Kisah Nabi Ibrahim AS, Selamat Meski Dibakar Hidup-hidup



Jakarta

Nabi Ibrahim AS adalah salah satu dari 25 nabi dan rasul yang wajib diketahui. Kisahnya tercantum dalam sejumlah ayat Al-Qur’an.

Dalam buku Kisah Para Nabi oleh Ibnu Katsir disebutkan nama asli Ibrahim AS ialah Ibrahim bin Tarikh. Ibunya bernama Buna binti Karbita bin Kartsi. Ibrahim AS juga disebut sebagai rasul ulul azmi yang merupakan gelar bagi rasul Allah SWT dengan kedudukan tinggi.

Selain itu, ia juga memiliki julukan Abul Anbiya yang berarti ayahanda dari para nabi. Putranya merupakan seorang nabi juga yang tak lain Ismail AS.


Beliau memiliki sejumlah mukjizat, salah satunya tidak hangus meski dibakar. Kisahnya bermula ketika ia menghancurkan berhala-berhala di dalam gedung.

Mengutip buku Kisah 25 Nabi dan Rasul karya Yudho Pramuko, kala itu Raja Namrud beserta pengikutnya sedang pergi ke luar untuk melaksanakan upacara keagamaan. Karenanya, gedung tempat berhala menjadi sepi.

Mengetahui hal itu, Nabi Ibrahim AS langsung masuk ke dalam gedung dan menghancurkan satu persatu berhala. Kendati demikian, ia menyisakan satu berhala paling besar.

Ibrahim AS kemudian meletakkan kapak yang ia gunakan di leher berhala besar dalam keadaan menggantung. Setelahnya, ia pulang ke rumah.

Saat Raja Namrud dan para pengikutnya kembali, alangkah terkejutnya mereka melihat berhala-berhala yang mereka sembah sudah hancur. Mengetahui Nabi Ibrahim AS yang menghancurkannya, Raja Namrud segera menangkap san nabi.

Ketika dibawa ke pengadilan raja dan disaksikan masyarakat umum, Raja Namrud bertanya.

“Hai Ibrahim! Apakah kamu yang menghancurkan berhala-berhala itu?”

“Bukan!” jawab Ibrahim AS.

Merasa geram, Raja Namrud mendesak Ibrahim untuk menjawab.

“Jangan mungkir, hai Ibrahim! Akui saja perbuatanmu itu,”

“Tidak!” kata Nabi Ibrahim AS.

Jawaban Ibrahim AS memicu kemarahan Raja Namrud. Akhirnya, Nabi Ibrahim menambahkan ucapannya.

“Baiklah, kita sama-sama berakal. Persoalan saat ini adalah mencari pelaku penghancuran berhala itu. Siapa yang telah memperlakukan berhala-berhala seperti itu. Sebetulnya, buktinya sudah ada. Sekarang di hadapan kita ada satu patung besar dan di lehernya tergantung kapak besar. Mungkin dialah pelakunya!”

Ucapan Nabi Ibrahim membuat Raja Namrud Geram.

“Kau banyak akal. Kau pikir aku dan rakyatku sebdooh itu? mana mungkin patung bisa aku ajak bicara dan aku tanyakan siapa pelakunya. kau terlalu bodoh, hai Ibrahim!”

“Hai Raja Namrud! Rupanya yang bodoh bukan aku, tapi engkau dan seluruh rakyatmu. Buktinya, patung yang tidak berdaya apa–apa, tidak bisa bicara, tidak bisa dimintai pertolongan, dan tidak bisa mendatangkan kebaikan dan kejelekan itu, engkau sembah dan engkau puja,” kata Ibrahim AS menanggapi Raja Namrud.

Ia lalu melanjutkan, “Kalau engkau dan rakyatmu sudah tahu bahwa patung dan berhala yang kalian sembah itu tidak bisa mendengar, tidak bisa melihat, dan tidak bisa dimintai pertolongan, mengapa kalian sembah dan kalian puja? Di hadapannya, kalian berdoa. Kalian meminta kebaikan dan keselamatan. Sudah jelas, patung-patung yang kalian sembah itu tidak bisa menyelamatkan dirinya sendiri dari bahaya kehancuran,”

Mendengar jawaban Nabi Ibrahim AS, Raja Namrud dan para pengikutnya merasa terpojok. Ucapan beliau memang masuk akal, sehingga mereka tidak bisa berkata-bata.

Namun, akhirnya secara serentak mereka menangkap Nabi Ibrahim AS dan hendak membakarnya. Seketika itu juga, Raja Namrud menyuruh rakyatnya mencari kayu bakar.

Atas izin Allah, ketika api dinyalakan justru Nabi Ibrahim AS tidak merasa panas. Sebaliknya, api tersebut malah menyejukkan Ibrahim. Hal ini termasuk ke dalam salah satu mukjizat yang Allah SWT berikan kepada beliau.

Allah SWT berfirman dalam surah Al-Anbiya’ ayat 68-70,

(68) قَالُوْا حَرِّقُوْهُ وَانْصُرُوْٓا اٰلِهَتَكُمْ اِنْ كُنْتُمْ فٰعِلِيْنَ

(69) قُلْنَا يَا نَارُ كُوْنِيْ بَرْدًا وَّسَلٰمًا عَلٰٓى اِبْرٰهِيْمَ

(70) وَاَرَادُوْا بِهٖ كَيْدًا فَجَعَلْنٰهُمُ الْاَخْسَرِيْنَ

Artinya: “Mereka berkata: “Bakarlah dia dan bantulah tuhan-tuhan kamu, jika kamu benar-benar hendak bertindak”. Kami berfirman: “Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim”, mereka hendak berbuat makar terhadap Ibrahim, maka Kami menjadikan mereka itu orang-orang yang paling merugi.”

Menyaksikan peristiwa itu, Raja Namrud dan seluruh orang di sana tercengang. Akhirnya, ia memerintahkan agar pembakaran dihentikan dan Ibrahim AS dibebaskan.

Menurut hadits yang diriwayatkan oleh al-Hafid Abu Ya’la, dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW menceritakan bahwa ketika Nabi Ibrahim AS akan dilemparkan ketengah api yang berkobar itu, ia berdoa sebagai berikut,

اللهُمَّ أَنْتَ الْوَاحِدُ فِي السَّمَاءِ وَأَنَا الْوَاحِدُ فِي الْأَرْضِ لَيْسَ اَحَدٌ يَعْبُدُكَ غَيْرِي حَسْبِيَ اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلِ

Arab latin: Allahumma antal wahidu fissama’i wa anal wahidu fil ardi laisa ahadun ya ‘buduka gairī hasbiyallahu wa ni’mal wakil.

