Hafsah binti Umar, Wanita Mulia Penjaga Al-Qur’an



Jakarta

Hafsah binti Umar RA merupakan istri ke-4 Rasulullah SAW. Ia merupakan putri dari Umar bin Khattab RA.

Merujuk dari buku Agungnya Taman Cinta Sang Rasul karya Ustadzah Azizah Hefni, setelah menikah dengan Aisyah RA, Rasulullah SAW menikah dengan Hafsah binti Umar RA.

Pernikahan ini bertujuan untuk mengikatkan tali persaudaraan antara Rasulullah SAW dengan Umar bin Khattab RA. Hal ini juga ditujukan sebagai penghormatan, kesejatian, dan simbol kekuatan.


Pernikahan Rasulullah SAW dengan Hafsah RA menjadi suatu penghargaan beliau terhadap Umar RA, sahabat yang mendedikasikan secara keseluruhan hidupnya untuk Islam.

Terlebih Hafsah RA merupakan seorang janda dari mujahid dan muhajir, Khunais bin Hudzafah as-Sahami yang sangat dihormati, berjasa, dan dikasihi oleh Rasulullah SAW.

Hafsah RA adalah seorang wanita berkulit hitam seperti ayahnya. la adalah wanita yang tegas, pemarah, dan bersedia menggertak orang lain. Sangat mirip dengan tabiat ayahnya. Namun, ia adalah wanita yang sangat baik.

la adalah wanita salihah yang sangat taat pada agama. Sebagai istri Rasulullah SAW, hubungan Aisyah RA dan Hafsah RA tidaklah ada masalah. Keduanya selalu bekerja sama mengatur rumah tangga mereka dengan Rasulullah SAW.

Mereka juga selalu bersepakat dan bertukar pikiran tentang pengaturan rumah Rasulullah SAW. Mereka seperti dua sahabat yang selalu memberikan masukan terbaik satu sama lain dalam urusan rumah tangga, juga agama.

Namun, mereka tetaplah wanita yang tidak dengan mudah membagi hati mereka. Baik Aisyah RA ataupun Hafsah RA, sama-sama berlomba-lomba untuk menjadi istri Rasulullah SAW yang paling unggul. Mereka yang bisa dikatakan sebaya, selalu berlomba-lomba menarik perhatian Rasulullah SAW lewat sikap sikap terbaik mereka sebagai seorang istri.

Sebenarnya, Umar bin Khathab RA amatlah tahu bahwa Aisyah RA mendapatkan kedudukan tinggi di hati Rasulullah SAW. Mereka juga tahu, siapa pun yang menyebabkan kemarahan Aisyah RA, maka sama halnya dengan menyebabkan kemarahan Rasulullah SAW.

Siapa pun yang ridha terhadap Aisyah RA, berarti ridha terhadap Rasulullah SAW. Karena itu, Umar RA berpesan kepada putrinya, agar selalu menghormati dan membina hubungan yang baik dengan Aisyah RA. Hafsah RA diminta untuk menjaga tingkah lakunya di depan Aisyah RA agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

Hafsah RA pun bergabung dengan istri istri Rasulullah SAW dan ummahatul mukminin yang suci, Aisyah RA. Di dalam rumah tangga nubuwwah, ada istri selain Hafsah RA, yakni Sa’udah RA dan Aisyah RA. Dengan usaha yang besar Hafsah RA mencoba mengerti betapa penting posisi Aisyah RA seperti yang dipesankan ayahnya kepadanya.

Anuwar Ismail dalam buku 10 Wanita Kesayangan Nabi turut menceritakan kisah Hafsah binti Umar RA. Setelah Rasulullah SAW wafat, Hafsah binti Umar RA mengambil peranan sebagai penjaga mushaf Al-Qur’an.

Hal itu berkaitan dengan naskah pertama dari salinan yang telah dibuat sebelumnya. Di antara para istri Rasulullah SAW hanya Hafsah binti Umar RA saja yang pandai membaca dan menulis.

Mushaf Al-Qur’an itu selalu dijaga dengan baik oleh Hafsah binti Umar RA, hingga pada masa khalifah Utsman bin Affan RA memintanya untuk membuat salinan mushaf tersebut.

Sebelum meninggal dunia, Hafsah binti Umar RA mewasiatkan mushaf pertama itu kepada Abdullah bin Umar RA seorang pemuda yang senantiasa meneladani Rasulullah SAW.

Lalu, Abdullah bin Umar RA menyerahkannya kepada keluarga yang mempunyai ketakwaan yang tinggi hal tersebut juga disetujui oleh kaum muslimin yang lain.

Semasa hidupnya, Hafsah binti Umar RA telah berhasil meriwayatkan hadits Rasulullah SAW sebanyak 60 hadits.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Tata Cara Mandi Wajib Perempuan Lengkap dengan Niat dan Doanya



Jakarta

Tak hanya pria, wanita juga diharuskan mandi junub untuk bersuci apabila ia berhadats besar. Untuk itu, cari tahu tata cara mandi wajib bagi perempuan di bawah ini.

Sebelumnya, ada sejumlah perkara hadats besar yang mengharuskan perempuan untuk mandi janabah. Menukil buku Fiqh as-Sunnah li an-Nisa karya Abu Malik Kamal ibn Sayyid Salim, berikut penyebab mandi wajib:

1) Keluarnya air mani dengan syahwat, baik saat tidur maupun terjaga


2) Setelah berhubungan badan walau tak keluar air mani

3) Sesudah berhentinya darah haid dan nifas

4) Masuk islamnya seseorang

5) Bila seorang perempuan meninggal dunia.

Dalil yang menjadi dasar hukum mandi janabah ini adalah firman Allah SWT dalam Surat Al-Maidah ayat 6:

… وَاِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوْاۗ … – 6

Latin: wa ing kuntum junuban faṭṭahharụ

Artinya: “…Jika kamu dalam keadaan junub, mandilah…”

Selain itu, hadits Nabi SAW juga yang menjadi sandaran bagi perempuan muslim untuk mandi wajib jika mereka berhadats besar. Di antaranya riwayat Aisyah, yang mana Rasulullah SAW bersabda kepada Fathimah binti Abi Hubaisy. Beliau menuturkan, “Apabila haid datang, maka tinggalkanlah salat. Dan jika ia telah pergi, maka mandilah dan salatlah.” (HR Bukhari [320] & Muslim [333/262])

Lantas bagaimana cara mandi junub bagi wanita sesuai anjuran Rasul SAW? Abu Malik Kamal dalam bukunya melampirkan hadits riwayat Aisyah, bahwa jika Nabi SAW mandi junub:

“Beliau SAW mengawali dengan mencuci kedua tangannya. Kemudian beliau berwudhu sebagaimana wudhu beliau untuk shalat, lalu beliau memasukkan jari-jarinya ke dalam air, dan beliau menyela-nyela pangkal rambutnya dengan jari-jari itu. Kemudian beliau menyiramkan air ke kepalanya sebanyak tiga kali dengan cidukan kedua tangannya, dan kemudian beliau menyiramkan air ke seluruh bagian kulitnya.” (HR Bukhari [248] & Muslim [316])

Dalam hadits riwayat Maimunah juga dijelaskan cara mandi janabah yang Rasul SAW lakukan. Maimunah berkata, “Aku menyediakan air mandi untuk Nabi SAW, lalu beliau membasuh kedua tangannya sebanyak dua atau tiga kali, kemudian beliau mengguyurkan air dengan tangan kanannya ke tangan kirinya, dan beliau mencuci kemaluannya (dan dalam riwayat lain: kemaluannya dan bagian lagi yang terkena kotoran).

