berikut bunyi sabdanya,

“Orang yang paling alim ilmu faraidh di antara kamu adalah Zaid bin Tsabit.” (HR Ahmad)

Ridha Anwar dalam buku Seri Sahabat Rasulullah: Zaid bin Tsabit menyebut bahwa Zaid memiliki tulisan yang indah. Dengan kemampuan Zaid yang cerdas dan hebat itu, Nabi SAW bisa mengirim surat perjanjian kepada para pemuka kaum Yahudi dengan menggunakan bahasa mereka.

Bahkan ketekunan Zaid dalam mencatat dan mengumpulkan wahyu Nabi SAW ia susun dengan rapi. Catatan itu Zaid tulis di pelepah daun kurma, kulit hewan, atau pun tulang hewan.

Selepas Nabi Muhammad meninggal dunia, para penghafal Al-Qur’an satu per satu gugur di medan perang. Umar bin KHattab kala itu khawatir Al-Qur’an akan hilang bersama para penghafalnya.

Akhirnya, ia mengusulkan kepada Khalifah Abu Bakar untuk menghimpun. Mereka sepakat mengumpulkan lembaran ayat-ayat Al-Qur’an menjadi satu mushaf dan mengutus Zaid untuk melaksanakan tugas tersebut.

Zaid mendatangi para penghafal Al-Qur’an yang masih hidup. Dengan cermat, ia mencocokkan catatan dan hafalan mereka hingga akhirnya terciptalah mushaf Al-Qur’an yang dapat dibaca oleh umat Islam. Begitu besar jasa Zaid bin Tsabit bagi kaum muslimin.

(aeb/nwk)



Sumber : www.detik.com

Kisah Nabi & Para Sahabat yang Kesiangan Sholat Subuh



Yogyakarta

Nabi Muhammad SAW dan para sahabat pernah mengalami kesiangan saat sholat Subuh. Ada hikmah dari peristiwa ini yang sekaligus menjadi pembelajaran bagi umat muslim sepeninggal Nabi Muhammad SAW.

Sholat fardhu merupakan kewajiban seluruh umat muslim yang ditetapkan Allah SWT, seperti firman-Nya dalam beberapa ayat Al-Qur’an, salah satunya terdapat dalam surat an-Nisa ayat 103,

فَاِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلٰوةَ فَاذْكُرُوا اللّٰهَ قِيَامًا وَّقُعُوْدًا وَّعَلٰى جُنُوْبِكُمْ ۚ فَاِذَا اطْمَأْنَنْتُمْ فَاَقِيْمُوا الصَّلٰوةَ ۚ اِنَّ الصَّلٰوةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ كِتٰبًا مَّوْقُوْتًا ١٠٣


Artinya: “Apabila kamu telah menyelesaikan salat, berzikirlah kepada Allah (mengingat dan menyebut-Nya), baik ketika kamu berdiri, duduk, maupun berbaring. Apabila kamu telah merasa aman, laksanakanlah salat itu (dengan sempurna). Sesungguhnya salat itu merupakan kewajiban yang waktunya telah ditentukan atas orang-orang mukmin.”

Ketika ketika mengawali hari, sholat subuh adalah yang pertama dilaksanakan. Dikutip dari buku Shalat Subuh dan Shalat Dhuha oleh Muhammad Khalid, bahwa sholat subuh merupakan pembuka hari dan pintu rahmat.

Dalam perjalanan Islam, terdapat kisah yang menarik tentang Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya yang pernah kesiangan dalam menunaikan sholat subuh.

Meskipun merupakan momen keterlambatan, kisah ini memberikan pelajaran berharga tentang ketekunan, taqwa, dan komitmen terhadap ibadah.

Kisah Nabi dan Para Sahabatnya Kesiangan Sholat Subuh

Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya adalah insan beriman yang tak luput dari kesalahan.

Dikutip dari buku Jangan Bersedih Aku Bersamamu Sayang karya Achmad Farid, menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya pernah mengalami bangun kesiangan ketika hendak melaksanakan sholat subuh.