Artinya: Ya Allah! Engkau Esa di langit dan aku sendirian di bumi. Tiada seorang pun yang taat kepada-Mu selain aku. Bagiku cukuplah Allah sebaik-baik tempat berserah diri.

Wallahu ‘alam bishawab.

(aeb/erd)



Sumber : www.detik.com

Kisah Umar bin Khattab dan Lembaran Surat Thaha yang Membuat Hatinya Luluh



Jakarta

Sebelum masuk Islam, Abu Hafsh atau Umar bin Khattab Ra adalah salah seorang dari kaum kafir Quraisy yang paling ditakuti oleh orang-orang yang sudah memeluk Islam.

Dikutip dalam buku Umar bin Khattab Ra oleh Abdul Syukur Al-azizi disebutkan bahwa Umar dikenal sebagai orang yang memusuhi Islam dan tidak segan-segan menyiksa kaum muslimin secara kasar agar sudi untuk kembali menyembah berhala.

Sosoknya juga dikenal sebagai petarung handal dengan badan yang kekar, tinggi besar dan tatapan tajam yang seakan-akan siap menghancurkan lawan. Sikapnya juga keras, tegas dan tidak kenal ampun.


Pada masa Jahiliah, ia sangat fanatik terhadap agama leluhurnya, bahkan sampai membuat berhala dari manisan kurma untuk disembah. Ketika ada orang yang mengancam agama nenek moyangnya itu maka ia tak akan tinggal diam. Hal ini pula yang ia lakukan ketika Rasulullah SAW menyebarkan agama Islam. Umar bin Khatab merasa terusik dengan kehadirannya.

Awal Mula Umar bin Khattab Masuk Islam

Ketika Suku Quraisy telah berkumpul, mereka mengatakan, “Siapakah yang akan membunuh Muhammad?” Umar dengan lantang menjawab, “Aku.” Lalu Umar keluar sambil menghunus pedangnya menuju ke tempat Rasulullah SAW dan sejumlah sahabatnya yakni Abu Bakar, Ali dan Hamzah.

Dari rumah tujuan Umar pun hanya satu yakni ingin membunuh Nabi Muhammad. Di tengah perjalanan, Umar dihadang oleh Abdullah an-Nahham al-‘Adawi.

“Hendak ke mana engkau, ya Umar?” tanya Abdullah.
“Aku hendak membunuh Muhammad,” jawab Umar.
“Apakah engkau akan aman dari Bani Hasyim dan Bani Zuhrah jika engkau membunuh Muhammad?”
“Jangan-jangan engkau sudah murtad dan meninggalkan agama asalmu?” ledek Umar.

“Maukah engkau kutunjukkan yang lebih mengagetkan dari itu wahai Umar, sesungguhnya saudara perempuanmu dan iparmu telah murtad dan telah meninggalkan agamamu dan beriman kepada agama Muhammad,” kata Abdullah.

Mendengar hal itu, emosi Umar tak terbendung. Umar langsung pergi ke rumah saudarinya, Fatimah. Fatimah pun sedang belajar Al-Qur’an bersama Khabbab bin al-Arat. Mendengar saudarinya sedang membaca Al-Qur’an, Umar pun menendang dengan sangat keras sehingga Fatimah jatuh dan berdarah.

Namun Umar menyesal telah mencelakai saudaranya. Lalu Umar berkata, “Berikanlah mushaf kalian ini padaku, aku akan membacanya,” katanya.

Saudarinya berkata,”Aku tidak akan memberikan.”

“Mengapa? Padahal sesuatu yang kau katakan telah merasuk ke dalam hatiku. Berikan mushaf itu, aku ingin melihatnya. Apakah aku harus memberimu kepercayaan, bahwa aku tidak akan mengkhianatimu agar engkau mau menunjukkannya?” Fatimah menolak dan mengatakan bahwa Umar najis dan Al-Qur’an tidak boleh disentuh kecuali oleh orang-orang yang telah bersuci.

Fatimah pun memerintahkan Umar untuk mandi. Lembaran berisi surat Thaha pun diberikan pada Umar. “Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.” Umar berkomentar, “Ini adalah nama-nama yang sangat indah dan suci.” Kemudian, Umar terus membaca surat Thaha. “Thaha. Kami tidak menurunkan Al-Qur’an ini kepadamu (Muhammad) agar engkau menjadi susah,” sampai firman-Nya,”(Dialah) Allah, tidak ada tuhan selain Dia yang mempunyai nama nama terbaik.” (QS. Thaha: 1-8).

Surat ini terasa agung di dadanya. Umar berkata, “Apa karena ini orang Quraisy berpaling?” Ayat-ayat ini merasa agung di dalam dada Umar. Kemudian ia terus membaca,

“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah sholat untuk mengingat Aku. Sesungguhnya Hari Kiamat itu akan datang, Aku merahasiakan (waktunya) agar supaya tiap-tiap diri itu dibalas dengan apa yang ia usahakan. Maka, sekali-kali janganlah kamu dipalingkan darinya oleh orang yang tidak beriman kepadanya dan oleh orang yang mengikuti hawa nafsunya, yang menyebabkan kamu jadi binasa.” (QS. Thaha: 14-16).

Umar berkata,”Yang menyatakan demikian, hendaknya ia tidak disembah beserta dengan yang lainnya. Tunjukkan kepadaku dimana Muhammad berada!”

Mendengar ucapan Umar, Khabbab bin al-Arat keluar dari balik rumah dan berkata:”Bergembiralah wahai Umar, saya berharap doa Rasulullah SAW pada malam Kamis lalu adalah untukmu. Beliau berdoa: “Ya Allah, muliakanlah Islam dengan salah seorang dari dua orang yang lebih Engkau cintai; Umar bin Khattab atau Abu Jahal bin Hisyam.”

Kemudian Umar masuk Islam. Disebutkan dalam buku “Umar bin Khattab: 30 Hari Memahami Teladang sang singa berhati pualam” oleh A.R. Shohibul Ulum, saat Umar memasuki masjid dan dilihat kaum Quraisy-di mana Hamzah dan Umar ada di antara kedua barisan tersebut-, kaum Quraisy dirundung duka dan kesedihan. Saat itulah Nabi Muhammad menyebut Umar sebagai al-Faruq, sang pembeda.

