Siapa Wanita Pertama yang Mati Syahid Membela Islam?



Jakarta

Sumayyah binti Khayyat adalah wanita pertama yang mati syahid karena membela Islam. Mengutip dari buku Wanita-wanita Penghuni Surga karangan Endah Suci Astuti, Sumayyah juga merupakan wanita kedua yang masuk Islam setelah Khadijah binti Khuwailid yaitu istri Nabi Muhammad SAW.

Sumayyah dalam berbagai keterangan dituliskan dengan nama Sumayyah binti Khabath ada pula yang menyebutnya Sumayyah binti Khayyat.

Masih bersumber dari buku yang sama, Sumayyah dijelaskan sebagai seorang budak yang dimiliki oleh Abu Hudzaifah bin Al-Mughirah Al-Makhzumi. Setelah putranya yang bernama Ammar bin Yasir lahir, Sumayyah kemudian dimerdekakan. Lalu ketika Abu Hudzaifah meninggal, keluarganya pun mendapat perlindungan dari Bani Makhzum.


Meskipun menjadi budak, Sumayyah adalah orang yang berani dan termasuk dalam tujuh sahabat pertama yang memeluk Islam. Ia bersama dengan adalah Abu Bakar As-Shiddiq, Ali bin Abi Thalib, Khadijah, Zaid bin Haritsah, Sumayyah binti Khabath, Ammar bin Yasir, dan Bilal bin Rabah termasuk orang-orang istimewa khususnya pada awal kenabian Muhammad SAW.

Sumayyah dinikahkan oleh tuannya dengan Yasir. Abu Hudzaifah melakukan pernikahan ini karena merasa sayang dengan Yasir serta merasa Sumayyah adalah gadis yang pantas.

Hasil pernikahan ini pun melahirkan Ammar, Abdullah, dan Harits. Namun dikisahkan bahwa Harits atau putra bungsunya telah meninggal sebelum kedatangan ajaran Islam karena telah dibunuh.

Mati Syahid di Tangan Abu Jahal

Setelah Nabi Muhammad SAW diangkat menjadi rasul, Sumayyah dan keluarganya perlahan-lahan mulai memasuki Islam. Permasalahan pun dimulai ketika kaum kafir Quraisy yang kejam mulai mengganggu dakwah dan penyebaran agama Islam Rasulullah SAW.

Ketika itu kaum kafir Quraisy belum berani mencelakakan Nabi Muhammad SAW secara langsung. Hal ini dikarenakan Nabi Muhammad SAW merupakan keponakan Abu Thalib yang disegani. Nabi Muhammad SAW juga dilindungi Abu Bakar Ash-Shiddiq yang memiliki kekuasaan.

Gangguan kepada dakwah Rasulullah SAW ini semakin parah ketika kaum Quraisy mulai menyerang orang-orang terdekat Rasulullah SAW. Salah satu cara kaum Quraisy untuk mengganggu Rasulullah SAW adalah dengan menyerang keluarga-keluarga kecil dan lemah sebagai teror dan peringatan.

Keluarga Sumayyah sebagai keluarga budak pun tak luput dari kekejaman yang dipimpin oleh Abu Jahal ini. Keluarga Sumayyah diseret ke pasang pasir di tengah hari kemudian dikenakan baju besi. Hal ini dilakukan sebagai bentuk penyiksaan Abu Jahal yang berlangsung berhari-hari lamanya.

Oleh karena penyiksaan yang kejam itu, Nabi Muhammad SAW tidak berdaya untuk membantu menyelamatkan keluarga Sumayyah. Diriwayatkan lewat Utsman bin Affan, Nabi Muhammad SAW hanya bisa menghibur dan mendoakan mereka sebagai berikut, “Bersabarlah wahai keluarga Yasir, karena tujuan kalian adalah surga,” (HR Al-Hakim)

Karena tetap teguh mempertahankan keislamannya dan bersaksi tiada tuhan selain Allah SWT maka Yasir dan Sumayyah wafat dalam keadaan syahid. Keteguhan hati Sumayyah ini membuat jengkel Abu Jahal dan membuatnya langsung membunuh Sumayyah.

Penghormatan Nabi untuk Sumayyah

Rasulullah SAW yang masih terus berjuang berdakwah demi Islam mengetahui putra dari Sumayyah, Ammar, berhasil selamat. Ammar pun bertanya kepada Rasulullah SAW,

“Kapankah siksaan kepada kaum muslim ini akan berakhir? Kapan kaum muslim bisa hidup dengan tenang? Penderitaan yang kami terima ini sudah di luar batas,”

Rasulullah SAW pun menjawab, “Sabarlah, wahai Abal Yaqdha… Sabarlah wahai keluarga Yasir, tempat kalian yang dijanjikan adalah surga!”

Setelah itu, Ammar yang ditinggalkan kedua orang tuanya yang mati syahid sangat disayang oleh Rasulullah SAW. Ammar diberikan panggilan Ibnu Sumayyah. Nama yang tidak umum menurut budaya Arab.

Sebab, umumnya panggilan seorang anak akan berdasarkan nama ayahnya. Namun, khusus untuk Ammar disematkan nama Sumayyah karena dianggap sebagai bentuk penghormatan Rasulullah SAW kepada Sumayyah.

Sumayyah pada akhirnya berperan penting tidak hanya menginspirasi umat muslim, namun juga sebagai teladan akan keimanannya. Itulah kisah dari wanita pertama yang mati syahid, semoga kita sebagai umat muslim juga diberikan kekuatan untuk menjaga keimanan seperti Sumayyah ya, detikers!

(rah/rah)



Sumber : www.detik.com

Wanita Dunia Bisa Lebih Baik dari Bidadari Surga, Ini Sebabnya



Jakarta

Rasulullah SAW pernah menyebut tentang sosok wanita dunia yang lebih baik daripada bidadari surga. Wanita tersebut juga memiliki paras cantik bak sinar cahaya.

Hal itu dijelaskan dalam buku Tsalatsuna Nahyan Syar’iyan lin-Nisa Washiat min Washaya Rasul SAW lin-Nisaa’ karya Amr Abdul Mun’im Salim dan Syekh Ibrahim Muhammad al-Jamal dari hadits Ummu Salamah.

Dikatakan, wanita dunia akan lebih baik daripada bidadari surga karena amal ibadahnya semasa di dunia. Dari Ummu Salamah, ia berkata, aku pernah bertanya, “Wahai Rasulullah, beritakan kepadaku tentang firman Allah yang berbunyi, ‘uruban atraabaa’ (surah Al Waqiah: 37).”


Rasulullah SAW menjawab, “Mereka adalah para perempuan dunia yang meninggalnya pada umur tua renta, lalu di akhirat Allah akan menciptakan mereka kembali sebagai perawan. Maka, kata uruban adalah perempuan-perempuan perawan yang menarik, sedangkan makna kata atraban, adalah perempuan-perempuan yang berumur sama.”

Kemudian aku bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, apakah perempuan dunia lebih baik daripada bidadari surga?”

