Tag Archives: akses pendidikan

Kabar Baik, Kuota dan Uang Beasiswa Pemuda Tangguh 2026 Bakal Ditambah!



Jakarta

Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya akan menambah kuota Beasiswa Pemuda Tangguh 2026 untuk 16.787 siswa. Penambahan kuota ini bertujuan untuk memudahkan akses pendidikan bagi para pelajar SMA/SMK/MA.

Beasiswa ini mendapatkan anggaran sebesar Rp71,5 miliar dari APBD Surabaya. Diketahui, program Beasiswa Tangguh sendiri telah berjalan sejak 2022 lalu dengan total penerima 21.000 siswa.


Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi menerangkan, beasiswa ini akan diberikan kepada 6.929 siswa dari sekolah negeri dan 9.858 dari sekolah swasta. Selain uang beasiswa, siswa baru juga akan mendapat seragam sekolah.

“Selain beasiswa bulanan, untuk yang kelas X atau pelajar baru tingkat SMA/sederajat juga akan mendapat seragam putih abu-abu, seragam pramuka, sepatu, dan kaus kaki gratis dari Pemkot Surabaya,” jelas Eri dalam laman Pemkot Surabaya, Rabu (1/10/2025).

Eri menambahkan, beasiswa ini merupakan usaha untuk meningkatkan akses pendidikan bagi seluruh siswa tanpa harus terkendala masalah ekonomi.

“Sehingga kita harapkan, terutama bagi keluarga miskin dan pra miskin dapat mengakses pendidikan dengan lebih baik. Setelah SD-SMP negeri gratis, berlanjut beasiswa SMA/sederajat dan kuliah. InsyaAllah akses pendidikan yang mudah, dan diiringi dengan peningkatan kualitas pendidikan, akan meningkatkan kualitas kesejahteraan sosial dan ekonomi warga,” terangnya.

Siswa SMA Swasta Dapat Beasiswa Rp 500 Ribu Per Bulan

Kepala Bagian Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat (Bapemkesra) Kota Surabaya, Arief Boediarto, menambahkan, beasiswa Pemuda Tangguh 2026 akan mengalami perubahan skema. Hal ini termasuk peningkatan nilai beasiswa dari Rp200.000 per bulan menjadi Rp500.000 per bulan untuk siswa SMA/SMK/MA swasta. Adapun siswa sekolah negeri tetap menerima Rp200.000 per bulan karena sekolah negeri telah mendapat dukungan bantuan operasional sekolah yang memadai.

“Arahan Bapak Wali Kota Eri Cahyadi, Pemkot Surabaya tidak ingin anak-anak dari keluarga miskin dan pr miskin kesulitan biaya, terutama di sekolah swasta. Sehingga kita tingkatkan nominal beasiswanya dari Rp200.000 per bulan menjadi Rp500.000 per bulan,” jelas Arief.

Arief memaparkan, dari target 16.787 penerima, disiapkan alokasi sebesar 5.278 pelajar SMP/MTs kelas IX yang pada saat pendaftaran beasiswa sedang dalam masa transisi menuju SMA/SMK/MA.

“Saat pembukaan beasiswa ini, pelajar SMP/MTs kelas IX yang akan melanjutkan ke jenjang berikutnya bisa ikut daftar. Sehingga ketika beasiswa diumumkan saat mereka masuk SMA/SMK/MA, mereka sudah langsung mendapatkan program ini bagi yang terpilih,” pungkas Arief.

(nir/twu)



Sumber : www.detik.com

Tak Lagi Belajar di Lantai, Siswa di SD Ini Dapat Bantuan Meja-Kursi



Jakarta

Siswa SDN 1 Cibitung, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, akhirnya bisa merasakan belajar di meja dan kursi baru. Sebelumnya, puluhan siswa kelas 1 terpaksa belajar di lantai sejak awal tahun ajaran baru karena tidak tersedia meja dan kursi.

Meja dan kursi dikirimkan untuk dua ruang kelas, terdiri atas 64 kursi siswa, 32 meja belajar, 2 meja dan kursi guru, 2 lemari, serta 2 papan tulis. Bantuan dikirimkan oleh Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen).


