Category Archives: Sehat

Kemenkes Ungkap 800 Ribu Lebih Anak RI ‘Zero Dose’ Imunisasi, Inikah Pemicunya?


Jakarta

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI mengungkapkan jumlah anak yang belum mendapatkan imunisasi sama sekali atau zero-dose di Indonesia masih tinggi. Pada tahun ini, tercatat ada sekitar 836.789 anak di Indonesia yang masih zero-dose.

Angka tersebut sedikit menurun dibandingkan dengan tahun 2024 dengan 973.378 kasus, tapi jauh lebih tinggi dibandingkan tahun 2023 dengan 372.965 kasus.

Hal ini cukup memprihatinkan mengingat pemberian imunisasi rutin sesuai jadwal memiliki peran penting untuk pencegahan penyakit pada anak dan mengantisipasi munculnya wabah atau kejadian luar biasa (KLB).


“Saat ini kita menduduki peringkat keenam, di dunia untuk negara yang jumlah anaknya belum mendapatkan imunisasi,” ujar Direktur Imunisasi Kemenkes Prima Yosephine, ketika ditemui awak media di Jakarta Selatan, Rabu (15/10/2025).

Prima mengungkapkan ada total ada ratusan KLB yang terjadi di Indonesia sepanjang tahun 2025 hingga pekan ke-36. Ini meliputi 66 KLB campak pasti di 52 kabupaten/kota, 198 KLB pertusis di 133 kabupaten/kota, dan 57 KLB difteri di 50 kabupaten/kita.

Ia mengatakan kelengkapan imunisasi ini harus terus dikejar. Kalau anak sudah terlanjur terkena penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I), maka penanganannya akan lebih berat. Terlebih, belum ditambah risiko penyebaran yang lebih luas.

“Kalau kena ya bisa menularkan kepada anak-anak lain di sekitarnya. Kalau anak-anak yang nggak diimunisasi berkumpul di satu tempat, tentu nggak terbentuk kekebalan kelompoknya. Oleh karena itu, tempat daerah itu akan sangat mungkin atau mendapat kejadian luar biasa, wabah dalam konteks kecil, tapi itu sudah wabah,” sambungnya.

Berkaitan dengan masih tingginya angka zero-dose pada anak-anak di Indonesia, Prima menyebut masih ada keraguan soal vaksinasi di tengah masyarakat. Meski edukasi terkait manfaat imunisasi terus digencarkan, ada banyak juga pemahaman yang menentang imunisasi.

Berdasarkan survei yang dilakukan UNICEF Nielsen pada tahun 2023, sebanyak 12 persen persen orang tua takut dengan efek samping sehingga enggan membawa anak imunisasi. Beberapa faktor lain yang juga memengaruhi meliputi takut disuntik lebih dari satu kali, jadwal imunisasi tidak pas, tidak ada ongkos, akses sulit, hingga merasa imunisasi tidak ada manfaatnya.

“Adanya keraguan vaccine hesitancy masyarakat. Karena mereka bingung di satu pihak mereka mendapat kabar pentingnya imunisasi, tapi di lain pihak, gencar juga orang-orang yang menyuarakan ‘hati-hati dengan imunisasi’, ‘yakin imunisasi bikin sehat?’. Kita perlu bergandengan tangan untuk bisa membuat keraguan di masyarakat ini berubah menjadi kepastian,” tandasnya.

Berikut lima wilayah dengan angka zero-dose tertinggi di Indonesia:

  1. Jawa Tengah – 158.941 kasus
  2. Jawa Timur – 79.973 kasus
  3. Sumatera Utara – 66.886 kasus
  4. Jawa Barat – 55.936 kasus
  5. Lampung – 41.169 kasus

(avk/suc)



Sumber : health.detik.com

Hampir 2 Juta Kasus Penyakit Mirip COVID Hantui DKI, Dokter Bagi Tips Cegah Tertular


Jakarta

Di tengah cuaca panas yang tak kunjung reda, Dinas Kesehatan DKI Jakarta mencatat lebih dari 1,9 juta kasus Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) hingga Oktober 2025.

Lonjakan mulai terdeteksi sejak Juli, seiring menguatnya paparan polusi dan datangnya musim kemarau basah yang disebut sebagai pemicu utama gangguan pernapasan warga.