Pada saat itu, dikisahkan Nabi SAW dan para sahabat memutuskan beristirahat hingga menjelang pagi di suatu tempat ketika mereka sedang melakukan perjalanan di malam hari.

Saat itu Nabi SAW berkata,

“Aku khawatir kalau kalian tidak bangun saat pagi sehingga melewatkan waktu subuh.”

Lalu seorang sahabat, Bilal RA berkata,

“Aku yang akan membangunkan kalian.”

Kendati demikian, Bilal pun ternyata ikut tertidur pulas bersama Nabi SAW dan sahabat yang lain.

Ketika Nabi Muhammad SAW terbangun, beliau kaget karena Bilal masih tertidur padahal matahari telah merangkak naik. Kemudian Nabi membangunkannya.

Bilal pun mengatakan bahwa dia tidak pernah tidur selelap itu.

Kemudian Nabi SAW memberikan nasihat kepada Bilal bahwa Allah SWT dapat mengambil nyawa kita kapan saja, dan dapat mengembalikannya kapan pun sesuai kehendak-Nya.

Lalu, Nabi SAW memerintahkan Bilal untuk adzan dan mendirikan sholat Subuh dengan para sahabat meskipun matahari sudah meninggi.

Pelajaran dari Kisah Nabi dan Para Sahabat yang Bangun Kesiangan

Terdapat beberapa hikmah dan pelajaran yang dapat di ambil dari kisah di atas, yaitu:

Ketekunan dalam beribadah

Nabi Muhammad dan para sahabatnya menunjukkan ketekunan luar biasa dalam menjalankan sholat, meskipun dalam kondisi yang sulit. Mereka tidak memandang lelah atau keterlambatan sebagai alasan untuk menghindari ibadah.

Ketaqwaan dan kesadaran

Meskipun kesiangan, mereka tetap mengutamakan ketaqwaan dan kesadaran akan Allah. Mereka menyadari bahwa kewajiban ibadah tidak dapat ditunda, bahkan dalam situasi yang tidak ideal.

Inspirasi bagi umat

Kisah ini menjadi inspirasi sekaligus pembelajaran bagi umat Islam untuk mengatasi keterlambatan atau kesulitan dalam ibadah. Sholat merupakan hal yang penting dan tidak boleh ditinggalkan. Ketika bangun kesiangan saat sholat Subuh maka hendaklah bergegas wudhu dan mendirikan sholat.

Seperti Nabi dan para sahabatnya, kita juga dapat menghadapi tantangan dengan semangat dan tekad dalam menjalankan ibadah.

(dvs/dvs)



Sumber : www.detik.com

Kisah Nabi Saleh AS dan Pembangkangan Kaum Tsamud



Jakarta

Nabi Saleh termasuk ke dalam 25 nabi dan rasul yang wajib diketahui oleh kaum muslimin. Ia diutus kepada kaum Tsamud yang tidak taat pada ajaran Allah SWT.

Semasa hidupnya, Nabi Saleh AS berjuang mengajak kaum Tsamud beriman kepada Allah. Kaum tersebut menyembah berhala seperti kaum sebelumnya, yaitu kaum ‘Aad.

Menukil buku Hikmah Kisah Nabi dan Rasul susunan Ridwan Abdullah Sani, tempat tinggal kaum Tsamud berada di daerah antara Hijaz dan Syam. Dahulu, kawasan tersebut dikuasai oleh kaum Ad yang mana merupakan pendahulu kaum Tsamud.


Allah SWT memberikan segala karunia-Nya terhadap kaum Tsamud. Mulai dari kekayaan alam yang luar biasa, tanah yang subur, hingga binatang ternak yang mampu berkembang biak dengan baik.

Sayangnya, kemakmuran yang dimiliki tidak membuat mereka taat kepada Allah SWT. Sebaliknya, mereka enggan mengimani apa yang Nabi Saleh AS yakini.