“Kami tidak ingin ada satu pun anak Indonesia yang belajar tanpa fasilitas layak. Begitu laporan diterima, kami langsung berkoordinasi dengan pemerintah daerah untuk memastikan kebutuhan segera dipenuhi,” ujar Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah Kemendikdasmen Gogot Suharwoto dalam keterangannya, dikutip Senin (6/10/2025).

Ia menambahkan, dukungan terhadapSDN 1Cibitung merupakan bagian dari langkah berkelanjutanKemendikdasmen dalam pemerataan akses dan mutu pendidikan dasar.

Kemendikdasmen menegaskan peristiwa di SDN 1 Cibitung menjadi alarm pentingnya sistem deteksi dini terhadap kebutuhan sarana-prasarana pendidikan. Pemerintah mengatakan pihaknya akan terus memperkuat koordinasi dengan pemerintah daerah agar kasus serupa tidak terulang di sekolah lain.

Kepala SekolahSDN 1CibitungIwanRustandi menyampaikan apresiasi atas perhatian cepat pemerintah.

“Alhamdulillah, kini anak-anak bisa belajar dengan nyaman. Bantuan ini sangat berarti bagi kami dan menjadi penyemangat untuk terus meningkatkan mutu pembelajaran,” ujarnya.

Guru dan orang tua siswa mengaku bahwa suasana belajar kini jauh lebih baik. Anak-anak terlihat antusias, disiplin, dan lebih fokus mengikuti pelajaran di kelas.

(nir/twu)



Sumber : www.detik.com

Jalan Kaki Selama Seminggu-Bangun Asrama Honai Sendiri



Jakarta

Akses pendidikan masih menjadi tantangan nyata bagi siswa di Tanah Papua. Sejumlah siswa di wilayah Jayawijaya, Papua Pegunungan harus menempuh waktu selama seminggu untuk ke sekolah dengan jalan kaki.

Hal ini diceritakan oleh Kepala SMP Negeri 3 Wamena, Ansgar Blasius Biru S Pd, M Pd. Ia mengatakan, banyak siswanya berasal dari kabupaten pemekaran sehingga jarak ke SMPN 3 Wamena sangat jauh.

Di kawasan sekolah, mereka membangun asrama sendiri berbentuk Honai, rumah adat tradisional di Papua yang berbentuk bulat dan beratap jerami atau ilalang.


“Begitu banyak anak murid yang dari kabupaten pemekaran. Contohnya dari Kabupaten Yahukimo, ada sekitar puluhan orang juga, yang mereka hadir untuk membangun sendiri mereka punya Honai, tempat tinggal, yang mereka namakan itu asrama,” katanya kepada detikcom, Kamis (9/10/2025).

Antusias Mengenyam Pendidikan meski Harus Berjalan Seminggu dan Tidur di Hutan

Blasius mengungkapkan, anak-anak dari Yahukimo menempuh jarak yang sangat jauh untuk bisa datang ke sekolah. Tak bisa sekali jalan langsung sampai, mereka bahkan tidur di hutan dalam perjalanannya.

Begitu sampai di sekolah, mereka hidup mandiri di asrama Honai. Meskipun, kata Blasius, asrama seharusnya menjadi tempat tinggal dengan fasilitas layak bagi anak-anak, bukan seadanya seperti saat ini.

“Itu anak-anak dari Yahukimo, kabupaten yang jauh dari sini, mereka berjalan, harus jalan kaki satu minggu mereka, jalan kaki. Tidur di hutan. Tapi mereka begitu antusias untuk mengenyam pendidikan di sini,” bebernya.

“Dan sampai di sini, mereka harus mandiri. Artinya, harus cari makan sendiri, terus ya hidup sendiri (di asrama buatan), ya memang orang tua bantu, tapi seadanya,” imbuhnya.

Tidak seperti anak sekolah lain yang mendapat kiriman orang tua, anak-anak yang hidup di asrama Honai harus berusaha mandiri. Bahkan, mereka harus bekerja dan berkebun untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Kemandirian mereka dilakukan bersama-sama. Mereka bergiliran untuk saling memenuhi kebutuhan.

“Mereka harus mandiri, narik becak, berkebun, bersekolah. Jadi kadang juga, kadang harus bergiliran, satu Honai mereka 15 atau 20 anak, mereka harus bergiliran untuk narik becak untuk menghidupi mereka sehari-hari. Mereka dapat Rp 100 ribu, mereka makan, beli beras, makan bersama. Besok harus bergantian lagi untuk narik becak untuk bisa hidup bersama,” papar Blasius.