Setelah itu beliau menggosok tangannya dengan tanah atau dinding dan mencucinya, kemudian beliau berkumur dan beristinsyaq. Lalu beliau membasuh wajahnya, kedua tangannya dan juga membasuh kepalanya. Dan kemudian beliau menyiramkan air ke seluruh tubuhnya. Setelah itu beliau bergeser dan mencuci kedua kakinya. Lalu aku memberikan handuk kepada beliau, namun beliau memberi isyarat dengan tangannya seperti ini, dan beliau tidak menginginkannya.” (HR Bukhari [266] & Muslim [317])

Tata Cara Mandi Wajib sesuai Anjuran Rasulullah SAW

Bila menyimpulkan dari kedua hadits mengenai cara mandi junub di atas, berikut tata cara mandi wajib bagi perempuan:

1. Berniat mandi junub dengan bacaan niat yang terlampir di bawah.
2. Mencuci kedua tangan sebanyak tiga kali.
3. Membersihkan kemaluan dengan tangan kiri.
4. Berwudhu dengan gerakan sempurna, sebagaimana wudhu saat hendak salat.
5. Menyiram air ke kepala sebanyak tiga kali hingga sampai ke pangkal rambut. Tetapi bila wanita itu mengepang rambutnya, maka ia tidak harus membuka kepangan dan mengurai rambutnya, sesuai sabda Nabi SAW riwayat Ummu Salamah.
6. Bersihkan dan siram air ke seluruh tubuh, dimulai dari sisi kanan dan dilanjut yang kiri.
7. Pastikan seluruh kulit dan anggota tubuh yang tersembunyi ikut dibersihkan.

Tata Cara Mandi Wajib karena Haid dan Nifas

Masih dari buku Fiqh as-Sunnah li an-Nisa, mandi junub yang disebabkan haid atau nifas sama seperti tujuh urutan mandi yang telah disebutkan di atas. Hanya saja, ada beberapa tambahan lain:

1. Memakai sabun atau pembersih lain yang digunakan bersama dengan air, sesuai sabda Rasul SAW kepada Asma.
2. Dianjurkan mengurai rambut dan melepaskan kepangnya jika akan mandi wajib dari haid dan nifas, sebagaimana dalam riwayat Aisyah.
3. Setelah mandi wajib, ada anjuran untuk mengambil sepotong kain atau kapas yang diberi wewangian, dan kemudian digunakan untuk membersihkan sisa bau darah. Sesuai riwayat Aisyah, di mana ada seorang wanita yang bertanya kepada Nabi SAW.

Niat Mandi Wajib Perempuan

Untuk niat mandi wajib bagi perempuan terdapat beberapa lafalnya sesuai penyebab masing-masing, yang dinukil dari Panduan Muslim Kaffah Sehari-hari oleh Muh. Hambali:

1. Bacaan Niat Mandi Wajib Perempuan karena Haid

نَوَيْتُ الْغُسْلَ لِرَفْعِ الْحَدَثِ الْأَكْبَرِ عَنِ الْحَيْضِ لِلَّهِ تَعَالَى

Latin: Nawaitul ghusla liraf’il hadatsil akbari ‘anin haidhi lillaahi ta’aala

Artinya: “Aku berniat mandi untuk menghilangkan hadats besar yang disebabkan haid karena Allah Ta’ala.”

2. Bacaan Niat Mandi Wajib Perempuan karena Nifas

نَوَيْتُ الْغُسْلَ لِرَفْعِ الْحَدَثِ الْأَكْبَرِ عَنِ النِّفَاسِ لِلَّهِ تَعَالَى

Latin: Nawaitul ghusla liraf’il hadatsil akbari ‘anin nifaasi lillaahi ta’aala

Artinya: “Aku berniat mandi untuk menghilangkan hadats besar yang disebabkan nifas karena Allah Ta’ala.”

3. Bacaan Niat Mandi Wajib Perempuan karena Wiladah (setelah Melahirkan)

نَوَيْتُ الْغُسْلَ لِرَفْعِ الْحَدَثِ الْأَكْبَرِ عَنِ الْوِلَادَةِ لِلَّهِ تَعَالَى

Latin: Nawaitul ghusla liraf’il hadatsil akbari ‘anin wilaadati lillaahi ta’aala

Artinya: “Aku berniat mandi untuk menghilangkan hadats besar yang disebabkan wiladah karena Allah Ta’ala.”

4. Bacaan Niat Mandi Wajib Perempuan setelah Bersyahwat

نَوَيْتُ الْغُسْلَ لِرَفْعِ الْحَدَثِ الْأَكْبَرِ عَنِ الْجَنَبَةِ لِلَّهِ تَعَالَى

Latin: Nawaitul ghusla liraf’il hadatsil akbari ‘anin janabati lillaahi ta’aala

Artinya: “Aku berniat mandi untuk menghilangkan hadats besar yang disebabkan janabah karena Allah Ta’ala.”

Doa setelah Mandi Wajib Perempuan

Melansir arsip detikHikmah, ini doa yang dibaca setelah mandi wajib bagi perempuan:

أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ اللَّهُمَّ اجْعَلْنِى مِنَ التَّوَّابِينَ وَاجْعَلْنِى مِنَ الْمُتَطَهِّرِينَ

Arab latin: Asyhadu an laa ilaha illallahu wahdahu laa syarika lahu, wa asyhadu anna Muhammadan abduhu wa Rasuluhu, allahumma-jalni minattawwabina, waj-alni minal-mutathahirrina

Artinya: “Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah Yang Esa, tiada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad itu hamba-Nya dan utusan-Nya. Ya Allah, jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bertobat dan jadikanlah aku pula termasuk orang-orang yang selalu mensucikan diri,”

Demikian tata cara mandi wajib bagi wanita beserta bacaan niat dan doa setelahnya.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

4 Syarat agar Wanita Bebas Masuk Pintu Surga Mana Saja



Jakarta

Rasulullah SAW dalam haditsnya pernah menyebutkan empat perkara yang dapat menjadi penyebab wanita muslim dapat masuk surga melalui pintu mana saja. Hadits tersebut pun dinyatakan bersanad hasan oleh Syaikh Al Albany.

Berdasarkan hadits yang termaktub dalam Kitab Tsalatsuna Darsan Lis Shaimat oleh Syeikh Abu Anas Husen Al ‘Ali, berikut bunyi hadits dari Abdurrahman bin Auf RA yang mengutip sabda Rasulullah SAW.

إِذَا صَلَّتْ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا، وَصَامَتْ شَهْرَهَا، وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا، وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا؛ قِيلَ لَهَا ادْخُلِي الْجَنَّةَ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ


Artinya: “Jika seorang wanita selalu menjaga shalat lima waktu, juga berpuasa sebulan (di bulan Ramadhan), menjaga kemaluannya (dari perbuatan zina) dan taat pada suaminya, maka dikatakan pada wanita tersebut, “Masuklah ke surga melalui pintu manapun yang engkau suka.” (HR Ahmad dan Ibnu Hibban dalam Shahih al Jami’)

4 Syarat Wanita Bebas Pilih Pintu Masuk Surga

1. Menjaga Salat 5 Waktu

Kriteria pertama agar seluruh pintu surga dibukakan bagi wanita muslim adalah menjaga salat lima waktu selama berada di luar momen diharamkannya salat seperti, haid dan nifas.