Bahkan, kaum Tsamud menantang Nabi Saleh untuk menunjukkan mukjizatnya. Pada buku yang sama, dikisahkan mereka meminta Saleh AS untuk mengeluarkan unta dari sebuah batu bersar.

Jika Nabi Saleh AS dapat melakukan hal demikian, kaum Tsamud berjanji akan beriman kepada Allah SWT. Atas kuasa Allah dan permohonan Nabi Saleh AS kepada-Nya, terjadilah mukjizat.

Nabi Saleh AS lantas berkata kepada kaum Tsamud seperti termaktub dalam surat Hud ayat 64,

وَيٰقَوْمِ هٰذِهٖ نَاقَةُ اللّٰهِ لَكُمْ اٰيَةً فَذَرُوْهَا تَأْكُلْ فِيْٓ اَرْضِ اللّٰهِ وَلَا تَمَسُّوْهَا بِسُوْۤءٍ فَيَأْخُذَكُمْ عَذَابٌ قَرِيْب٦٤

Artinya: “Wahai kaumku, inilah unta betina dari Allah sebagai mukjizat untukmu. Oleh karena itu, biarkanlah dia makan di bumi Allah dan janganlah kamu memperlakukannya dengan buruk yang akan menyebabkan kamu segera ditimpa azab.”

Dengan izin Allah, keluarlah unta betina dari sebuah batu besar. Alih-alih menempati janji mereka, kaum Tsamud justru mengingkari dan membunuh unta tersebut.

Hal tersebut mengakibatkan turunnya azab Allah SWT yang akan turun dalam waktu 3 hari. Sebagai seorang utusan, Saleh AS memperingatkan kaum Tsamud untuk terakhir kalinya.

Sayangnya, mereka tidak menghiraukan hal tersebut. Hukuman Allah akan dijatuhkan pada hari keempat setelah 3 hari waktu tenggang yang dijanjikan. Dalam surat Hud ayat 65, Allah berfirman:

فَعَقَرُوْهَا فَقَالَ تَمَتَّعُوْا فِيْ دَارِكُمْ ثَلٰثَةَ اَيَّامٍ ۗذٰلِكَ وَعْدٌ غَيْرُ مَكْذُوْبٍ٦٥

Artinya: “Mereka lalu menyembelih unta itu. Maka, dia (Saleh) berkata, “Bersukarialah kamu semua di rumahmu selama tiga hari Itu adalah janji yang tidak dapat didustakan.” (QS Hud: 65)

Mengutip Kisah para Nabi oleh Ibnu Katsir, azab kepada kaum Tsamud dimulai ketika Allah SWT memerintahkan para malaikat-Nya untuk melemparkan bebatuan kepada sejumlah orang yang berniat untuk membunuh Nabi Saleh AS.

Ketika hari Jumat pagi, seluruh wajah kaum Tsamud berubah menjadi merah. Pada sore harinya, mereka berkata, “sudah dua hari berlalu dari waktu yang ditentukan.” Pada hari selanjutnya, seluruh wajah mereka berubah warna menjadi hitam. Ketika waktu sore tiba, mereka berkata, “Sepertinya waktu yang ditentukan sudah tiba.”

Keesokan hari ketika matahari telah terbit, terdengar suara yang sangat keras dari atas sehingga memecahkan jantung mereka, dan dari bawah mereka bumi terguncang dengan sangat keras. Maka tidak lama kemudian, nyawa-nyawa pun melayang.

Kekuasaan Allah SWT dalam memberikan azab kepada kaum Tsamud dijelaskan dalam Al-Qur’an surah Hud ayat 68 yang berbunyi sebagai berikut:

كَأَن لَّمْ يَغْنَوْا۟ فِيهَآ ۗ أَلَآ إِنَّ ثَمُودَا۟ كَفَرُوا۟ رَبَّهُمْ ۗ أَلَا بُعْدًا لِّثَمُودَ

Artinya: “Seolah-olah mereka belum pernah berdiam di tempat itu. Ingatlah, sesungguhnya kaum Tsamud mengingkari Tuhan mereka. Ingatlah, kebinasaanlah bagi kaum Tsamud.” (QS Hud: 68)

Naudzubillah min dzalik.