“Wanita dunia lebih baik daripada bidadari, seperti perbedaan antara baju bagian luar dengan baju bagian dalam,” jawab Rasulullah SAW.

“Wahai Rasulullah, mengapa bisa begitu?” tanyaku penasaran.

Lalu Rasulullah SAW menjawab, “Karena salat, puasa, dan ibadah mereka kepada Allah. Kemudian, Allah akan menjadikan kecantikan wajah mereka seperti sinar cahaya, kehalusan tubuh mereka seperti sutra, kulit mereka berwarna putih, pakaian mereka berwarna hijau, perhiasan mereka berwarna kuning keemasan, ikat rambut mereka dari mutiara, dan sisir kepala mereka dari emas.”

Lalu perempuan-perempuan yang hadir kala itu bertanya, “Apakah kami akan abadi dan tidak akan mati?” “Apakah kami akan selalu cantik jelita dan tidak pernah tua?” “Apakah kami akan hidup rukun damai dan tidak akan pernah dicerai selama-lamanya?” “Apakah kami akan senantiasa sejahtera dan tidak akan pernah sengsara selamanya?”

“Beruntunglah bagi laki-laki yang di dunia kami menjadi istrinya dan dia menjadi suami kami.”

Kemudian, aku bertanya lagi kepada Rasulullah SAW

“Wahai Rasulullah, seorang perempuan di dunia bisa saja pernah menikah dua kali, tiga kali, atau empat kali dengan laki-laki yang berbeda, kemudian ketika si perempuan itu meninggal, ia masuk surga dan begitu juga dengan empat orang suaminya maka siapa yang akan menjadi suaminya di surga nanti?”

Lalu Rasulullah SAW menjawab, “Wahai Ummu Salamah, akhlak yang baik itu akan disertai kebaikan ganda, dunia, dan akhirat.” (HR ath-Thabrani)

Dialog Bidadari Surga dengan Wanita Dunia

Imam Syamsuddin Al-Qurthubi dalam Kitab At-Tadzkirah mengatakan, para wanita bani Adam di surga semua usianya sebaya. Berbeda dengan bidadari surga yang memiliki usia berbeda, ada yang muda dan ada yang tua sesuai selera masing-masing penghuni surga.

Ia kemudian menyebut tentang riwayat At-Tirmidzi tentang dialog para bidadari surga dan wanita dunia yang menghuni surga. Dari Ali RA, dia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,

“Sesungguhnya di surga benar-benar ada perkumpulan bidadari. Mereka bersuara keras-keras, makhluk manapun tidak pernah mendengar seindah suara mereka. Mereka berkata,

‘Kami wanita baka, takkan pernah binasa. Kami wanita bahagia, takkan pernah berduka,. Kami wanita ridha, takkan pernah murka. Bahagialah siapa menjadi milik kami dan siapa yang kali menjadi miliknya.”

Imam At-Tirmidzi mengatakan hadits tersebut gharib, sedangkan Imam Ahmad men-dhaifkannya dalam Musnad Ahmad.

Berkenaan dengan perkataan bidadari surga tersebut, Aisyah RA juga meriwayatkan, “Sesungguhnya, apabila para bidadari mengatakan seperti itu, maka para wanita mukminat yang berasal dari dunia menjawab,

‘Kami wanita bersalat, kalian tak pernah salat. Kami wanita berpuasa, kalian tak pernah puasa. Kami wanita berwudhu, kalian tak pernah berwudhu. Kami wanita bersedekah, kalian tak pernah sedekah.’

Kata Aisyah, “Maka, para wanita mukminat itu pun menang mengalahkan para bidadari.”

Wallahu a’lam.

(kri/lus)



Sumber : www.detik.com

Sosok Wanita Pertama yang Masuk Surga selain Ummul Mukminin



Jakarta

Istri-istri Nabi SAW atau yang dikenal dengan Ummul Mukminin merupakan wanita yang dijamin masuk surga. Selain mereka, ada sosok wanita pertama yang akan masuk surga.

Wanita pertama yang masuk surga adalah Ummu Mutiah. Hal ini bersandar pada sabda Rasulullah SAW saat ditanya oleh putrinya, Fatimah az-Zahra, mengenai siapa wanita pertama yang akan masuk surga.

Kisah ini diceritakan dalam buku Nisa’ul Auliya’: Kisah Wanita-wanita Kekasih Allah karya Ibnu Watiniyah dan buku 33 Kisah Wanita Superhebat di Masa Lalu karya Arum Faiza.


Suatu hari, Fatimah bertanya kepada ayahnya, “Wahai ayahku, beri tahu padaku siapa wanita yang beruntung masuk surga untuk pertama kali selain Ummul Mukminin?”

Rasulullah SAW pun menjawab, “Wahai Fatimah, jika engkau ingin mengetahui wanita pertama yang masuk surga selain Ummul Mukminin, ia adalah Ummu Mutiah.”

Ummu Mutiah adalah wanita yang tinggal di pinggiran Kota Madinah. Namanya begitu asing di telinga Fatimah. Hal ini membuat Fatimah penasaran terhadap sosok wanita solehah tersebut.

Fatimah lantas mencari tahu tentang Ummu Mutiah. Dia pun mendatangi rumah Ummu Mutiah untuk mencari tahu amalan apa yang membuatnya masuk surga.

Fatimah pun pamit kepada suaminya untuk mengunjungi kediaman Ummu Mutiah. Ia berangkat bersama putranya, Hasan. Sesampainya di rumah Ummu Mutiah, ia mengetuk pintu lalu memberi salam.

“Siapa di luar?” tanya Ummu Mutiah.

Fatimah menjawab, “Saya Fatimah, putri Rasulullah.”

Ummu Mutiah belum juga membukakan pintu, ia justru balik bertanya, “Ada keperluan apa?

Fatimah menjawab, “Ingin bersilaturahim saja.”

Dari dalam rumah Ummu Mutiah kembali bertanya, “Ada seorang diri atau bersama yang lain?”

Fatimah menjawab, “Saya bersama Hasan, putra saya.”

Ummu Mutiah lantas berkata, “Maaf, Fatimah. Saya belum mendapatkan izin dari suami untuk menerima tamu laki-laki.”

“Tetapi Hasan anak-anak,” balas Fatimah.

Ummu Mutiah menimpali, “Walaupun anak-anak, dia lelaki juga. Besok saja kembali lagi setelah saya mendapat izin dari suami saya.”

Fatimah tidak bisa menolak. Ia mengucapkan salam lantas meninggalkan rumah Ummu Mutiah. Keesokan harinya, Fatimah kembali mendatangi rumah Ummu Mutiah. Kali ini dengan Husein.

Dialog serupa terjadi lagi. Ummu Mutiah belum juga mengizinkan Fatimah dan putranya masuk karena izin dari suaminya hanya untuk Hasan yang tempo hari datang bersama Fatimah.

Pada hari selanjutnya, Fatimah baru diperbolehkan masuk. Di rumah itu, ia melihat keanggunan sosok Ummu Mutiah yang menggunakan pakaian terbaik dengan aroma tubuh yang wangi dan riasan yang menawan. Rumah Ummu Mutiah yang sederhana juga tampak sangat nyaman, bersih, dan meneduhkan.