Pentingnya amalan salat ini bahkan pernah ditekankan dalam hadits Rasulullah SAW. Disebutkan, salat adalah amalan yang pertama kali dihisab pada hari kiamat kelak.

“Sesungguhnya amal yang pertama kali dihisab pada seorang hamba pada hari kiamat adalah salatnya. Maka, jika salatnya baik, sungguh ia telah beruntung dan berhasil. Dan jika salatnya rusak, sungguh ia telah gagal dan rugi. Jika berkurang sedikit dari salat wajibnya, maka Allah Ta’ala berfirman, ‘Lihatlah apakah hamba-Ku memiliki salat sunnah.’ Maka disempurnakanlah apa yang kurang dari sholat wajibnya. Kemudian begitu pula dengan seluruh amalnya.” (HR Tirmidzi dan An Nasa’i)

2. Puasa Ramadan

Puasa Ramadan dapat menjadi tantangan bagi wanita muslim saat harus mengqodho puasa yang ditinggalkannya karena alasan syar’i seperti masa haid, masa hamil, melahirkan hingga nifas. Utamanya, menurut buku Dakwah bil Qolam oleh Mohamad Mufid, dibutuhkan komitmen untuk mengerjakannya di luar bulan puasa.

3. Menjaga Kehormatan Diri

Mengutip Mohamad Mufid, menjaga kehormatan diri yang dimaksud dapat dilakukan dengan menahan pandangan, memelihara kemaluan, berjilbab syar’i, hingga menutup aurat. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam surah An Nur ayat 31,

وَقُلْ لِّلْمُؤْمِنٰتِ يَغْضُضْنَ مِنْ اَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوْجَهُنَّ وَلَا يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ اِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلٰى جُيُوْبِهِنَّۖ وَلَا يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ اِلَّا لِبُعُوْلَتِهِنَّ اَوْ اٰبَاۤىِٕهِنَّ اَوْ اٰبَاۤءِ بُعُوْلَتِهِنَّ اَوْ اَبْنَاۤىِٕهِنَّ اَوْ اَبْنَاۤءِ بُعُوْلَتِهِنَّ اَوْ اِخْوَانِهِنَّ اَوْ بَنِيْٓ اِخْوَانِهِنَّ اَوْ بَنِيْٓ اَخَوٰتِهِنَّ اَوْ نِسَاۤىِٕهِنَّ اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُهُنَّ اَوِ التّٰبِعِيْنَ غَيْرِ اُولِى الْاِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ اَوِ الطِّفْلِ الَّذِيْنَ لَمْ يَظْهَرُوْا عَلٰى عَوْرٰتِ النِّسَاۤءِ ۖوَلَا يَضْرِبْنَ بِاَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِيْنَ مِنْ زِيْنَتِهِنَّۗ وَتُوْبُوْٓا اِلَى اللّٰهِ جَمِيْعًا اَيُّهَ الْمُؤْمِنُوْنَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ

Artinya: Katakanlah kepada para perempuan yang beriman hendaklah mereka menjaga pandangannya, memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (bagian tubuhnya), kecuali yang (biasa) terlihat. Hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya. Hendaklah pula mereka tidak menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali kepada suami mereka, ayah mereka, ayah suami mereka, putra-putra mereka, putra-putra suami mereka, saudara-saudara laki-laki mereka, putra-putra saudara laki-laki mereka, putra-putra saudara perempuan mereka, para perempuan (sesama muslim), hamba sahaya yang mereka miliki, para pelayan laki-laki (tua) yang tidak mempunyai keinginan (terhadap perempuan), atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan. Hendaklah pula mereka tidak mengentakkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Bertobatlah kamu semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kamu beruntung.

4. Taat pada Suami

Ketaatan seorang istri pada suaminya menjadi salah satu perkara yang menjadi penyebab seorang wanita muslim dapat bebas memilih pintu surga. Landasan keterangan ini juga dapat bersumber dari hadits yang dikisahkan Abu Hurairah RA.

Ia berkata bahwa pernah bertanya pada Rasulullah SAW tentang siapakah wanita yang paling baik. Lalu, Rasulullah SAW pun menjawab. “Yaitu yang paling menyenangkan jika dilihat suaminya, menaati suami jika diperintah, dan tidak menyelisihi suami pada diri dan hartanya sehingga membuat suami benci.” (HR An Nasa’i)

Dalam riwayat lain disebutkan, “Tiap-tiap istri yang meninggal dunia dan diridai oleh suaminya maka ia akan masuk surga.” (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Wallahu a’lam.

(rah/erd)



Sumber : www.detik.com

Ini Wanita yang Menyusui Nabi Muhammad SAW



Jakarta

Bangsa Arab memiliki tradisi menyusukan bayi kepada wanita lain. Hal ini juga dilakukan Siti Aminah, ibunda Rasulullah SAW, kepada wanita di desa untuk menyusui Nabi Muhammad SAW.

Nabi Muhammad SAW disebut memiliki banyak ibu susuan. Di antara yang paling dikenal, dua wanita yang menyusui Nabi Muhammad SAW adalah Tsuwaibah dan Halimah as-Sa’diyah.

Tradisi yang berjalan di kalangan bangsa Arab yang relatif sudah maju, mencari wanita-wanita yang bisa menyusui anak-anaknya.


Seperti yang dijelaskan Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri dalam Sirah Nabawiyah bahwa tradisi itu menjadi langkah untuk menjauhkan anak-anak itu dari penyakit yang bisa menjalar.

Hal itu juga dianggap supaya bayi menjadi kuat, otot-ototnya kekar, dan keluarga yang menyusui bisa melatih bahasa Arab dengan fasih.

Oleh karena itu, Abdul Muthalib mencari wanita dari bani Sa’d bin Bakr untuk menjadi wanita yang menyusui Nabi Muhammad SAW. Akhirnya ia menjatuhkan pilihan pada Halimah binti Abu Dzu’aib dengan didampingi suaminya, Al-Harits bin Abdul Uzza yang berjuluk Abu Kabsyah.

Halimah bisa merasakan barakah yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, sebagaimana yang diriwayatkan Ibnu Ishaq, bahwa Halimah pernah bercerita, suatu kali dia pergi dari negerinya bersama suaminya dan anaknya yang masih kecil dan disusuinya, bersama dengan beberapa wanita dari bani Sa’d.

Tujuan mereka adalah mencari anak yang bisa disusui, para wanita itu sedang mengalami kesulitan. Halimah saat itu membawa seekor keledai dan unta perempuan yang sudah tua sehingga air susunya tidak bisa diperah. Para wanita itu, tidak pernah tidur karena harus meninabobokan bayi-bayi mereka yang terus menangis. Sesampainya di Makkah, banyak yang menolak untuk menjadi wanita yang menyusui Rasulullah SAW.

Hal itu dikarenakan Rasulullah SAW adalah seorang anak yatim. Para wanita itu mengharapkan imbalan yang besar dari ayah kandung anak tersebut maka mereka menolak untuk menjadi wanita yang menyusui Nabi Muhammad SAW.

Namun, Halimah bersedia untuk menjadi wanita yang menyusui Rasulullah SAW. Tatkala menggendongnya, Halimah tidak merasakan repot karena mendapatkan beban yang lain.

Ketika ia kembali menunggangi keledai dan mulai menyusui Rasulullah SAW, air susunya kembali keluar. Bahkan, anak kandungnya pun bisa meminumnya hingga kenyang dan setelah itu keduanya tertidur pulas.