(lus/erd)



Sumber : www.detik.com

Syafiyyah binti Huyay, Istri Rasulullah SAW dari Keturunan Yahudi


Jakarta

Banyak kisah yang menceritakan tentang istri-istri Nabi Muhammad SAW. Salah satunya Syafiyyah binti Huyay. Beliau adalah istri Rasulullah SAW yang berasal dari suku Bani Nadhir.

Ketika menikah dengan Rasulullah SAW, Safiyyah belum genap berusia 17 tahun. Safiyyah tidak disukai oleh istri-istri Rasulullah SAW lainnya karena ia adalah anak keturunan Yahudi.

Sebelum menjadi istri Rasulullah SAW, ia telah menikah sebanyak dua kali. Pernikah pertama dengan laki-laki Yahudi dari Bani Quraizhah bernama Salam bin Misykam al-Qurazhi. Namun, pernikahan mereka tidak berlangsung lama, karena terjadi perceraian.


Kedua, Syafiyyah dinikahi oleh Kinanah bin Rabi’ bin Abi Huqaiq an-Nadhiri, lelaki berdarah Yahudi dari Bani Nadhir. Pernikahan tersebut juga tidak berlangsung lama sebab Kinanah terbunuh pada Perang Khaibar.

Awal Kehidupan Syafiyyah binti Huyay

Merujuk buku Kisah-Kisah Teladan Para Muslimah Hebat oleh Nisa Yustisia, Syafiyyah adalah putri Huyay bin Akhtab dan Barrah binti Samaual. Ayahnya merupakan pemimpin Bani Nadhir, salah satu kaum Yahudi.

Sejak kecil Syafiyyah rajin membaca dan mempelajari sejarah serta ilmu pengetahuan. Dari kitab Taurat, ia mengetahui bahwa akan datang seorang nabi dari jazirah Arab yang menjadi penutup seluruh nabi. Syafiyyah pun meyakini kebenaran berita itu.

Setelah muncul berita bahwa Nabi Muhammad SAW menyebarkan agama Islam di Mekkah, Syafiyyah langsung meyakini bahwa hal itu sesuai dengan apa yang ia pelajari di kitab Taurat. Ia justru heran kepada kaumnya yang tidak memercayai berita tersebut, termasuk ayahnya yang menentang dakwah Nabi Muhammad SAW.

Perang Khaibar

Kembali mengutip buku dari Nisa Yustisia, pada tahun 628 M, Bani Nadhir melakukan penyerangan terhadap kaum muslimin. Namun, Allah SWT menolong kaum muslimin sehingga mampu mengalahkan kaum Yahudi.

Dengan kemenangan tersebut, kaum muslimin mendapatkan harta rampasan perang dan menjadikan kaum wanita Yahudi sebagai tawanan perang. Syafiyyah adalah salah satu tawanan perang tersebut.

Pernikahan Syafiyyah binti Huyay dengan Rasulullah SAW

Mengutip buku Orang-orang yang Memusuhi Nabi Muhammad SAW oleh Kaha Anwar, Syafiyyah binti Huyay dinikahi oleh Rasulullah SAW pada usia 17 tahun. Ia dijadikan istri setelah peristiwa Perang Khaibar.

Sebelum dinikahi Rasulullah SAW setelah Perang Khaibar, Syafiyyah merupakan budak Dhiyah al-Kalabi. Kemudian Rasulluah SAW membeli Syafiyyah serta memberikannya dua pilihan.

Pilihan pertama, Syafiyyah dimerdekakan dan dikembalikan ke kaumnya. Pilihan kedua, Syafiyyah dimerdekakan dan dinikahi oleh Rasulullah SAW tapi harus masuk Islam. Akhirnya Syafiyyah memilih dinikahi Rasulullah dengan mahar berupa pembebasan statusnya dari budak.

Konon, sejak kedatangan Rasulullah SAW ke Madinah, sebenarnya Syafiyyah sudah tertarik dengan Islam. Apalagi ia adalah tetangga Rasulullah SAW sebelum Bani Nadhir diusir dari kampung halamannya. Namun, ia tidak berani mengucapkan ketertarikannya kepada Islam karena ayahnya membenci Rasulullah SAW.

Namun, kehadiran Syafiyyah sebagai istri Rasulullah SAW tidak disambut baik oleh para istri Nabi dan para wanita Muslimah di sana. Hal ini wajar, mengingat perilaku ayah Shafiyah yang sangat jahat dan kejam kepada Nabi. Dahulu, ayah Shafiyah sempat melempar batu pada Nabi.

Setelah Rasulullah SAW meninggal dunia, Syafiyyah merasa sangat terasingkan di tengah-tengah kaum muslimin. Karena sering mengungkit-ungkit garis keturunan Syafiyyah yang berasal dari Yahudi. Meskipun demikian, Syafiyyah tetap pada keimanannya dan melanjutkan perjuangan dakwah suaminya. Syafiyyah wafat pada masa kekhalifahan Mu’awiyah bin Abu Sufyan.

(hnh/lus)



Sumber : www.detik.com

Kisah Abdurrahman bin Auf Merangkak Masuk Surga karena Kekayaannya


Jakarta

Abdurrahman bin Auf RA merupakan seorang sahabat Rasulullah SAW yang sangat kaya. Ia juga gemar mengeluarkan hartanya untuk Allah SWT, agama, dan muslimin.

Disebutkan dalam buku Akidah Akhlak karya Aminudin dan Harjan Syuhada, Abdurrahman bin Auf RA lahir di Makkah 10 tahun setelah tahun Gajah. Ayahnya merupakan seorang petinggi tokoh bani Zuhrah yang bernama Auf bin Abdu Auf bin Abdu bin Al-Harits Az-Zuhri.

Ia termasuk dalam salah satu sahabat Rasulullah SAW yang pertama kali masuk Islam. Sebelum menjadi seorang muslim, ia bernama Abdu Amru. Barulah kemudian ia mengganti namanya menjadi Aburrahman bin Auf.


Di kalangan masyarakat, terutama kaum muslimin, ia terkenal sebagai sosok yang kaya raya dengan usahanya yang sukses. Namun demikian, ia tidak pernah berlaku sombong dan bahkan selalu menggelontorkan hartanya untuk di jalan Allah SWT.