Meski jumlah kasus mendekati dua juta, Dinkes DKI memastikan situasi masih dalam kondisi terkendali. Pemerintah terus melakukan monitoring dan evaluasi (monev) melalui Sistem Kewaspadaan dan Respons Dini (SKDR) untuk memantau potensi wabah seperti ISPA dan COVID-19.


“ISPA merupakan penyakit tertinggi di Puskesmas karena penularannya sangat mudah, yakni melalui droplet dan aerosol,” tutur Ani kepada detikcom Kamis (16/10/2025).

Di sisi lain, dokter spesialis paru dr Erlang Samoedro, SpP(K) beberapa waktu lalu menyebut saat ini memang terjadi musim infeksi saluran napas. Menurutnya, hal ini disebabkan oleh perubahan cuaca dan sirkulasi virus yang tinggi.

Ia membagikan beberapa tips sederhana yang bisa dilakukan untuk menjaga paru-paru tetap bersih dan sehat. Dengan begitu, tubuh bisa menjadi lebih kuat dalam menghadang berbagai penyakit, termasuk batuk pilek.

⁠”Pakai masker dan gizi seimbang, banyak makan sayur dan buah sebagai antioksidan. Serta juga hindari kerumunan,” ujar dr Erlang ketika dihubungi detikcom, Rabu (8/10).

Makanan tinggi antioksidan juga dapat membantu memperkuat sistem imun dengan melindungi sel-sel tubuh dari kerusakan akibat radikal bebas. Dengan sistem imun yang optimal, tubuh menjadi lebih tahan terhadap serangan virus dan mampu mempercepat pemulihan saat sudah terkena batuk atau pilek.

Menurutnya, masalah infeksi virus yang memicu batuk dan pilek bisa sembuh dengan sendirinya. Meski begitu, ia mewanti-wanti kelompok rentan, seperti lansia dan orang dengan komorbid untuk lebih berhati-hati.

“Kalau tanda bahaya kalau sudah ada perburukan seperti sesak napas, dahak yang sudah berubah warna yang menandakan terjadinya infeksi bakteri, dan demam tinggi perlu ke fasilitas kesehatan,” sambungnya.

(suc/up)



Sumber : health.detik.com

Kemenkes RI Update Wacana Cukai Minuman Berpemanis dalam Kemasan


Jakarta

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI berbicara soal rencana penerapan cukai khusus untuk minuman manis dalam kemasan (MBDK). Program ini diharapkan nantinya bisa menjadi salah satu cara untuk menekan konsumsi gula pada masyarakat Indonesia.

Seperti yang diketahui, kasus penyakit tidak menular yang berkaitan dengan konsumsi gula berlebih cukup di tinggi di Indonesia. Direktur Penyakit Tidak Menular Kemenkes Siti Nadia Tarmizi mengungkapkan penerapan cukai MBDK saat ini masih berada di tahap pembahasan.

Ia menuturkan kajian terkait kebijakan ini sudah berada di kajian Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Ia menuturkan pihak Kemenkeu yang akan mempersiapkan apakah kebijakan tersebut memang sudah waktunya diterapkan atau tidak.


“Hitungannya mereka (Kemenkeu) sudah siap sih. Tinggal, tapi kan untuk cukai itu kan masuk di dalam APBN ya kan. Kalau di dalam APBN kemarin kan sempat jadi perhitungan. Tapi apakah itu akan dilaksanakan di 2026, kan nanti masih prosedur lagi dengan DPR ya penetapannya,” kata Nadia ketika ditemui awak media di Jakarta Pusat, Jumat (17/10/2025).

Meski belum bisa memberi kepastian terkait kapan kebijakan ini akan pasti dilaksanakan, Nadia menuturkan pihaknya akan terus mendorong program ini agar berlanjut. Ia menuturkan pihak Kemenkes siap untuk memberikan data-data yang diperlukan, seperti studi atau penelitian yang sudah dilakukan.

“Kalau untuk (target) cukai, itu kembali lagi. Kita tentunya karena ini pengaturan di bidang fiskal, ini kewenangan Kementerian Keuangan, tapi kita tetap mendorong untuk memberikan data-data,” tandas Nadia.

Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2024 menunjukkan 68 persen rumah tangga di Indonesia mengonsumsi minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) setidaknya sekali dalam sepekan. Angka tertinggi tercatat di wilayah Jawa Barat (88 persen), diikuti DKI Jakarta (87,4 persen) dan Banten (83,6 persen).

