Tag Archives: Aisyah RA

Saat Rasulullah Urungkan Niat Kabarkan Waktu Lailatul Qadar



Jakarta

Malam lailatul qadar adalah malam yang sangat diagungkan dalam Al-Qur’an dan hadits. Menurut sebuah riwayat, Rasulullah SAW sempat ingin memberitahukan kapan waktu persis jatuhnya lailatul qadar, namun beliau mengurungkan niatnya.

Perihal lailatul qadar telah disebutkan dalam Al-Qur’an surah Al Qadr. Allah SWT berfirman,

اِنَّآ اَنْزَلْنٰهُ فِيْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ ١ وَمَآ اَدْرٰىكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِۗ ٢ لَيْلَةُ الْقَدْرِ ەۙ خَيْرٌ مِّنْ اَلْفِ شَهْرٍۗ ٣ تَنَزَّلُ الْمَلٰۤىِٕكَةُ وَالرُّوْحُ فِيْهَا بِاِذْنِ رَبِّهِمْۚ مِنْ كُلِّ اَمْرٍۛ ٤ سَلٰمٌ ۛهِيَ حَتّٰى مَطْلَعِ الْفَجْرِ ࣖ ٥


Artinya: “Sesungguhnya Kami menurunkan Al-Qur’an pada malam lailatul qadar, tahukah engkau apakah malam Lailatulqadar itu ? Malam lailatul qadar itu lebih baik dari seribu bulan, pada malam itu turunlah malaikat-malaikat dan Jibril dengan izin Allah Tuhan mereka (untuk membawa) segala urusan, selamatlah malam itu hingga terbit fajar.” (QS Al Qadr: 1-5)

Imam Ibnu Katsir mengatakan dalam kitab tafsirnya, malam lailatul qadar sebagaimana disebutkan dalam surah di atas adalah malam yang penuh dengan keberkahan. Hal ini turut dijelaskan dalam ayat lain melalui firman-Nya,

إِنَّا أَنْزَلْناهُ فِي لَيْلَةٍ مُبارَكَةٍ

Artinya: “Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi (lailatul qadar).” (QS Ad Dukhan: 3)

Disebutkan dalam sebuah hadits yang termuat dalam Mukhtashar Shahih al-Imam al-Bukhari yang disusun oleh M. Nashiruddin al-Albani, lailatul qadar terletak pada 10 malam terakhir Ramadan. Tidak ada yang mengetahui kapan waktu persisnya kecuali Allah SWT.

Dari Aisyah RA, ia berkata,

كَانَ رَسُولُ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُجَاوِرُ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ ، وَيَقُولُ : تَحَرَّوا (وَفِي رِوَايَةٍ : الْتَمِسُوا) لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْوِتْرِ مِنَ الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ

Artinya: “Rasulullah SAW beritikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan, dan beliau mengatakan, ‘Carilah lailatul qadar pada malam ganjil dari sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadan.” (HR Bukhari)

Dalam Shahih Bukhari juga terdapat riwayat yang menyebut bahwa Rasulullah SAW sempat akan memberitahukan waktu lailatul qadar. Namun, beliau mengurungkan niatnya.

Diriwayatkan dari Ubadah bin Shamit bahwa Rasulullah SAW pergi untuk menemui para sahabatnya untuk mengabarkan tentang lailatul qadar, akan tetapi di sana terdapat perselisihan antara dua orang muslim.

Rasulullah bersabda,

إِنِّيْ خَرَجْتُ لِأُخْبِرَكُمْ بِلَيْلَةِ القَدْرِ، فتلاحَى فُلَانٌ وَفُلاَنٌ، فَرُفِعَتْ، فَعَسَى أَنْ يَكُوْنَ خَيْرًا لَكُمْ، فَالْتَمِسُوْهَا فِي التَّاسِعَةِ وَالسَّابِعَةِ وَالْخَامِسَةِ

Artinya: “Aku datang kemari untuk mengabarkan tentang lailatul qadar, tetapi si Fulan dan si Fulan berselisih, maka kabar itu (tanggal turunnya) pun telah diangkat, mungkin itu yang lebih baik bagi kalian carilah ia (lailatul qadar) pada tanggal tujuh, sembilan, atau kelima (maksudnya pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadan).”

Doa Malam Lailatul Qadar

Shabri Shaleh Anwar dalam buku 10 Malam Akhir Ramadhan, menjelaskan mengenai sunah untuk memperbanyak doa pada malam tersebut. Diriwayatkan dari Aisyah RA, dia bertanya kepada Rasulullah SAW,

يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِنْ عَلِمْتُ أَىُّ لَيْلَةٍ لَيْلَةُ الْقَدْرِ مَا أَقُولُ فِيهَا قَالَ قُولِى اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّى

Artinya: “Wahai Rasulullah, bagaimana bila aku mengetahui malam lailatul qadar, apa yang harus aku ucapkan?” Beliau (Rasulullah SAW) menjawab, “Ucapkanlah, Allahuma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu ‘anni (Ya, Allah sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf, dan suka memberi maaf, maka maafkanlah aku).'” (HR At-Tirmidzi dengan sanad shahih)

Bacaan doa malam lailatul qadar dalam hadits tersebut adalah sebagai berikut,

اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّى

Allahuma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu ‘anni

Artinya: “Ya, Allah sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf, dan suka memberi maaf, maka maafkanlah aku”

Rasulullah SAW juga menggambarkan bahwa paginya malam lailatul qadar agar seorang muslim mengetahuinya dari Ubai RA ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Pagi hari malam lailatul qadar, matahari terbit tidak menyilaukan, seperti bejana hingga meninggi.” (HR Muslim)

Ibnu Abbas RA juga meriwayatkan, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Malam lailatul qadar adalah malam yang indah, cerah, tidak panas, dan tidak juga dingin, dan keesokan harinya cahaya sinar mataharinya melemah kemerah-merahan.” (HR Ibnu Khuzaimah)

Lailatul Qadar Disebut Malam Penentuan

Ibnul Qayyim al-Jauziyyah mengatakan dalam Kitab Syifa’ul ‘Alil fi Masa’ilil Qadha wal Qadar wal Hikmah wat Ta’lil, kata al-qadar merupakan bentuk masdar dari kata qadara. Kata qadara asy-syai’a artinya seseorang menentukan sesuatu sementara kata yuqaddiruhu qadran artinya seseorang akan menentukan sesuatu dengan ukuran tertentu. Jadi, lailatul qadar artinya malam penetapan dan penentuan.

Sufyan meriwayatkan dari Ibnu Abi Najih dan dari Mujahid bahwa lailatul qadar adalah malam penentuan. Sufyan juga meriwayatkan dari Muhammad Ibn Sauqah, dari Sai’is ibn Jubair, ia berkata, “Diserukan kepada orang-orang yang menunaikan ibadah haji pada malam lailatul qadar kemudian ditulislah nama-nama mereka juga nama-nama ayah mereka dan tidak ada seorang pun dari mereka yang ketinggalan, ditambah atau dikurangi.”