Berkat kekayaannya, Rasulullah SAW bahkan pernah berkata kepada Abdurrahman bin Auf RA bahwa ia akan memasuki surga dengan merangkak. Lantas, bagaimanakah kisah sahabat nabi tersebut?

Kisah Abdurrahman bin Auf Masuk Surga

Sebagaimana dikisahkan dalam buku Biografi 60 Sahabat Nabi SAW yang ditulis oleh Khalid Muhammad Khalid, Ummul Mukminin, Aisyah RA pernah berkata bahwa ia pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Aku melihat Abdurrahman bin Auf RA masuk surga dengan merangkak.”

Mengapa Rasulullah SAW berkata demikian? Sebab Abdurrahman bin Auf RA memiliki harta kekayaan yang amat banyak dan melimpah. Bahkan, ia sendiri merasa heran dengan dirinya sendiri. Sehingga ia berkata, “Sungguh, aku melihat diriku ini seandainya mengangkat batu niscaya kutemukan emas dan perak di bawahnya.”

Kekayaan yang dimiliki Abdurrahman bin Auf RA diambil dari hal-hal yang baik saja dan tidak berasal dari perdagangan yang tercela. Ia bahkan tidak memiliki ambisi untuk menjadi kaya. Melainkan, ini takdir dari Allah SWT yang membuatnya demikian.

Salah satu faktor suksesnya perdagangan yang Abdurrahman bin Auf RA lakukan adalah cara dirinya dalam mengelola usahanya dan tujuan dia menghabiskan harta tersebut.

Ia hanya melakukan perdagangan dengan cara yang halal dan benar-benar menjauhkan diri dari segala bentuk jual beli yang haram, dan bahkan yang syubhat. Sedangkan hartanya ia habiskan hanya untuk berniaga dengan Allah SWT, atau digunakan untuk berjihad.

Sebagai seorang saudagar sukses, Abdurrahman bin Auf RA selalu rajin mengeluarkan hartanya di jalan Allah SWT tanpa tanggung-tanggung. Ia benar-benar mengamalkan nasihat Rasulullah SAW kepadanya,

“Wahai Ibnu Auf, engkau termasuk golongan orang kaya dan engkau akan masuk surga dengan merangkak. Karena itu, pinjamkanlah kekayaan itu kepada Allah, agar Dia mempermudah langkahmu.”

Dengan adanya nasihat dari Rasulullah SAW ini, Abdurrahman bin Auf RA yang semula sudah gemar bersedekah, menjadi lebih giat dalam menggelontorkan hartanya untuk agama.

Ia pernah menjual tanah seharga 40.000 dinar, kemudian semua uang itu ia bagi-bagikan kepada keluarganya bani Zuhrah istri-istri nabi dan untuk muslimin yang miskin.

Abdurrahman bin Auf RA juga pernah menyerahkan 500 ekor kuda untuk perlengkapan tentara Islam, sedangkan di hari yang lain ia menyerahkan 1.500 unta untuk mujahidin.

Menjelang wafat, Abdurrahman bin Auf RA mewasiatkan 50.000 dinar untuk diinfakkan di jalan Allah SWT dan uang sebanyak 400 dinar bagi setiap orang yang ikut Perang Badar yang masih hidup. Bahkan, Utsman bin Affan RA yang saat itu juga merupakan orang kaya, mendapat jatah darinya ini.

Utsman RA berkata, “Harta Abdurrahman bin Auf halal lagi bersih, dan memakan harta itu membawa keselamatan dan keberkahan.”

Ada pula yang mengatakan, “Seluruh penduduk Madinah berserikat dengan Abdurrahman bin Auf pada hartanya. Sepertiga dipinjamkannya kepada mereka, sepertiga lagi dipergunakannya untuk membayar utang-utang mereka, dan sepertiga sisanya dibagi-bagikannya kepada mereka.”

Inilah hal yang akan terjadi jika harta berada di tangan yang tepat, yakni kesejahteraan dan kemakmuran akan selalu terjaga di sekeliling orang itu. Inilah bukti bahwa Abdurrahman bin Auf RA merupakan orang yang bisa mengendalikan hartanya, bukan dikendalikan oleh hartanya.

Ia tidak ingin mengumpulkannya dan tidak pula menyimpannya. Bahkan jika ia mengumpulkannya, ia akan melakukan hal ini dengan tetap merendahkan hati dan dari jalan yang halal.

Abdurrahman bin Auf RA tidak pernah menikmati hartanya sendirian, namun ia gunakan kekayaan itu untuk keluarga, kerabat, teman, rasulnya, agama, dan Allah SWT.

Kisah tentang Abdurrahman bin Auf RA yang masuk surga dengan merangkak karena banyaknya harta yang ia miliki ini bersumber dari hadits yang lemah.

Wallahu a’lam.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Kisah Unta Nabi Saleh dan Ingkarnya Kaum Tsamud


Jakarta

Ada banyak kisah dari para nabi terdahulu yang mengandung pelajaran dan hikmah bagi umat Islam. Salah satunya kisah unta Nabi Saleh AS.

Nabi Saleh AS adalah satu dari 25 nabi utusan Allah SWT yang wajib diketahui umat Islam. Allah SWT mengutus Nabi Saleh AS pada kaum yang ingkar.

Kisah Unta Nabi Saleh

Dirangkum dari buku Menengok Kisah 25 Nabi & Rasul karya Ahmad Fatih, Allah SWT telah mengutus Nabi Saleh AS untuk menyampaikan ajaran Islam kepada kaum Tsamud di Al Hijr. Kaum Tsamud merupakan kaum yang sombong dan merendahkan kaum lainnya karena mereka memiliki banyak keahlian.


Kaum Tsamud juga merupakan kaum yang sangat menyimpang dari ajaran tauhid. Oleh karena itu, diutuslah Nabi Saleh AS untuk mengajak mereka kembali ke jalan yang benar.

Setelah mengajak kaum Tsamud kembali ke jalan yang benar, hanya sedikit yang menerima ajaran Nabi Saleh AS. Sebagian besar dari mereka menolak dan menganggap bahwa ucapan Nabi Saleh AS sebagai omong kosong.

Atas penolakan dari kaum Tsamud tersebut, Nabi Saleh AS kemudian memohon mukjizat kepada Allah SWT agar kaum Tsamud percaya kepadanya. Allah SWT pun mengabulkannya.

Allah SWT memerintahkan Nabi Saleh AS untuk memukulkan tangannya ke sebuah batu di depannya. Kemudian seekor unta betina yang besar dan gemuk pun muncul.