(avk/naf)



Sumber : health.detik.com

Siasat BPOM Kembangkan Fitofarmaka, Tekan Impor Bahan Baku Obat


Jakarta

Obat bahan alam atau fitofarmaka masih menemui banyak tantangan dalam pengembangannya. Baik dari sisi bahan baku hingga pengolahannya.

Direktur Standardisasi Obat Tradisional, Suplemen Kesehatan, dan Kosmetik Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI, Dian Putri Anggraweni, mengungkapkan perlunya inovasi dalam pengembangan obat bahan alam yang ternyata banyak tersedia di Indonesia.

“Perlunya pengembangan obat bahan alam Indonesia dengan tepat, agar bisa menjadi produk berkelas secara global,” tutur Putri dalam keterangan tertulis, Kamis (16/10/2025).


“Hal ini yang sejalan dengan kebijakan pemerintah dalam memperkuat ekosistem riset bahan obat alam dan fitofarmaka nasional,” tambahnya.

Hal ini juga disinggung oleh Sekretariat untuk International Regulatory Cooperation for Herbal Medicines Organisasi Kesehatan Dunia (WHO-IRCH), Pradeep Dua. Pihaknya juga telah merilis WHO Global Traditional Medicine Strategy 2025-2034.

“Salah satu dari 4 tujuan utama dalam strategi ini berfokus pada regulasi. Regulasi ini tidak hanya membahas mengenai produk, melainkan juga mengatur masalah praktik dan praktisi pengobatan tradisional, komplementer, dan intergratif,” terangnya.

Dalam mendukung bahan alami dari Indonesia sebagai obat, farmakolog Prof Raymond Tjandrawinata menggunakan tumbuhan dan hewan dari dalam negeri. Meski begitu, tetap dibutuhkan tahap uji klinis agar mendapatkan bukti ilmiah bahwa produk fitofarmaka yang dihasilkan aman dan berkhasiat.

“Ketika kami masuk ke tahap uji klinis, kita perlu memiliki bukti ilmiah. Dengan pendekatan tersebut, akan lebih mudah memperoleh data yang baik pada fase klinis, dan berdasarkan pengalaman tersebut, jika desain baik mulai dari bahan baku aktif hingga produk jadi, maka produk herbal berbasis keanekaragaman hayati tidak kalah kualitasnya dibandingkan produk kimia,” tegasnya.

Sebelumnya, Kepala BPOM Taruna Ikrar mengungkapkan tengah mengintensifkan perkembangan fitofarmaka Indonesia. Hal ini dilakukan demi menekan penggunaan bahan baku impor untuk obat-obatan di Indonesia.

Taruna menyebut Indonesia memiliki potensi 30 ribu jenis tumbuhan baru, yang 18 ribu di antaranya digunakan sebagai jamu. Sementara 71 jenis yang berkembang menjadi obat herbal terstandar dan 20 yang menjadi fitofarmaka.

“Kita punya ribuan kampus, at least BPOM sekarang sudah kerja sama 179 kampus-kampus besar dan industri. Jika digabungkan, keduanya ini maka nanti hasil ribuan jamu-jamuan itu bisa berkemban menjadi obat herbal terstandar,” jelas Taruna ketika ditemui awak media di Jakarta Selatan, Selasa (14/10/2025).

“Dan dari herbal terstandar ini, nanti bisa berpotensi menjadi obat,” punkasnya.

(sao/naf)



Sumber : health.detik.com

DKI Catat 1,9 Juta Kasus Penyakit Mirip COVID, Segera Periksa Jika Alami Gejala Ini


Jakarta

Kasus Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di DKI Jakarta menunjukkan tren peningkatan. Dinas Kesehatan (Dinkes) DKI Jakarta mencatat total 1.966.308 kasus Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di Jakarta sejak Januari hingga Oktober 2025. Peningkatan jumlah kasus teridentifikasi sejak Juli 2025.

Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Ani Ruspitawati, mengungkapkan ISPA saat ini menjadi penyakit dengan jumlah kunjungan tertinggi di puskesmas. Penularan penyakit ini, kata Ani, sangat mudah terjadi melalui percikan droplet dan partikel aerosol di udara.