Ummu Mutiah mengatakan bahwa suaminya akan segera pulang sehingga dia harus merawat diri sebaik mungkin untuk menyambut sang suami.

Hal tersebut membuat Fatimah kagum atas kepribadian Ummu Mutiah. Ia tambah dibuat kagum setelah melihat ketaatan dan pelayanan terbaik Ummu Mutiah kepada suaminya.

Melihat hal itu, barulah Fatimah sadar mengapa Rasulullah SAW menyebut Ummu Mutiah sebagai wanita pertama yang masuk surga.

(kri/erd)



Sumber : www.detik.com

Istri yang Sering Marah Ternyata Bisa Kurangi Keberkahan Keluarga



Jakarta

Salah satu tujuan dari pernikahan yakni mengharapkan keberkahan dari Allah SWT sekaligus membina keluarga yang bahagia. Namun ketika seorang istri kerap marah maka keberkahan keluarga akan berkurang.

Suami atau istri memiliki hak dan kewajibannya masing-masing. Ketika salah satu tidak bisa atau dianggap kurang memenuhi hak dan kewajibannya maka upayakan untuk menyelesaikannya dengan tenang. Jangan gunakan emosi, apalagi sampai keluar amarah.

Mengutip buku 29 Dosa Suami Istri yang Menghalangi Datangnya Rezeki oleh Ibnu Mas’ad Masjhur, dijelaskan bahwa membahagiakan istri adalah suatu kewajiban bagi suami. Akan tetapi, yang harus dimengerti oleh istri adalah kadar antarsuami berbeda-beda.


Tidak ada standar khusus dalam membahagiakan istri dalam Islam. Hal ini sangat tergantung pada kebutuhan masing-masing dan tergantung pula pada kemampuan suami.

Seorang istri yang selalu bersyukur atas pemberian nafkah dari suami akan membantu melancarkan rezeki keluarga. Dengan begitu, keluarga akan hidup harmonis dan bahagia.

Dampak Positif dari Istri yang Bahagia

1. Dipenuhi rasa syukur

Rasa syukur akan mendorong datangnya rezeki dari berbagai
pintu.

2. Senantiasa mendoakan suaminya

Istri akan sangat menghargai kerja suami meskipun hasilnya tidak seberapa. Dengan doa-doa yang dipanjatkan oleh istri, Allah akan mempermudah rezeki suami.

3. Menjadi partner yang menyenangkan bagi suami

Istri akan mampu membuat suami tenang dalam mencari rezeki untuk keluarga.

4. Menjadi pendukung utama suaminya

Ketika suami berusaha semampunya untuk membahagiakan istri, istri juga akan berusaha membahagiakan suaminya dalam berbagai kondisi.

5. Dapat diandalkan suaminya untuk mendidik anak-anak

Istri yang bahagia cenderung tidak menganggap pekerjaan rumah sebagai beban, termasuk dalam mendidik anak-anak.

Dampak Negatif dari Istri yang Sering Marah

Mengutip buku Akibat-Akibat Fatal Marah Kepada Suami oleh Abdurrahman Sandriyanie W., dalam kehidupan rumah tangga kerap ditemui berbagai permasalahan. Ketika menjumpai perbedaan pendapat atau berselisih atas sesuatu, hendaknya diselesaikan dengan kepala dingin.

Amarah adalah tabiat buruk manusia yang kerap muncul dalam kehidupan rumah tangga. Ketika satu kali amarah dibiarkan, maka hal ini akan menjadi pemicu dari amarah-amarah lainnya di kemudian hari.

Bagi seorang istri, amarah yang meluap-luap terkadang akan berdampak panjang. Baik suami, maupun istri sebaiknya saling berkaca ketika menghadapi sebuah masalah.

Dari Abu Hurairah (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya dan orang yang paling baik di antara kalian adalah yang paling baik akhlaknya terhadap istrinya (HR at-Tirmidzi).

Berikut dampak negatif dari istri yang sering marah:

1. Menghalangi Keberkahan Hidup

Dalam Islam, keberkahan berarti ziyadatul khair yakni bertambahnya kebaikan. Keberkahan dalam pernikahan maka akan bermanfaat bagi kebahagiaan yang hakiki, meliputi kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Ketika amarah telah menguasai diri, maka disitulah celah setan menggoda umat manusia. Setiap kali menjumpai permasalahan maka akan langsung timbul perasaan kesal yang mengundang amarah. Hal inilah yang mengurangi keberkahan sebuah hubungan rumah tangga.

2. Masuk golongan kufur nikmat

Asma’ binti Yazid al-Anshariyah Ra.menceritakan bahwa ketika ia sedang duduk bersama orang-orang sebayanya, Rasulullah SAW lewat dan mengucapkan salam kepada mereka.

Kemudian, beliau bersabda, “Waspadalah kalian, jangan mengingkari orang-orang yang telah memberikan kenikmatan.”

Selanjutnya Asma’ bertanya, “Ya Rasulullah, apakah yang dimaksud dengan pengingkaran terhadap orang-orang yang memberi kenikmatan?”

“Bisa jadi di antara kalian (perempuan) lama menjanda, lalu Allah menganugerahi suami, dan memberi anak, tetapi ia sangat marah dan mengingkari nikmat. Ia berkata, ‘Aku tidak mendapatkan satu kebaikan apapun darimu.” (HR. Bukhari dan Ahmad)

Melalui hadits ini, Rasulullah mengingatkan kaum perempuan dan para istri untuk tidak selalu mengedepankan rasa marah. Keberadaan suami di sisi istrinya merupakan anugerah yang harus disyukuri. Demikian pula sebaliknya, sebagai suami juga wajib menjadikan istrinya sebagai pasangan hidup yang istimewa.

3. Mengganjal khusyuknya ibadah

Seseorang akan menjalani ibadah yang khusyuk karena perasaan yang ikhlas dan lapang mengharapkan keberkahan. Bila ada perasaan amarah mengganjal di hati, maka hal ini dikhawatirkan bisa mengganggu jalannya ibadah.

Jalan untuk mencapai kekhusyukan dalam beribadah yakni melalui akhlak yang baik terhadap sesama. Hindari perselisihan dan amarah sekecil apapun agar ibadah tidak ternodai dengan penyakit hati.

Demikian dampak positif dari istri yang bahagia dan dampak negatif dari istri yang sering marah. Sebagai pasangan suami istri hendaknya saling memahami kondisi pasangan agar tercipta keluarga yang sakinah, mawadah dan warahmah.

(dvs/erd)



Sumber : www.detik.com

Apa Itu Keluarga Sakinah dalam Islam? Ini Definisi, Syarat, dan Cara Mewujudkannya



Jakarta

Memiliki keluarga yang sakinah tentu jadi dambaan setiap pasangan suami istri. Keluarga yang sakinah menjadi kunci kebahagiaan kehidupan pasangan.