Sementara itu, Ibnu Aliyyah berkata, “Telah menceritakan kepada kami Rabi’ah ibn Kultsum, ia berkata: ‘Ada seorang laki-laki bertanya kepada Hasan dan kebenaran saat itu aku mendengarkannya: ‘Menurutmu, apakah lailatul qadar turun di setiap bulan Ramadan?’ Hasan menjawab: ‘Ya benar. Demi Allah, Dzat yang tiada Tuhan selain Dia, sungguh lailatul qadar itu turun di setiap bulan Ramadan. Pada malam itu juga Allah menentukan setiap ajal, perbuatan, dan rezeki seorang hamba’.”

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Kisah ketika Rasulullah Dihina oleh Orang di Sekitarnya


Jakarta

Sepanjang perjalanan dakwahnya, Rasulullah SAW menghadapi berbagai tantangan berat, mulai dari penolakan, penghinaan, hingga kekerasan. Meskipun demikian, beliau tetap tegar dalam menyampaikan wahyu dan mengajarkan nilai-nilai kebenaran.

Tidak hanya cobaan dalam dakwahnya saja, di kehidupan sehari-hari pun, beliau harus menghadapi hinaan dan perlakuan buruk dari sebagian orang di sekitarnya. Namun, Rasulullah SAW selalu bisa mengendalikan dirinya, tidak membalas dengan kebencian, dan justru mendoakan kebaikan bagi mereka.

Dari kesabaran dan kerendahan hati beliau ini akhirnya meluluhkan hati banyak orang, bahkan sebagian di antara penghina beliau membalikkan hati mereka untuk mengikuti ajaran Islam.


Seperti dua kisah ketika Rasulullah dihina oleh umatnya berikut ini. Sebagaimana dikutip dari buku Kisah Orang-orang Sabar yang distulis oleh Nasiruddin.

Kisah ketika Rasulullah Dihina Pengemis Buta

Di sudut pasar Madinah, terdapat seorang pengemis Yahudi yang buta. Setiap hari, ia selalu mencela Nabi Muhammad SAW di depan orang-orang yang melintas, dengan mengatakan “Wahai saudaraku jangan dekati Muhammad, dia itu orang gila, dia itu pembohong, dia itu tukang sihir, apabila kalian mendekatinya kalian akan dipengaruhinya.” Berulang kali ia katakan ucapan buruk ini.

Namun, setiap pagi, Rasulullah SAW tetap mendekatinya, membawa makanan, dan menyuapinya tanpa berkata sepatah kata pun, meskipun pengemis itu terus menghinanya. Rasulullah melakukan hal ini dengan penuh kesabaran, bahkan hingga menjelang wafatnya.

Setelah Rasulullah wafat, pengemis buta tersebut tidak lagi menerima makanan setiap pagi. Suatu hari, Abu Bakar RA bertanya kepada putrinya, Aisyah RA, “Anakku adakah sunnah kekasihku yang belum aku kerjakan?”

Aisyah menjawab, “Wahai ayah, engkau adalah seorang ahli sunnah hampir tidak ada satu sunnah pun yang belum ayah lakukan kecuali satu sunnah saja.”

“Apakah itu?” tanya Abu bakar RA.

“Setiap pagi Rasulullah selalu pergi ke ujung pasar dengan membawakan makanan untuk seorang pengemis Yahudi buta yang berada di sana,” kata Aisyah.

Keesokan harinya, Abu Bakar RA mendatangi pengemis tersebut dan memberinya makanan. Saat Abu Bakar mulai menyuapinya, pengemis itu marah dan berteriak, “Siapakah kamu?”

Abu Bakar menjawab, “Aku orang yang biasa.”

Pengemis itu menyangkal, “Bukan! Engkau bukan orang yang biasa mendatangiku,”

“Apabila ia datang kepadaku tidak susah tangan ini memegang dan tidak susah mulut ini mengunyah. Orang yang biasa mendatangiku itu selalu menyuapiku, tapi terlebih dahulu dihaluskannya makanan tersebut dengan mulutnya setelah itu ia berikan padaku dengan mulutnya sendiri,” pengemis itu melanjutkan perkataannya.

Mendengar hal itu, Abu Bakar RA pun menangis dan berkata, “Aku memang bukan orang yang biasa datang padamu. Aku adalah salah seorang dari sahabatnya, orang yang mulia itu telah tiada. Ia adalah Rasulullah SAW.”

Setelah mendengar penjelasan tersebut, pengemis buta itu pun menangis. Ia menyadari kesalahannya selama ini, yang telah menghinakan Rasulullah tanpa tahu betapa mulianya beliau. “Benarkah demikian?, tanya pengemis itu.

“Selama ini aku selalu menghinanya, memfitnahnya, ia tidak pemah memarahiku sedikit pun, ia mendatangiku dengan membawa makanan setiap pagi, ia begitu mulia.”

Pengemis itu akhirnya bersyahadat di hadapan Abu Bakar RA, mengakui kekeliruannya, dan memeluk Islam. Kesabaran Rasulullah SAW memang tidak terbatas dan tanpa pandang bulu walaupun kepada seorang pengemis buta Yahudi yang selalu mencemooh beliau.

Kisah ketika Rasulullah Diludahi Wanita Tua

Tidak hanya satu saja kisah ketika Rasulullah dihina oleh umatnya. Bahkan, ada seorang wanita tua yang berani mencerca Rasulullah SAW. Setiap kali beliau melintas di depan rumahnya, wanita tersebut meludahi beliau dengan air liurnya, “Cuh, cuh, cuh.” Peristiwa ini terjadi berulang kali, bahkan setiap hari.

Suatu kali, ketika Rasulullah melewati rumah wanita itu, ia tidak meludahinya seperti biasanya, bahkan rumahnya pun tampak kosong. Rasulullah SAW pun mempertanyakan wanita si peludah tadi.

Karena penasaran, Rasulullah SAW lantas bertanya kepada seseorang, “Wahai Fulan, tahukah engkau, di manakah wanita pemilik rumah ini, yang setiap kali aku lewat selalu meludahiku?”

Orang yang ditanya merasa heran mengapa Rasulullah justru menunjukkan rasa penasaran, bukannya merasa senang. Namun, orang tersebut tidak terlalu memikirkannya dan segera menjawab pertanyaan beliau, “Apakah engkau tidak tahu wahai Muhammad, bahwa si wanita yang biasa meludahimu sudah beberapa hari terbaring sakit?”

Mendengar jawaban itu, Rasulullah SAW hanya mengangguk, kemudian melanjutkan perjalanannya menuju Ka’bah untuk beribadah dan memohon kepada Allah SWT.

Setelah kembali dari ibadah, Rasulullah SAW datang untuk menjenguk wanita yang biasa meludahinya. Begitu mengetahui bahwa orang yang setiap hari dia ludahi justru datang menjenguk, wanita itu lantas menangis.

“Duhai, betapa luhur budi manusia ini. Kendati tiap hari aku ludahi, justru dialah orang pertama yang menjenguk kemari.” Dengan penuh haru, wanita itu pun bertanya, “Wahai Muhammad, kenapa engkau menjengukku, padahal tiap hari aku meludahimu?”

Rasulullah menjawab, “Aku yakin, engkau meludahiku karena engkau belum tahu tentang kebenaranku. Jika engkau sudah mengetahuinya, aku yakin engkau tak akan lagi melakukannya.”

Mendengar ucapan bijak dari manusia utusan Allah SWT ini, si wanita menangis dalam hati. Dadanya terasa sesak, dan tenggorokannya seperti tercekik. Setelah beberapa saat mengatur napas, akhirnya ia bisa berbicara dengan lega, “Wahai Muhammad, mulai saat ini aku bersaksi untuk mengikuti agamamu.” Kemudian, wanita itu mengikrarkan dua kalimat syahadat.