“Total kasus ISPA di DKI Jakarta hingga Oktober 2025 sebesar 1.966.308. Peningkatan kasus terlihat mulai bulan Juli,” kata Ani kepada detikcom Kamis (16/10/2025).


Selain di tengah cuaca yang tak menentu dan polusi udara, peningkatan kasus ISPA disebut Ani juga bisa berkaitan dengan imunitas yang turun di masyarakat. Adapun gejala ISPA di antaranya:

  • Batuk
  • Pilek
  • Sakit tenggorokan
  • Demam

“Gejala lainnya bisa berupa hidung tersumbat, sakit kepala, nyeri otot, kelelahan, bersin, dan suara serak. Pada kasus ISPA yang lebih berat, gejala dapat mencakup sesak napas, yang membutuhkan penanganan segera,” kata Ani.

Senada, dokter spesialis paru dr Erlang Samoedro, SpP(K) beberapa waktu lalu mengatakan saat ini memang terjadi musim infeksi saluran napas. Menurutnya, hal ini disebabkan oleh perubahan cuaca dan sirkulasi virus yang tinggi.

Ia juga mengingatkan segera mencari pertolongan bila muncul tanda bahaya, seperti sesak napas atau dahak yang berubah warna. Menurutnya, kondisi tersebut bisa menjadi pertanda adanya infeksi bakteri.

“Demam tinggi perlu ke fasilitas kesehatan,” ucapnya Rabu (8/10).

(suc/up)



Sumber : health.detik.com

Dokter Harvard Kaget Makin Sering Temukan Usia Muda Kena Kanker Kolorektal Stadium 4


Jakarta

Berbagai penelitian menunjukkan kasus kanker pada usia muda di bawah 50 tahun kini semakin sering ditemukan. Salah satu yang paling menonjol adalah kanker kolorektal, yaitu kanker pada usus besar dan rektum.

Kimmie Ng, dokter onkologi saluran cerna dari Harvard Medical School dan pendiri Young-Onset Colorectal Cancer Center di Boston, mengatakan angka kejadian kanker usus besar dan rektum pada usia muda meningkat sekitar 2 persen setiap tahun sejak pertengahan 1990-an.

“Awalnya kami kaget, karena pasiennya masih muda, sehat, tidak punya faktor risiko, bahkan tanpa riwayat keluarga, tapi sudah terdiagnosis stadium 4. Dan kasus seperti ini sekarang makin sering,” beber Dr Ng.


Kenaikan ini tidak hanya terjadi di AS, tapi juga di berbagai negara lain, baik pada pria maupun wanita.

Menurut Dr Ng, mendapat diagnosis kanker di usia muda punya tantangan tersendiri.
Sebagian besar pasien muda masih punya anak kecil, sedang merawat orang tua, meniti karier, atau bahkan baru membangun keluarga. Mereka tidak hanya berjuang melawan penyakit, tapi juga menghadapi tekanan emosional dan sosial yang besar.

Data terbaru menunjukkan kanker kolorektal sudah menjadi penyebab utama kematian akibat kanker pada pria di bawah usia 50 tahun di AS. Pada wanita muda, penyakit ini menempati posisi kedua setelah kanker payudara, dan diperkirakan akan menjadi nomor satu pada 2030 jika trennya terus meningkat.

Meski begitu, Dr Ng menegaskan secara keseluruhan, jumlah kasus pada usia muda masih tergolong kecil dibanding populasi umum.

Pentingnya Deteksi Dini

Selama beberapa dekade, jumlah kasus dan kematian akibat kanker usus besar di semua kelompok umur sebenarnya menurun, berkat kemajuan pengobatan dan meningkatnya kesadaran untuk skrining atau pemeriksaan dini.

Namun, penurunan itu tidak terjadi pada kelompok usia muda. Karena itu, sejak 2021, Amerika menurunkan usia rekomendasi skrining dari 50 tahun menjadi 45 tahun bagi orang dengan risiko rata-rata.

Dr. Ng menilai usia skrining ini belum perlu diturunkan lagi, karena jumlah kasus di usia muda masih kecil dan perlu dipertimbangkan dari sisi biaya, risiko, serta manfaatnya. Fokus utama saat ini, katanya, adalah memahami penyebab meningkatnya kasus pada usia muda.

