Rufaidah binti Sa’ad, Perawat Muslimah yang Jadi Relawan di Perang Uhud- Khandaq



Jakarta

Rufaidah binti Sa’ad merupakan salah satu tokoh yang berperan penting dalam sejarah Islam. Ia merupakan perawat muslimah pertama dalam sejarah Islam. Rufaidah binti Sa’ad adalah perawat kesehatan masyarakat dan pekerja sosial yang menjadi inspirasi bagi profesi perawat dunia Islam.

Rufaidah binti Sa’ad, Perawat Pertama dalam Islam

Dirangkum dari buku 66 Hadits Pilihan: Penggugah Jiwa Menjadi Muslim Unggul & Produktif karya A. R. Shohibul Ulum, pada zaman Nabi SAW, hiduplah seorang wanita yang dikenal dengan julukan perawat muslimah pertama dalam sejarah Islam yang bernama Rufaidah binti Sa’ad. Rufaidah binti Sa’ad Bani Aslam al-Khazraj lahir di Madinah pada 570 Masehi. Keluarganya termasuk kaum Ansar dan termasuk pemeluk Islam pertama di Madinah.

Rufaidah mendapat julukan “al-Aslamiyyah”, yaitu nisbat kepada marga di mana ia dilahirkan, yaitu di perkampungan Aslam, salah satu klan dari suku Khazraj di Madinah. Ia juga mendapatkan julukan “al-Fidaiyyah” karena keberaniannya menerobos kawasan perang untuk menyelamatkan dan mengobati pasukan muslim yang terluka.


Rufaidah binti Sa’ad pandai dalam membaca, menulis, serta dibesarkan dalam keluarga yang kaya raya. Rufaidah mempelajari ilmu keperawatan ketika ia membantu ayahnya, Sa’ad al-Aslami yang berprofesi sebagai dokter.

Mengutip buku Meniti Berkah dalam Setiap Langkah: Kisah Hebat Para Sahabiyah, Ilmuwan Muslimah, dan Muslimah Nusantara karya Ririn Astutiningrum, ayah Rufaidah adalah pemimpin tabib. Ayahnya sangat piawai dalam hal pengobatan karena selain mempelajari teknik pengobatan Arab, ia juga mempelajari praktik kesehatan bangsa lain yang berasal dari wilayah Persia, Romawi, Siria, dan India. Dari sinilah ia banyak belajar tentang ilmu keperawatan.

Sejak kecil Rufaidah sudah terbiasa dengan pekerjaan sebagai tabib dan perawat. Ketika beranjak remaja, sang ayah mulai melepas Rufaidah untuk melakukan praktik pengobatan sendiri.

Awal mula perjuangan Rufaidah dimulai ketika peperangan. Ia menjadi sukarelawan untuk membantu korban-korban perang dan mendirikan rumah sakit lapangan.

Rufaidah binti Sa’ad menjadi relawan yang merawat luka korban Perang Badar, Perang Uhud, Perang Khandaq, dan Perang Khaibar. Ia juga melatih beberapa kelompok perempuan untuk menjadi perawat. Dengan izin Nabi SAW, mereka ikut di garis belakang pertempuran agar dapat merawat pasukan Islam yang terluka dalam Perang Khaibar.

Setelah perang berakhir, Rufaidah membangun tenda di luar Masjid Nabawi untuk merawat muslim yang sakit. Tenda tersebut kemudian berkembang dan berdiri menjadi rumah sakit lapangan yang terkenal saat perang.

Rufaidah membagi jadwal para perawat menjadi dua sif (siang dan malam) agar para korban dapat ditangani dengan baik. Gagasan Rufaidah tersebut dianggap sebagai pelopor adanya pembagian sif yang berkalu seperti di rumah sakit sekarang ini.

Dalam melakukan tugasnya, Rufaidah dibantu oleh perawat wanita lainnya. Mereka adalah Ummu ‘Atiyah, Ummu Sulaim, Hamnah binti Jahsy, Layla al-Ghifariyah, Ummu Ayman, dan Rubayyi binti Mu’awwidz.

Imam Ibnu Hajar al-Asqalani mengutip riwayat Imam Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad dari Amir bin Qatadah dari Mahmud bin Labid bahwa ketika pelipis mata Sa’ad terluka ketika Perang Khandaq, Nabi SAW menyuruh orang-orang untuk membawanya ke Rufaidah. Rufaidah terus memantau kesembuhan Sa’ad. Atas jasanya itu, Nabi SAW memberinya bagian dari ghanimah (harta rampasan perang) sama seperti bagian laki-laki.

Tak hanya ketika perang terjadi, pengabdian Rufaidah juga dilakukan di luar perang. Ia membuka klinik gratis untuk orang yang membutuhkan pengobatan. Rufaidah juga mengajarkan pengalaman klinis kepada perawat lain yang dilatih dan bekerja dengannya.

Dalam peran sosialnya, Rufaidah melaksanakan peran komunitas dan memecahkan masalah sosial yang dapat mengakibatkan berbagai macam penyakit. Rufaidah binti Sa’ad adalah perawat kesehatan masyarakat dan pekerja sosial yang menjadi inspirasi bagi profesi perawat dunia Islam.

(dvs/dvs)



Sumber : www.detik.com

Hukum Wudhu bagi Wanita Haid, Haram atau Diperbolehkan?


Jakarta

Perempuan beriman yang sedang haid, kadang merindukan untuk melakukan wudhu sebagaimana hendak mendirikan salat. Namun, apa hukum wudhu bagi wanita haid tersebut? Apakah diperbolehkan atau malah dilarang? Berikut pembahasannya.

Wudhu merupakan kegiatan rutin yang dilakukan setiap muslim ketika hendak salat. Umat Islam melakukan wudhu minimal lima kali dalam sehari, belum lagi jika ditambah salat-salat sunah.

Bagi wanita beriman yang selalu menunaikan ibadah salat, tentunya akan merasa rindu untuk berwudhu dan mendirikan salat. Namun di saat yang sama, dirinya sedang berhadats besar, yakni haid.


Lalu, bagaimana hukum wudhu bagi wanita haid tersebut? Apakah dibenarkan dalam agama Islam? Berikut penjelasannya.