(aeb/erd)



Sumber : www.detik.com

Benarkah Jari Rasulullah SAW Bisa Mengeluarkan Air?



Jakarta

Mukjizat adalah karunia yang Allah SWT berikan kepada nabi dengan tujuan untuk mempermudah utusan-Nya mengemban tugas. Rasulullah SAW adalah salah satu yang dikaruniai mukjizat memancarkan air dari sela-sela jarinya.

Kisah pertama mukjizat Nabi Muhammad SAW ini terabadikan dalam riwayat hadits pada Kitab Fadha’il ash Shahabah yang diceritakan Anas bin Malik. Berikut bunyi haditsnya:

عَنْ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعَا بِمَاءٍ فَأُتِيَ بِقَدَحٍ رَحْرَاحٍ فَجَعَلَ الْقَوْمُ يَتَوَضَّؤُونَ فَحَزَرْتُ مَا بَيْنَ السِّتِّينَ إِلَى الثَّمَانِينَ. قَالَ: فَجَعَلْتُ أَنْظُرُ إِلَى الْمَاءِ يَنْبُعُ مِنْ بَيْنِ أَصَابِعِهِ. رواه مسلم


Artinya: “Dari Anas RA bahwasannya Nabi SAW pernah meminta air, lalu diberikan kepada beliau sebaskom air. Maka berwudhulah kaum muslimin dengan air itu. Aku memperkirakan jumlah mereka berkisar antara enam puluh sampai delapan puluh orang. Dan aku menyaksikan sendiri air itu keluar dari sela-sela jari beliau.” (HR. Muslim).

Dikutip dari buku Mukjizat Nabiku Muhammad karya Muhammad Ash-Shayyim, ada berbagai kisah menyebutkan mukjizat Rasulullah SAW yang mampu mengeluarkan air dari celah jarinya. Berikut hadits lain yang menceritakan kisah tersebut:

عن أنس رضي الله عنه قال: رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم وحانت صلاة العصر وهو بالزوراء (موضع بسوق المدينة) فالتمس الناس الوضوء فلم يجدوه فأتى رسول الله صلى الله عليه وسلم بوضوء في إناء فوضع يده في ذلك الإناء. فأمر الناس أن يتوضؤوا منه فرأيت الماء ينبع من بين أصابعه صلى الله عليه وسلم. فتوضأ الناس حتى توضؤوا عن آخرهم. قيل لأنس: كم كنتم فقال: كنا زهاء ثلاثمئة.

Artinya: Dari Anas bin Malik RA, dia mengatakan mengatakan: “Aku melihat Rasulullah SAW ketika waktu Ashar, beliau berada di dekat pasar Madinah, telah tiba dan orang-orang sedang mencari air wudhu, namun mereka belum mendapatkannya. Lantas dibawakan air wudhu kepada Rasulullah SAW maka Rasulullah SAW meletakkan tangannya ke dalam bejana tersebut. Beliau pun memerintahkan orang-orang untuk berwudhu darinya. Anas berkata: Aku melihat air mengalir dari bawah jari-jari beliau (Nabi SAW), sehingga mereka berwudhu sampai orang yang terakhir.” Anas ditanya, berapa jumlah mereka ketika itu. Anas menjawab, “Kurang lebih 300 orang.” (HR Muslim).

Dikisahkan Nabi Muhammad SAW ketika itu berada di Zawra atau tempat yang agak tinggi di Masjid Nabawi. Beliau diketahui memasukkan tangannya ke dalam sebuah ember.

Atas izin Allah SWT, air secara tiba-tiba memancar dari jari-jemari beliau. Para kaum muslimin saat itu pun berwudhu dari air tersebut.

Qatadah yang mendengar kisah ini pun bertanya pada Anas, “Berapa jumlah kalian saat itu?”

Anas menjawab, “Sekitar tiga ratus orang,” (HR Bukhari dan Muslim).