(inf/inf)



Sumber : www.detik.com

Kisah Cemburunya Aisyah RA saat Rasulullah SAW Menyebut Khadijah RA



Jakarta

Aisyah RA pernah mengutarakan rasa cemburunya pada Rasulullah SAW yang kerap menyebut nama Khadijah RA. Bagaimana sikap Rasulullah SAW?

Cemburu menjadi salah satu sikap yang ditunjukkan seseorang apabila ia tidak senang. Ibnu Hajar berkata, “Al Ghairah (cemburu) adalah perubahan hati dan berkobarnya amarah akibat adanya ikatan dalam sesuatu yang seharusnya dimiliki secara pribadi. Dan ghairah (kecemburuan) yang paling besar adalah yang terjadi antara pasangan suami istri.”

Cemburu itu sendiri sebetulnya tidak jelek. Namun, jika seorang wanita berlebihan dalam cemburu, maka ia tercela. Rasulullah SAW dalam hadits yang diriwayatkan dari Jabir bin Atiik al-Anshaari, “Ada kecemburuan yang disukai oleh Allah, dan ada pula yang dibenci-Nya. Cemburu yang disukai Allah SWT adalah cemburu karena sesuatu yang haram, sedang cemburu yang dibenci oleh Allah adalah cemburu bukan karena sesuatu yang haram.”


Cemburunya Aisyah pada Khadijah

Mengutip buku Kisah dan Kemuliaan Para Wanita Ahli Surga Di Sekeliling Nabi: Teladan Terbaik Sepanjang Masa yang Menyentuh dan Menginspirasi karya Mohammad A. Suropati, disebutkan bahwa Rasulullah SAW masih menunjukkan rasa sayang yang besar kepada Khadijah walaupun sang istri tercintanya telah lama berpulang.

Rasulullah SAW sering kali memuji Khadijah RA sebagai bentuk kesetiaan dan rasa cintanya.

Dalam hadits yang diriwayatkan Bukhari dari Ali bin Abi Thalib bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Wanita mereka yang terbaik adalah Maryam. Dan wanitanya yang terbaik adalah Khadijah.”

Mengutip buku Beginilah Nabi Mencintai Istri karya Isham Muhammad Asy-Syariif, Ibnu Hajar, ath Thayyibiyy berkata tentang hadits ini bahwa kata ganti yang pertama (mereka) kembali kepada umat yang di dalamnya terdapat Maryam, sedangkan kata ganti yang kedua (nya) kembali kepada umat ini.

Hal ini dikuatkan dengan hadits yang diriwayatkan oleh al-Bazzaar dan ath-Thabranni dari Ammar bin Yasir, “Khadijah melebihi wanita-wanita umatku sebagaimana Maryam melebihi wanita-wanita seluruh dunia.”

Kecintaan Rasulullah SAW kepada Khadijah RA, membuat Aisyah RA merasa cemburu. Imam Bukhari meriwayatkan, Aisyah RA pernah berkata, “Bahwa Aku tidak pernah cemburu kepada satu pun istri Rasulullah SAW seperti cemburu kepada Khadijah. Dia memang telah wafat sebelum beliau menikahiku. Tetapi aku cemburu karena aku mendengar beliau menyebut-nyebutnya, dan beliau diperintahkan oleh Allah untuk memberinya kabar gembira bahwa dia mendapat sebuah istana di surga, juga kalau beliau menyembelih kambing, lalu menghadiahkan dagingnya kepada teman-teman Khadijah.”

Dalam riwayat lain disebutkan, Aisyah RA berkata, “Seakan tidak ada wanita lain di dunia ini selain Khadijah.”

Rasulullah SAW menjawab, “Khadijah memiliki banyak keutamaan, dan dari dialah aku mendapatkan keturunan.” (HR Bukhari)

(dvs/lus)



Sumber : www.detik.com

Tata Cara Mandi Wajib setelah Haid, Muslimah Harus Amalkan!


Jakarta

Saat haid, wanita muslim tidak diperbolehkan untuk melaksanakan ibadah seperti salat dan puasa. Setelah haid selesai pun, muslimah perlu bersuci dengan melakukan mandi wajib sebelum melaksanakan ibadah tersebut.

Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan Muslim, Nabi Muhammad SAW bersabda kepada Fatimah binti Abu Hubaysh,

“Apabila mulai datang haid, hendaklah kamu meninggalkan salat. Apabila ia telah berhenti, maka hendaklah kamu mandi dan mengerjakan salat”


Mandi wajib setelah haid memiliki tata cara khusus yang berbeda dengan mandi biasa. Berikut adalah langkah-langkah yang perlu diikuti dalam melakukan mandi wajib setelah haid.

Tata Cara Mandi Wajib setelah Haid

Mengutip buku Fiqih Madrasah Ibtidaiyah yang ditulis oleh Udin Wahyudin, tata cara pelaksanaan mandi wajib setelah haid adalah sebagai berikut.

  1. Membaca Niat
    Niat mandi wajib setelah haid yang dapat diamalkan kaum muslimin adalah sebagai berikut.
    نَوَيْتُ الْغُسْلَ لِرَفْعِ حَدَثِ الْحَيْضِ ِللهِ تَعَالَى
    Arab latin: Nawaitul ghusla lifraf il hadatsil akbari minal haidil lillahi ta’ala
    Artinya: “Saya berniat mandi wajib untuk mensucikan hadats besar dari haid karena Allah Ta’ala.”
  2. Membasuh kedua tangan hingga pergelangan tangan
  3. Membasuh kemaluan dengan tangan kiri
  4. Berwudhu sebagaimana hendak salat
  5. Memasukkan jari-jari yang dibasahi air ke pangkal rambut
  6. Menyiram kepala sebanyak tiga kali dilanjutkan dengan mandi seperti biasa

Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW, sebagai berikut.

Dari Aisyah RA, ia berkata “Sesungguhnya Nabi SAW apabila mandi junub, maka beliau memulai dengan mencuci kedua tangan, lalu menuangkan air dengan tangan kanan hingga ke tangan kirinya dan mencuci kemaluannya. Kemudian berwudhu seperti halnya ketika hendak salat. Lalu mengambil air dan menyiramkannya kepada jari jemarinya ke dalam urat rambut hingga bila air terasa membasahi kulit, maka beliau meraupkan kedua telapak tangan lagi, lalu disiramkan ke atas kepalanya sebanyak tiga kali. Setelah itu, beliau menuangkan atau menyiramkan air ke seluruh tubuhnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Cara mandi wajib bagi perempuan sebenarnya sama dengan cara mandi yang dilakukan laki-laki. Akan tetapi, perempuan tidak wajib menguraikan ikat rambutnya. Hal itu berdasarkan hadits dari Ummu Salamah RA sebagai berikut.