Masaji Antoro menyebutkan dalam buku yang berjudul Tanya Jawab Islam: Piss KTB, TIM Dakwah Pesantren yang disusun oleh Kyai Abdullah Afif dan Kyai Masaji Antoro (Gus Tohir), hukum wudhu bagi wanita haid ada tiga, yaitu:

1. Haram

Kyai Masaji Antoro menjawab mengenai persoalan ini dengan tiga hukum yang berbeda. Hukum wudhu bagi wanita haid yang pertama adalah haram dan tidak boleh dilakukan.

Wudhu bagi wanita haid ini haram apabila ia mempunyai tujuan untuk menghilangkan hadats atau untuk ibadah seperti halnya salat. Hal ini dikhawatirkan dapat menimbulkan “tanaaqud dan talaa’ub”

Tanaaqud sendiri maksudnya fungsi wudhu bertentangan dengan keadaan yang sedang terjadi. Di mana, wanita tersebut sedang berhadats besar yang tentu saja tidak akan bisa kembali suci hanya dengan melakukan wudhu.

Sementara itu, talaa’ub berarti mempermainkan ibadah sebab dia tahu wudhunya tidak bisa menghilangkan hadats berupa haidnya.

Oleh sebab itu, hukum wudhu bagi wanita haid bisa saja haram jika tujuannya adalah agar bisa melakukan sebuah ibadah tertentu.

2. Sunah

Hukum wudhu bagi wanita haid yang kedua adalah sunah. Hal ini bisa terjadi apabila wanita tersebut mempunyai tujuan bahwa wudhu yang ia lakukan untuk menghilangkan hadats atau untuk ibadah setelah berhentinya darah haid.

Dalam keadaan seperti ini, fungsi wudhu akan berubah menjadi taqlil alhadats, yaitu meringankan dan mengecilkan hadats yang sedang dialami.

Selain itu, wudhu ini juga memiliki fungsi lain yaitu nasyaath ghusli atau untuk merangsang badan agar bisa segera mandi besar dan kembali melakukan ibadah kepada Allah SWT tanpa halangan apa pun.

3. Mubah

Hukum wudhu bagi wanita haid yang terakhir menurut Masaji Antoro adalah boleh atau mubah. Atau dalam buku tersebut disebutkan bahwa hukumnya adalah tetap sunah.

Apabila wudhu seorang wanita haid itu tidak bertujuan untuk menghilangkan hadats atau ibadah melainkan wudhu yang tujuannya untuk ‘aadah/kebiasaan seperti Tabbarrud (menyejukkan dirinya) dan nazhoofah (kebersihan), maka hukumnya menjadi sunah atau mubah.

Hal ini diperbolehkan karena fungsi rof’i al hadats (menghilangkan hadats) atau taqlii al hadats (meringankan atau mengecilkan) hadats tidak terjadi dalam wudhu semacam ini dan tidak menimbulkan tanaaqud (fungsi) wudhu bertentangan dengan keadaannya yang sedang hadats.)

Sunah Berwudhu Sebelum Tidur untuk Wanita Haid

Wudhu tidak hanya dilakukan ketika seseorang hendak melakukan salat saja, namun wudhu juga dianjurkan oleh Rasulullah SAW untuk dikerjakan sebelum tidur.

Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam buku Fakta Ilmiah Amal Sunnah Rekomendasi Nabi karya Haviva.

Rasulullah SAW bersabda, “Apabila engkau hendak mendatangi pembaringan (tempat tidur), hendaklah berwudhu terlebih dahulu sebagaimana wudhumu untuk melakukan salat.” (HR Bukhari dan Muslim)

Lalu, apakah hukum wudhu bagi wanita haid ketika ia hendak melakukan sunah ini?

Dinukil dari buku Kumpulan Tanya Jawab Islam: Hasil Bahtsul Masail dan Tanya Jawab Agama Islam karya PISS-KTB, wanita yang sedang haid tidak disunahkan berwudhu sebelum tidur, kecuali jika darah haidnya sudah berhenti.

Imam Nawawi dalam syarah Muslim berkata,

“Adapun ashab kami, mereka sepakat bahwasannya tidak disunnahkan berwudhu bagi wanita haid dan wanita nifas. Karena berwudhu tidak akan berpengaruh pada hadats mereka berdua. Jika wanita haid sudah berhenti darah haidnya, maka dia seperti orang junub. Wallahu ‘Alam.” (Syarh An-Nawawi ala Al-Muslim)

(aeb/lus)



Sumber : www.detik.com

Haid dalam Islam Berapa Hari? Ini Pendapat Empat Mazhab


Jakarta

Dalam Islam, darah yang keluar dari rahim wanita memiliki tiga jenis, yaitu haid, nifas, dan istihadah. Setiap jenis darah tersebut memiliki hukum dan waktu yang berbeda.

Haid atau menstruasi biasanya terjadi setiap bulan pada wanita, dan terjadi selama beberapa hari. Setiap wanita memiliki lama haid yang berbeda-beda.

Lalu, haid dalam Islam berapa hari? Apa saja larangan ketika haid? Begini jawabannya menurut para ulama.


Pengertian Haid

Dikutip dari kitab Fiqhun Nisa’ fi Dhau’il Madzahibil Arba’ah wal Ijtihad al-Fiqhiyyah al-Mu’ashirah karya Muhammad Utsman al-Khasyat, haid adalah darah yang keluar dari rahim wanita yang telah baligh (dewasa) selama beberapa hari tertentu, bukan karena faktor melahirkan dan bukan pula karena faktor penyakit, warnanya merah kehitaman, jika disentuh terasa hangat seolah terbakar, dan aromanya tidak sedap.

Al-Qur’an juga telah memberikan penjelasan mengenai haid. Penjelasan mengenai haid tersebut termaktub dalam surah Al Baqarah ayat 222,

وَيَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الْمَحِيْضِ ۗ قُلْ هُوَ اَذًىۙ فَاعْتَزِلُوا النِّسَاۤءَ فِى الْمَحِيْضِۙ وَلَا تَقْرَبُوْهُنَّ حَتّٰى يَطْهُرْنَ ۚ فَاِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوْهُنَّ مِنْ حَيْثُ اَمَرَكُمُ اللّٰهُ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ التَّوَّابِيْنَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِيْنَ ٢٢٢

Artinya: “Mereka bertanya kepadamu (Nabi Muhammad) tentang haid. Katakanlah, “Itu adalah suatu kotoran.” Maka, jauhilah para istri (dari melakukan hubungan intim) pada waktu haid dan jangan kamu dekati mereka (untuk melakukan hubungan intim) hingga mereka suci (habis masa haid). Apabila mereka benar-benar suci (setelah mandi wajib), campurilah mereka sesuai dengan (ketentuan) yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.”