Unta miliknya yang semula tidak menghasilkan air susu pun seketika air susunya menjadi penuh, sehingga Halimah beserta suaminya bisa meminumnya hingga benar-benar kenyang.

Sejak saat itu keluarga Halimah terus dikaruniai limpahan rahmat dan rezeki dari Allah SWT.

Sementara itu, di dalam buku Sejarah Terlengkap Nabi Muhammad SAW: Dari Sebelum Masa Kenabian hingga Sesudahnya karya Abdurrahman bin Abdul Karim dikatakan, sebelum disusui oleh Halimah, Rasulullah SAW disusui oleh wanita lain.

Wanita pertama yang menjadi ibu susuan beliau selama beberapa hari adalah Tsuwaibah. Urwah berkata, “Tsuwaibah adalah wanita bekas budak Abu Lahab yang telah ia merdekakan, lalu ia menyusui Nabi Muhammad SAW. Setelah Abu Lahab mati, seorang keluarganya bermimpi melihatnya dalam keadaan yang sangat buruk.

Orang itu bertanya kepada Abu Lahab, ‘Apa yang engkau temui?” Abu Lahab menjawab, ‘Setelah aku meninggalkan kalian, aku tidak menemukan keadaan yang menyenangkan. Akan tetapi, aku diberi minum sebanyak ini karena dulu aku memerdekakan Tsuwaibah.”

Sebagai wanita pertama yang menyusui beliau, Nabi Muhammad SAW tidak melupakan Tsuwaibah. Selama di Makkah, beliau selalu mencarinya dan menjalin hubungan kekeluargaan.

Khadijah RA juga sangat memuliakannya. Berkali-kali ia meminta Abu Lahab untuk membeli dan membebaskan Tsuwaibah namun selalu ditolak.

Baru, setelah Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah ia dibebaskan oleh Abu Lahab. Tidak henti-hentinya Nabi Muhammad SAW menjalin hubungan silaturahim dengannya. Dikirimnya pula segala kebutuhan, seperti makanan dan pakaian hingga sampai kepada beliau berita wafatnya pada tahun kembalinya beliau dari Khaibar.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Hukum Keramas saat Haid Menurut Islam



Jakarta

Keramas saat haid menjadi pertanyaan yang masih kerap muncul di kalangan muslimah. Adakah larangannya menurut syariat dan bagaimana hukumnya dalam Islam?

Syaikh Abdurrahman al-Juzairi dalam Kitab Fikih Empat Madzhab Jilid 1 memaparkan, makna haid secara etimologis artinya sesuatu yang mengalir.

Menurut Mazhab Syafi’i haid merupakan darah yang keluar dari qubul (ujung rahim) seorang wanita yang terbebas dari penyakit pendarahan ketika usianya sudah mencapai sembilan tahun atau lebih dan bukan karena sehabis melahirkan.


Dijelaskan pula bahwa jangka waktu masa haid paling lama adalah lima belas hari yakni (15 x 24 jam). Oleh karena itu, jika ada darah yang keluar setelah waktu maksimal maka darah yang keluar tidak dianggap sebagai darah haid.

Muhammad Jawad Mughniyah dalam Kitab Al-Fiqh ‘ala al-madzahib al-khamsah menjelaskan bahwasanya bagi wanita haid diharamkan semua yang diharamkan pada orang junub, yaitu baik menyentuh Al-Qur’an maupun berdiam di dalam masjid.

Perempuan yang sedang haid juga diharamkan untuk berpuasa dan salat. Saat puasa Ramadan ia wajib menggantinya (mengqadha) hari-hari puasa Ramadan yang ditinggalkannya.

Semua ulama mazhab sepakat bahwa mandi dan wudhunya seorang wanita yang haid tidak cukup, karena wudhunya wanita haid dan mandinya tidak dapat menghilangkan hadas. Para ulama mazhab juga sepakat haram hukumnya menyetubuhi wanita pada hari-hari haid.

Diharamkan pula mentalak istri yang sedang haid, tapi kalau terjadi, maka sah talaknya dan menurut keempat mazhab orang yang mentalaknya itu berdosa.

Syeikh Abdurrahman Al-Jaziri dalam Kitab al-Fiqhu al-Madzahib al-Arba’ah al-Juz’ al-Awwal, Kitab ash-Shalah menjelaskan menurut mazhab Syafi’i, wanita haid makruh lewat di depan masjid walaupun untuk suatu keperluan dengan syarat dapat menjamin amannya masjid dari kotoran.

Sementara itu, di antara hal yang diperbolehkan bagi wanita haid salah satunya adalah mandi keramas. Hal ini dijelaskan dalam Kitab Nihayatuz Zain yang turut dinukil M. Syukron Maksum dalam buku Batalkah Salat Jika Melihat Sarung Imam Bolong.

Begitu halnya dengan nifas. Dikatakan, orang yang sedang haid atau nifas tidak dilarang mandi keramas untuk membersihkan rambutnya. Dalam hal ini, hukum mandi keramas bagi wanita haid atau nifas adalah boleh.

Menurut kitab tersebut, yang tidak diperbolehkan bagi wanita haid saat mandi adalah mandi dengan niat menghilangkan hadas haid dan nifasnya, padahal haid atau nifasnya belum selesai, sebab ia berarti telah bermain-main dalam ibadah (tala’ub).

Dijelaskan lebih lanjut, apabila ada rumor yang tidak memperbolehkan keramas bagi wanita haid atau nifas itu muncul karena khawatir ada rambut yang lepas pada saat rambut tersebut dalam status hadas dan tidak ikut disucikan ketika haid atau nifas telah selesai, itu tidak benar.

Sebab, menghilangkan rambut dan kuku pada saat hadis atau nifas tidak sampai dilarang. Ulama hanya menganjurkan bagi orang yang sedang junub agar tidak menghilangkan bagian dari tubuhnya dengan sengaja sebelum mandi junub dilakukan.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Kisah Aisyah yang Cemburu di Malam Nisfu Syaban



Jakarta

Di antara istri-istri Rasulullah SAW, Aisyah yang terkenal sebagai pencemburu. Bahkan dikisahkan bahwa Aisyah pernah cemburu pada Rasulullah SAW ketika malam Nisfu Syaban.

Rasulullah SAW dikenal sebagai sosok yang lembut dan penyayang. Beliau sangat mencintai umatnya dan juga orang-orang terdekatnya dengan melimpahkan nasihat-nasihat demi kebaikan bersama.

Dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda,


الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ، ارْحَمُوا مَنْ فِي الأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ، الرَّحِمُ شُجْنَةٌ مِنَ الرَّحْمَنِ، فَمَنْ وَصَلَهَا وَصَلَهُ اللَّهُ وَمَنْ قَطَعَهَا قَطَعَهُ اللَّهُ

Artinya: “Orang-orang yang penuh kasih sayang akan disayang oleh Dzat yang Maha Penyayang. Kasih sayangilah makhluk yang ada di permukaan bumi, niscaya makhluk yang ada di langit akan mengasihi kalian. Kasih sayang merupakan bagian dari dzat yang Maha Kasih. Maka, siapa yang menyambungnya, Allah akan menyambungnya dan siapa yang memutusnya, Allah akan memutus darinya.” (HR Tirmidzi).

Di balik sifat penyayangnya, ternyata ada suatu kisah dimana Siti Aisyah RA merasa cemburu di malam Nisfu Syaban yang menjadi malam ketika Allah mengampuni dosa-dosa hamba-Nya. Hal ini terjadi karena rasa cintanya yang begitu besar pada kekasihnya, Nabi Muhammad SAW.