أَمْ سَلَمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ امْرَأَةً قَالَتْ : يَا رَسُلَ اللَّهِ إِنِّي امْرَأَةٌ أَشَدُّ ضِفْرَ رَأْسِي أَفَأَنْقُضُهُ لِلْجَنَابَةِ؟ قَالَ : إِنَّمَا يَكْفِيكَ أَنْ تَحِنِّي عَلَيْهِ ثَلَاثَ حَثَيَاتٍ مِنْ مَاءٍ ثُمَّ تُفِيضِيْ عَلَى سَائِرِ جَسَدِكِ ، فَإِذَا أَنْتِ قَدْ طَهُرْتِ . (رواه احمد ومسلم والترمذي وقال حسن صحیح)

Dari Ummu Salamah RA berkata: Ada seorang wanita bertanya kepada Rasulullah SAW, “Ikatan rambutku sangat kuat, apakah aku harus menguraikannya jika hendak mandi junub?” Nabi SAW menjawab, “Cukuplah engkau menuangkan air ke atasnya sebanyak tiga kali. Setelah itu hendaklah engkau menyiramkan air ke seluruh tubuhmu. Dengan demikian, berarti engkau telah suci.” (HR. Ahmad, Muslim, dan Tirmidzi yang mengatakannya hadis hasan sahih)

Dalam buku Haid dan Kesehatan Menurut Ajaran Islam oleh Majelis Ulama Indonesia, disebutkan bahwa seorang perempuan yang mandi wajib setelah haid juga disunahkan agar mengambil sedikit kapas dan benda lainnya. Kemudian kapas tersebut diberi minyak wangi atau kasturi. Setelah itu, kapas tersebut digosokkan pada bekas darah agar tempat tersebut menjadi harum dan hilang dari bau darah.

Hal ini berdasarkan hadits dari ‘Aisyah RA bahwa Asma’ binti Syakal RA, bertanya kepada Rasulullah SAW, tentang mandi haid, maka beliau bersabda:

“Hendaklah salah seorang dari kamu menyiapkan air dari perasan daun bidara, lalu bersucilah dengannya secara sempurna. Kemudian dia menuangkan air di atas kepalanya lalu menggosok-gosokkannya dengan kuat sehingga sehingga membasahi akar-akar rambut, setelah itu, menuangkan air lalu menyiramkan air ke seluruh tubuhnya. Kemudian hendaklah ia mengambil sepotong kain atau kapas yang telah dibubuhi minyak wangi, lalu bersihkanlah dengannya.”

Maka Asma’ bertanya: “bagaimana wanita membersihkan dengan kapas itu?” beliau bersabda: “Maha Suci Allah. Bersihkanlah dengannya,” jawab Nabi. Aisyah kemudian menjelaskan kepada Asma: “yaitu bersihkanlah bekas darah (vagina) itu dengannya”. (HR. Bukhari Muslim)

Sunah-sunah dalam Mandi Wajib setelah Haid

Perkara-perkara sunah yang dapat menyebabkan mandi wajib menjadi sempurna menurut empat madzhab yang dikutip dari buku Fiqih Islam Wa Adillatuhu adalah sebagai berikut.

  1. Mendahulukan membasuh kedua tangan, kemaluan, dan membuang najis jika memang ada pada tubuh.
  2. Berwudhu seperti wudhu untuk salat.
  3. Hendaklah meneliti setiap lipatan pada tubuh, dengan cara mengambil air dengan tangan kemudian mengusapkannya ke bagian tubuh yang berlipat seperti ke kedua telinga, lipatan perut, dan dalam pusar.
  4. Menuangkan air ke atas kepala dan menggosokkannya.
  5. Menuangkan air ke seluruh bagian tubuh sebanyak tiga kali, dan memulainya pada bagian tubuh sebelah kanan, kemudian diikuti dengan bagian sebelah kiri.

(inf/inf)



Sumber : www.detik.com

Kisah Aisyah Istri Rasulullah SAW dari Lahir hingga Wafat


Jakarta

Aisyah RA adalah istri Rasulullah SAW. Usianya saat menikah dengan nabi cukup terbilang muda.

Menurut sebuah hadits, Aisyah RA dinikahi Rasulullah SAW saat berusia 6 tahun. Diriwayatkan dari Hisyam bin Urwah dari Aisyah RA berkata:

“Nabi SAW menikahiku ketika aku masih berusia enam tahun. Kami berangkat ke Madinah. Kami tinggal di tempat bani Haris bin Khajraj. Kemudian aku terserang penyakit demam panas yang membuat rambutku banyak yang rontok.


Kemudian ibuku, Ummu Ruman, datang ketika aku sedang bermain-main dengan beberapa orang temanku. Dia memanggilku, dan aku memenuhi panggilannya, sementara aku belum tahu apa maksudnya memanggilku.

Dia menggandeng tanganku hingga sampai ke pintu sebuah rumah. Aku merasa bingung dan hatiku berdebar-debar. Setelah perasaanku agak tenang, ibuku mengambil sedikit air, lalu menyeka muka dan kepalaku dengan air tersebut, kemudian ibuku membawaku masuk ke dalam rumah itu. Ternyata di dalam rumah itu sudah menunggu beberapa orang wanita Anshar. Mereka menyambutku seraya berkata: ‘Selamat, semoga kamu mendapat berkah dan keberuntungan besar:’

Lalu ibuku menyerahkanku kepada mereka. Mereka lantas merapikan dan mendandani diriku. Tidak ada yang membuatku kaget selain kedatangan Rasulullah SAW. Ibuku langsung menyerahkanku kepada beliau, sedangkan aku ketika itu baru berusia sembilan tahun.” (HR Bukhari)

Sirah Aisyah RA

Dijelaskan dalam Sirah Aisyah Ummil Mukminin karya Sulaiman An-Nadawi yang diterjemahkan Iman Firdaus, Aisyah mempunyai gelar Ash-Shiddiqah sering dipanggil Ummul Mukminin, dan nama keluarganya adalah Ummu Abdullah, Rasulullah suka memanggilnya Humairah, atau binti Ash-Shiddiq.

Ayah Aisyah bernama Abdullah, dijuluki Abu Bakar yang memiliki gelar Ash-Shiddiq, sedangkan ibunya bernama Ummu Ruman yang berasal dari suku Quraisy kabilah Taimi.

Menurut buku ini, moyang Aisyah bertemu dengan moyang Rasulullah SAW di kakek ketujuh, sedangkan moyang kakek dari pihak ibunya dari kakek kesebelas atau dua belas.

Kelahiran Aisyah

Sebelum menikah dengan Abu Bakar, Ummu Ruman merupakan istri Abdullah bin al-Harits al-Azadi, setelah Abdullah bin Al-Harits meninggal barulah Ummu Ruman menikah dengan Abu Bakar.

Pernikahan mereka berdua dikaruniai dua anak, yakni Abdullah dan Aisyah. Beberapa pengarang kitab sirah dan mengutip pendapat Ibnu Sa’ad dalam bukunya, Thabaqat menyatakan, “Kelahiran Aisyah terjadi pada awal tahun ke-4 kenabian. Pada tahun kesepuluh kenabian, Rasulullah menikahinya saat ia berumur enam tahun.”

Pernikahan Aisyah RA dengan Rasulullah SAW

Kisah pernikahan Aisyah RA dengan Rasulullah SAW diceritakan dalam Aisyah Ummul Mu’minin, Ayyamuha Wa Siratuha Al-Kamilah Fi Shafahat karya Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi yang diterjemahkan Masturi Irham dan Arif Khoiruddin.