“Bergiliran untuk satu Honai, mereka. Itulah kehidupan mereka (di sini),” tambahnya.

Potret isi Honai yang dijadikan asrama bagi siswa yang rumahnya jauh dari sekolahPotret isi Honai yang dijadikan asrama bagi siswa yang rumahnya jauh dari sekolah. Foto: Septian Ardho Wibawa/20detik

Sekolah dan Guru Gotong Royong Membantu

Melihat kondisi ini, pihak sekolah dan guru, dengan segala keterbatasannya, ikut membantu para siswa. Namun, yang mereka bisa lakukan hanya seadanya.

“Ekonomi memang agak sedikit, ya, sangat terbatas. Dan itu menjadi suatu keprihatinan juga buat kami kepada mereka,” kata kepala sekolah asli Nusa Tenggara Timur itu.

Bahkan pernah, asrama Honai anak-anak mengalami kebakaran. Sekolah dan guru gotong royong untuk memberi sumbangan, termasuk pakaian layak pakai hingga fasilitas sekolah.

“Kami dari sekolah coba memberikan sumbangan melalui anak-anak sendiri, membangun rasa solidaritas mereka, dan juga kami dari teman-teman guru ada berupa pakaian layak pakai, dan juga dari sekolah memfasilitasi tentang buku, tas, alat, pakaian, seragam. Kami coba memberikan fasilitas buat mereka,” tuturnya.

Blasius berharap, pemerintah lebih memperhatikan sekolah di Jayawijaya, termasuk SMPN 3 Wamena. Selain ruang kelas yang kurang dan guru yang terbatas, juga ada siswa yang perlu didukung dengan asrama.

“Kami masih membutuhkan ruang kelas untuk belajar, terus dukungan asrama untuk para murid. Ini memang kami sangat kesulitan dengan tempat tinggal mereka yang sangat jauh dari sekolah,” ujarnya.

Keberadaan asrama, lanjutnya, sangat penting bagi anak-anak yang berjarak sangat jauh dari sekolah. Melalui asrama, anak-anak bisa dikumpulkan dan diberi kebutuhan sesuai keseharian mereka.

Ia meyakini, jika lebih diperhatikan, akan ada peningkatan sumber daya anak-anak di Papua.

“Saya sangat optimis bahwa pasti ada peningkatan sumber daya mereka, kualitas pendidikan untuk mereka,” tegasnya.

(faz/twu)



Sumber : www.detik.com

Kampus Kecil di Tengah Arus Besar Pendidikan Tinggi



Jakarta

Pendidikan tinggi di Indonesia, dalam idealitasnya, didesain untuk menjadi lokomotif perubahan sosial. Ia adalah kawah candradimuka tempat anak bangsa dididik dan dipersiapkan menjadi pemimpin, inovator, dan pejuang kemanusiaan.

Dalam visi besar nasional, perguruan tinggi ditempatkan sebagai garda depan untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045. Namun, di balik narasi gemerlap pendidikan tinggi, terdapat potret lain yang jarang terangkat, yakni pergumulan perguruan tinggi kecil yang tersebar di pelbagai daerah, jauh dari hiruk pikuk universitas besar yang terus mengukir prestasi global.

Ketika universitas besar berlomba memperluas jejaring internasional dan meraih akreditasi unggul, perguruan tinggi kecil justru sibuk memastikan roda akademik tetap berputar. Situasi ini menimbulkan paradoks: tuntutan nasional dan global semakin tinggi, tetapi daya dukung kelembagaan justru semakin rapuh.


Persoalan Mendasar

Salah satu problem krusial di perguruan tinggi kecil adalah aspek kemahasiswaan. Jumlah mahasiswa yang relatif kecil serta latar belakang sosial-ekonomi yang homogen membuat dinamika akademik berjalan datar. Banyak lulusan sekolah menengah di daerah memilih langsung bekerja untuk menopang ekonomi keluarga. Pendidikan tinggi belum sepenuhnya dipandang sebagai investasi jangka panjang, melainkan sebagai beban tambahan yang sulit ditanggung.