Asiyah Istri yang Pencemburu

Dikutip dari buku Manajemen Cinta Sang Nabi Muhammad SAW yang ditulis oleh Sopia Muhammad, diceritakan pada suatu malam ketika Aisyah terbangun dari tidurnya, ia tidak menemukan Rasulullah di sampingnya. Rasa cemburu dalam hatinya pun muncul. Dalam benaknya ia berpikir seandainya beliau tidur bersama istri lain, padahal malam itu adalah haknya.

Aisyah mendatangi tempat istri yang lain, akan tetapi ia tidak menemukan Rasulullah. Namun ia justru menemukan suaminya tengah berada di dalam masjid.

Rasulullah yang menyadari kehadiran Aisyah pun bertanya, “Kau cemburu lagi, Aisyah? Apakah kamu khawatir, Allah dan Rasul-Nya akan berbuat aniaya padamu? Ini malam Nisfu Syaban, Aisyah?”

Dengan segala kelembutan dan kasih sayangnya, Rasulullah mencoba mengingatkan Aisyah agar ia juga turut mengistimewakan saat-saat ketika ia mendekatkan diri kepada Allah alih-alih memilih untuk tidur di samping orang yang sangat dicintai.

Asiyah memang istri Nabi yang pencemburu. Pada kisah lainnya, ia bahkan merasa cemburu pada istri-istri Nabi yang lainnya. Akan tetapi, Nabi Muhammad merupakan laki-laki yang sangat menghormati perempuan. Ia selalu menghargai mereka dan menasihati istri-istrinya dengan perlahan sehingga suasana rumah tangga dapat kembali rukun dan penuh ketentraman.

Ketegasan Rasulullah SAW

Meskipun selalu bisa menghadapi sifat cemburu istrinya dengan penuh kasih, Rasulullah juga dapat bersikap tegas. Hal ini dikarenakan ia tidak ingin istrinya terbawa nafsu emosi belaka.

Dalam beberapa kasus, Rasulullah memilih untuk mendiamkan Aisyah yang terbakar api cemburu. Namun, ada juga saat ketika Rasulullah dengan tegas menegur kecemburuan Aisyah ketika sudah melewati batas.

“Aisyah, Allah itu Maha Ramah dan menyukai keramahan. Bila keramahan itu tercerabut dari sesuatu, ia akan membuatnya aib dan hina. Sebaliknya, jika diletakkan di atas sesuatu, ia akan menghiasinya. Karena itu kamu harus bersikap ramah!”

Rasulullah ingin mengajarkan istrinya untuk lebih bersikap lemah lembut dan tidak menuruti rasa dengki dan iri hati. Oleh karenanya, beliau selalu menjaga kehormatan istri-istrinya, menengahi mereka, dan juga menegaskan bahwa ia senantiasa berlaku adil dan menyayangi kesemuanya dengan setulus hati.

Sikap Rasulullah SAW Ketika Aisyah Cemburu

Kelembutan Rasulullah SAW terhadap istrinya juga dikisahkan dalam buku Agungnya Taman Cinta Sang Rasul oleh Ustadzah Azizah Hefni. Diceritakan bahwa Rasulullah akan memencet dan memijit hidung Aisyah apabila ia marah.

Beliau berkata, “Wahai Aisy. Bacalah doa, ‘Wahai Tuhanku, Tuhan Muhammad, ampunilah dosa-dosaku, hilangkanlah kekerasan hatiku, dan lindungilah diriku dari fitnah yang menyesatkan.” (HR. Ibnu Sunni).

Begitulah cara Rasulullah menghadapi Aisyah yang sedang cemburu. Beliau akan menegurnya penuh kasih sayang, mencium keningnya, kemudian mendoakannya. Hati Aisyah yang tadinya mendidih kembali luluh, kemarahannya berganti dengan kelegaan, dan Aisyah semakin mencintai Rasulullah lebih dalam lagi.

Kelembutan dan tenangnya sikap Rasulullah SAW dalam menghadapi masalah adalah teladan bagi kaum muslimin. Kita semua bisa mencontoh bagaimana Rasulullah menyayangi seluruh orang-orang terdekatnya.

(dvs/dvs)



Sumber : www.detik.com

Hak Istri yang Wajib Diberikan saat Ijab Kabul, Ini Dalil tentang Mahar



Jakarta

Salah satu hak istri yang harus segera dipenuhi oleh suami ketika melaksanakan ijab kabul yakni mahar. Mahar wajib diberikan oleh suami kepada istrinya.

Dalam Islam, ada anjuran untuk menikah. Dalilnya dijelaskan dalam Al-Qur’an dan hadits. Menikah dan membina rumah tangga bahkan dikategorikan sebagai sebuah ibadah.

Selain perlindungan dan nafkah lahir batin dalam rumah tangga, ada beberapa hal lain yang menjadi hak istri. Salah satunya yakni mahar.


Mengutip buku Mahar Service Dalam Pernikahan Islam oleh Muhammad Karim HS. MH dan Dr. Nurhadi, S.Pd.I., S.E.Sy., S.H., M.Sy., MH., M.Pd. dijelaskan bahwa mahar ialah suatu kepemilikan yang khusus diberikan kepada wanita sebagai ungkapan untuk menghargainya, dan sebagai simbol untuk memuliakan serta membahagiakannya.

Di Indonesia, mahar juga kerap disebut sebagai maskawin. Mahar merupakan suatu pemberian yang wajib bagi suami kepada istri sebagai bentuk ketulusan hati suami mencintai istrinya agar timbul rasa cinta kasih dan sayang antara keduanya.

Di samping itu, mahar hendaknya berupa sesuatu yang memiliki banyak manfaat untuk istri. Bentuk mahar bisa beragam dan tidak terbatas hanya pada harta semata. Mahar bisa berupa uang, perhiasan atau bahkan hafalan surat dalam Al-Qur’an.

Dalil Al-Qur’an tentang Mahar Pernikahan

Mahar dibahas secara jelas dalam Al-Qur’an dan hadits.

1. Surat An-Nisa Ayat 4

وَءَاتُوا۟ ٱلنِّسَآءَ صَدُقَٰتِهِنَّ نِحْلَةً ۚ فَإِن طِبْنَ لَكُمْ عَن شَىْءٍ مِّنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيٓـًٔا مَّرِيٓـًٔا

Arab-Latin: Wa ātun-nisā`a ṣaduqātihinna niḥlah, fa in ṭibna lakum ‘an syai`im min-hu nafsan fa kulụhu hanī`am marī`ā

Artinya: Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.