(naf/naf)



Sumber : health.detik.com

Cuaca Panas Bak Pintu Neraka Terbuka! Ini Tips Kemenkes RI Biar Nggak Gampang Sakit


Jakarta

Cuaca panas dikeluhkan warga dalam beberapa waktu terakhir. Berkaitan dengan hal tersebut, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI mengungkapkan beberapa trik yang bisa dilakukan agar tak gampang tumbang di tengah cuaca panas.

Direktur Penyakit Tidak Menular Kemenkes Siti Nadia Tarmizi mengimbau untuk menjaga hidrasi dengan cukup minum air di tengah cuaca panas yang terjadi di beberapa wilayah RI.

Menurut Nadia, paparan cuaca panas berlebih dapat meningkatkan risiko dehidrasi yang jika tidak ditangani dapat memicu masalah lebih serius.


“Minum sebelum haus itu menjadi penting. Kalau dulu anjuran kita kan 8 gelas per hari. Ya kalau dengan cuaca panas ini ya 12-18 gelas per hari. Jadi jangan tunggu haus, baru kita minum,” ujar Nadia ketika ditemui awak media di Jakarta Pusat, Jumat (17/10/2025).

Selain itu, untuk aktivitas di luar ruangan, Nadia menyarankan untuk mengenakan pakaian pelindung. Beberapa pelindung yang bisa digunakan seperti payung, topi, pakaian yang bersirkulasi baik, dan tidak berwarna hitam.

Nadia menambahkan pada cuaca panas, risiko untuk sakit menjadi lebih besar. Beberapa di antaranya yang harus diwaspadai seperti batuk, pilek, dan infeksi saluran pernapasan atas lain.

“Kalau kita aktivitas di luar, padat dengan cuaca kering, gunakan masker. Apalagi kalau di sekitar kita banyak orang yang sakit tenggorokan, suara serak, karena kan sekarang banyak kan yang tiba-tiba kok ‘Suara saya tiba-tiba serak’. Bukan kebanyakan konser, tapi memang karena kering ya. Karena kering, akhirnya kan tenggorokan mudah iritasi,” tandasnya.

(avk/suc)



Sumber : health.detik.com

Kemenkes Ungkap Wacana Label Nutri-Level, Direncanakan Berlaku 2027


Jakarta

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI mengungkap mekanisme penerapan label nutri-level pada produk makanan dan minuman. Nantinya, label ini akan menunjukkan mana pilihan makanan atau minuman yang lebih sehat hingga cenderung tinggi gula, garam, dan lemak.

Direktur Penyakit Tidak Menular Kemenkes Siti Nadia Tarmizi mengungkapkan penerapan nutri-level untuk produk pangan masuk dalam tahap edukasi. Saat ini, pemerintah belum mewajibkan perusahaan menggunakan label tersebut, alias bersifat sukarela.

Pihaknya juga ditekankan masih menyusun aturan terkait penerapan Nutri-level, meliputi regulasi penanggulangan penyakit dan edukasi cara membaca Nutri-level.


“Jadi itu seperti tahapan untuk supaya bisa masyarakat tahu. Kan kita sebenarnya sudah banyak kan (label makanan sehat) misalnya pilihan sehat. Nah, sekarang jangan nanti ada di situ (ada label nutri-level), tapi mereka tetap nggak aware bahwa mereka seharusnya membaca, ini nutri-level misalnya merah, berarti kandungan gulanya yang tinggi,” jelas Nadia ketika ditemui awak media di Jakarta Pusat, Jumat (17/10/2025).

Nadia mengingatkan, makanan yang nantinya mendapatkan level ‘merah’ menandakan tinggi GGL. Ini untuk membuat masyarakat lebih sadar dengan makanan atau minuman apa saja yang dikonsumsi dalam sehari.

Misalnya, sudah mengonsumsi makanan atau minuman level merah dengan kadar garam atau gula tinggi, maka asupan makanan selanjutnya harus memilih menu yang lebih rendah garam dan gula.

“Artinya buat masyarakat sadar, ‘oh, saya sudah konsumsi makanan yang warnanya (level) merah atau minuman merah, berarti kalau saya mau konsumsi itu dua kali sehari, itu saya harus lebih berhati-hati’. Karena berarti sudah melebih konsumsi,” sambungnya.

Meski saat ini pemasangan nutri-level masih masih bersifat sukarela karena dalam masa edukasi, nantinya pelabelan ini akan diwajibkan. Edukasi saat ini dilakukan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI untuk makanan dan minuman kemasan dan Kementerian Kesehatan untuk makanan siap saji.