Dalam Islam, dalil mengenai tujuan pernikahan untuk menciptakan keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah tersemat dalam surat Ar Rum ayat 21.

وَمِنْ ءَايَٰتِهِۦٓ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَٰجًا لِّتَسْكُنُوٓا۟ إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَءَايَٰتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ


Arab latin: Wa min āyātihī an khalaqa lakum min anfusikum azwājal litaskunū ilaihā wa ja’ala bainakum mawaddataw wa raḥmah, inna fī żālika la`āyātil liqaumiy yatafakkarụn

Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir,”

Definisi Keluarga Sakinah

Disebutkan dalam buku bertajuk Pernikahan Sakinah Mencegah Perceraian oleh Dr Hj Riadi Jannah Siregar MA, kata sakinah berasal dari kata sakana yang artinya diam atau tenang setelah terguncang dan sibuk.

Sementara itu, seorang ahli bahasa yang bernama Al-Jurjani mengatakan bahwa makna sakinah berarti adanya ketentraman dalam hati di saat datangnya sesuatu yang tidak terduga.

Jadi, jika kedua makna digabungkan maka pengertian keluarga sakinah adalah keluarga yang tenang, tentram, penuh kebahagiaan, dan sejahtera baik secara lahir atau batin, serta tidak gentar dalam menghadapi ujian kehidupan rumah tangga.

Adapun, mengutip dari jurnal Karakteristik Keluarga Sakinah dalam Islam tulisan Siti Chadijah, keluarga sakinah diartikan sebagai keluarga yang berawal dari rasa cinta (mawaddah) yang dimiliki oleh suami dan istri, kemudian berkembang menjadi kasih sayang (rahmah) antar setiap anggota keluarga hingga tercipta ketenangan dan kedamaian hidup.

Cara Membangun Keluarga yang Sakinah

Mengacu pada sumber yang sama, yaitu buku Pernikahan Sakinah Mencegah Perceraian, terdapat sejumlah strategi yang dapat diterapkan untuk membagun keluarga sakinah, antara lain yaitu:

1. Menanamkan nilai-nilai akidah dalam keluarga, agar senantiasa taat dalam memahami agama.

2. Memberikan contoh tentang akhlak yang terpuji, khususnya dari orang tua ke anak-anak mereka. Bagi keluarga sakinah, akhlak terpuji ini merupakan dasar penting untuk menjadi contoh bagi keluarga yang lain.

3. Memberikan kesadaran mengenai kedudukan, hak, dan kewajiban, bagi suami dan istri. Hal ini agar pasangan suami istri mampu melaksanakan tugas dan kewajibannya dengan baik dan adil.

4. Menanamkan keharmonisan dalam hubungan suami istri, agar mereka senantiasa hidup rukun dan mesra.

5. Menanamkan pola hidup hemat dan sederhana, dengan membuat perencanaan penggunaan uang yang teratur.

Syarat Keluarga Sakinah

Menurut Murwani Yekti Prihati SAg MSI dalam bukunya yang berjudul Mencapai Keluarga Sakinah, terdapat sejumlah syarat yang harus dipenuhi agar tercipta keluarga sakinah, berikut pemaparannya.

  • Diawali dengan pernikahan yang Islami
  • Dalam keluarga ada mawaddah dan rahmah
  • Hubungan antara suami istri harus atas berdasarkan saling membutuhkan
  • Rasulullah juga bersabda tentang empat faktor yang menjadi sumber kebahagiaan keluarga, yaitu suami istri yang setia, saleh dan salehah, anak-anak yang berbakti kepada orang tuanya, serta lingkungan sosial yang sehat dan rezeki yang dekat.

(aeb/erd)



Sumber : www.detik.com

Tata Cara Ziarah Kubur bagi Wanita Haid dan Hal yang Dilarang



Jakarta

Umumnya baik seorang laki-laki maupun perempuan diperbolehkan untuk ziarah kubur. Namun, tata cara ziarah kubur bagi wanita haid memiliki sedikit perbedaan.

Mutmainah Afra Rabbani dalam bukunya Adab Berziarah Kubur untuk Wanita, menjelaskan bagaimana hukumnya wanita haid yang melakukan ziarah.

Wanita diperbolehkan berziarah tanpa membedakan apakah sedang dalam keadaan haid, nifas ataukah suci. Haid atau nifas tidak menjadi sebuah alasan yang menghalangi wanita untuk berziarah. Ziarah kubur tidak bisa disamakan dengan ibadah seperti salat, puasa, thawaf, dan membaca Al-Qur’an yang disyaratkan suci dari haid atau nifas.


Diperbolehkannya wanita haid untuk berziarah ini mengacu pada hadits yang berbunyi,

“Sesungguhnya aku dahulu telah melarang kalian untuk berziarah kubur, maka sekarang berziarahlah! Karena dengannya, akan bisa mengingatkan kepada hari akhirat dan akan menambah kebaikan bagi kalian. Maka barang siapa yang ingin berziarah maka lakukanlah, dan jangan kalian mengatakan ‘hujr’ (ucapan-ucapan batil).” (HR Muslim)

Muhammad Utsman Al-Khasyt menjelaskan dalam Kitab Fikih Wanita 4 Mazhab, hadits tersebut merupakan pemberian izin oleh Nabi SAW untuk berziarah kubur bagi umat Islam yang berlaku umum, baik pria maupun wanita.

Dalam riwayat lain, dari Abdullah bin Abi Mulaikah, ia berkata bahwa Aisyah RA suatu ketika pulang dari pemakaman, lalu ia bertanya kepadanya,

يا أمَّ المؤمنينَ من أينَ أقبلتِ ؟ قالت : من قبرِ أخي عبدِ الرحمنِ بنِ أبي بكرٍ، فقلتُ لها : أليسَ كان رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ نهَى عن زيارةِ القبورِ؟ قالت : نعم كان نهَى عن زيارةِ القبورِ ثم أَمَرَ بزيارَتِهَا

Artinya: “Wahai Ummul Mukminin, dari mana engkau?’ Dia menjawab: ‘Dari makam saudaraku, Abdurrahman bin Abu Bakar. Aku bertanya: ‘Bukankah Rasulullah telah melarang melakukan ziarah kubur?’. Dia menjawab: ‘Benar. Dahulu beliau memang melarang ziarah kubur, namun selanjutnya beliau memerintahkannya.” (HR Hakim)

Masih dalam buku yang sama dijelaskan bahwa pada mulanya Islam melarang para wanita untuk berziarah. Karena, pada masa awal Islam masih banyak kebiasaan kaum Muslimin yang meratapi kepergian orang yang dikasihinya.

Islam sendiri mengharamkan ratapan karena kesedihan hati dan tangisan air mata akibat kerabat atau orang yang dicintai meninggal yang disertai ucapan-ucapan yang menunjukkan tidak rida atas ketentuan Allah SWT.

Setelah kaum Muslimin menjauhi hal tersebut, maka hukum larangan menziarahi kubur itu dicabut (dinasakh) sehingga kaum Muslimin boleh menziarahi kubur setelah sebelumnya sempat dilarang. Namun, meskipun begitu Rasulullah SAW juga berpesan bahwa saat berziarah kubur alangkah baiknya menjaga lisan.