Bukti lainnya terangkum dalam sejumlah kitab shahih terutama dari shahih Bukhari dan Muslim. Dalam sebuah riwayat yang berasal dari Salim bin Abi al Ju’d dari Jabir bin Abdillah al Anshari RA yang berkata,

“Pada saat melakukan perjalanan Hudaibiyah, para sahabat mengalami kehausan. Sementara, di hadapan Nabi Muhammad SAW terdapat kantong dari kulit. Kemudian beliau berwudhu.”

Melihat Nabi Muhammad SAW berwudhu lewat kantong tersebut, para sahabat pun menghampiri beliau. Nabi Muhammad SAW kemudian bertanya, “Ada apa dengan kalian?”

Kemudian, para sahabat menjawab, “Kami tidak memiliki air untuk berwudhu dan untuk minum kecuali yang ada di depanmu ini.”

Lantas, Nabi Muhammad SAW pun memasukkan tangannya ke dalam kantong air tersebut. Seketika air memancar dari jari jemari layaknya sumber mata air. Para sahabat pun mengambil air untuk wudhu dan minum dari pancaran air tersebut.

Salim bertanya pada Jabir, “Berapa jumlah kalian waktu itu?”

Jabir berkata, “Andaikan jumlah kami 100 ribu tentu masih cukup. Namun, ketika itu, jumlah kamihanya seribu lima ratus orang.” (HR Bukhari dan Muslim dalam Bab al Manaqib, al Maghzai, dan al Imarah).

Peristiwa serupa juga disaksikan oleh Ibnu Abbas RA. Saat itu, Rasulullah SAW dan para sahabat tengah melakukan perjalanan pada suatu pagi dan ternyata, mereka telah kehabisan persediaan air.

Seseorang pun mengadukan hal itu pada Nabi Muhammad SAW, “Wahai Rasulullah, persediaan air di kalangan para prajurit telah habis,”

Kemudian beliau bertanya, “Apakah kamu mempunyai sedikit air?”

“Ya,” jawab orang itu.

“Kalau begitu bawa air itu padaku,” Setelahnya, orang tersebut membawa sebuah wadah kepunyaannya yang berisi sedikit air.

Nabi Muhammad SAW pun terlihat meletakkan jari jemari tangannya di bibir wadah sambil merenggangkannya. Tiba-tiba, ada sumber air memancar dari sela-sela jarinya.

Lalu, beliau pun meminta Bilal bin Rabbah untuk menyerukan panggilan wudhu pada muslim yang lain, “Panggilah orang-orang untuk berwudhu dari air yang diberkahi ini.” (HR Ahmad dan Al Baihaqi).

Wallahu’alam.

(hnh/erd)



Sumber : www.detik.com

Kisah Abu Regal, Kaum Tsamud yang Dikubur Bersama Sebongkah Emas



Jakarta

Azab Allah SWT yang pedih pasti menimpa siapapun yang ingkar. Demikian pula pada kaum Tsamud di masa Nabi Saleh AS.

Kaum Tsamud binasa karena mereka mengingkari ajaran yang dibawa Nabi Saleh AS. Azab yang pedih menimpa kaum ini hingga hancur tak bersisa. Namun ada satu orang yang lolos dari azab, ia adalah Abu Regal.

Dikisahkan Imam Ibnu Katsir dalam bukunya yang berjudul Kisah Para Nabi, Imam Ahmad meriwayatkan, dari Abdurrazzaq, dari Ma’mar, dari Abdullah bin Utsman bin Khaitsam, dari Abu Zubair, dari Jabir, ia berkata,


“Ketika Rasulullah lewat di daerah Hijr, beliau bersabda, “Janganlah kalian meminta mukjizat, sebab kaum Nabi Saleh pernah memintanya, dan dikeluarkanlah seekor unta dari tebing ini, namun kaum itu melanggar perintah Tuhan mereka dengan menyembelihnya. Unta itu meminum persediaan air mereka dalam satu hari dan sebagai gantinya kaum itu dapat meminum persediaan susu unta itu dalam satu hari, namun mereka tetap membunuhnya, maka mereka pun diazab dengan suara yang menggelegar dari atas langit, hingga mereka semua binasa kecuali satu orang yang bersembunyi di dalam wilayah Haram (sekarang Masjidil Haram).”