Ia mengatakan pelabelan ini direncanakan akan mulai menjadi kewajiban pada 2027, atau 2 tahun setelah masa edukasi selesai.

“Iya (2027), kalau nutri-level edukasi dua tahun. Setelah dua tahun, itu menjadi mandatory (wajib). Artinya begitu diundangkan ada masa grace period 2 tahun,” katanya.

“Kalau buat kadarnya, nanti sifatnya voluntary. Jadi semua perusahaan itu nanti sifatnya akan melaporkan bahwa kadar gula saya sekian, kadar garam saya sekian, dan dia voluntary untuk menempelkan itu,” tandas Nadia.

(avk/naf)



Sumber : health.detik.com

Milenial hingga Gen Z Berisiko 4 Kali Lipat Kena Kanker Usus, Waspadai Gejalanya


Jakarta

Kimmie Ng, dokter onkologi saluran cerna dari Harvard Medical School dan pendiri Young-Onset Colorectal Cancer Center di Boston, mengatakan angka kejadian kanker usus besar dan rektum pada usia muda meningkat sekitar 2 persen setiap tahun sejak pertengahan 1990-an.

“Awalnya kami kaget, karena pasiennya masih muda, sehat, tidak punya faktor risiko, bahkan tanpa riwayat keluarga, tapi sudah terdiagnosis stadium 4. Dan kasus seperti ini sekarang makin sering,” beber Dr Ng.

Menurutnya, pasien penting untuk mengenali gejala awal kanker kolorektal.


Gejala utama yang kerap muncul pada pasien muda adalah keluarnya darah bersama tinja.

“Kalau darah tampak tercampur di dalam tinja, bukan hanya di permukaan atau di tisu, itu lebih mengkhawatirkan dan perlu diperiksa,” jelasnya.

Tanda lain yang harus diwaspadai:

  • Penurunan berat badan tanpa sebab jelas
  • Perubahan pola buang air besar (sering diare atau sembelit baru)
  • Tinja menjadi lebih tipis
  • Sakit perut atau perut terasa penuh
  • Lemas karena anemia (kurang darah)
  • Jika mengalami gejala-gejala ini, sebaiknya segera berkonsultasi ke dokter.

Faktor Lingkungan Diduga Berperan

Para peneliti menduga perubahan lingkungan dan gaya hidup modern berperan besar dalam peningkatan kasus kanker di usia muda.

“Setiap generasi setelah tahun 1950 mengalami risiko yang lebih tinggi,” kata dr Ng.

Generasi Muda

Orang yang lahir tahun 1990, misalnya, punya risiko terkena kanker rektum 4 kali lebih tinggi dan kanker usus besar 2 kali lebih tinggi dibanding mereka yang lahir pada 1950.

Hal ini menunjukkan penyebabnya tidak mungkin dari genetik semata, karena gen manusia tidak berubah banyak dalam 30 tahun.

Faktor-faktor lingkungan yang mungkin berperan antara lain:

Obesitas (kegemukan)

Kurang aktivitas fisik

Pola makan tinggi daging merah, ultra processed food, dan gula tambahan.

Konsumsi minuman berpemanis berlebihan

Meski begitu, dr Ng mengakui banyak pasien muda yang tidak memiliki faktor risiko sama sekali.

“Sebagian dari mereka adalah pelari maraton, makan sehat, hidup aktif, tapi tetap terdiagnosis kanker usus besar,” ujarnya.

Peran Pemeriksaan Genetik

Kebanyakan kasus kanker usia muda tidak disebabkan faktor keturunan, tetapi mereka yang terkena di usia muda punya kemungkinan lebih tinggi memiliki sindrom genetik tertentu, seperti Lynch Syndrome atau Familial Adenomatous Polyposis.

Karena itu, dr Ng menyarankan agar semua pasien muda yang terdiagnosis kanker menjalani tes genetik keluarga.

Mengetahui riwayat kanker dalam keluarga juga sangat penting. Jika ada anggota keluarga yang pernah mengalaminya, seseorang bisa memulai skrining lebih awal, langkah yang berpotensi menyelamatkan nyawa.

Walau menakutkan, dr Ng mengingatkan bahwa kanker di usia muda bisa dilawan, terutama jika terdeteksi lebih awal.