2. Surat An-Nisa Ayat 24

۞ وَٱلْمُحْصَنَٰتُ مِنَ ٱلنِّسَآءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَٰنُكُمْ ۖ كِتَٰبَ ٱللَّهِ عَلَيْكُمْ ۚ وَأُحِلَّ لَكُم مَّا وَرَآءَ ذَٰلِكُمْ أَن تَبْتَغُوا۟ بِأَمْوَٰلِكُم مُّحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَٰفِحِينَ ۚ فَمَا ٱسْتَمْتَعْتُم بِهِۦ مِنْهُنَّ فَـَٔاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً ۚ وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَٰضَيْتُم بِهِۦ مِنۢ بَعْدِ ٱلْفَرِيضَةِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا

Arab-Latin: Wal-muḥṣanātu minan-nisā`i illā mā malakat aimānukum, kitāballāhi ‘alaikum, wa uḥilla lakum mā warā`a żālikum an tabtagụ bi`amwālikum muḥṣinīna gaira musāfiḥīn, fa mastamta’tum bihī min-hunna fa ātụhunna ujụrahunna farīḍah, wa lā junāḥa ‘alaikum fīmā tarāḍaitum bihī mim ba’dil-farīḍah, innallāha kāna ‘alīman ḥakīmā

Artinya: Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

3. Surat Al-Baqarah Ayat 237

وَإِن طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِن قَبْلِ أَن تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ إِلَّآ أَن يَعْفُونَ أَوْ يَعْفُوَا۟ ٱلَّذِى بِيَدِهِۦ عُقْدَةُ ٱلنِّكَاحِ ۚ وَأَن تَعْفُوٓا۟ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۚ وَلَا تَنسَوُا۟ ٱلْفَضْلَ بَيْنَكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

Arab-Latin: Wa in ṭallaqtumụhunna ming qabli an tamassụhunna wa qad faraḍtum lahunna farīḍatan fa niṣfu mā faraḍtum illā ay ya’fụna au ya’fuwallażī biyadihī ‘uqdatun-nikāḥ, wa an ta’fū aqrabu lit-taqwā, wa lā tansawul-faḍla bainakum, innallāha bimā ta’malụna baṣīr

Artinya: Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu memaafkan atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah, dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada takwa. Dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Melihat segala apa yang kamu kerjakan.

4. Hadits Rasulullah SAW

Rasulullah SAW pernah mengatakan, “Sebaik-baik wanita ialah yang paling murah maharnya.” (HR. Ahmad, ibnu Hibban, Hakim & Baihaqi).

Demikian kedudukan mahar sebagai hak istri yang wajib diberikan ketika ijab kabul. Meskipun tidak ada aturan terkait jumlah mahar, seorang suami hendaknya menyiapkan mahar terbaik untuk istri tercinta.

(dvs/lus)



Sumber : www.detik.com

Nama Anak Laki-laki Islami yang Disukai Allah SWT, Apa Itu?



Jakarta

Ketika hendak memberi nama kepada anak yang baru lahir, orang tua tentu menginginkan nama terbaik serta memiliki arti bagus. Adapun Nabi SAW dalam sabdanya mengungkap sejumlah nama indah dalam Islam, dan bahkan ada yang paling disukai oleh Allah SWT.

Imam Nawawi dalam kitab Al-Adzkar menyebutkan bahwa sunnah hukumnya untuk menamakan bayi pada hari ketujuh setelah kelahirannya. Hal ini didasarkan pada hadits Samurah bin Jundub, Rasulullah SAW menuturkan:

كُل غُلَامٍ رَهِيِّنٌ بِعَقِيْقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ، وَيُخْلَقُ، وَيُسَمَّى


Artinya: “Setiap anak (yang baru lahir) tergadaikan oleh akikahnya yang disembelih untuknya pada hari ketujuh, lalu dicukur dan diberi nama.” (HR Abu Dawud, Ibnu Majah, Nasa’i & Tirmidzi)

Dalam riwayat dari Amr ibn Syuaib, ia berkata:

أَنَّ النَّبِيّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِتَسْمِيَةِ الْمَوْلُودِ يَوْمَ سَابِعِهِ، وَوَضْعِ الْأَذَى عَنْهُ، وَالعَقِّ

Artinya: “Nabi SAW memerintahkan untuk memberi nama bayi yang baru lahir pada hari yang ketujuh, begitu pula melenyapkan kotoran dan menakikahinya.” (HR Tirmidzi)

Selain kesunnahan menamai anak pada hari ketujuh, para orang tua juga dianjurkan untuk memberi nama yang bermakna baik kepada buah hatinya. Sebagaimana dalam hadits dari Abu Darda, Rasulullah SAW bersabda:

فَأَحْسِنُوا آبَائِكُمْ وَأَسْمَاءِ بِأَسْمَائِكُمْ الْقِيَامَةِ يَوْمَ تُدْعَوْنَ إِنَّكُمْ أَسْمَاءَ كُمْ

Artinya: “Sesungguhnya kalian akan dipanggil di hari kiamat dengan nama-nama kalian dan nama-nama ayah kalian, karena itu perbaguslah nama-nama kalian.” (HR Abu Dawud)

Mengutip pendapat Ibnul Qayyil dalam buku Kado Pernikahan oleh Mahmud Mahdi Al-Istanbuli, ia berkata, “Sebagian orang yang tidak mengerti gegabah dalam memberi nama anak-anak mereka. Oleh karena itu, Nabi SAW memberi petunjuk kepada umatnya untuk mencegah mereka dari memperdengarkan apa yang dibenci Allah dan Rasul-Nya. Tujuannya agar mereka tidak memberi anak-anak mereka nama yang tidak sesuai dengan yang mereka inginkan sehingga belakangan mendatangkan kerusakan.”

Lebih lanjut Ibnul Qayyim mengemukakan, “Memberi nama yang baik kepada anak mengandung harapan agar si anak mendapatkan kebaikan dalam hidupnya.”

Nama-nama yang Paling Dicintai Allah SWT

Rasul SAW mengemukakan dua nama yang Allah SWT paling sukai dalam haditsnya dari Ibnu Umar, mengutip dari Kitab Adab: Seri Mukhtasar Shahih Muslim oleh Imam Abu Husain Muslim bin Hajjaj al-Qusyairi An-Naisaburi. Nabi SAW berkata:

إِنَّ أَحَبَّ أَسْمَائِكُمْ إِلَى اللَّهِ عَبْدُ اللَّهِ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ

Artinya: “Sesungguhnya nama yang paling disukai Allah adalah Abdullah dan Abdurrahman.” (HR Muslim)

Untuk nama “Abdullah” artinya hamba Allah SWT, sedang “Abdurrahman” berarti hamba Yang Maha Pengasih.

Dalam beberapa riwayat juga dikatakan bahwa Nabi SAW kerap menamai anak dari orang yang menemuinya dengan Abdullah atau Abdurrahma. Seperti halnya yang diceritakan oleh Urwah bin Zubair dan Fatimah binti Mundzir bin Zubair, mereka berkata:

“Suatu ketika Asma binti Abu Bakar keluar untuk berhijrah. Kebetulan saat itu ia sedang mengandung Abdullah bin Zubair. Sesampainya di Quba, ia pun melahirkan bayinya di sana.

Setelah melahirkan, ia pun pergi menemui Rasulullah SAW agar beliau berkenan mentahnik bayi lelakinya itu. Lalu beliau mengambil bayi tersebut dan meletakkannya dalam pangkuan beliau. Setelah itu, beliau meminta kurma.

Aisyah berkata, ‘Kami harus mencarinya beberapa saat sebelum akhirnya kami temukan.’ Tak lama kemudian Rasulullah SAW mulai mengunyah kurma itu dan meludahkannya ke dalam mulut si bayi, hingga yang pertama-tama masuk ke dalam perutnya adalah ludah beliau.

Selanjutnya, Aisyah berkata, ‘Kemudian Rasulullah SAW mengusap, mendoakan, dan memberinya nama Abdullah.’

Saat berumur tujuh atau delapan tahun, anak lelaki itu datang untuk berbaiat kepada Rasulullah SAW. Ayah anak itulah, yakni Zubair, yang telah menganjurkannya seperti itu. Rasulullah SAW lalu tersenyum bangga saat melihat anak itu datang menghadap beliau untuk berbaiat, maka kemudian beliau membaiatnya.” (HR Muslim)

Dalam riwayat lainnya dari Jabir bin Abdullah, ia berujar: “Suatu ketika ada salah seorang di antara kami yang mempunyai bayi lelaki dan diberi nama Qasim.