Kemudian para sahabat bertanya, “Siapakah orang itu wahai Rasulullah?” beliau menjawab, “la adalah Abu Regal.

“Namun setelah ia keluar dari wilayah Haram ia juga dikenakan azab yang sama dengan azab yang menimpa kepada kaumnya. “

Sanad hadits ini shahih, namun tidak ada satupun dari enam kitab para imam hadits yakni Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasai, Abu Dawud, dan Ibnu Majah yang menyebutkannya dalam kitab mereka.

Sebongkah Emas di Makam Abu Regal

Abu Regal mendapatkan azab yang sama dengan kaum Tsamud. Namun karena jasadnya ditemukan, maka ia dimakamkan oleh orang-orang sekitar.

Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq, dari Ma’mar, dari Ismail bin Umayyah, ia berkata, “Suatu hari Rasulullah SAW lewat di makam Abu Regal, lalu beliau berkata, “Apakah kalian tahu makam siapa ini?” Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya tentu lebih tahu.”

Lalu Nabi menjelaskan, “Ini adalah makam Abu Regal, salah seorang dari kaum Tsamud. Dahulu (ketika diturunkannya azab kepada kaum Tsamud) ia melarikan diri dan kemudian bersembunyi di wilayah Haram, sehingga ia terhindar dari dari azab tersebut.

Ketika ia keluar dari sana (Tanah Haram) maka ia pun mendapatkan azab yang sama dengan azab yang dijatuhkan kepada kaumnya, lalu ia dikebumikan di sini, dan dikubur juga bersamanya sebongkah emas.”

Maka para sahabat pun kemudian berlomba-lomba menggali makam itu dengan pedang mereka untuk mencari emas tersebut, dan akhirnya mereka benar-benar menemukan emas itu di sana.

Abdurrazzaq setelah meriwayatkan hadits ini berkata, “Ma’mar menyampaikan bahwa Az-Zuhri mengatakan, Abu Regal itu adalah Abu Tsagif. Hadits dengan sanad ini adalah hadits mursal, yakni hadits yang disandarkan oleh para tabi’in -mereka adalah orang yang mendengarkan hadist dari sahabat- kepada Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan, ataupun sifat.

Lalu Abdurrazzaq melanjutkan, “Ada riwayat lain yang serupa dengan sanad yang berbeda, seperti disebutkan oleh Muhammad bin Ishaq dalam kitab sirahnya, dari Ismail bin Umayyah, dari Bujair bin Abi Bujair, dari Abdullah bin Umar, ia berkata,

“Ketika kami bersama Rasulullah menuju Kota Thaif dan lewat di sebuah makam, aku mendengar beliau bersabda, “Sesungguhnya ini adalah makam Abu Regal, alias Abu Tsaqif, dan ia adalah salah seorang dari kaum Tsamud. Wilayah Haram mencegahnya dari azab ketika itu, namun ketika ia keluar dari wilayah Haram maka ia pun mendapatkan azab yang sama dengan azab yang ditimpakan kepada kaumnya di tempat ini, lalu ia dikuburkan disini.

Bukti bahwa ia dikuburkan di sini adalah sebongkah emas yang dikuburkan bersamanya. Apabila kalian menggalinya maka kalian akan menemukan emas itu. Maka para sahabat berlomba-lomba menggali makam tersebut dan mengeluarkan emas tersebut”

Riwayat inilah yang disebutkan oleh Abu Dawud, melalui Muhammad bin Ishaq, dan para perawi lainnya seperti sanad di atas. Wallahu alam.