Kaum Tsamud terpukau karena melihat peristiwa tersebut. Meski sebagian mengakui kenabiannya, masih banyak kaum Tsamud yang menganggap bahwa Nabi Saleh AS melakukan sihir untuk mengelabui mereka.

Nabi Saleh AS berpesan agar tidak mengganggu unta betina tersebut. Namun, beliau mengizinkan kaumnya bergantian memerah dan meminum susu unta betina tersebut.

Meski demikian, kaum Tsamud yang menentang Nabi Saleh AS merasa khawatir. Sebab, unta tersebut meminum banyak air di sumber air kaum Tsamud, hingga ternak mereka kekurangan air. Maka dari itulah, kaum Tsamud berencana membunuh unta betina itu.

Rencana tersebut dilancarkan di kemudian hari. Dua pemuda kaum Tsamud berhasil membunuh unta betina Nabi Saleh AS dengan memanah betis dan menikam perut unta dengan pedang.

Mendengar kabar untanya dibunuh, Nabi Saleh AS bersedih. Kemudian beliau mengatakan bahwa akan ada azab bagi kaum Tsamud yang tidak kembali ke jalan yang benar.

Terdapat beberapa tanda bahwa kaum Tsamud mendapatkan azab. Pada hari pertama, wajah kaum Tsamud berubah menjadi kuning. Pada hari kedua, wajah mereka berubah menjadi merah. Pada hari ketiga, wajah mereka berubah menjadi hitam. Pada hari keempat, azab Allah SWT pun turun.

Sebelum Allah SWT menurunkan azab kepada kaum Tsamud, Nabi Saleh AS beserta pengikutnya telah pergi meninggalkan daerah tersebut. Kaum Tsamud berencana membunuh Nabi Saleh AS karena mendengar ancaman azab dari Nabi Saleh AS.

Ketika mereka akan membunuh Nabi Saleh AS, petir dan gempa bumi yang sangat dahsyat pun tiba-tiba datang. Batu-batuan besar yang tidak diketahui dari mana juga datang menimpa kepala mereka.

Hikmah dari Kisah Unta dan Nabi Saleh

Dirangkum dari buku Hikmah Kisah Nabi dan Rasul karya Ridwan Abdullah Sani dan Muhammad Kadri, salah satu hikmah yang dapat diambil dari kisah unta Nabi Saleh AS yaitu jika suatu kaum atau masyarakat melakukan dosa dan perbuatan mungkar, maka akan berakibat negatif dan menghancurkan masyarakat tersebut. Selain itu, setiap muslim juga harus berupaya untuk mencegah kemungkaran dengan sekuat mungkin.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Kisah Amru bin Utbah yang Tetap Salat Walau Dihampiri Singa


Jakarta

Ketika seorang muslim salat maka ia akan berjuang melawan rasa malas, pikiran duniawi yang mengganggu fokus salatnya dan juga kesibukan dunia. Namun, ada kisah menarik dari sahabat nabi yang diuji ketika salat.

Amru bin Utbah bin Farqad as-Salami merupakan hamba saleh dari kalangan tabi’in seseorang yang dikenal tekun dalam beribadah. Ia hidup pada awal-awal masa sahabat Rasulullah SAW.

Dari buku Shalat Orang-orang Saleh karya Ahmad Mushthafa Ath-thahthawi dijelaskan mengenai kisah Amru bin Utbah tetap menegakkan salat meski singa menghampirinya.


Permohonan Amru bin Utbah

Al-A’masy pernah bercerita: Saya pernah mendengar Amru bin Utbah berdoa, “Aku memohon tiga hal kepada Allah SWT. Saat ini Allah telah memberiku dua hal (dari tiga permohonan ku tadi). Dan aku masih menanti (terkabulnya permintaanku) yang ketiga. Aku memohon kepada-Nya agar menganugerahkan jiwa yang zuhud terhadap dunia sehingga aku tidak pernah memperdulikan nasib ku yang akan datang dan yang telah lewat. Aku juga memohon pada-Nya agar menguatkan diriku dalam melaksanakan salat dan Dia pun memberikannya. Dan terakhir aku memohon kepadanya agar aku dapat mati syahid. Inilah yang aku harapkan.”

Kisah Salat Amru bin Utbah Ketika Dihampiri Singa

Diriwayatkan dari Hasan al-Fazari, katanya budak Amru bin Utbah bercerita kepadaku.

Di siang hari yang panas kami terbangun, kami pun mencari Amru bin Utbah hingga kami dapati ia berada di atas sebuah gunung, sedang menunaikan salat dan bersujud. Padahal kala itu cuaca sedang mendung langit menggantung di atasnya, kami memayunginya.

Kami pun keluar (memerangi) musuh, tanpa menjaganya sebab salatnya banyak. Ketika suatu malam tiba, terdengar auman singa. Kami segera melarikan diri, sementara Amru bin Utbah masih tetap khusyuk melaksanakan salatnya.

Singa itu pun pergi, Amru bin Utbah pun menyelesaikan salatnya. Kami bertanya kepadanya, “Apakah Anda tidak takut pada singa?” ia menjawab, “Saya sungguh malu pada Allah SWT kalau harus takut kepada selain Allah SWT.”

Terdapat kisah lainnya, ketika Amru bin Utbah melaksanakan salat malam, datang segerombolan singa yang berhenti dihadapannya, seekor singa datang melingkari kakinya, namun tetap tidak membuatnya bergeming.

Ketika ia ingin sujud datanglah seekor singa di tempat sujudnya, dan Amru bin Utbah hanya menyingkirkan singa tersebut. Pagi harinya temannya datang menghampirinya, dan bertanya apa yang terjadi tadi malam ketika ia salat. Amru bin Utbah hanya menunjukan bekas gigitan singa pada kakinya.

Meninggalnya Amru bin Utbah

Dari buku Shalat Orang-Orang Shaleh: Menikmati Kisah-kisah Dahsyat Para Ahli Ibadah ditulis oleh Ahmad Musthfa al-Tathawi mengenai meninggalnya Amru bin Utbah.

Diriwayatkan dari Abdurrahman bin Yazid, “Amru bin Utbah keluar untuk mengikuti pertempuran dan ketika itu dia memakai jubah yang berwarna putih. Dia berkata, “Aku tidak merasa ada darah mengalir yang terkena pakaian putih ini. ‘Tidak lama kemudian, dia terkena panah musuh dari atas istana karena mereka telah dikepaung. Aku melihat darah menetes pada tempat yang telah ditunjukkan oleh Amru bin Utbah dari jasadnya (sebelum ia berangkat).