Ia menegaskan pentingnya skrining rutin mulai usia 45 tahun, atau lebih muda bila ada riwayat keluarga.

“Deteksi dini bisa menyelamatkan nyawa. Banyak orang menunda pemeriksaan karena malu atau takut, padahal semakin cepat ditemukan, semakin besar peluang sembuh,” katanya.

(naf/kna)



Sumber : health.detik.com

Alasan Sebaiknya Jangan Makan Sambil Berdiri, Bisa Begini Dampaknya ke Pencernaan


Jakarta

Di tengah rutinitas yang serba cepat, banyak orang kini terbiasa makan sambil berdiri atau berjalan. Misalnya, sarapan cepat sambil berangkat kerja, mengambil camilan di perjalanan menuju acara, atau berdiri sambil makan sudah menjadi kebiasaan umum.

Sebagian orang memilih kebiasaan ini untuk menghemat waktu atau menyeimbangkan pekerjaan kantor yang banyak duduk. Sekilas, kebiasaan ini tampak ‘membantu’ pencernaan. Namun, makan sambil berdiri setiap hari dapat berdampak signifikan terhadap kesehatan dan sistem pencernaan.

Penting untuk memahami bagaimana postur tubuh, kecepatan makan, dan proses pengolahan makanan saling berinteraksi dengan pencernaan agar usus tetap sehat dan terhindar dari ketidaknyamanan.


Dampak Makan Sambil Berdiri pada Aliran Darah dan Pencernaan

Dikutip dari Times of India, saat seseorang makan sambil berdiri, gravitasi menyebabkan darah mengalir lebih banyak ke kaki. Hal ini mengurangi jumlah darah yang menuju organ pencernaan yang berperan penting dalam memecah makanan secara efisien.

Suplai darah yang tidak cukup dapat mengganggu proses pencernaan dan menimbulkan gas, kembung, atau gangguan pencernaan. Postur tubuh saat makan juga memengaruhi seberapa cepat lambung mengosongkan isinya.

Penelitian yang diterbitkan dalam Canadian Science Publishing Journal menunjukkan makanan bergerak lebih lambat di lambung ketika seseorang duduk atau berbaring dibandingkan saat berdiri.

Penelitian tersebut juga menemukan makan protein dalam posisi duduk tegak dapat memperbaiki pengosongan lambung, pencernaan protein, serta ketersediaan asam amino dalam darah dibandingkan dengan posisi berbaring.

Sementara itu, makan sambil berdiri sering kali dikaitkan dengan cara makan yang lebih cepat. Kebiasaan makan terburu-buru dapat menyebabkan udara tertelan lebih banyak, meningkatkan rasa tidak nyaman akibat gas, dan mengurangi proses mengunyah yang memadai, sehingga lambung memerlukan waktu lebih lama untuk memecah makanan.

Kecepatan makan yang terlalu cepat dapat berdampak buruk terhadap pencernaan dan menimbulkan perut kembung. Karena itu, penting untuk mempertahankan kebiasaan makan yang lebih lambat dan penuh kesadaran agar terhindar dari ketidaknyamanan dan meningkatkan penyerapan zat gizi.

Di sisi lain, sebuah penelitian yang diterbitkan dalam European Journal of Preventive Cardiology menemukan berdiri dapat membantu membakar sedikit lebih banyak kalori.

Studi ini menyebutkan berdiri selama enam jam dapat membakar sekitar 54 kalori lebih banyak dibandingkan duduk, yang secara teoritis dapat menyebabkan penurunan berat badan hingga 10 kilogram dalam empat tahun pada individu dengan berat 65 kilogram.

Makan sambil berdiri memang bisa mempercepat proses pencernaan, tetapi kadang membuat seseorang merasa lebih cepat lapar. Lambung mengirimkan sinyal kenyang ke otak berdasarkan seberapa besar peregangan dan berapa lama tetap penuh.

Makanan yang cepat dicerna, seperti karbohidrat olahan, bisa membuat seseorang cepat merasa lapar lagi, sedangkan makanan tinggi serat dan protein memberi rasa kenyang yang lebih lama.

Dengan demikian, pencernaan yang terlalu cepat akibat makan sambil berdiri bisa tanpa disadari mendorong seseorang makan berlebihan.

(suc/suc)



Sumber : health.detik.com