Haid memiliki beberapa sebutan, seperti yang termaktub dalam beberapa ayat dalam Al-Qur’an. Sebutan haid tersebut di antaranya,

Surah Al-Baqarah ayat 222,

وَيَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الْمَحِيْضِ

Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang mahidh (haid) …”

Surah Al-Baqarah ayat 228,

وَالْمُطَلَّقٰتُ يَتَرَبَّصْنَ بِاَنْفُسِهِنَّ ثَلٰثَةَ قُرُوْۤءٍۗ

Artinya: “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’ …”

Lamanya Haid dalam Islam

Mengutip dari sumber yang sama, setiap wanita memiliki lama haid yang berbeda-beda. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa hal seperti karena siklus yang tidak teratur, faktor keturunan, lingkungan, dan kondisi tubuhnya. Bisa juga terjadi karena perbedaan cuaca serta gaya hidup.

Para ulama memiliki perbedaan pendapat tentang lamanya haid dalam Islam. Hal tersebut dikarenakan Allah SWT tidak menetapkan lamanya masa haid yang dialami oleh setiap wanita.

Menurut Mazhab Syafi’i dan Hambali, haid dalam Islam terjadi minimal sehari-semalam. Kebanyakan haid terjadi dalam enam atau tujuh hari, dan maksimal 15 hari.

Menurut Mazhab Hanafi, haid dalam Islam terjadi tiga hari tiga malam. Pertengahan haid terjadi selama lima hari dan maksimalnya sepuluh hari.

Sedangkan menurut Mazhab maliki, haid dalam Islam tidak memiliki batasan minimal hari dalam kaitannya dengan masalah ibadah. Sebab, menurut mereka hitungan minimalnya adalah sekali pancaran atau sekal tetesan dalam waktu yang relatif sebentar.

Hal yang Dilarang ketika Haid

Ketika haid berlangsung, setiap wanita mestinya memahami serta menghindari larangan-larangan ketika haid. Beberapa larangan tersebut seperti yang tertera dalam buku Kitab Lengkap dan Praktis Fiqh Wanita karya Abdul Syukur al-Azizi yaitu,

Rasulullah SAW bersabda, “Jika datang haid maka tinggalkanlah salat, dan jika haidnya telah berhenti maka mandilah, lalu kerjakanlah salat.” (HR Bukhari dan Abu Dawud)

Rasulullah SAW bersabda, “Bukankah apabila wanita sedang haid, ia tidak boleh salat dan puasa?”

Aisyah RA berkata, “Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha salat.” (HR Bukhari dan Muslim)

Rasulullah SAW bersabda, “Apabila kamu sedang haid, lakukan semua praktik ibadah haji, kecuali tawaf di sekeliling Ka’bah hingga kamu suci.”

Aisyah RA berkata, “Jika salah satu di antara kami (istri-istri Nabi SAW) sedang haid, dan Rasulullah SAW akan tidur bersama, maka kami disuruh memakai kain, kemudian tidur bersama di luar kain.” Beliau melanjutkan, “Tetapi siapakah di antara kamu yang kuat menahan nafsunya sebagaimana Nabi SAW mampu menahan nafsunya.” (HR Bukhari)

  • Menyentuh dan membawa mushaf Al-Qur’an
  • Masuk ke dalam masjid (mazhab Syafi’i memperbolehkan berjalan di masjid selama tidak ada darah haid yang mengotori masjid, namun tidak boleh berdiam diri di dalamnya)

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Ketentuan Ziarah Kubur bagi Wanita Haid, Muslimah Pahami Ya!


Jakarta

Wanita haid diperbolehkan untuk melakukan ziarah kubur. Namun, ada sejumlah ketentuan yang perlu diperhatikan saat hendak ziarah.

Haid atau nifas bukan halangan bagi wanita untuk melakukan ziarah kubur. Sebab, ziarah kubur tidak dapat disamakan seperti ibadah salat, puasa, dan lain sebagainya yang harus suci dari nifas, sebagaimana dikutip dari buku Adab Berziarah Kubur untuk Wanita tulisan Mutmainah Afra Rabbani.

Adapun, dalil yang menjadi rujukan diizinkannya wanita dalam keadaan haid untuk berziarah kubur mengadu pada hadits yang berbunyi:


“Sesungguhnya aku dahulu telah melarang kalian untuk berziarah kubur, maka sekarang berziarahlah! Karena dengannya, akan bisa mengingatkan kepada hari akhirat dan akan menambah kebaikan bagi kalian. Maka barang siapa yang ingin berziarah maka lakukanlah, dan jangan kalian mengatakan ‘hujr’ (ucapan-ucapan batil).” (HR Muslim)

Menukil dari buku Kitab Fikih Wanita 4 Mazhab oleh Muhammad Utsman Al-Khasyt, pemberian izin pada hadits di atas ditujukan bagi umat Islam secara umum, baik itu wanita maupun pria.

Ketentuan Ziarah Kubur bagi Wanita Haid

Dijelaskan dalam buku JABALKAT I Jawaban Problematika Masyarakat susunan Tim Kodifikasi ANFA Purna Siswa MHM 2015, ada sejumlah adab yang harus diperhatikan oleh wanita haid ketika melaksanakan ziarah kubur.

Pertama, ketika membaca tahlil, surah Yasin dan surah-surah lainnya dalam Al-Qur’an tidak boleh diniati membaca Al-Qur’an. Hal ini seperti diungkapkan dalam hadits yang berbunyi,

“Seorang yang junub atau haid tidak diperkenankan membaca ayat Al-Qur’an.” (HR Ahmad)

Meski demikian, banyak wanita yang menunggu hingga haid atau nifasnya selesai untuk melakukan ziarah kubur. Sebab, pandangan di kalangan masyarakat ialah tidak diperkenankan bagi wanita haid untuk ziarah kubur.