Hisyam berkata, “Ketika Amru bin Utbah meninggal dunia, sebagian sahabat berkunjung ke rumah saudara perempuannya, mereka bertanya, “Ceritakan kepada kami tentang kisahnya pada malam hari itu.”

Lalu saudara perempuan itu berkata, “Pada malam itu dia melakukan salat malam, dengan memulai membaca awal surah Ghafir hingga sampai ayat ini:

وَأَنذِرْهُمْ يَوْمَ الْآزِفَةِ

“Berilah mereka peringatan dengan hari yang dekat (hari kiamat).” (Ghafir: 18),

“Dia tidak melanjutkan ayat tersebut hingga datang waktu pagi.”

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

Terpilihnya Halimah As-Sa’diyyah Menjadi Ibu Susu Rasulullah SAW



Jakarta

Halimah As-Sa’diyyah adalah ibu susu Rasulullah SAW. Seperti apa kisahnya hingga akhirnya Aminah binti Wahb memilih Halimah untuk menyusukan Rasulullah?

Semua bermula di Arab wilayah Hijaz, terutama di Makkah. Biasanya mengikuti tradisi dan kebiasaan untuk mengirim anak-anak mereka, baik itu laki-laki maupun perempuan, kepada orang lain yang tinggal di luar kota untuk dirawat dan diasuh oleh mereka.

Beberapa waktu setelah kelahiran Nabi Muhammad SAW, orang Arab sering kali mengirim anak-anak mereka ke sebuah desa Badui. Mereka akan tinggal di sana hingga usia sekitar 7-8 tahun.


Dari budaya itulah pertemuan antara Baginda Nabi Muhammad SAW yang masih bayi bertemu dengan ibu susunya Halimah As-Sa’diyyah.

Terpilihnya Halimah As-Sa’diyyah

Dirangkum dari buku 99 Kisah Teladan Sahabat Perempuan Rasulullah karya Mashur Abdul Hakim mengenai pertemuan Halimah dan bayi Rasulullah. Halimah As-Sa’diyyah hadir bertemu dengan perempuan di Makkah untuk mengasuh dan menyusui anak-anak mereka. Sebab kebiasaan orang Makkah yang menitipkan anak mereka.

Halimah As-Sa’diyyah berkata, “Kami datang ke kota Makkah untuk menjadi perempuan tukang menyusui.” Pada saat itu ibu Aminah datang bersama Rasulullah SAW bayi, namun kesan pertamanya Halimah As-Sa’diyyah tidak mau menerima beliau.

Halimah menolak Nabi Muhammad SAW sebab punya suatu alasan, karena dapat informasi bahwa anak Aminah adalah anak yatim. Halimah berkata, “Saya juga yatim, padahal saya berharap kebaikan dari bapak anak itu.”

Sampai akhirnya sebelum berpisah Halimah berkata kepada suaminya, “Saya tidak menemukan anak yang mau saya susui. Demi Allah saya akan menemui anak yatim itu dan akan saya ambil.”

Suami Halimah menjawab, “Lakukanlah. Barangkali Allah memberikan berkah kepada kita dengan melakukan hal itu.”

Halimah berkata, “Ketika saya mengambil anak itu, saya membawa pulang ke kantong pelana saya, dia langsung menyambar kedua payudara saya, menyusu bersama saudara-saudara (sesusuan)nya.”

Suami Halimah berkata, “Ya Halimah, demi Allah, saya perhatikan kamu mendapatkan banyak berkah.”

Halimah As-Sa’diyyah Mendapat Keberkahan

Dari buku Meneladani Rasulullah Melalui Sejarah ditulis oleh Sri Januarti Rahayu dijelaskan ketika Halimah menggendong bayi Rasulullah, tiba-tiba hilang rasa kerepotan pada dirinya, dan ketika menyusui Rasulullah, bayi itu mampu menyedot air susu sesukanya sampai kenyang.

Anak kandung Halimah yang ikut dibawa juga bisa menyusui sampai kenyang, hingga kedua bayi tertidur pulas. Padahal ketika perjalanan menuju Makkah, Halimah dan suami tidak bisa tertidur karena bayi kandung mereka rewel.

Selain itu, keledainya yang sudah tua tidak mampu berjalan jauh apalagi membawa beban berat, tiba-tiba mampu berjalan cepat dan membawa mereka semua ke perkampungannya.

Saat tiba di daerah Bani Sa’ad, betapa terkejutnya Halimah dan suami menyaksikan sepetak tanah punya mereka menjadi sangat subur, domba yang mereka punya menjadi subur hingga bisa diperas susunya.

Demikian kisah Halimah As-Sa’diyyah saat menjadi ibu susu Nabi Muhammad SAW, hingga mendapatkan berbagai keberkahan dari Allah SWT saat mengasuh Rasulullah SAW.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

Kisah Nabi Nuh AS Berdakwah pada Bani Rasib Selama 950 Tahun



Jakarta

Nabi Nuh AS dikenal dengan sosoknya yang sangat sabar. Bagaimana tidak, ratusan tahun ia berdakwah, hanya sedikit saja dari kaumnya yang mau kembali ke jalan yang benar.

Dikisahkan dalam buku Mutiara Kisah 25 Nabi dan Rasul susunan M Arief Hakim, kaum Nuh AS yang disebut bani Rasib terkenal congkak dan zalim. Mereka terlena akan kekayaan yang dianugerahi Allah SWT.

Kaum Nabi Nuh AS memandang harta sebagai satu-satunya tolok ukur mengangkat martabat dan harga diri manusia. Pada zaman sang nabi, fakir miskin sangat diremehkan dan ditindas.


Saking congkaknya kaum Nuh AS ini, para budak dan binatang juga menjadi saksi. Hal ini membuat Nabi Nuh AS sedih, walau begitu ia terus berdakwah dengan harapan dapat mengembalikan kaumnya ke ajaran tauhid.

Ibnu Katsir dalam Qashash Al-Anbiyaa yang diterjemahkan H Dudi Rosyadi mengatakan Nuh AS diutus untuk menghapuskan kesesatan dan kegelapan dari kaumnya yang bernama bani Rasib itu. Selain zalim kepada sesamanya, mereka juga menyembah patung-patung orang saleh.