(dvs/erd)



Sumber : www.detik.com

Kisah Ummu Habibah, Anak Abu Sufyan yang Menjadi Istri Nabi


Jakarta

Nabi Muhammad SAW memiliki sejumlah istri. Sang penghulu Rasul itu menikahi mereka karena perintah dari Allah SWT dan untuk berdakwah. Salah satu istri Nabi Muhammad adalah Ummu Habibah, anak dari Abu Sufyan yang sangat membenci Islam ketika itu.

Ramlah binti Abi Sufyan Shakhr bian Harb bin Umayah bin Abdi Syams, Ummu Habibah Ummul Mukminin adalah seorang putri pemimpin Quraisy dan pentolan kaum musyrikin hingga menjelang Fathu Makkah (Penaklukan Kota Makkah). Tulis Bassam Muhammad Hamami dalam bukunya yang berjudul Biografi 39 Tokoh Wanita Pengukir Sejarah Islam.

Ummu Habibah menjadi seorang yang beriman walaupun ayahnya saat itu adalah orang yang sangat kafir. Ayahnya tidak bisa mencegah putrinya untuk tetap berada pada kesesatan dengan mengikuti ajaran nenek moyang mereka.


Sebelum menikah dengan Rasulullah SAW, Ummu Habibah telah menikah dengan seorang lelaki bernama Ubaidillah bin Jahsy al-Asdi, seorang singa Bani Khuzaimah.

Keduanya meninggalkan Makkah demi hijrah ke Habasyah. Namun di sana, suaminya itu malah berpaling dari Islam dan menjadi non muslim.

Meskipun begitu, Allah SWT telah menyempurnakan keimanan Ummu Habibah. Ia sudah berkata kepada suaminya itu bahwa meninggalkan Islam bukanlah hal yang terbaik. Dia juga sudah berupaya mencegah agar sang suami tidak murtad. Namun Ubaidillah tak menghiraukan dan terus meminum khamr hingga dirinya mati.

Kisah Ummu Habibah Dilamar Rasulullah SAW

Dijelaskan dalam buku 365 Hari Bersama Sahabat Nabi SAW: Bercengkerama dengan Mereka Setiap Hari oleh Biru Tosca, dijelaskan cerita mengenai pelamaran Ummu Habibah dari jarak jauh.

Setelah ditinggal oleh suaminya, Ummu Habibah selalu merasa sedih. Namun begitu dirinya tetap tinggal di Habasyah seorang diri.

Ternyata kesedihan dan kesendirian Ummu Habibah ini diketahui oleh Rasulullah SAW. Setelah habis masa iddahnya, akhirnya Rasulullah SAW meminta bantuan Raja Negus (Raja Habasyah) untuk meminangnya.

Raja Negus mengutus pegawai perempuannya untuk menemui Ummu Habibah untuk menyampaikan surat pinangan Rasulullah SAW kepadanya. Ia lantas menerima pinangan tersebut dengan senang perasaan sangat bahagia.

Pernikahan pun dilangsungkan pada tahun ke-7 Hijriah dengan mahar 400 dinar. Setelah menikah, dirinya tetap tinggal di Habasyah barulah setelah Perang Khaibar ia hidup bersama Rasulullah SAW.

Kisah Ummu Habibah Bersama Rasulullah SAW

Selama hidup bersama Rasulullah SAW, belum ada satu riwayat pun yang mengabarkan perilaku cemburu yang ditunjukkan oleh Ummu Habibah. Inilah salah satu kelebihan Ummu Habibah di antara para istri Nabi SAW yang lain.

Suatu saat, Abu Sufyan tiba di Madinah untuk membicarakan Perjanjian Hudaibiyah yang dilanggar oleh kaum Quraisy. Namun, ia tidak langsung menemui Rasulullah SAW, melainkan ingin memanfaatkan anaknya sendiri untuk negosiasi itu.

Ia terkejut melihat keberadaan ayah yang sudah lama tidak ia lihat itu berada di rumahnya. Ia lebih tidak terima ketika ayahnya duduk di tikar yang biasanya digunakan untuk duduk oleh Rasulullah SAW.