Walau diperbolehkan, sebaiknya wanita tidak boleh terlalu sering melakukan ziarah kubur. Masih dari sumber yang sama, dikatakan bahwa melakukan ziarah kubur maka akan membawa penyalahgunaan hak suami, karena wanita tersebut lebih sering keluar rumah dan dilihat orang lain. Apalagi ziarah tersebut disertai dengan ratapan berlebihan seperti menangis atau meraung.

Selain itu, wanita memiliki kelemahan dan kelembutan tapi tidak kesabaran. Dikhawatirkan wanita tersebut akan berkata atau melakukan perbuatan yang salah saat melakukan ziarah kubur.

(aeb/erd)



Sumber : www.detik.com

5 Kriteria Muslimah yang Dirindukan oleh Surga, Apa Saja?


Jakarta

Surga merupakan tempat yang dijanjikan oleh Allah SWT bagi siapa saja yang taat kepada-Nya semasa hidup. Dalil terkait keberadaan surga tercantum dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits, salah satunya surah An Nisa ayat 13.

تِلْكَ حُدُودُ ٱللَّهِ ۚ وَمَن يُطِعِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ يُدْخِلْهُ جَنَّٰتٍ تَجْرِى مِن تَحْتِهَا ٱلْأَنْهَٰرُ خَٰلِدِينَ فِيهَا ۚ وَذَٰلِكَ ٱلْفَوْزُ ٱلْعَظِيمُ

Artinya: “(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar,”


Dalam sebuah riwayat, setidaknya ada empat wanita yang dijamin masuk surga. Nabi Muhammad SAW bersabda:

“Sebaik-baik wanita surga adalah Khadijah binti Khuwailid, Fatimah binti Muhammad, Maryam binti Imran, dan Asiyah binti Muzahim istri Fir’aun.” (HR Ibnu Hibban, Ahmad, Abu Ya’la, Ath-Thabrani, Abu Daud, dan Al-Hakim)

Selain keempat wanita yang dijelaskan dalam hadits tersebut, ada juga kriteria muslimah yang dirindukan oleh surga. Seperti apa? Berikut pemaparannya yang dinukil dari buku Reuni Ahli Surga susunan Ahmad Abi Al-Musabbih.

Kriteria Muslimah yang Dirindukan Surga

Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah hadits,

“Jika seorang wanita selalu menjaga salat lima waktu, juga berpuasa sebulan (di bulan Ramadan), menjaga kemaluannya (dari perbuatan zina) dan taat pada suaminya, maka dikatakan pada wanita tersebut, “Masuklah ke surga melalui pintu manapun yang engkau suka.” (HR Ahmad)

Berdasarkan riwayat tersebut, berikut kriteria muslimah yang dirindukan surga.

1. Menjaga Salat Lima Waktu

Sebagaimana yang kita ketahui, salat fardhu adalah kewajiban setiap umat Islam. Amalan ini juga menjadi yang pertama kali dihisab pada hari akhir kelak. Tak heran, muslimah yang menjaga salat lima waktunya akan dirindukan oleh surga.

2. Berpuasa di Bulan Ramadan

Puasa termasuk ke dalam rukun Islam. Tidak hanya laki-laki, wanita sekalipun juga wajib melaksanakan puasa Ramadan. Meski ada halangan biologis karena haid, mereka masih diberi kesempatan untuk melunasi hutang puasanya di luar bulan Ramadan.

3. Menghindari Zina

Zina adalah perbuatan dosa besar dan dilarang keras dalam Islam. Karenanya, wanita yang menghindari zina termasuk ke dalam golongan orang yang dirindukan surga.

4. Taat pada Suami

Setelah menikah, seorang muslimah harus taat pada suaminya. Namun perlu dipahami, suami yang dimaksud ialah yang dapat menuntun keluarganya menuju kebaikan, baik dari segi agama maupun kehidupan sosial.

5. Wanita yang Sabar

Terkait kriteria ini, dalam surah Al Ahzab ayat 35 Allah SWT berfirman:

إِنَّ ٱلْمُسْلِمِينَ وَٱلْمُسْلِمَٰتِ وَٱلْمُؤْمِنِينَ وَٱلْمُؤْمِنَٰتِ وَٱلْقَٰنِتِينَ وَٱلْقَٰنِتَٰتِ وَٱلصَّٰدِقِينَ وَٱلصَّٰدِقَٰتِ وَٱلصَّٰبِرِينَ وَٱلصَّٰبِرَٰتِ وَٱلْخَٰشِعِينَ وَٱلْخَٰشِعَٰتِ وَٱلْمُتَصَدِّقِينَ وَٱلْمُتَصَدِّقَٰتِ وَٱلصَّٰٓئِمِينَ وَٱلصَّٰٓئِمَٰتِ وَٱلْحَٰفِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَٱلْحَٰفِظَٰتِ وَٱلذَّٰكِرِينَ ٱللَّهَ كَثِيرًا وَٱلذَّٰكِرَٰتِ أَعَدَّ ٱللَّهُ لَهُم مَّغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا

Artinya: “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.”

Berdasarkan ayat tersebut, Allah SWT menjelaskan bahwa ada sejumlah kriteria untuk mereka yang ingin mendapat ampunan dan pahala yang besar, termasuk wanita yang sabar. Dengan demikian, sabar akan mengantarkan pada ampunan Allah SWT dan dari ampunan itu maka seseorang bisa mendapat rahmat-Nya yang berupa surga.

(aeb/lus)



Sumber : www.detik.com

Tak Mampu Bayar Fidyah dan Qadha, Ibu Hamil Harus Apa?



Jakarta

Kondisi hamil pada seorang wanita bisa memperoleh keringanan (rukhsah) untuk tidak berpuasa fardhu di bulan Ramadan. Namun di balik itu, mereka tetap harus menjalankan kewajiban dengan cara menggantinya melalui bayar fidyah atau qadha puasa.