Bani Rasib menjadikan Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr, anak-anak Adam yang saleh, dengan meminta keberkahan dan rezeki dari mereka. Dakwah Nuh AS termaktub dalam surah Al Ankabut ayat 14. Allah SWT berfirman,

وَلَقَدْ اَرْسَلْنَا نُوْحًا اِلٰى قَوْمِهٖ فَلَبِثَ فِيْهِمْ اَلْفَ سَنَةٍ اِلَّا خَمْسِيْنَ عَامًا ۗفَاَخَذَهُمُ الطُّوْفَانُ وَهُمْ ظٰلِمُوْنَ ١٤

Artinya: “Sungguh, Kami benar-benar telah mengutus Nuh kepada kaumnya, lalu dia tinggal bersama mereka selama seribu tahun kurang lima puluh tahun. Kemudian, mereka dilanda banjir besar dalam keadaan sebagai orang-orang zalim.”

Sang nabi terus berdakwah selama 950 tahun tanpa mengenal waktu. Tak jarang ia mendapat ancaman dari kaumnya karena terus menyerukan ajaran tauhid.

“Setiap kali satu generasi berlalu, maka berpesan kepada generasi berikutnya agar tidak beriman kepada Nuh, arus memerangi dan menentangnya,” tulis Ibnu Katsir.

Nabi Nuh AS yang putus asa lalu berdoa kepada Allah SWT sebagaimana disebutkan dalam surah Asy Syu’ara ayat 117-118 yang berbunyi,

قَالَ رَبِّ اِنَّ قَوْمِيْ كَذَّبُوْنِۖ ١١٧ فَافْتَحْ بَيْنِيْ وَبَيْنَهُمْ فَتْحًا وَّنَجِّنِيْ وَمَنْ مَّعِيَ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ ١١٨

Artinya: “Dia (Nuh) berkata, “Wahai Tuhanku, sesungguhnya kaumku telah mendustakanku. Maka, berilah keputusan antara aku dan mereka serta selamatkanlah aku dan orang-orang mukmin bersamaku.”

Kemudian Allah SWT memerintahkan Nabi Nuh AS untuk membuat sebuah bahtera yang akan digunakan untuk menyelamatkannya beserta orang-orang mukmin dari azab banjir yang sangat dahsyat.

Selama pembuatannya, tentu tidak lepas dari ejekan dan cemoohan dari kaum tersebut. Namun, hal itu tidak membuat Nabi Nuh AS dan pengikut setianya berkecil hati, justru mereka semakin giat dalam membangun kapal itu.

Setelah kapal itu jadi, maka Allah SWT menepati janji-Nya. Dia memerintahkan Nabi Nuh AS untuk memasukkan hewan dengan berpasang-pasangan dan orang mukmin untuk masuk ke dalam kapal, sebab Dia akan segera menurunkan azab-Nya yang pedih.

Allah SWT mengirimkan hujan dari langit yang belum pernah dikenal di bumi sebelumnya, juga tidak akan pernah diturunkan lagi sesudahnya. Dia juga memerintahkan bumi untuk mengeluarkan air dari segala penjuru, sehingga seluruh permukaan bumi tertutup air.

Setelah berbulan-bulan berlayar di atas bahtera Nuh AS, air pun disurutkan, langit berhenti menurunkan hujan yang dahsyat, dan air yang keluar dari lubang di permukaan bumi pun ditutup. Banjir bandang itu telah usai.

Azab itu menewaskan seluruh bani Rasib yang enggan beriman kepada Allah SWT, termasuk anak Nuh AS yaitu Kan’an. Mereka yang selamat adalah orang-orang yang beriman kepada Allah SWT dan rasul-Nya.

Wallahu a’lam.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Kesedihan Mendalam Rasulullah dan Para Sahabat di Penghujung Ramadan


Jakarta

Datangnya Ramadan menjadi kabar gembira bagi umat Islam mengingat banyaknya keutamaan pada bulan tersebut. Sementara, berakhirnya Ramadan menyisakan kesedihan sebagaimana dialami Rasulullah SAW dan para sahabat.

Kisah kesedihan Rasulullah SAW dan para sahabat ini diceritakan dalam buku Kumpulan Khutbah Jumat karya Abdul Latif Wabula, Rasulullah SAW dan para sahabat merasa kesedihan yang mendalam setiap kali Ramadan hendak berakhir. Kesedihan tidak hanya dirasakan oleh manusia, tetapi juga langit, bumi, hingga malaikat.

Dalam sebuah riwayat, Rasulullah SAW bersabda, “Apabila tiba akhir malam dari bulan Ramadan, menangislah langit, bumi dan malaikat karena musibah yang menimpa umat Muhammad SAW,”


Sahabat lalu bertanya, “Musibah apakah wahai Rasulullah?”

Rasulullah SAW menjawab, “Berpisah dengan bulan Ramadan, sebab pada bulan Ramadan doa dikabulkan dan sedekah diterima.” (Diriwayatkan Jabir)

Orang-orang saleh terdahulu bahkan sampai menangis dan bersedih karena Ramadan akan segera pergi meninggalkan mereka.

Dijelaskan dalam buku Materi Khutbah Jumat Sepanjang Tahun karya Muhammad Khatib, alasan kesedihan mereka yaitu dengan berakhirnya bulan Ramadan, berakhir pula semua keutamaannya.

Di bulan Ramadan, pintu-pintu surga dibuka dan pintu neraka ditutup, setan-setan dibelenggu hingga ibadah terasa ringan, dan kaum muslimin berada di puncak kebaikan. Keutamaan-keutamaan tersebut tidak dapat dijumpai lagi di bulan lainnya.

Amalan di Penghujung Bulan Ramadan

Mengutip Syekh Zainudin Al-Malibari dalam kitab Fathul Mu’in, pada penghujung Ramadan atau lebih tepatnya 10 hari terakhir Ramadan, terdapat beberapa amalan yang dianjurkan untuk dilakukan, sebagai berikut.

Memperbanyak Sedekah

Hal ini bisa dilakukan dengan mencukupi kebutuhan keluarga, berbuat baik kepada kerabat serta tetangga, juga menyediakan buka puasa bagi orang yang berpuasa meski hanya segelas air.

Membaca Al-Qur’an

Waktu membaca Al-Qur’an yang lebih utama ialah akhir malam daripada awal malam. Hal ini sesuai dengan penjelasan Imam An-Nawawi. Membaca Al-Qur’an juga lebih utama dikerjakan di malam hari daripada siang hari karena membuat lebih fokus.