Awal mula Nabi Muhammad SAW melamar Aisyah RA karena sebuah wahyu yang diturunkan kepada beliau. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dalam kitab Shahih-nya dari Aisyah RA, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda,

أُرِيتُكِ فِي الْمَنَامِ ثَلَاثَ لَيَالٍ، جَاءَنِي بِكِ الْمَلَكُ فِي سَرَقَةٍ مِنْ حَرِيرٍ، فَيَقُولُ : هَذِهِ امْرَأَتُكَ، فَأَكْشِفُ عَنْ وَجْهِكَ فَإِذَا أَنْتِ هِيَ، فَأَقُولُ : إِنْ يَكُ هَذَا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ يُمْضِهِ

Artinya: “Aku diperlihatkan dirimu dalam mimpi selama tiga malam. Malaikat datang kepadaku membawamu dengan mengenakan pakaian sutera terbaik. Malaikat itu berkata, “Ini adalah istrimu.” Lalu aku singkap penutup wajahmu, ternyata itu adalah dirimu. Lalu aku bergumam, “Seandainya mimpi ini datangnya dari Allah, pasti Dia akan menjadikannya nyata.”

Khaulan binti Hakim mendatangi Rasulullah SAW sesudah Khadijah RA wafat dan berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah SAW, tidakkah engkau ingin menikah lagi?”

Beliau bersabda, “Dengan siapa?” ia menjawab, “Jika engkau mau dengan seorang gadis, dan jika engkau mau dengan seorang janda.”

Lalu beliau bersabda, “Siapa yang gadis dan siapa yang janda?” Ia kembali menjawab, “Adapun yang gadis adalah putri dari makhluk Allah Subhanahu wa Ta’ala yang paling engkau cintai, yaitu Aisyah Radhiyallahu Anha. Adapun yang janda adalah Saudah binti Zam’ah RA; ia telah beriman kepadamu dan menjadi pengikutmu.”

Beliau bersabda, “Pergilah dan ceritakanlah keduanya kepadaku.” Kemudian Khaulah pergi dan masuk ke rumah Abu Bakar RA.

Di situ ia menemui Ummu Ruman, dan berkata, “Kebaikan dan keberkahan apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala masukkan kepada kalian?”

Ummu Ruman bertanya, “Apa maksudnya?” la menjawab, “Rasulullah SAW mengutusku untuk meminangkan Aisyah.” Ummu Ruman berkata, “Aku lebih suka jika kamu menunggu Abu Bakar RAdatang.”

Lalu Abu Bakar RA pun datang, dan Khaulah menceritakan hal tersebut kepadanya, lalu Abu Bakar RA berkata, “Apakah ia (Aisyah) boleh untuk beliau, karena ia adalah putri saudaranya?”

Kemudian Khaulah kembali dan menceritakan hal itu kepada Rasulullah SAW, lalu beliau bersabda, “Katakan padanya, “Aku dan kamu adalah saudara dalam Islam, dan putrimu halal (boleh) untukku.”

Lalu Abu Bakar RA datang dan menikahkan Aisyah RA dengan beliau, yang saat itu Aisyah RA berusia enam tahun.

Pernikahan Nabi Muhammad SAW dengan Aisyah RA hanyalah sebatas kihtbah/ akad saja. Rasulullah SAW belum menggauli dan membina rumah tangga dengannya, hingga hijrah ke Madinah.

Wafatnya Aisyah RA

Menurut Siiratus Sayyidah Aisyah Ummul Mu’miniina RA karya Sayyid Sulaiman an-Nadwi yang diterjemahkan Abu Vihraza, Aisyah RA wafat pada usia 67 tahun. Saat itu beliau mengalami sakit di bulan Ramadan pada 58 Hijriah, bertepatan dengan akhir pemerintahan Muawiyah RA.

Keutamaan Aisyah RA

Aisyah RA adalah wanita mulia yang memiliki sejumlah keutamaan. Mengutip buku The Golden Stories of Ummahatul Mukminin karya Ukasyah Habibu Ahmad, berikut tiga di antaranya.

1. Memiliki Derajat yang Tinggi di Mata Allah SWT

Aisyah RA istri Rasulullah SAW adalah wanita yang memiliki derajat tinggi di mata Allah SWT. Dalam hadits dikatakan, “Keutamaan Aisyah atas wanita-wanita lain adalah seperti keutamaan tsarid atas makanan-makanan yang lain.” (HR Bukhari)

Menurut kitab Al-Lu’lu wal Marjan karya Muhammad Faud Abdul Baqi, maksud tsarid adalah makanan utama masyarakat Arab saat itu, berbentuk seperti bubur daging yang mempunyai gizi lengkap, lezat, dan mudah dikonsumsi.

2. Wanita Cantik dan Cerdas

Aisyah RA juga dikenal dengan parasnya yang cantik. Selain cantik, ia juga dikenal cerdas dan berwawasan luas karena belajar langsung kepada Rasulullah SAW.

3. Aisyah Tempat Bertanya Umat Islam

Sesudah wafatnya Nabi Muhammad SAW, para sahabat sering meminta pendapat kepada Aisyah RA, ketika mereka menemui permasalahan yang sulit diselesaikan.

Demikianlah pembahasan mengenai Aisyah istri Rasulullah SAW mulai dari kelahirannya hingga wafat. Semoga Allah SWT senantiasa merahmatinya.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Hukum Itikaf bagi Wanita Menurut Mazhab Syafi’i, Bolehkah?



Jakarta

Itikaf adalah amalan di bulan Ramadan yang biasanya dilakukan di masjid. Bagaimana hukum itikaf bagi wanita?

Menurut bahasa, itikaf memiliki arti berdiam diri yakni tetap di atas sesuatu. Orang yang beritikaf disebut mu’takif.

Anjuran Itikaf

Merujuk dari Kitab Fiqh as-Sunnah li an-Nisa’ karya Abu Malik Kamal Ibn Sayyid Salim, dianjurkan bagi kaum wanita sebagaimana kaum laki-laki untuk bersungguh-sungguh dalam beribadah pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan.


Hal ini bertujuan untuk memperoleh kebaikan dan mendapatkan malam lailatul qadar. Karena itulah, seorang suami dianjurkan untuk membangunkan istrinya pada malam-malam tersebut untuk melaksanakan salat malam.

Rasulullah SAW mengatakan bahwa beliau akan beritikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan. Aisyah RA lalu meminta izin kepada beliau untuk beritikaf dan beliau pun mengizinkannya.

Aisyah juga berkata, “Nabi SAW melakukan itikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan hingga beliau wafat. Kemudian istri-istri beliau beritikaf sepeninggal beliau.” (HR Bukhari dan Muslim)

Hukum Itikaf bagi Wanita

Syaikh Abdurrahman Al-Juzairi dalam Kitab Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah mengatakan, menurut mazhab Syafi’i hukum itikaf adalah sunnah muakkad, baik di bulan Ramadan mapun di bulan lainnya, dan sunnah muakkadnya lebih ditekankan lagi pada sepuluh hari yang akhir.

Adapun, hukum itikaf bisa menjadi wakib ketika hal itu dinazarkan oleh seseorang. Maka, wajib baginya melakukan itikaf.

Namun, apabila tidak dinazarkan, semua ulama sepakat bahwa itikaf hukumnya mutlak disunnahkan. Hukum tersebut berlaku bagi laki-laki dan wanita.