Dua syarat yang membolehkan ibu hamil tak berpuasa dan boleh berbuka di antaranya yakni bila mereka khawatir akan kesehatan diri serta anaknya dan jika mereka khawatir akan anaknya saja. Seperti yang disebut Imam Al-Ghazali dalam Kitab Ihya Ulumiddin, ia menyebut rukhsah ibu hamil untuk tak berpuasa apabila mereka khawatir puasa dapat membahayakan diri maupun bayinya.

Untuk itu mereka wajib membayar fidyah sebanyak satu mud (enam ons) kepada seorang fakir miskin, atau boleh mengganti utang puasanya itu di luar bulan Ramadan sebanyak hari yang ditinggalkan. Sementara jika ibu hamil khawatir akan kesehatan anaknya saja, Syaikh Yahya Abdurrahman Al-Khatib dalam bukunya Ahkam al-Mar’ah al-Hamil fi Asy-Syari’ah al-Islamiyyah menjelaskan, bahwa ia hanya wajib qadha puasa tanpa membayar fidyah.


“Ini dalam kondisi wanita hamil mampu mengqadhanya. Jika mereka tidak mampu mengqadha, maka hukum dipindahkan kepada pengganti (lain), yakni membayar fidyah dengan memberi makan satu orang miskin sebagai ganti satu hari puasa (yang ditinggalkan),” demikian penjelasan dari Syaikh Al-Khatib.

Tak Mampu Bayar Fidyah dan Qadha, Ibu Hamil Harus Apa?

Karena Allah SWT menetapkan Islam bukan sebagai agama yang sulit melainkan banyak memberi kemudahan bagi umatnya, persoalan yang demikian juga diberi rukhsah. Sebagaimana pendapat Ustazah Lailatis mengutip HaiBunda, menurutnya, keringanan yang diberi kepada ibu hamil yang tak mampu bayar fidyah maupun qadha puasa yakni membayar fidyah semampunya.

Hal ini ia sandarkan pada sebuah riwayat di zaman Rasulullah SAW, yang mana ada seorang lelaki harus mengganti (kafarat) puasanya karena melakukan hubungan intim di siang hari bersama istrinya pada bulan Ramadan. Tetapi ia tidak mampu berpuasa dua bulan berturut-turut karena kerja berat.

Setelahnya, Rasulullah meminta ia memberi makan 60 orang miskin tetapi ia adalah orang paling miskin di sana. Kemudian, ada sahabat yang mampu untuk membantunya membayar utang, lalu ia diminta memberikan pada orang miskin, tapi dia yang paling miskin di antara dua bukit. Hingga akhirnya, bantuan tersebut kembali untuknya yang membutuhkan/

Dari riwayat itu bisa dipahami bahwa Rasulullah SAW memberi beberapa opsi keringanan kepada orang tersebut, hingga orang itu mampu mengerjakannya. Dalam artian semampu orang itu.

Bila dikaitkan dengan kondisi ibu hamil yang tak mampu qadha puasa karena fisiknya yang tak kuat dan dapat membahayakan janin, maka puasa di hari lain bukanlah hal yang tepat. Dan pilihan terbaik baginya adalah membayar fidyah.

Tetapi jika ia tak mampu pula secara finansial maka boleh semampunya dalam membayar fidyah. “Kalau tidak mampu membayar fidyah, maka bisa dibayar dengan ukuran semampu kita, paling tidak apa yang kita makan,” ungkap Ustazah Lailatis.

Bagaimana bila ibu hamil tersebut tidak jua mampu membayar fidyah dengan apa yang dimakannya? Penjelasan selengkapnya bisa cek DI SINI, ya.

(rah/rah)



Sumber : www.detik.com

Hukum Itikaf bagi Wanita Menurut Mazhab Syafi’i, Bolehkah?



Jakarta

Itikaf adalah amalan di bulan Ramadan yang biasanya dilakukan di masjid. Bagaimana hukum itikaf bagi wanita?

Menurut bahasa, itikaf memiliki arti berdiam diri yakni tetap di atas sesuatu. Orang yang beritikaf disebut mu’takif.

Anjuran Itikaf

Merujuk dari Kitab Fiqh as-Sunnah li an-Nisa’ karya Abu Malik Kamal Ibn Sayyid Salim, dianjurkan bagi kaum wanita sebagaimana kaum laki-laki untuk bersungguh-sungguh dalam beribadah pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan.


Hal ini bertujuan untuk memperoleh kebaikan dan mendapatkan malam lailatul qadar. Karena itulah, seorang suami dianjurkan untuk membangunkan istrinya pada malam-malam tersebut untuk melaksanakan salat malam.

Rasulullah SAW mengatakan bahwa beliau akan beritikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan. Aisyah RA lalu meminta izin kepada beliau untuk beritikaf dan beliau pun mengizinkannya.

Aisyah juga berkata, “Nabi SAW melakukan itikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan hingga beliau wafat. Kemudian istri-istri beliau beritikaf sepeninggal beliau.” (HR Bukhari dan Muslim)

Hukum Itikaf bagi Wanita

Syaikh Abdurrahman Al-Juzairi dalam Kitab Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah mengatakan, menurut mazhab Syafi’i hukum itikaf adalah sunnah muakkad, baik di bulan Ramadan mapun di bulan lainnya, dan sunnah muakkadnya lebih ditekankan lagi pada sepuluh hari yang akhir.

Adapun, hukum itikaf bisa menjadi wakib ketika hal itu dinazarkan oleh seseorang. Maka, wajib baginya melakukan itikaf.

Namun, apabila tidak dinazarkan, semua ulama sepakat bahwa itikaf hukumnya mutlak disunnahkan. Hukum tersebut berlaku bagi laki-laki dan wanita.

Menurut mazhab Syafi’i apabila seorang wanita melakukan itikaf tanpa seizin dari suaminya, maka itikaf itu tetap sah meskipun dia dianggap telah melakukan perbuatan dosa. Dimakruhkan pula bagi wanita yang berparas cantik untuk melakukan itikaf meskipun dia diberikan izin oleh suaminya.

Berikut ini beberapa hal yang berkaitan dengan hukum itikaf bagi seorang wanita:

1. Seorang wanita tidak boleh beritikaf kecuali dengan izin dari suaminya

Wanita hanya boleh keluar rumah dengan izin suaminya. Dan telah disebutkan sebelumnya bahwa Aisyah RA dan begitu pula Hafshah RA meminta izin dari Nabi Muhammad SAW untuk beritikaf.