Tata Cara Ziarah Kubur bagi Wanita Haid

Dalam buku JABALKAT I Jawaban Problematika Masyarakat yang disusun oleh Tim Kodifikasi ANFA Purna Siswa MHM 2015 menjelaskan mengenai adab atau tata cara ziarah kubur bagi wanita haid.

Wanita haid diperbolehkan untuk ziarah kubur karena dalam ziarah sendiri tidak disyaratkan harus suci dari hadats (baik kecil maupun besar). Hanya saja, saat membaca tahlil, surah Yasin atau surah-surah Al-Qur’an tidak boleh diniati membaca Al-Qur’an.

Hal itu dikarenakan wanita haid diharamkan membaca Al-Qur’an sebagaimana yang diungkapkan dalam hadits,

لا يَقْرَأُ الْجُنُبُ وَلَا الْحَائِضُ شَيْئًا مِنَ الْقُرْآنِ رواه احمد

Artinya: “Seorang yang junub atau haid tidak diperkenankan membaca ayat Al-Qur’an.” (HR Ahmad)

Dalam buku tersebut juga dijelaskan mengenai ziarah kubur yang merupakan salah satu tradisi warga Nahdliyyin. Namun, para wanita yang sedang haid banyak yang menahan diri untuk melakukannya sampai haidnya tuntas.

Hal ini dikarenakan dengan adanya pandangan di kalangan masyarakat itu sendiri bahwa wanita haid tidak diperkenankan untuk ziarah kubur.

Sementara itu dalam Majalah Sidogiri yang berjudul Di Balik Pusaran Liberal dan Radikal Bahaya Bid’ah Anti Mazhab juga menjelaskan mengenai ziarah kubur bagi wanita saat haid. Mengenai ziarah kubur bagi wanita ini dapat dikhususkan pada kuburan Nabi Muhammad SAW dan para nabi lainnya, para syuhada, shalihin, dan auliya’.

Menurut pendapat al-Muktamad diperbolehkan bahkan termasuk qurabat (ibadah) yang utama. Sedangkan, berziarah pada kuburan selain yang disebutkan dapat menjadi makruh karena wanita rentan menangis dan diperbolehkan jika aman dari fitnah.

Bagi wanita yang sedang haid tetap diperbolehkan untuk ziarah, karena tujuan dari ziarah kubur itu sendiri yang bertujuan untuk mengingat kematian dan mengingat akan adanya akhirat.

Alasan Wanita Dilarang Sering-sering Ziarah Kubur

Menurut Mutmainah Afra Rabbani dalam buku Adab Berziarah Kubur untuk Wanita, wanita tidak diperbolehkan ziarah kubur terlalu sering karena dua hal, yakni:

  • Dengan sering melakukan ziarah maka akan membawa penyalahgunaan hak suami, karena wanita tersebut lebih sering keluar rumah dan dilihat orang lain. Terlebih ziarah tersebut disertai dengan raungan menangis.
  • Karena wanita memiliki kelemahan dan kelembutan tapi tidak memiliki kesabaran. Sehingga ditakutkan wanita tersebut akan berkata atau melakukan perbuatan yang salah ketika ziarah kubur.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Wanita Mengeraskan ‘Aamiin’ saat Sholat Jamaah, Boleh atau Tidak?



Jakarta

Dalam sholat berjamaah, makmum pria akan mengeraskan suara amin usai imam selesai membaca surat Al-Fatihah. Bagaimana hukumnya dengan wanita?

Sholat berjamaah adalah ibadah yang lebih diutamakan daripada sholat munfarid atau dilakukan sendiri. Pahala sholat berjamaah 27 kali lipat lebih besar. Oleh karenanya, banyak umat muslim berbondong-bondong ke masjid untuk melaksanakan sholat berjamaah demi mengharap ridha Allah.

Apabila imam telah membaca surat Al-Fatihah dengan mengeraskan suara, maka makmum akan mengucap ‘aamiin’ dengan suara yang keras pula. Hal tersebut lazim dilakukan utamanya makmum laki-laki.


Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda, “Apabila imam membaca amin, maka aminilah oleh kalian.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Lantas bagaimana hukumnya bagi makmum wanita?

Mengeraskan Suara Aamiin saat Sholat

Dalam Al-Umm: Kitab Induk Fiqih Islam, Imam Syafi’i berkata, “Jika imam sudah selesai membaca surah Al Fatihah lalu mengucapkan aamiin, dengan melantangkan suaranya agar diikuti oleh orang-orang di belakangnya, hendaklah mereka (makmum) mengucapkan aamiin juga sampai terdengar oleh diri mereka masing-masing.”

Imam Syafi’i juga menegaskan bahwa ucapan aamiin menunjukkan bahwa dibolehkan bagi hamba untuk memohon kepada Allah dalam shalat menyangkut urusan akhirat dan dunia, sebagaimana yang ditunjukkan oleh sunnah-sunnah mengenai hal itu.

Bahkan, dalam hadits berikut ini apabila seseorang mengucapkan aamiin tatkala sholat maka malaikat akan ikut meng-aamiin-kan dan Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا قَالَ الْإِمَامُ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ فَقُولُوا آمِينَ فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ تَقُولُ آمِينَ وَإِنَّ الْإِمَامَ يَقُولُ آمِينَ فَمَنْ وَافَقَ تَأْمِينُهُ تَأْمِينَ الْمَلَائِكَةِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Artinya: “Jika imam membaca ‘ghairil maghdubi ‘alaihim wa laaddhoolliin’, maka ucapkanlah ‘aamiin’ karena malaikat akan mengucapkan pula ‘aamiin’ tatkala imam mengucapkan aamiin. Siapa saja yang ucapan aamiin-nya berbarengan dengan ucapan ‘aamiin’ malaikat, maka akan diampuni dosanya yang telah lalu.” (HR. An Nasa’i, no. 928; Ibnu Majah, no. 852. Al Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Adapun ulama besar mazhab Syafi’i, Imam Nawawi, menguatkan Imam Syafi’i bahwa membaca aamiin bagi semua kalangan hukumnya adalah sunnah.