Menurut mazhab Syafi’i apabila seorang wanita melakukan itikaf tanpa seizin dari suaminya, maka itikaf itu tetap sah meskipun dia dianggap telah melakukan perbuatan dosa. Dimakruhkan pula bagi wanita yang berparas cantik untuk melakukan itikaf meskipun dia diberikan izin oleh suaminya.

Berikut ini beberapa hal yang berkaitan dengan hukum itikaf bagi seorang wanita:

1. Seorang wanita tidak boleh beritikaf kecuali dengan izin dari suaminya

Wanita hanya boleh keluar rumah dengan izin suaminya. Dan telah disebutkan sebelumnya bahwa Aisyah RA dan begitu pula Hafshah RA meminta izin dari Nabi Muhammad SAW untuk beritikaf.

2. Apabila seorang suami telah mengizinkan istrinya untuk beritikaf maka:

  • Jika itikafnya adalah itikaf sunnah, maka ia boleh mengeluarkan istrinya dari itikafnya itu. Ketika Aisyah RA meminta izin kepada Nabi Muhammad SAW untuk beritikaf dan kemudian Zainab, beliau khawatir jika itikaf mereka itu tidak lagi didasari dengan keikhlasan, namun hanya karena ingin dekat dengan beliau, yang didorong oleh rasa cemburu mereka terhadap beliau, maka beliau mengeluarkan mereka dari itikaf mereka dan berkata, “… Apakah mereka benar-benar mengharapkan kebaikan? Aku tidak akan beritikaf….”
  • Dan apabila itikafnya adalah itikaf wajib (seperti untuk memenuhi nazar misalnya, maka nazarnya itu tidak terlepas dari dua macam: pertama ia bernazar untuk beritikaf secara berturut-turut (ia bernazar untuk beritikaf pada sepuluh hari terakhir), dan suaminya telah mengizinkannya, maka sang suami tidak boleh mengeluarkannya dari itikafnya itu. Namun, jika ia tidak menyebutkan di dalam nazarnya untuk beritikaf secara berturut-turut, maka suaminya boleh mengeluarkannya, dan di kemudian hari ia dapat menyempurnakan nazarnya tersebut.

Syarat Itikaf

Masih di dalam buku yang sama, berikut syarat itikaf:

  • Beragama Islam.
  • Mumayiz, bisa membedakan antara yang benar dan salah.
  • Melaksanakannya di dalam masjid.

Menurut mazhab Syafi’i dan Maliki, niat merupakan salah satu rukun utkaf, bukan hanya sekadar syarat, sebagaimana telah diterangkan sebelumnya. Adapun menurut mazhab Syafi’i tidak disyaratkan pula dalam berniat untuk dilakukan ketika sudah berdiam diri di dalam masjid.

Oleh karena itu, jika seseorang berniat untuk itikaf dalam keadaan datang dan pergi (bolak-balik) di masjid tersebut, maka niat itikafnya juga dianggap sah, bahkan orang yang hanya sekedar melewati masjid saja lalu meniatkan diri untuk beritikaf, maka niat dan itikafnya itu dianggap sah.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Ini Amalan yang Bisa Dikerjakan Wanita Haid untuk Raih Malam Lailatul Qadar



Jakarta

Lailatul qadar disebut sebagai malam yang lebih mulia dari seribu bulan. Bahkan, keistimewaan malam lailatul qadar hanya diberikan kepada umat Nabi Muhammad SAW.

Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa para nabi terdahulu ingin kembali hidup meski tidak membawa ajarannya hanya demi menjadi umat Rasulullah SAW dan mendapatkan malam lailatul qadar. Pada malam yang diprediksi jatuh pada 10 hari terakhir Ramadan itu, umat Islam berbondong-bondong meraih keutamaan dengan mengerjakan berbagai amalan.

Menukil dari Buku Pintar Muslim dan Muslimah tulisan Rina Ulfatul Hasanah, di malam lailatul qadar Allah SWT memerintahkan para malaikat-Nya untuk turun ke Bumi dan menuliskan segala urusan seperti takdir, rezeki dan ajal yang ada pada tahun tersebut. Hal ini didasarkan dalam surat Al-Qadr ayat 4 yang berbunyi:


تَنَزَّلُ ٱلْمَلَٰٓئِكَةُ وَٱلرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِم مِّن كُلِّ أَمْرٍ

Arab latin: Tanazzalul-malā`ikatu war-rụḥu fīhā bi`iżni rabbihim, ming kulli amr

Artinya: “Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan,”

Namun, bagaimana dengan wanita haid? Seperti yang kita ketahui, wanita yang sedang haid atau nifas tidak diperbolehkan untuk mengerjakan ibadah salat ataupun membaca Al-Qur’an.

Amalan bagi Wanita Haid untuk Meraih Malam Lailatul Qadar

Muhammad Adam Hussain SPd MQHi dalam bukunya yang bertajuk Sukses Berburu Lailatul Qadar menjelaskan bahwa ada sejumlah amalan yang bisa dikerjakan oleh wanita haid untuk meraih malam lailatul qadar. Salah satunya membaca Al-Qur’an tanpa menyentuh mushaf, ini sesuai dengan pendapat dalam at Tamhid (17/397), Ibnu Abdil Barr berkata:

“Para pakar fiqh dari berbagai kota baik Madinah, Irak, dan Syam tidak berselisih pendapat bahwa mushaf tidaklah boleh disentuh melainkan oleh orang yang suci dalam artian berwudhu. inilah pendapat Imam Malik, Syafi’i, Abu Hanifah, Sufyan ats Tsauri, al Auzai, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahuyah, Abu Tsaur dan Abu Ubaid. Merekalah para pakar fiqh dan hadits di masanya,”

Selain membaca Al-Qur’an tanpa menyentuh mushaf, ada juga amalan lainnya yang dapat dikerjakan. Antara lain sebagai berikut:

  • Berzikir dengan memperbanyak bacaan tasbih (subhanallah), tahlil (laa ilaha illallah), tahmid (alhamdulillah) dan zikir lainnya
  • Memperbanyak istighfar
  • Memperbanyak doa

Menurut buku Ibadah Penuh Berkah Ketika Haid dan Nifas karya Himatu Mardiah Rosana, wanita dalam kondisi haid bisa mengerjakan amalan-amalan tersebut karena tergolong ibadah mahdhah yang tidak mensyaratkan kesucian dalam melakukan istighfar, zikir, dan doa. Ada juga yang menyarankan untuk perbanyak doa yang dilafalkan oleh Aisyah RA sesuai hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah.

Dari Aisyah RA, beliau berkata:

“Wahai Rasulullah, apa pendapatmu jika aku ketepatan mendapatkan malam lailatul qadar, apa yang harus aku ucapkan?”

Nabi SAW menjawab:

“Ucapkanlah; ya Allah, sesungguhnya Engkau maha pemaaf mencintai kemaafan, maka maafkanlah daku,” (HR Ibnu Majah).

(aeb/lus)



Sumber : www.detik.com

Kisah Istri Rasulullah yang Pergi Itikaf Tanpa Seizin Suami



Jakarta

Itikaf merupakan ibadah yang dianjurkan pengerjaannya pada 10 hari terakhir Ramadan. Amalan ini merupakan aktivitas berdiam diri di masjid yang dengan niat dan bertujuan mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Itikaf dikerjakan pada 10 hari terakhir Ramadan seraya meraih malam yang lebih mulia dari seribu bulan, yakni lailatul qadar. Saking mulianya, umat Islam yang mendapat lailatul qadar setara dengan pahala lebih dari seribu bulan atau setara dengan 84 tahun.