Ummu Habibah berkata, “Tikar ini milik Rasulullah. Sementara engkau masih musyrik. Aku tidak suka engkau duduk di atasnya.”

Dirinya pun marah, namun masih bisa dipendam. Hal ini lantas membuat Abu Sufyan untuk mengurungkan niatnya memanfaatkan putrinya.

Kejadian ini menunjukkan bahwa keimanan istri Nabi Muhammad Ummu Habibah sangatlah kuat dan teguh. Iman dan keyakinan itu tidak goyah walaupun dihadapkan dengan ayah kandungnya sendiri.

Setelah ditinggal wafat Rasulullah SAW, Ummu Habibah menghabiskan sisa waktunya untuk menyendiri beribadah kepada Allah SWT.

(erd/erd)



Sumber : www.detik.com

Saat Umar Menangis Lihat Nabi Tidur Hanya Beralaskan Tikar



Jakarta

Sahabat nabi, Umar bin Khattab RA, pernah sampai menangis karena melihat kesederhanaan Rasulullah SAW. Hal ini diceritakan dalam salah satu riwayat hadits dari Anas bin Malik RA.

Dikutip dari Ibnul Jauzi dalam Al-Wafa, Anas RA bercerita, saat itu Rasulullah SAW tengah tiduran hanya beralaskan tikar dan mengenakan selimut. Bantal yang digunakan sebagai penyangga kepalanya terbuat dari kulit yang diisi serabut.

Seorang sahabat kemudian turut masuk ke kamar Rasulullah SAW, berikut dengan Umar bin Khattab RA.


Saat itulah, Rasulullah SAW membalikkan badannya sehingga Umar bin Khattab RAmelihat pakaian Rasulullah SAW tersingkap pada bagian punggungnya. Umar bin Khattab RA melihat ada bekas-bekas pada punggung beliau karena alas tidurnya yang terlalu keras. Setelahnya, Umar bin Khattab RA menangis.

Rasulullah SAW yang melihat itu pun bertanya pada Umar bin Khattab RA, “Apa yang membuatmu menangis?”

Umar bin Khattab RA menjawab, “Demi Allah, saya menangis setelah mengetahui bahwa engkau lebih mulia dari raja-raja dan kaisar. Mereka hidup sesuai dengan kemauannya di dunia (mewah dan kaya),”

“Sementara engkau adalah Rasulullah SAW (utusan Allah). Seperti yang saya lihat, engkau tidur di tempat yang seperti ini (sangat sederhana),” lanjut Umar bin Khattab.

Setelahnya, Rasulullah SAW bertanya lagi, “Bukankah kamu suka kalau mereka mendapat kesenangan dunia sementara kita mendapat kesenangan akhirat?”

Umar bin Khattab menjawab lagi, “Tentu, wahai rasul.”

“Memang demikianlah adanya,” kata Rasulullah SAW. (HR Ahmad)

Tidak hanya tempat tidurnya, kesederhanaan Rasulullah SAW juga tampak pada seluruh perabotan rumah tangga yang dimilikinya. Salah satunya yang diceritakan oleh Abu Rifa’ah tentang kursi di rumah Rasulullah SAW.

“Saya mendatangi Rasulullah SAW, beliau duduk di atas kursi yang terbuat dari serabut, yang kakinya terbuat dari besi.”

Alas karpet yang dimiliki Rasulullah SAW terbuat dari kulit yang diisi serabut. Kondisinya bahkan sudah usang hingga membuat salah seorang kaum Anshar membawakan permadani berisi wol untuk beliau.

Namun, Rasulullah SAW menolak pemberikan permadani tersebut dan meminta Aisyah RA untuk mengembalikannya. Aisyah RA awalnya sempat menolak, namun Rasulullah SAW mengulangi perintahnya sampai tiga kali dan berkata,

“Wahai Aisyah, demi Allah, kalau aku mau, niscaya Allah akan memberikan gunung emas dan gunung perak kepadaku.” Aisyah pun mengembalikan permadani tersebut. (HR Al Baihaqi)

(rah/erd)



Sumber : www.detik.com