Imam Nawawi rahimahullah dalam Al-Majmu’ berkata,

التَّأْمِينُ سُنَّةٌ لِكُلِّ مُصَلٍّ فَرَغَ مِنْ الْفَاتِحَةِ سَوَاءٌ الإِمَامُ وَالْمَأْمُومُ , وَالْمُنْفَرِدُ , وَالرَّجُلُ وَالْمَرْأَةُ وَالصَّبِيُّ , وَالْقَائِمُ وَالْقَاعِدُ وَالْمُضْطَجِعُ

أي لعذر) وَالْمُفْتَرِضُ وَالْمُتَنَفِّلُ فِي الصَّلاةِ السِّرِّيَّةِ وَالْجَهْرِيَّةِ وَلا خِلافَ فِي شَيْءٍ مِنْ هَذَا عِنْدَ أَصْحَابِنَا اهـ . (

Artinya: “Membaca aamiin disunnahkan bagi setiap orang yang shalat setelah membaca Al-Fatihah. Ini berlaku bagi imam, makmum, orang yang shalat sendirian, berlaku pula bagi laki-laki, perempuan dan anak-anak. Sama halnya pula berlaku bagi orang yang shalat sambil berdiri, sambil duduk, atau sambil berbaring karena adanya uzur. Membaca aamiin juga berlaku bagi orang yang melaksanakan shalat wajib dan shalat sunnah baik shalatnya sirr (bacaannya lirih) maupun shalat jaher (bacaannya keras). Yang disebutkan tadi tetap berlaku sama menurut ulama madzhab Syafi’i.” (Al-Majmu’, 3: 371)

Pendapat Ulama yang Melarang Wanita Mengeraskan Aamiin

Adapun hal-hal yang telah dijelaskan di atas sedikit bertentangan dengan hadits berikut ini yang menjelaskan tentang beberapa pengecualian.

Ibnu Hajar berkata,

وكان منع النساء من التسبيح لأنها مأمورة بخفض صوتها في الصلاة مطلقا لما يخشى من الافتتان ومنع الرجال من التصفيق لأنه من شأن النساء اهـ

Artinya: “Wanita tidak diperkenankan mengucapkan ‘subhanallah’ ketika ingin mengingatkan imam, wanita diperintahkan untuk memelankan suaranya dalam shalat. Hal ini dikarenakan takut menimbulkan godaan. Sedangkan laki-laki dilarang menepuk punggung telapak tangan karena yang diperintahkan adalah perempuan.” (Fath Al-Bari, 3: 77)

Sementara itu, terdapat sumber lain yang lebih rinci dalam menjelaskan pengecualian-pengecualian tersebut.

Imam An-Nawawi dalam Kitab Al-Majmu’ mengatakan:

وأما المرأة فقال أكثر أصحابنا إن كانت تصلى خالية أو بحضرة نساء أو رجال محارم جهرت بالقراءة سواء صلت بنسوة أو منفردة وإن صلت بحضرة اجنبي أسرت وممن صرح بهذا التفصيل المصنف والشيخ أبو حامد والبندنيجي وأبو الطيب في تعليقهما والمحاملى في المجموع والتجريد وآخرون وهو المذهب

Artinya: “Adapun perempuan, maka mayoritas ulama mazhab Syafi’i berpendapat, bila perempuan shalat di tempat sepi, di hadapan perempuan; atau di hadapan lelaki mahram, maka ia sunah mengeraskan suara bacaan Al-Qur’an (dan semisalnya), baik ia shalat dengan mengimami jamaah perempuan atau shalat sendiri. Namun bila perempuan itu shalat di hadapan lelaki nonmahram, maka ia sunnah melirihkan bacaannya.

Di antara ulama yang secara terang-terangan menjabarkan hukum seperti ini adalah penulis Kitab Al-Muhadzdzab yaitu Abu Ishaq As-Syirazi, Syekh Abu Hamid Al-Ghazali, Al-Bandaniji dan Abut Thayyib dalam Kitab Ta’liq mereka berdua, Imam Al-Mahamili dalam Kitab Al-Majmu’ dan Kitab At-Tajrid, dan ulama lainnya. Inilah pendapat Al-Mazhab” (An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul Muhaddzab, juz III, halaman 390).

Hukum Wanita Mengeraskan ‘Amin’ Saat Sholat Jamaah

Dalam buku Panduan beribadah Khusus Wanita Mejalankan Ibadah Sesuai Tuntunan Al-Qur’an dan As-Sunnah oleh Abu Malik Kamal Salim, dikatakan bahwa bagi makmum perempuan, maka hukumnya mubah atau boleh mengeraskan suaranya ketika mengucapkan aamiin jika tidak dikhawatirkan menimbulkan fitnah.

Namun, jika dikhawatirkan menimbulkan fitnah, maka tidak boleh mengeraskan suaranya. Hal ini karena hukum asal bagi perempuan adalah mengecilkan suaranya dalam shalat, terutama jika dikhawatirkan menimbulkan fitnah.

Jadi, hukum yang berlaku dikembalikan lagi pada keadaan dimana seorang muslimah melangsungkan sholat, dapat disesuaikan tergantung kondisi di kehidupan nyata.

Demikian penjelasan hukum wanita yang mengeraskan ‘Amin’ saat sholat. Semoga dapat memberi manfaat bagi kita semua.

(dvs/dvs)



Sumber : www.detik.com

Ruqayyah binti Muhammad, Putri Rasulullah yang Dinikahi Utsman bin Affan



Jakarta

Ruqayyah binti Muhammad merupakan putri kedua Rasulullah SAW yang lahir sekitar 20 tahun sebelum hijrah. Ia masuk Islam bersama-sama dengan sang ibu, Khadijah.

Melansir dari buku Wanita-Wanita Penghuni Surga karya Endah mengisahkan saat Ruqayyah menginjak usia pernikahan maka datanglah Abu Thalib. Paman Nabi Muhammad SAW itu melamar mereka untuk dinikahkan dengan putra-putra saudaranya yang tak lain Abu Lahab.

Selain Ruqayyah, pada saat itu Nabi Muhammad SAW juga memiliki anak gadis lain yang usianya lebih muda namun tak terlalu jauh dari Ruqayyah yang bernama Ummu Kultsum.


Saat lamaran tersebut datang, Rasulullah SAW sangat terkejut, begitu pula dengan Khadijah, Ruqayyah, dan Ummi Kultsum. Mereka bersedih karena mengetahui bagaimana sifat dari keluarga Abu Lahab, meski begitu mereka tak berdaya.

“Kami berharap engkau tak mempersulit pernikahan mereka dengan sepupu-sepupumu, Utbah dan Utaibah putra Abdul Uzza (Abu Lahab),” kata Abu Thalib.

Mendengar hal tersebut Rasulullah SAW menjawab, “Paman, berilah aku waktu agar bisa berbicara dengan putri-putriku.”

Tawaran ini menjadi suatu dilema bagi keluarga Rasulullah SAW hingga beliau membicarakannya dengan Khadijah beserta dengan kedua putrinya. Mereka sangat memahami keburukan Abu Lahab dan juga istrinya, Ummu Jamil. Namun, akhirnya atas pertimbangan kekeluargaan lamaran tersebut tidak ditolak oleh Rasulullah SAW.

Beliau dan Khadijah memanjatkan doa agar kedua putri mereka selalu berada dalam lindungan Allah SWT. Maka Allah SWT mengabulkan doa mereka. Ruqayyah yang sempat pindah ke keluarga Abu Lahab akhirnya tetap terjaga dan tidak tersentuh oleh putranya.

Saat Islam semakin menyinari Kota Makkah, Abu Lahab dan istrinya sangat murka. Mereka ingin mempermalukan Nabi Muhammad SAW, bahkan mereka berpikir bahwa Rasulullah SAW merasa nyaman sudah tidak menanggung biaya hidup putrinya lagi.