Berkaitan dengan itikaf, ada sebuah kisah mengenai istri nabi yakni Aisyah, Hafshah, dan Zainab. Dikisahkan dalam buku Perempuan Madinah: Romantika Cinta, Iman & Heroisme para Perempuan Muslim karya Munawir Husni, kala itu Rasulullah SAW tengah mengerjakan itikaf pada 10 hari terakhir Ramadan.


Sejatinya, ibadah itu beliau kerjakan untuk memfokuskan diri kepada Allah SWT. Karenanya, Nabi Muhammad SAW tidak ingin diganggu oleh siapa pun.

Sang istri, Aisyah RA membuatkan Rasulullah tenda khusus. Namun, dia juga membuat tenda lain untuk dirinya sendiri agar bisa mendampingi sang suami.

Melihat Aisyah yang mendirikan tenda itu, istri nabi lainnya yakni Hafshah melakukan hal serupa dan meminta izin kepada Nabi SAW untuk mendirikan tenda di sampingnya. Kini, ada 3 tenda yang berdiri termasuk tenda Rasulullah.

Kemudian, istri nabi yang lain yaitu Zainab tidak terima menyaksikan Aisyah dan Hafshah membangun tenda di samping milik Nabi SAW. Tanpa meminta izin dari sang rasul, Zainab lantas mendirikan tenda sendiri.

Karena hari sudah malam dan gelap, Rasulullah SAW tidak tahu menahu mengenai hal tersebut. Ketika pagi menjelang waktu Subuh barulah ia terkejut menyaksikan banyak tenda disekelilingnya.

Mengutip dari buku Pesona Ibadah Nabi tulisan Ahmad Rofi’ Usmani, Rasulullah lantas meminta para istrinya memindahkan kemah-kemah yang mereka gunakan untuk itikaf. Beliau bahkan menghentikan dan tidak melanjutkan itikafnya.

Abdul Halim Abu Syuqqah dalam bukunya yang bertajuk Kebebasan Wanita Volume 2 menyebutkan dalam kisah tersebut, Zainab merupakan sosok wanita pencemburu. Alasan Rasulullah menghentikan itikaf dan meminta para istrinya berkemas karena ia khawatir mereka mengerjakan itikaf atas dasar cemburu, bukan karena Allah SWT, ini sesuai perkataan Hafizh Ibnu Hajar dalam Kitab Fathul Bari.

Kemungkinan lainnya Nabi Muhammad juga khawatir bahwa ketiga istrinya itu membuat area masjid sempit dan mengganggu jemaah yang ingin salat. Atau, bisa jadi berkumpulnya para istri mengganggu konsentrasi beliau dalam mengerjakan itikaf.

(dvs/lus)



Sumber : www.detik.com

Wanita Dunia Bisa Lebih Baik dari Bidadari Surga, Ini Sebabnya



Jakarta

Rasulullah SAW pernah menyebut tentang sosok wanita dunia yang lebih baik daripada bidadari surga. Wanita tersebut juga memiliki paras cantik bak sinar cahaya.

Hal itu dijelaskan dalam buku Tsalatsuna Nahyan Syar’iyan lin-Nisa Washiat min Washaya Rasul SAW lin-Nisaa’ karya Amr Abdul Mun’im Salim dan Syekh Ibrahim Muhammad al-Jamal dari hadits Ummu Salamah.

Dikatakan, wanita dunia akan lebih baik daripada bidadari surga karena amal ibadahnya semasa di dunia. Dari Ummu Salamah, ia berkata, aku pernah bertanya, “Wahai Rasulullah, beritakan kepadaku tentang firman Allah yang berbunyi, ‘uruban atraabaa’ (surah Al Waqiah: 37).”


Rasulullah SAW menjawab, “Mereka adalah para perempuan dunia yang meninggalnya pada umur tua renta, lalu di akhirat Allah akan menciptakan mereka kembali sebagai perawan. Maka, kata uruban adalah perempuan-perempuan perawan yang menarik, sedangkan makna kata atraban, adalah perempuan-perempuan yang berumur sama.”

Kemudian aku bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, apakah perempuan dunia lebih baik daripada bidadari surga?”

“Wanita dunia lebih baik daripada bidadari, seperti perbedaan antara baju bagian luar dengan baju bagian dalam,” jawab Rasulullah SAW.

“Wahai Rasulullah, mengapa bisa begitu?” tanyaku penasaran.

Lalu Rasulullah SAW menjawab, “Karena salat, puasa, dan ibadah mereka kepada Allah. Kemudian, Allah akan menjadikan kecantikan wajah mereka seperti sinar cahaya, kehalusan tubuh mereka seperti sutra, kulit mereka berwarna putih, pakaian mereka berwarna hijau, perhiasan mereka berwarna kuning keemasan, ikat rambut mereka dari mutiara, dan sisir kepala mereka dari emas.”

Lalu perempuan-perempuan yang hadir kala itu bertanya, “Apakah kami akan abadi dan tidak akan mati?” “Apakah kami akan selalu cantik jelita dan tidak pernah tua?” “Apakah kami akan hidup rukun damai dan tidak akan pernah dicerai selama-lamanya?” “Apakah kami akan senantiasa sejahtera dan tidak akan pernah sengsara selamanya?”

“Beruntunglah bagi laki-laki yang di dunia kami menjadi istrinya dan dia menjadi suami kami.”

Kemudian, aku bertanya lagi kepada Rasulullah SAW

“Wahai Rasulullah, seorang perempuan di dunia bisa saja pernah menikah dua kali, tiga kali, atau empat kali dengan laki-laki yang berbeda, kemudian ketika si perempuan itu meninggal, ia masuk surga dan begitu juga dengan empat orang suaminya maka siapa yang akan menjadi suaminya di surga nanti?”

Lalu Rasulullah SAW menjawab, “Wahai Ummu Salamah, akhlak yang baik itu akan disertai kebaikan ganda, dunia, dan akhirat.” (HR ath-Thabrani)

Dialog Bidadari Surga dengan Wanita Dunia

Imam Syamsuddin Al-Qurthubi dalam Kitab At-Tadzkirah mengatakan, para wanita bani Adam di surga semua usianya sebaya. Berbeda dengan bidadari surga yang memiliki usia berbeda, ada yang muda dan ada yang tua sesuai selera masing-masing penghuni surga.

Ia kemudian menyebut tentang riwayat At-Tirmidzi tentang dialog para bidadari surga dan wanita dunia yang menghuni surga. Dari Ali RA, dia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,

“Sesungguhnya di surga benar-benar ada perkumpulan bidadari. Mereka bersuara keras-keras, makhluk manapun tidak pernah mendengar seindah suara mereka. Mereka berkata,

‘Kami wanita baka, takkan pernah binasa. Kami wanita bahagia, takkan pernah berduka,. Kami wanita ridha, takkan pernah murka. Bahagialah siapa menjadi milik kami dan siapa yang kali menjadi miliknya.”

Imam At-Tirmidzi mengatakan hadits tersebut gharib, sedangkan Imam Ahmad men-dhaifkannya dalam Musnad Ahmad.