2. Apabila seorang suami telah mengizinkan istrinya untuk beritikaf maka:

  • Jika itikafnya adalah itikaf sunnah, maka ia boleh mengeluarkan istrinya dari itikafnya itu. Ketika Aisyah RA meminta izin kepada Nabi Muhammad SAW untuk beritikaf dan kemudian Zainab, beliau khawatir jika itikaf mereka itu tidak lagi didasari dengan keikhlasan, namun hanya karena ingin dekat dengan beliau, yang didorong oleh rasa cemburu mereka terhadap beliau, maka beliau mengeluarkan mereka dari itikaf mereka dan berkata, “… Apakah mereka benar-benar mengharapkan kebaikan? Aku tidak akan beritikaf….”
  • Dan apabila itikafnya adalah itikaf wajib (seperti untuk memenuhi nazar misalnya, maka nazarnya itu tidak terlepas dari dua macam: pertama ia bernazar untuk beritikaf secara berturut-turut (ia bernazar untuk beritikaf pada sepuluh hari terakhir), dan suaminya telah mengizinkannya, maka sang suami tidak boleh mengeluarkannya dari itikafnya itu. Namun, jika ia tidak menyebutkan di dalam nazarnya untuk beritikaf secara berturut-turut, maka suaminya boleh mengeluarkannya, dan di kemudian hari ia dapat menyempurnakan nazarnya tersebut.

Syarat Itikaf

Masih di dalam buku yang sama, berikut syarat itikaf:

  • Beragama Islam.
  • Mumayiz, bisa membedakan antara yang benar dan salah.
  • Melaksanakannya di dalam masjid.

Menurut mazhab Syafi’i dan Maliki, niat merupakan salah satu rukun utkaf, bukan hanya sekadar syarat, sebagaimana telah diterangkan sebelumnya. Adapun menurut mazhab Syafi’i tidak disyaratkan pula dalam berniat untuk dilakukan ketika sudah berdiam diri di dalam masjid.

Oleh karena itu, jika seseorang berniat untuk itikaf dalam keadaan datang dan pergi (bolak-balik) di masjid tersebut, maka niat itikafnya juga dianggap sah, bahkan orang yang hanya sekedar melewati masjid saja lalu meniatkan diri untuk beritikaf, maka niat dan itikafnya itu dianggap sah.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Ini Amalan yang Bisa Dikerjakan Wanita Haid untuk Raih Malam Lailatul Qadar



Jakarta

Lailatul qadar disebut sebagai malam yang lebih mulia dari seribu bulan. Bahkan, keistimewaan malam lailatul qadar hanya diberikan kepada umat Nabi Muhammad SAW.

Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa para nabi terdahulu ingin kembali hidup meski tidak membawa ajarannya hanya demi menjadi umat Rasulullah SAW dan mendapatkan malam lailatul qadar. Pada malam yang diprediksi jatuh pada 10 hari terakhir Ramadan itu, umat Islam berbondong-bondong meraih keutamaan dengan mengerjakan berbagai amalan.

Menukil dari Buku Pintar Muslim dan Muslimah tulisan Rina Ulfatul Hasanah, di malam lailatul qadar Allah SWT memerintahkan para malaikat-Nya untuk turun ke Bumi dan menuliskan segala urusan seperti takdir, rezeki dan ajal yang ada pada tahun tersebut. Hal ini didasarkan dalam surat Al-Qadr ayat 4 yang berbunyi:


تَنَزَّلُ ٱلْمَلَٰٓئِكَةُ وَٱلرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِم مِّن كُلِّ أَمْرٍ

Arab latin: Tanazzalul-malā`ikatu war-rụḥu fīhā bi`iżni rabbihim, ming kulli amr

Artinya: “Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan,”

Namun, bagaimana dengan wanita haid? Seperti yang kita ketahui, wanita yang sedang haid atau nifas tidak diperbolehkan untuk mengerjakan ibadah salat ataupun membaca Al-Qur’an.

Amalan bagi Wanita Haid untuk Meraih Malam Lailatul Qadar

Muhammad Adam Hussain SPd MQHi dalam bukunya yang bertajuk Sukses Berburu Lailatul Qadar menjelaskan bahwa ada sejumlah amalan yang bisa dikerjakan oleh wanita haid untuk meraih malam lailatul qadar. Salah satunya membaca Al-Qur’an tanpa menyentuh mushaf, ini sesuai dengan pendapat dalam at Tamhid (17/397), Ibnu Abdil Barr berkata:

“Para pakar fiqh dari berbagai kota baik Madinah, Irak, dan Syam tidak berselisih pendapat bahwa mushaf tidaklah boleh disentuh melainkan oleh orang yang suci dalam artian berwudhu. inilah pendapat Imam Malik, Syafi’i, Abu Hanifah, Sufyan ats Tsauri, al Auzai, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahuyah, Abu Tsaur dan Abu Ubaid. Merekalah para pakar fiqh dan hadits di masanya,”

Selain membaca Al-Qur’an tanpa menyentuh mushaf, ada juga amalan lainnya yang dapat dikerjakan. Antara lain sebagai berikut:

  • Berzikir dengan memperbanyak bacaan tasbih (subhanallah), tahlil (laa ilaha illallah), tahmid (alhamdulillah) dan zikir lainnya
  • Memperbanyak istighfar
  • Memperbanyak doa

Menurut buku Ibadah Penuh Berkah Ketika Haid dan Nifas karya Himatu Mardiah Rosana, wanita dalam kondisi haid bisa mengerjakan amalan-amalan tersebut karena tergolong ibadah mahdhah yang tidak mensyaratkan kesucian dalam melakukan istighfar, zikir, dan doa. Ada juga yang menyarankan untuk perbanyak doa yang dilafalkan oleh Aisyah RA sesuai hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah.

Dari Aisyah RA, beliau berkata:

“Wahai Rasulullah, apa pendapatmu jika aku ketepatan mendapatkan malam lailatul qadar, apa yang harus aku ucapkan?”

Nabi SAW menjawab:

“Ucapkanlah; ya Allah, sesungguhnya Engkau maha pemaaf mencintai kemaafan, maka maafkanlah daku,” (HR Ibnu Majah).