Abu Lahab berpikir jika Ruqayyah binti Muhammad dikembalikan maka beban Nabi Muhammad SAW akan bertambah. Maka, Abu Lahab meminta putranya untuk membatalkan pernikahan dan mengembalikan Ruqayyah ke rumah Nabi Muhammad SAW.

“Aku akan terus mencela kalian, kecuali kalian menceraikan putri-putri Muhammad!” cerca Abu Lahab kepada putranya.

Padahal saat itu, Ruqayyah dan putra Abu Lahab baru saja menikah dan sama sekali belum melakukan hubungan sebagaimana suami istri pada umumnya. Namun, Utbah lebih menuruti keinginan dari sang ayah sehingga ia menceraikan Ruqayyah.

Dikembalikannya Ruqayyah bukan menjadi suatu aib bagi Nabi Muhammad SAW, beliau sangat bersyukur namun bagaimanapun hal itu juga sebagai bentuk dari penghinaan. Bahkan, gangguan Abu Lahab bertambah dengan keras, dia menyebarkan duri di jalan-jalan tempat Rasulullah SAW lewat.

Seperti firman Allah SWT dalam surah Al-Lahab ayat 1-5:

تَبَّتْ يَدَآ اَبِيْ لَهَبٍ وَّتَبَّۗ ١ مَآ اَغْنٰى عَنْهُ مَالُهٗ وَمَا كَسَبَۗ ٢ سَيَصْلٰى نَارًا ذَاتَ لَهَبٍۙ ٣ وَّامْرَاَتُهٗ ۗحَمَّالَةَ الْحَطَبِۚ ٤ فِيْ جِيْدِهَا حَبْلٌ مِّنْ مَّسَدٍ ࣖ ٥

Artinya: “Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan benar-benar binasa dia Tidaklah berguna baginya hartanya dan apa yang dia usahakan. Kelak dia akan memasuki api yang bergejolak (neraka), (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar (penyebar fitnah). Di lehernya ada tali dari sabut yang dipintal.”

Tentang Ruqayyah, Allah SWT akhirnya memberikan suami pengganti yang jauh lebih baik. Dia adalah Utsman bin Affan, salah satu pemuda paling mulia sekaligus sahabat Nabi Muhammad SAW. Utsman dan Ruqayyah menjadi pasangan yang cocok dan semua orang menyukainya.

Selepas itu, turunlah perintah hijrah dari Allah SWT ke Habasyah (Ethiopia), sehingga Rasulullah SAW, Ruqayyah, Utsman, dan sahabat Nabi SAW lainnya pun berhijrah.

Dalam buku Storypedia Rasulullah Sayang Anak karya Zayadi dijelaskan bahwa Ruqayyah memiliki seorang anak laki-laki yang bernada Abdullah. Namun, Abdullah meninggal saat berusia 6 tahun.

Demikianlah cerita Ruqayyah binti Muhammad setelah ia dihina diganti dengan kemuliaan.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Pernikahan Muhalil setelah Talak Tiga Hukumnya Haram, Apa Maksudnya?



Jakarta

Terdapat jenis pernikahan yang dilarang dalam syariat Islam, salah satunya nikah muhalil yang dilangsungkan setelah menalak tiga seorang istri.

Imam Syafi’i dalam kitab Al-Umm mengemukakan pernikahan muhalil adalah perkawinan wanita yang ditalak tiga setelah selesai masa iddahnya dengan lelaki lain, lalu ia (si perempuan) ditalak lagi (oleh suami kedua) untuk menghalalkannya agar dinikahi kembali oleh suami pertama.

Senada dengan pernyataan tersebut, Rizem Aizid dalam Kitab Terlengkap Biografi Empat Imam Madzhab mengutarakan, nikah muhalil yakni pernikahan seorang lelaki (perantara) dengan perempuan yang telah dicerai (talak tiga) suaminya, (setelah keduanya menikah) kemudian si lelaki menceraikan perempuan agar suami pertama bisa menikahinya kembali.


Ahmad Sarwat dalam Ensiklopedi Fikih Indonesia: Pernikahan mengatakan bahwa perkawinan macam ini tujuannya sekadar untuk menghalalkan pernikahan yang lain saja, sehingga nikah yang kedua dilakukan sebagai perantara.

Mengapa sampai melakukan demikian? Karena dalam Islam, seorang istri yang telah ditalak tiga (cerai) suami, keduanya tidak diperbolehkan menikah kembali, kecuali si istri sudah menikah dengan orang lain terlebih dahulu yang kemudian bercerai. Barulah suami pertama halal untuk menikahi istrinya lagi.

Sebagaimana firman Allah SWT dalam Surat Al-Baqarah ayat 230:

فَاِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهٗ مِنْۢ بَعْدُ حَتّٰى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهٗ ۗ فَاِنْ طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَآ اَنْ يَّتَرَاجَعَآ اِنْ ظَنَّآ اَنْ يُّقِيْمَا حُدُوْدَ اللّٰهِ ۗ وَتِلْكَ حُدُوْدُ اللّٰهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَّعْلَمُوْنَ

Artinya: Jika dia menceraikannya kembali (setelah talak kedua), perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia menikah dengan laki-laki yang lain. Jika (suami yang lain itu) sudah menceraikannya, tidak ada dosa bagi keduanya (suami pertama dan mantan istri) untuk menikah kembali jika keduanya menduga akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah ketentuan-ketentuan Allah yang diterangkan-Nya kepada orang-orang yang (mau) mengetahui.

Dengan alasan tersebut, pernikahan muhalil dianggap sebagai perantara atau sandiwara supaya suami pertama boleh dan bisa kembali dengan mantan istrinya.

Dalil & Hukum Nikah Muhalil

Masih dari Ensiklopedi Fikih Indonesia: Pernikahan, nikah muhalil yang demikian hukumnya diharamkan oleh jumhur ulama. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi SAW yang mana beliau bersama Allah SWT melaknatnya.

Abu Hurairah meriwayatkan hadits Rasul SAW, “Allah SWT melaknat muhalil dan muhallal lahu.” (HR Ahmad & Baihaqi)

Dalam riwayat lain dari Ibnu Mas’ud dinyatakan:

لَعَنَ رَسُول اللَّهِ الْمُحَلِّل وَالْمُحَلَّلَ لَهُ

Artinya: “Rasulullah SAW melaknat orang yang menikahi dan dinikahi secara muhalil.” (HR Tirmidzi)

Juga dalam sabdanya dari Uqbah bin Amir yang dikutip dari kitab Zadul Ma’ad oleh Ibnul Qayyim. Uqbah berkata: “Nabi SAW menuturkan, ‘Maukah kalian aku beritahu tentang ‘kambing jantan’ yang dipinjamkan?’

Para sahabat menjawab, ‘Mau, wahai Rasulullah,’
Beliau bersabda, ‘Dia adalah muhalil, dan Allah SWT melaknat muhalil dan muhalal lahu.” (HR Ibnu Majah & Hakim)

Diketahui para sahabat yang hadir kala itu adalah orang terkemuka dan dapat dipercaya, yaitu; Ibnu Mas’ud, Abu Hurairah, Ali bin Abi Thalib, dan Uqbah bin Amir. Sehingga mereka lah yang menjadi saksi bahwasanya Nabi SAW benar mengutuk muhalil (orang yang menikahi secara muhalil) dan muhalal lah (yang dinikahi secara muhalil).