Iktikaf

Rasulullah SAW beritikaf di masjid pada 10 hari terakhir Ramadan, sebagaimana dijelaskan dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah RA ia berkata, “Rasulullah SAW selalu Iktikaf setiap bulan Ramadan selama 10 hari. Namun pada tahun dimana beliau wafat, beliau lktikaf selama 20 hari.” (HR Bukhari)

Menggencarkan Ibadah

Pada 10 hari terakhir Ramadan, umat Islam dianjurkan untuk menggencarkan ibadah. Dikutip dari Ringkasan Fikih Sunnah Sayyid Sabiq karya Syaikh Sulaiman Ahmad Yahya Al-Faifi, Rasulullah SAW menggiatkan ibadahnya di 10 hari terakhir Ramadan.

Diriwayatkan dari Aisyah RA, bahwa Rasulullah SAW apabila memasuki 10 hari terakhir, beliau menghidupkan malam dan membangunkan keluarganya, dan mengencangkan ikat sarungnya. (HR Bukhari dan Muslim)

Bersungguh-sungguh Meraih Lailatul Qadar

Malam Lailatul Qadar merupakan malam yang penuh kemuliaan dan keutamaan. Rasulullah SAW bersabda untuk mencari Lailatul Qadar dalam 10 hari terakhir Ramadan, sebagaimana dijelaskan dalam hadits yang diriwayatkan Aisyah RA,

Oleh karena itu, hendaknya umat Islam menggencarkan ibadah agar dapat menemui keutamaan malam Lailatul Qadar yang lebih baik daripada 1.000 bulan.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Kisah Haru Pertemuan Rasulullah SAW dengan Anak Yatim saat Lebaran



Jakarta

Seorang anak yatim di pinggiran Kota Madinah duduk jauh dari teman-teman sebayanya yang tengah merayakan Hari Raya Idul Fitri. Tak seperti teman-temannya yang mengenakan baju baru, ia hanya bisa menangis dan bersedih di hari raya itu.

Pemandangan ini menarik perhatian Rasulullah SAW. Beliau segera menghampiri anak itu, lalu bertanya, “Wahai Ananda, mengapa engkau tidak bermain seperti teman-temanmu itu?”

Anak itu pun menjawab dengan isakan tangis, “Wahai Tuan, saya sangat sedih. Teman-teman saya gembira memakai pakaian baru dan saya tak punya siapa-siapa untuk membelikan pakaian baru.”


Mendengar hal itu, Nabi SAW kembali bertanya terkait keberadaan orang tua dari sang anak.

Anak yang tidak mengenali orang yang di hadapannya adalah Rasulullah SAW itu mengatakan bahwa ayahnya telah syahid karena berperang. Lalu, ibunya menikah lagi dan seluruh harta sang ayah dibawa oleh ayah tirinya. Ayah tirinya pun mengusir anak itu dari rumah.

Usai mendengar kisah haru dan pilu itu, Rasulullah SAW langsung memeluk dan membelai anak tersebut seraya berkata, “Wahai Ananda, maukah engkau saya menjadi ayahmu, Aisyah sebagai ibumu, dan Fatimah menjadi saudarimu?”

Anak itu pun seketika menghentikan tangisnya, ia pun mengangguk setuju setelah mendengar tawaran dari Rasulullah SAW. Lalu, Rasulullah SAW pun membawa anak itu ke rumah dan diberikan pakaian, makanan yang layak serta uang saku untuk si anak.

Kisah haru anak yatim dan pertemuannya dengan Rasulullah SAW ini diceritakan dalam buku Al-Qur’an Hadis karya Fida’ Abdillah dan Yusak Burhanuddin dan buku Dahsyatnya Doa Anak Yatim karya M. Khalilurrahman Al Mahfani,

Dalam kitab Durratun Nashihin karya Syekh Utsman Hasan bin Ahmad as-Syakir al-Khuwairy yang diterjemahkan Moh. Syamsi Hasan diceritakan, setelah nampak gembira dengan pakaian baru pemberian Rasulullah SAW, anak kecil itu kembali menemui teman-teman sebayanya. Melihat anak itu, teman-temanya pun kebingungan sebab penampilan yang berbeda.

Anak kecil itu pun berkata, “Kemarin aku lapar, haus, dan yatim. Tetapi, sekarang aku bahagia karena Rasulullah SAW menjadi ayahku, Aisyah ibuku, Ali pamanku, dan Fatimah saudariku. Bagaimana aku tak bahagia?”

Setelah mendengar itu, teman-teman sebayanya merasa iri dan berandai jika mereka dapat diangkat sebagai anak Rasulullah SAW. “Andai saja bapak kami syahid saat peperangan, pasti sudah seperti engkau,” ujar teman-temanya.

Namun, kebahagiaan anak yatim itu kembali pupus setelah ditinggal wafat oleh Rasulullah SAW. Abu Bakar RA lah yang kemudian mengasuh anak yatim itu.

Hikmah Kisah Pertemuan Rasulullah dengan Anak Yatim

Hikmah yang dapat diambil dari kisah antara Rasulullah SAW dan anak yatim di Hari Raya Idul Fitri ialah untuk selalu menyantuni, memelihara, dan mengasuh anak yatim. Sebab anak yatim merupakan tanggung jawab setiap muslim, sebagaimana yang dilakukan Nabi Muhammad SAW. Terlebih dalam sebuah hadits, beliau bersabda,

“Aku dan orang yang mengurus (menanggung) anak yatim (kedudukannya) di dalam surga seperti ini.” Beliau mengisyaratkan dengan (kedua jarinya yaitu) telunjuk dan jari tengah serta agak merenggangkan keduanya.” (HR Bukhari)

Diterangkan Syaikh Sa’ad Yusuf Mahmud Abu Aziz dalam kitab Mausu’ah Al-Huquq Al-Islamiyah, makna dari hadits itu ialah seseorang yang mengasuh anak yatim kelak akan tinggal bersebelahan dengan Nabi SAW di surga.

Pengibaratan tersebut dimaksudkan balasan mulia bagi orang yang mengurus anak yatim, yakni lebih cepat masuk surga dan disediakan kedudukan tertinggi di dalamnya.

Keutamaan lain turut disebutkan dalam hadits, Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang menafkahi tiga anak yatim, sama keadaannya dengan orang yang beribadah sepanjang malam.” (HR Ibnu Majah)

Wallahu a’lam.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Sari Berita Penting