(aeb/lus)



Sumber : www.detik.com

Surat At Tahrim Ayat 4, Kisahkan Sikap Cemburu Istri Rasulullah dan Jelaskan Keutamaan Bertaubat



Jakarta

Surat At Tahrim bermakna mengharamkan. Surat ini diturunkan di Madinah sesudah surat Al Hujurat dan diturunkan pada masa Nabi Muhammad SAW berada di Madinah sehingga ia disebut sebagai surat Madaniyyah. Adapun surat At Tahrim adalah surat ke-66 dalam Al-Quran dan terdiri dari 12 ayat.

Bacaan Surat At Tahrim Ayat 4

اِنْ تَتُوْبَآ اِلَى اللّٰهِ فَقَدْ صَغَتْ قُلُوْبُكُمَاۚ وَاِنْ تَظٰهَرَا عَلَيْهِ فَاِنَّ اللّٰهَ هُوَ مَوْلٰىهُ وَجِبْرِيْلُ وَصَالِحُ الْمُؤْمِنِيْنَۚ وَالْمَلٰۤىِٕكَةُ بَعْدَ ذٰلِكَ ظَهِيْرٌ

Artinya: Jika kamu berdua bertaubat kepada Allah, sungguh hati kamu berdua telah condong (pada kebenaran) dan jika kamu berdua saling membantu menyusahkan dia (Nabi), sesungguhnya Allahlah pelindungnya. Demikian juga Jibril dan orang-orang mukmin yang saleh. Selain itu, malaikat-malaikat (juga ikut) menolong.


Isi Kandungan Surat At Tahrim Ayat 4

Secara keseluruhan, surat At Tahrim menjelaskan tentang sikap para istri Nabi SAW yang disebabkan oleh rasa cemburu dan beberapa peristiwa lain yang terjadi di kalangan mereka, serta perintah agar mereka bertaubat, dan jangan terus-menerus bersikap menantang (melawan).

Surat ini diturunkan oleh Allah sebagai bentuk respons atas sikap Hafshah dan Aisyah, yang menjadi sebab Rasulullah mengharamkan dirinya dari sesuatu yang dia senangi. Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa Rasulullah menyukai makanan-makanan yang manis dan madu.

Singkat cerita, Hafshah dan Aisyah bekerja sama dalam kecemburuan mereka sehingga Rasulullah pun bersumpah tidak akan meminum madu. Berkenaan dengan hal tersebut, Allah pun menawarkan pertaubatan kepada dua istri Nabi tersebut. Sungguh Allah mengampuni dosa-dosa mereka yang bertaubat. Allah pun mengampuni tindakan Nabi yang tidak mau meminum madu, padahal madu itu halal diminum.

Dalam ayat ini terdapat keutamaan dan kemulian Nabi Muhammad SAW. Demikian juga terdapat peringatan terhadap dua istri Nabi SAW tersebut, dan pada ayat selanjutnya terdapat peringatan yang lebih besar lagi, yaitu talak (cerai).

Hal tersebut dijelaskan dalam surat At Tahrim ayat 5 yang berbunyi, “Jika dia (Nabi) menceraikan kamu, boleh jadi Tuhan akan memberi ganti kepadanya dengan istri-istri yang lebih baik dari kamu, perempuan-perempuan yang patuh, yang beriman, yang taat, yang bertobat, yang beribadah, yang berpuasa, yang janda dan yang perawan.”

Cemburunya Hafshah dan Aisyah

Prof. Dr. Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy dalam Tafsir Al-Quranul Majid An-Nur Jilid 4 memaparkan jika mereka berdua (Hafshah dan Aisyah) bertaubat kepada Allah dari dosa yang telah mereka kerjakan, maka berarti hati mereka telah cenderung kembali kepada kebajikan dan mereka telah menunaikan tugas mereka terhadap Rasul.

Menurut sebuah riwayat, Nabi meminum madu di rumah Zainab binti Jahsy. Nabi bersumpah tidak akan meminum madu lagi kepada Hafshah, dan Hafshahlah yang membuka rahasia itu kepada Aisyah. Maka, Hafshah dan Aisyahlah yang dimaksud, “Jika kamu berdua bertaubat kepada Allah.”

Jika mereka berdua bekerja sama untuk menyakiti Nabi karena cemburu, maka Nabi akan tetap memperoleh penolong. Allah adalah penolongnya. Adapun Jibril, orang-orang mukmin yang saleh, dan para malaikat akan menjadi penolong Nabi dan bahu-membahu mendatangkan keridhaan kepada Nabi.

Menjelaskan Keutamaan Bertaubat

Berdasarkan hal-hal yang telah dipaparkan, ayat ke-4 Surat At Tahrim memberikan pengajaran bahwa Allah Maha Penyayang lagi Maha Pengampun. Ia menurunkan ayat sebagai bentuk peringatan dan juga kepeduliannya terhadap rumah tangga Rasul-Nya.

Allah bahkan berfirman dalam Al-Qur’an surat Al Baqarah ayat 222,

اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ التَّوَّابِيْنَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِيْنَ

Artinya: Sungguh, Allah menyukai orang yang tobat dan menyukai orang yang menyucikan diri.

Mengutip buku Ilmu Tasawuf: Penguatan Mental-Spiritual dan Akhlaq oleh Dr. H. Imam Kanafi, M.Ag., Rasulullah bersabda, “Seseorang yang bertaubat dari dosanya itu adalah sama dengan orang yang tidak mempunyai dosa.” (HR Ibnu Majah).

Senada dengan hal tersebut, orang-orang yang mau bertaubat akan lebih dekat dengan Allah dan hal-hal yang bersifat kebajikan. Atas kemauan memperbaiki kesalahan dan mengingat dosa-dosa yang telah lalu, Allah juga selalu turunkan rahmat dan hidayah-Nya untuk seseorang tersebut.

Dengan demikian, Surat At Tahrim ayat 4 menjelaskan betapa Allah Maha Pemaaf. Ia menyukai hamba-Nya yang mau memperbaiki dirinya, mengoreksi kesalahannya, dan juga memohon ampun pada-Nya. Allah juga tidak akan menurunkan siksa pada mereka yang mau bertaubat.