Ibnul Qayyim dalam kitabnya menyebut pengharaman nikah muhalil yang dilandaskan hadits-hadits di atas, menjadikan pernikahan tersebut sebagai salah satu dosa besar bagi pelakunya.

Imam Syafi’i dalam kitab Al-Umm turut menerangkan alasan dibalik keharaman pernikahan jenis ini, “Adapun pernikahan muhalil yang telah diriwayatkan bahwa Nabi SAW melaknatnya, menurut kami sebab sejenis pernikahan mut’ah. Karena pernikahan muhalil tidak bersifat mutlak.”

Rizem Aizid dalam juga menjelaskan nikah muhali dapat merusak keidahan dan keharmonisan rumah tangga. Sehingga seseorang lelaki yang meminta lelaki lain untuk berpura-pura menikahi mantan istrinya demi keinginannya kembali kepada pada perempuan itu, merupakan dosa besar dan pernikahan muhalil dikatakan tidak sah bila terjadi.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

Bagaimana Cara Mengqadha Puasa bagi Ibu Hamil dan Menyusui?



Jakarta

Dalam Islam, puasa Ramadhan merupakan hal yang wajib dilakukan oleh seluruh muslim. Namun, kewajiban ini bisa gugur ketika seseorang memiliki halangan, seperti sakit, safar, pikun atau orang lanjut usia, wanita haid maupun nifas, hingga termasuk ibu hamil dan menyusui.

Wahbah Az Zuhaili dalam Fiqih Islam Wa Adillatuhu menyebut, ibu hamil dan menyusui boleh meninggalkan puasa Ramadhan apabila mereka khawatir dirinya atau anaknya mendapat mudharat. Kekhawatiran yang dimaksud seperti, lemahnya kecerdasan, meninggal dunia, atau sakit.

“Kekhawatiran yang diperhitungkan adalah yang berdasarkan praduga kuat dengan dasar pengalaman sebelumnya atau dasar informasi seorang dokter muslim yang mahir,” demikian penjelasannya.


Gugurnya kewajiban ini harus dibayar atau diqadha di bulan setelah Ramadan. Selain itu, wanita atau ibu yang sedang hamil atau menyusui ternyata diberikan keringanan juga oleh Allah SWT.

Puasa Ramadhan bagi Ibu Hamil atau Menyusui

Dikutip melalui Fikih Wanita Empat Mazhab karya Dr. Muhammad Utsman Al-Khasyt, Bagi wanita yang sedang hamil atau menyusui, diperbolehkan tidak berpuasa jika dikhawatirkan akan mengganggu kesehatan dirinya atau bayinya. Hukum ini tetap berlaku meskipun anak yang disusui bukan berasal dari ibunya sendiri, meskipun dengan kondisi sang ibu merupakan ibu susu yang diupah.

Kekhawatiran akan kesehatan ini didasarkan pada keterangan dokter atau dengan penelitian yang sudah dikuatkan sebelumnya. Lebih lanjut, kebolehan untuk meninggalkan puasa Ramadhan bagi kondisi tersebut adalah adalah qiyas kepada orang sakit dan musafir sebagaimana dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda:

إن الله تبارك وتعالى وَضَعَ عَنِ المُسَافِرِ الصَّوْمَ وَشَطَرَ الصَّلَاةِ وَعَنِ الخيلى و المرضيح الصوم

Artinya: “Sesungguhnya Allah SWT telah mengangkat dari seorang musafir yaitu puasa dan separuh sholatnya; sementara dari wanita hamil atau menyusui hanya puasa saja.” (HR Ahmad dari Anas bin Malik)

Dijelaskan bahwa musafir diangkat kewajiban berpuasa dan kewajiban sholatnya di sepanjang hari hanya menjadi separuh atau bisa mengqasharnya. Sedangkan, bagi wanita hamil atau menyusui akan diangkat kewajiban puasanya.

Lalu, untuk mengganti hilangnya puasa wajib Ramadhan menurut berbagai mazhab perlu dilakukan “pembayaran” atau qadha. Lalu, bagaimana cara mengqadha puasa bagi ibu hamil dan menyusui?

Cara Mengqadha Puasa bagi Ibu Hamil dan Menyusui

Ada perbedaan pendapat di kalangan imam besar mazhab. Menurut Mazhab Hanafi, bagi ibu hamil dan wanita menyusui diwajibkan mengqadha puasanya tanpa membayar fidyah.

Menurut Mazhab Syafi’i dan Hambali menyetujui bahwa selain mengamalkan puasa qadha, keduanya perlu membayar fidyah jika mengkhawatirkan kondisi bayi. Namun, tidak perlu membayar fidyah jika tidak mengkhawatirkan kondisi bayinya.

Sementara menurut Mazhab Maliki, wanita menyusui diwajibkan menqadha puasa dan membayar fidyah. Di lain sisi, wanita hamil hanya perlu menqadhanya saja.

Sebab tidak diwajibkannya puasa Ramadhan ibu hamil dan wanita menyusui lantaran adanya fisik yang lemah. Oleh karena itu, Dr. Muhammad Utsman Al-Khasyt berpendapat, bagi orang seperti itu hanya wajib membayar fidyah tanpa mengqadhanya yang diumpamakan seperti dengan orang yang sudah lanjut usia.

Adapun besaran fidyah atau memberi makan kepada satu orang miskin sebagai ganti dari setiap satu hari yang seseorang tidak berpuasa di dalamnya, bukan merupakan satu perkara yang harus berupa bahan makanan yang macam dan kadarnya sudah tertentu. Melainkan hendaknya disesuaikan dengan adat dan kebiasaan, namun diutamakan bahwa ukuran dan kadarnya adalah merupakan ukuran dan kadar rata-rata dari jenis makanan harian yang biasa dimakan oleh orang yang membayar fidyah.

Sebaga informasi, wanita hamil dan wanita menyusui disebut haram berpuasa jika hal ini menyebabkan bahaya kesehatan terhadap dirinya atau bayi yang sedang dirawatnya. Allah SWT berfirman melalui Al-Qur’an, yaitu:

…وَلَا تُلْقُوْا بِاَيْدِيْكُمْ اِلَى التَّهْلُكَةِ…١٩٥

Artinya: “…dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan…”

Dijelaskan dalam tulisan Muhammad Utsman Al-Khasyt juga bahwa jika menyayangi janin atau bayi yang sedang menyusui merupakan sesuatu yang wajib. Tidak berpuasa menjadi sesuatu hal yang wajib karena tak ada jalan lain kecuali dengan tidak berpuasa.

Itulah pembahasan mengenai cara menqadha puasa bagi ibu hamil dan menyusui, semoga bermanfaat.

(rah/rah)



Sumber : www.detik.com

Sari Berita Penting