Berkenaan dengan perkataan bidadari surga tersebut, Aisyah RA juga meriwayatkan, “Sesungguhnya, apabila para bidadari mengatakan seperti itu, maka para wanita mukminat yang berasal dari dunia menjawab,

‘Kami wanita bersalat, kalian tak pernah salat. Kami wanita berpuasa, kalian tak pernah puasa. Kami wanita berwudhu, kalian tak pernah berwudhu. Kami wanita bersedekah, kalian tak pernah sedekah.’

Kata Aisyah, “Maka, para wanita mukminat itu pun menang mengalahkan para bidadari.”

Wallahu a’lam.

(kri/lus)



Sumber : www.detik.com

8 Amalan di Bulan Ramadan bagi Wanita Haid



Jakarta

Wanita haid termasuk golongan yang terhalang untuk berpuasa. Meski demikian, ada sejumlah amalan di bulan Ramadan yang bagi wanita haid agar tetap mendapatkan keberkahan di bulan suci ini.

Ulama fikih Sayyid Sabiq mengatakan dalam Kitab Fiqih Sunnah-nya, wanita haid yang terhalang untuk puasa Ramadan wajib mengganti puasa yang ia tinggalkan selama masa haid tersebut. Apabila ia memaksakan diri untuk berpuasa, kata Sayyid Sabiq, puasanya tidak bermakna apa pun alias batal.

Amalan bagi Wanita Haid

Meski tidak bisa menjalankan ibadah puasa, wanita haid tetap bisa melakukan berbagai amalan lain. Merangkum karya Himatu Mardiah Rosana dalam buku Ibadah Penuh Berkah Ketika Haid dan Nifas serta buku Do’a dan Amalan Istimewa Ketika Datang Bulan, berikut amalan yang dapat dikerjakan oleh wanita haid saat bulan Ramadan.


1. Berzikir dan Berdoa untuk Memohon Ampunan Allah SWT

Dalam hal ini secara khusus Rasulullah SAW menganjurkan untuk memperbanyak istighfar, berzikir dan berdoa untuk memohon ampunan kepada Allah SWT. Di antara lafadz zikir yang bisa diistiqomahan adalah lafadz yang diajarkan oleh Rasulullah SAW dalam haditsnya.

Dari Abu Hurairah RA, menuturkan bahwa Rasulullah SAW bersabda,

“Ada dua kalimat yang ringan di lisan, berat di timbangan, dan disukai Arrahman, Subhanallah, Wabihamdihi, dan Subhaanallahul ‘azhiim.” (HR Bukhari)

Dijelaskan pula bahwa seorang wanita haid dapat memperbanyak doa di bulan Ramadan baik doa Ma’tsur (diriwayatkan) maupun doa Mashnu (dibuat sendiri).

2. Bersedekah

Bersedekah juga menjadi salah satu amalan yang dapat dikerjakan oleh wanita haid. Dari Abdullah bin Umar dari Rasulullah SAW, bahwa beliau bersabda,

“Wahai kaum wanita! Bersedakahlah kamu dan perbanyaklah istighfar. Karena, aku melihat kaum wanitalah yang paling banyak menjadi penghuni neraka.” (HR Muslim)

3. Memberikan Makanan kepada Orang yang Berbuka Puasa

Bagi orang-orang yang menjamu orang lain untuk berbuka puasa, maka akan mendapatkan balasan sebagaimana yang didapatkan oleh orang yang berpuasa tersebut tanpa dikurangi pahalanya sedikit pun.

Hal tersebut bersandar pada hadits yang diriwayatkan dari Zaid bin Khalid Al-Juhani, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda

“Barang siapa yang memberi makan orang yang berbuka, dia mendapatkan seperti pahala orang yang berpuasa tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa sedikit pun.” (HR At-Tirmidzi)

4. Meringankan Pekerjaan Orang yang Berpuasa

Dijelaskan bahwa bagi wanita haid maupun nifas sangat dianjurkan untuk melayani orang yang sedang berpuasa. Sebab, melayani orang yang berpuasa dan meringankan pekerjaan atau kesusahan mereka bisa membuat balasan sebagaimana orang yang sedang berpuasa.

Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda,

“Barang siapa dapat menunjukkan suatu kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti orang yang melakukannya.” (HR Muslim)

5. Menimba Ilmu untuk Meraih Ketaatan yang Lebih Tinggi kepada Allah SWT

Mencari ilmu termasuk amalan lain yang bisa dilakukan oleh wanita haid di bulan Ramadan. Hal ini bisa dilakukan dengan cara mendatangi majelis ilmu maupun mempelajari isi dalam buku.

6. Beramar Ma’ruf Nahi Munkar

Amalan yang selanjutnya ialah, para wanita haid dapat mendorong sesamanya untuk berbuat kebaikan dan menjauhi kemaksiatan. Oleh karena itu, apabila wanita yang sedang haid membangunkan orang lain untuk sahur dan berpuasa maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang sahur dan berpuasa.

Dijelaskan dalam buku tersebut, apabila wanita haid membangunkan orang lain untuk melaksanakan salat Subuh, maka dia akan mendapatkan pahala seperti salat Subuh. Begitu pun dengan wanita haid yang mendorong orang lain untuk tilawah atau membaca Al-Qur’an, mencari ilmu, silaturahmi, sedakah, dan lain-lain maka dia akan mendapatkan pahala sebagaimana pelaku amal saleh tersebut.

7. Melaksanakan Berbagai Ketaatan Sekaligus Meminimalisir Kemaksiatan

Masih dalam buku yang sama dijelaskan pula, bagi wanita yang masuk di bulan Ramadan dalam keadaan haid atau sempat menjalankan puasa di bulan Ramadan lalu kemudian haid, tidak perlu bersedih karena haidnya.

Hal tersebut dikarenakan haid merupakan perkara yang sudah menjadi ketetapan Allah SWT bagi para wanita.

Disebutkan dalam sebuah riwayat, Rasulullah SAW pernah menghibur Aisyah RA yang sedang sedih karena mengalami haid sedangkan belum sempat untuk menjalankan manasik haji.

Dari Aisyah RA bahwa Nabi SAW pernah menemuinya ketika berada di Sarif sebelum masuk ke Makkah, beliau menemuinya sedang menangis karena datang bulan. Lalu beliau bertanya: “Kenapa, apakah kamu sedang haid?” Aisyah menjawab: “Ya” Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya hal ini telah ditetapkan Allah atas wanita-wanita anak Adam, lakukanlah apa yang biasa di kerjakan dalam berhaji, namun kamu jangan thawaf di Ka’bah.” (HR Bukhari)

8. Memperbanyak Sholawat

Amalan lain yang bisa dilakukan wanita haid saat Ramadan adalah memperbanyak sholawat. Allah SWT berfirman dalam surah AL Ahzab ayat 56,

اِنَّ اللّٰهَ وَمَلٰۤىِٕكَتَهٗ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّۗ يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمً

Artinya: “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bersholawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman! Bersholawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya.”

Menurut sebuah riwayat, orang yang banyak sholawat akan mendatangkan syafaat dari Rasulullah SAW. Sebagaimana beliau SAW bersabda,

أَوْلَى النَّاسِ بِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَكْثَرُهُمْ عَلَىَّ صَلاَةً

Artinya: “Orang yang paling berhak mendapatkan syafa’atku di hari kiamat adalah orang yang paling banyak bersholawat kepadaku.” (HR Tirmidzi dan An-Nasa’i)

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com