(dvs/dvs)



Sumber : www.detik.com

Kenapa Jumlah Kain Kafan Wanita Lebih Banyak dari Laki-laki?



Yogyakarta

Mengkafani jenazah menjadi kewajiban seorang muslim terhadap saudaranya yang meninggal dunia. Sebelum mengkafani jenazah, umat muslim perlu mengetahui jumlah kain kafan yang harus digunakan.

Mengutip dari Kitab Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid Jilid 1 karya Ibnu Rusyd, para jumhur ulama menyatakan bahwa kain kafan wanita jumlahnya lebih banyak dari laki-laki. Mengapa begitu?

Alasan Kain Kafan Wanita Jumlahnya Lebih Banyak

Masih dalam sumber yang sama, kain kafan wanita jumlahnya lebih banyak karena aurat yang harus ditutupi juga lebih banyak. Pada dasarnya, wanita dalam Islam disyariatkan untuk menutup aurat dalam berpakaian sehingga ketika meninggal dunia pun jumlah kain kafan yang digunakan lebih banyak dari jenazah laki-laki.


Jumhur ulama menentukan jumlah kain kafan bagi jenazah laki-laki sebanyak tiga lapis kain, sementara jenazah wanita sebanyak lima lapis kain. Hal tersebut didasarkan pada sebuah riwayat yang menceritakan ketika jenazah Rasulullah SAW dikafani:

أَنَّ الرَّسُوْلَ اللهِ ﷺ كُفِنَ فِي ثَلَاثَةِ أَثْوَابِ بِيْضٍ سَحُوْلِيَّةٍ لَيْسَ فِيْهَا قَمِيْصُ وَلَا عِمَامَةٌ

Artinya: “Sesungguhnya jenazah Rasulullah SAW dikafani dengan tiga lapis kain putih, tanpa gamis dan sorban.” (HR Bukhari dan Muslim).

Sementara itu, banyaknya kain wanita didasarkan pada hadits riwayat Abu Dawud yang bersumber dari Laila binti Qa’if Ats Tsaqafiyyah, ia berkata:

كُنْتُ فِيْمَنْ غَسَّلَ أُمَّ كُلِّقَوْمٍ بِنْتَ رَسُولِ اللهِ ﷺ فَكَانَ أَوَّلُ مَا أَعْطَانِي رَسُولُ اللهِ ﷺ الْحِقْوَ، ثُمَّ الدَّرْعَ، ثُمَّ الْخِمَارَ، ثُمَّ الْمِلْحَفَةَ، ثُمَّ أُدْرِجَتْ بَعْدُ فِي التَّوْبِ الْآخَرِ، قَالَتْ: وَرَسُولُ اللَّهِ ﷺ جَالِسٌ عِنْدَ الْبَابِ مَعَهُ أَكْفَانُهَا، يُنَاوِلُنَاهَا ثَوْبًا ثَوْبًا

Artinya: “Aku termasuk orang yang turut memandikan jenazah Ummu Kultsum, putri Rasulullah SAW. Pertama kali yang diberikan oleh Rasulullah kepadaku ialah kain sarung, lalu jubah untuk perempuan, lalu kerudung panjang, lalu selimut. Kemudian setelah itu aku memasukkannya pada lapis kain yang terakhir,” kata Laila binti Qa’if, saat itu Rasulullah SAW duduk di dekat pintu sambil memegang kafan-kafan untuk putrinya, lalu kami menerima kafan-kafan tersebut satu persatu.” (HR Abu Dawud).

Sunah dalam Mengkafani Jenazah

Berdasarkan buku Terjemahan Majmu Syarif karya Ust. Muiz al-Bantani, beberapa sunah dalam mengkafani jenazah yang perlu dipahami umat muslim, yaitu sebagai berikut.

1. Kain kafan yang digunakan hendaknya kain kafan yang bagus, bersih, dan menutupi seluruh tubuh mayat.

2. Kain kafan hendaknya berwarna putih.

3. Jumlah kain kafan untuk mayat laki-laki hendaknya 3 lapis, sedangkan mayat perempuan 5 lapis.

4. Sebelum kain kafan digunakan untuk membungkus atau mengkafani jenazah, hendaknya diberi wangi-wangian terlebih dahulu.

5. Tidak berlebih-lebihan dalam mengkafani jenazah.

Cara Mengkafani Jenazah Wanita

Dilansir dari buku Fikih Madrasah Aliyah Kelas X karya Harjan Syuhada, kain kafan wanita terdiri atas 5 lembar kain putih dengan penggunaan sebagai berikut:

· Lembar pertama yang paling bawah digunakan untuk menutupi seluruh badan dan kain ini paling lebar di antara lainnya.

· Lembar kedua sebagai kerudung kepala.

· Lembar ketiga sebagai baju kurung.

· Lembar keempat untuk menutup pinggang hingga kaki.

· Lembar kelima untuk menutup pinggul dan pahanya.

Adapun cara mengkafani jenazah perempuan, yaitu:

1. Susun kain kafan yang telah dipotong-potong untuk masing-masing bagian dengan tertib. Angkatlah jenazah dalam keadaan tertutup dengan kain dan letakkan di atas kain kafan sejajar serta taburi dengan wangi-wangian atau dengan kapur barus.

2. Tutup lubang-lubang yang mungkin masih mengeluarkan kotoran dengan kapas.

3. Tutupkan kain pembungkus pada kedua pahanya.

4. Pakaikan sarung (cukup disobek saja, tidak dijahit).

5. Pakaikan baju kurungnya (cukup disobek, tidak dijahit).

6. Dandani rambutnya lalu julurkan ke belakang.

7. Pakaikan tutup kepalanya (kerudung).

8. Bungkus dengan lembar kain terakhir dengan cara menemukan kedua ujung kain kiri dan kanan lalu digulung ke dalam. Setelah itu, ikat dengan sobekan pinggir kain kafan yang setelahnya telah disiapkan di bagian bawah kain kafan, tiga atau lima ikatan. Tali ikatan ini akan dilepaskan setelah mayat dibaringkan di liang lahat.

Demikian penjelasan kenapa kain kafan wanita jumlahnya lebih banyak dari laki-laki beserta cara mengkafaninya, semoga bermanfaat.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

Sari Berita Penting