Lalu kami pun berujar, ‘Kami tidak akan memberikan julukan kepadamu Abu Qasim dan kami tidak senang dengan nama anaknya itu.’

Kemudian orang tersebut membawa bayinya kepada Rasulullah SAW seraya menceritakan kepada beliau tentang apa yang telah dialaminya. Maka Rasulullah SAW bersabda, Berilah anakmu nama Abdurrahman.’ (HR Muslim)

Nama-nama yang Dianjurkan dalam Hadits Nabi SAW

Selain kedua nama tersebut, Rasul SAW dalam sabdanya juga menyatakan bahwa nama dirinya bagus untuk menamai anak. Tetapi setelah memakai namanya, tidak diperkenankan untuk memanggil pula dengan julukan milik beliau.

Anas bin Malik meriwayatkan, ia berkata: “Ada seseorang yang memanggil seorang lelaki di Baqi, ‘Hai Abu Qasim!’ maka Rasulullah SAW langsung berpaling kepada orang yang memanggil itu. Lalu orang tersebut segera berkata, ‘Ya Rasulullah, saya tidak bermaksud memanggil engkau. Sebenarnya yang saya panggil itu adalah si fulan.’ Kemudian Rasulullah SAW pun berkata, ‘Berilah nama dengan namaku, tapi jangan memberi julukan dengan julukanku!.’ (HR Muslim)

Nama lainnya yang baik diungkapkan dalam hadits riwayat Wahb Al-Jusyami, yang dilansir dari kitab Al-Adzkar. Ia mengatakan bahwa Nabi SAW pernah bersabda:

تَسَمَّوْا بِأَسْمَاءِ الْأَنْبِيَاءِ، وَأَحَبُّ الْأَسْمَاءِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى عَبْدُ اللَّهِ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ، وَأَصْدَقْهَا : حَارِثٌ وَهَمَّامٌ، وَأَقْبَحُهَا: حَرْبٌ وَمُرَّةً

Artinya: “Pakailah oleh kalian nama-nama para nabi, dan nama yang paling disukai oleh Allah itu ialah Abdullah dan Abdur Rahman. Dan nama yang paling baik ialah Harits dan Hammam, sedangkan nama yang paling buruk ialah Harb dan Murrah.” (HR Abu Dawud)

Dari hadits tersebut, nama yang boleh digunakan adalah nama-nama para nabi, nama “Abdullah” dan “Abdurrahman”, nama “Harits” serta “Hammam”. Sementara nama buruk yang tidak diperbolehkan menamai anak yakni; Harb dan Murrah.

(erd/erd)



Sumber : www.detik.com

Adab Berhias Bagi Muslimah, Apa yang Halal dan Haram?



Yogyakarta

Sebagai seorang wanita, muslimah memiliki keinginan untuk berhias diri. Ajaran Islam juga tidak melarang kaum Hawa berhias, namun ada adab yang harus menjadi pedoman.

Ajaran Islam tentu memiliki aturan sendiri dalam menjaga marwah seorang muslimah dalam berhias. Batasan-batasan dalam berhias ini menjadi adab dan pedoman bagi muslimah agar senantiasa berhias sesuai syariat Islam.

Adab Berhias bagi Muslimah

Arfiani dalam bukunya yang berjudul Buku Pintar 50 Adab Islam memaparkan beberapa adab berhias bagi muslimah, antara lain sebagai berikut:


1. Mensyukuri nikmat pakaian yang dianugerahkan Allah

Pakaian yang sehari-hari kita pakai adalah bagian dari nikmat Allah. Kita harus senantiasa mensyukurinya sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an surat Al A’raaf ayat 26.

يٰبَنِيْٓ اٰدَمَ قَدْ اَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُّوَارِيْ سَوْءٰتِكُمْ وَرِيْشًاۗ وَلِبَاسُ التَّقْوٰى ذٰلِكَ خَيْرٌۗ ذٰلِكَ مِنْ اٰيٰتِ اللّٰهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُوْنَ

Artinya: Wahai anak cucu Adam, sungguh Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu dan bulu (sebagai bahan pakaian untuk menghias diri). (Akan tetapi,) pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu merupakan sebagian tanda-tanda (kekuasaan) Allah agar mereka selalu ingat.

2. Memakai pakaian yang sederhana

Berpakaianlah sewajarnya, sesuai dengan kemampuan, dan tidak berlebihan. Sikap untuk memakai pakaian yang sederhana akan menjauhkan kita dari sifat sombong yang dibenci oleh Allah SWT.

Rasulullah bersabda, “Barangsiapa meninggalkan pakaian dengan niat tawadhu karena Allah sementara ia sanggup untuk melakukannya, maka Allah akan memanggilnya pada hari kiamat di hadapan seluruh makhluk, lantas ia diperintahkan untuk memilih perhiasan mana saja yang ingin ia pakai.” (HR. Ahmad).

3. Tidak mengenakan pakaian yang syuhrah

Pakaian yang disebut syuhrah adalah pakaian yang secara sengaja menampilkan kesan terlalu mewah atau justru compang-camping sehingga berbeda dari kebanyakan orang. Salah satu tujuan dari mengenakannya adalah agar mendapatkan perhatian.

Rasulullah bersabda, “Barangsiapa memakai pakaian syuhrah maka Allah akan memakaikan pakaian serupa pada hari kiamat nanti kemudian dalam pakaian itu akan dinyalakan api neraka.” (HR. Abu Dawud).

4. Memulai dengan yang sebelah kanan

Hendaknya memasukkan tangan dan kaki kanan terlebih dahulu ketika berpakaian, dan mendahulukan tangan dan kaki kiri terlebih dahulu ketika melepas pakaian. Adab ini secara umum dicontohkan Rasulullah SAW

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُعْجِبُهُ التَّيَمُّنُ فِي تَنَعُّلِهِ وَتَرَجُّلِهِ وَطُهُورِهِ فِي شَأْنِهِ كُلِّهِ

“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam membiasakan diri mendahulukan yang kanan dalam memakai sandal, menyisir, bersuci dan dalam setiap urusannya” (HR. Bukhari no. 168).

5. Memanjangkan pakaian (syar’i)

Seorang muslimah diwajibkan memanjangkan pakaiannya. Dalam hal ini dimaksudkan agar kaki yang menjadi bagian dari aurat juga dapat tertutupi.

Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah, “Kain kaum wanita dipanjangkan sejengkal di bawah mata kaki.”

Ummu Salamah berkata, “Kalau begitu, kedua kakinya masih kelihatan.” Beliau pun kembali bersabda, “Jika masih kelihatan, maka panjangkan satu hasta namun jangan lebih dari itu.”

6. Tidak menyerupai laki-laki

Seorang muslimah hendaknya tidak berpakaian menyerupai laki-laki. Dari Abdullah bin Abbas radhiallahu’anhu, beliau berkata:

“Allah melaknat wanita yang menyerupai kaum laki-laki dan laki-laki yang menyerupai kaum wanita.” (HR. Bukhari).

7. Memakai pakaian yang suci

Seorang muslim tidak boleh memakai pakaian yang bernajis maupun terbuat dari bahan yang najis seperti misalnya kulit babi atau anjing. Selain diharamkan, hal tersebut juga dapat membatalkan sholat.

Apabila pakaian kita tidak sengaja terkena najis, segeralah dibersihkan atau menggantinya dengan pakaian yang suci sebelum melaksanakan sholat.

Berhias yang Dilarang Bagi Muslimah

Mengutip buku Ensiklopedi Wanita Muslimah oleh Haya binti Mubarak AI-Barik menjelaskan beberapa hal yang dilarang bagi muslimah dalam berhias. Hal ini dimaksudkan agar muslimah lebih berhati-hati dan tidak melanggar syariat agama.

Berhias yang dilarang (haram hukumnya) dalam Islam:

1. Memotong rambut

Telah bercerita pada kami Hamam dari Qatadah dari Khilas bin Amru dari Ali (bin Abi Thalib ra), ia berkata:

“Rasulullah melarang wanita untuk mencukur rambutnya.” (HR. at-Tirmidzi)

Dan dalam riwayat Ali ra yang sudah ditengahkan oleh Imam at-Tirmidzi, yang menurutnya terdapat seorang rawi yang idhtirab (goncang; hafalannya tidak baik) dan ia menjelaskannya sebagai berikut:

“Para ulama sepakat melarang perempuan mencukur rambutnya, namun membolehkan untuk memendekkannya (at-taqshîr)”.

Dan islam, diperbolehkan perempuan untuk memotong rambutnya jika terlihat panjang yang bisa mengganggu dalam pendengaran dan penglihatannya sehingga ketika dipandang kurang terlihat indah dan tidak rapi.

2. Menyambung rambut

Menyambung rambut merupakan hal yang diharamkan sebagaimana yang diriwayatkan dari Asma’ binti Abu Bakar RA, ia berkata, “Wahai Rasulullah, saya mempunyai anak putri yang akan menjadi pengantin dan ia terkena penyakit campak lalu ia membakar rambutnya. Apakah aku boleh menyambung rambutnya?”

Rasulullah SAW bersabda, “Allah melaknat orang yang menyambung rambutnya (dengan rambut lain), dan meminta untuk disambungkan.”

3. Membuat tato

Membuat tato atau seperti menusuk jarum atau sejenisnya ke punggung tangan, lengan, atau bagian tubuh yang lainnya sehingga darah pun keluar dan di tempat itu diberi celak. Hal ini dilarang bagi muslimah, berdasarkan riwayat dari Abdullah bin Umar RA,

“Allah melaknat wanita yang bertato dan yang meminta agar ia ditatto, wanita yang mencabuti rambutnya dan yang meminta agar rambutnya dicabuti, yang meregangkan giginya untuk keindahan serta wanita yang merubah ciptaan Allah.”

4. An-Namisah

Yang dimaksud di sini adalah wanita yang mencabuti rambutnya dari wajah, atau mutanammishah, wanita yang meminta orang lain agar rambutnya dicabuti. Ini semua diharamkan.

5. Alwaysr (mengikir gigi)

Yang dimaksud alwaysr di sini adalah mengikir atau menggergaji gigi agar lancip atau tipis. Hal ini biasa dilakukan oleh wanita yang sudah dewasa.

Hal ini diharamkan berdasarkan riwayat dari Ibnu Mas’ud RA, ia berkata, “Saya pernah mendengar Rasulullah SAW melarang wanita yang mencabuti rambutnya, mengikir giginya, menyambung rambutnya, dan bertatto, kecuali karena suatu penyakit. (HR. Ahmad).

Itulah beberapa penjelasan terkait adab muslimah dalam berhias sesuai dengan syariat Islam. Semoga bermanfaat.

(dvs/dvs)



Sumber : www.detik.com

Posisi Wanita saat Jadi Imam Salat Berjamaah



Jakarta

Wanita boleh menjadi imam salat untuk sesama wanita. Namun, posisi imam wanita berbeda dengan imam laki-laki.

Disebutkan dalam Kitab Lengkap Shalat, Shalawat, Zikir, dan Doa oleh Ibnu Watiniyah, wanita boleh menjadi imam apabila dalam salat tersebut hanya diikuti oleh wanita saja. Apabila ada laki-laki, maka yang berhak menjadi imam adalah laki-laki tersebut.

Ada dua hukum mengenai wanita yang menjadi imam salat sebagaimana disebutkan dalam fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang ditetapkan dalam Musyawarah Nasional (Munas) MUI VII pada 26-29 Juli 2005 silam.


Pertama, wanita yang menjadi imam salat berjamaah yang di antara makmumnya terdapat orang laki-laki maka hukumnya haram dan tidak sah. Kedua, wanita menjadi imam salat berjamaah yang makmumnya wanita, hukumnya mubah.

Kebolehan wanita mengimami jamaah wanita, baik di rumah maupun di masjid ini didasarkan bahwa tidak ada nash yang melarang tentang hal itu. Bahkan, menurut Muhammad Utsman Al-Khasyt dalam Kitab Fiqh an-Nisa, imamah seorang wanita terhadap jamaah wanita ini masuk dalam keumuman hadits Nabi SAW,

صَلاَةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلاَةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً

Artinya: “Salat berjamaah lebih utama dibandingkan salat sendirian dengan dua puluh tujuh derajat.” (HR Bukhari dan Muslim)

Di sisi lain, ada sebuah hadits yang menyebut bahwa wanita boleh mengimami anggota keluarganya. Hadits ini diriwayatkan Abu Dawud dan imam lainnya dari Ummu Waraqah binti Abdullah bin Harits. Dikatakan,

“Bahwasanya Rasulullah SAW telah mengangkat seorang muazin untuknya (Ummu Waraqah) dan memerintahkan kepadanya (Ummu Waraqah) untuk menjadi imam bagi anggota keluarganya.”

Posisi Imam Wanita saat Mengimami Salat

Masih dalam kitab yang sama, posisi wanita jika mengimami jamaah yang semuanya terdiri dari wanita maka tempat berdirinya adalah di tengah-tengah shaf mereka. Sebab, kata Utsman Al-Khasyt, sangat dianjurkan bagi wanita agar terlindung dari pandangan laki-laki, sementara keberadaannya di tengah-tengah shaf membuatnya aman.

Sementara itu, jika makmumnya hanya satu orang, maka posisi imam wanita adalah di sebelah kiri makmumnya. Dalam kata lain, makmum berada di sebelah kanan imam.

Apabila dalam salat berjamaah tersebut terdapat kesalahan dari imam wanita, seperti lupa, maka cara mengingatkannya dengan bertepuk tangan. Ini merupakan pendapat Imam Syafi’i sebagaimana dijelaskan Ibnu Rusyd dalam Kitab Bidayah Al-Mujtahid wa Nihayah Al-Muqtashid.

Hal tersebut bersandar pada sabda Rasulullah SAW dalam hadits shahih yang berbunyi,

“Mengapa aku melihat kalian sering bertepuk tangan. Barang siapa mengingatkan imam yang lupa dalam salatnya, hendaklah mengucapkan kalimat tasbih, karena hal itu imam menjadi teringat. Sesungguhnya bertepuk tangan itu untuk wanita.” (HR Bukhari dan Muslim)

Ibnu Rusyd menjelaskan lebih lanjut, ulama-ulama yang memahami kalimat “Sesungguhnya bertepuk tangan itu untuk wanita” apa adanya, berpendapat bahwa bertepuk tangan merupakan cara mengingatkan imam wanita yang lupa. Mereka mengatakan bahwa untuk mengingatkan imam wanita memang menggunakan tepuk tangan, bukan mengucapkan kalimat tasbih seperti halnya laki-laki.

(kri/erd)



Sumber : www.detik.com

Sari Berita Penting