Padahal, John Dewey dalam Democracy and Education (1916), pernah menegaskan bahwa pendidikan adalah sarana utama untuk memastikan demokrasi tetap hidup. Melalui pendidikan, individu dipersiapkan untuk berpartisipasi aktif dalam kehidupan sosial. Pandangan ini memberi pesan penting bahwa ketika akses pendidikan tinggi masih dianggap barang mewah, maka partisipasi sosial pun terancam pincang. Paradoks inilah yang setiap tahun dihadapi perguruan tinggi kecil.

Masalah lain yang kerap muncul adalah aspek manajemen pengelolaan. Tidak jarang konflik internal terjadi antara pimpinan yayasan, rektorat, dan unit-unit kerja di bawahnya. Perselisihan ini sering berakar pada perbedaan kepentingan, transparansi keuangan, atau perebutan posisi strategis. Alih-alih menjadi motor penggerak kemajuan, konflik manajerial justru menyita energi kelembagaan. Akibatnya, pengambilan keputusan berjalan lambat, program akademik terhambat, dan suasana organisasi menjadi tidak kondusif bagi tumbuhnya iklim akademik yang sehat.

Selain mahasiswa dan tata kelola, persoalan mendasar lainnya adalah sumber daya manusia. Dosen sebagai jantung kehidupan kampus sering kali tidak mudah direkrut dan dipertahankan. Honorarium yang terbatas membuat banyak dosen muda terbaik menjadikan kampus daerah sebagai batu loncatan sebelum pindah ke perguruan tinggi besar yang menawarkan kesejahteraan lebih baik. Situasi ini menciptakan kerentanan berlapis, karena tanpa dosen yang stabil dan berkualitas, sulit menciptakan proses akademik yang sehat dan berkesinambungan.

Problem lain yang tak kalah serius adalah ihwal pembinaan karier dosen. Jalur kenaikan pangkat dan pengembangan jabatan akademik di perguruan tinggi kecil kerap terhambat oleh pelbagai keterbatasan. Minimnya dukungan riset, sulitnya menghasilkan publikasi di berkala ilmiah bereputasi, serta akses yang sempit terhadap jejaring akademik membuat proses karier berjalan jauh lebih lambat dibandingkan rekan sejawat mereka di perguruan tinggi besar. Tidak mengherankan bila dosen dengan jabatan lektor kepala, apalagi guru besar, masih menjadi sesuatu yang langka sekaligus mahal di lingkungan perguruan tinggi kecil.

Tak berhenti di situ, keterbatasan infrastruktur semakin memperberat keadaan. Minimnya laboratorium, gedung belajar yang serba terbatas, hingga fasilitas teknologi yang tertinggal membuat pembelajaran lebih banyak berhenti pada transfer pengetahuan. Mahasiswa tidak mendapat ruang yang cukup untuk mengalami proses riset dan eksplorasi ilmiah. Padahal, di era digital yang berkembang cepat, kemampuan bereksperimen dan menghasilkan inovasi justru semakin dibutuhkan.

Keterbatasan yang berlapis ini akhirnya membuat perguruan tinggi kecil rawan terjebak pada fungsi formalitas, yakni sekadar menyelenggarakan kuliah rutin tanpa benar-benar menjadi pusat penciptaan ilmu. Alih-alih menjadi motor perubahan sosial, kampus justru dipaksa sibuk bertahan hidup dari tahun ke tahun.

Tri Dharma yang Tereduksi

Perguruan tinggi lahir dengan mandat besar yakni mengajar, meneliti, dan mengabdi kepada masyarakat. Namun, di banyak perguruan tinggi kecil, mandat ini kerap menyusut. Sekali lagi, orientasi lebih banyak berhenti pada aspek pengajaran semata. Paradigma yang terbentuk adalah learning oriented, bukan research oriented atau community oriented. Situasi ini bukan semata-mata pilihan sadar, melainkan keterpaksaan akibat keterbatasan anggaran dan dukungan kelembagaan.

Padahal, penelitian dan publikasi ilmiah merupakan roh perguruan tinggi. Dari situlah ilmu diperbarui, pengetahuan dikembangkan, dan masyarakat memperoleh manfaat nyata. Seperti diingatkan Ernest Boyer dalam Scholarship Reconsidered: Priorities of the Professoriate (1990), persoalan akademik tidak boleh dipersempit hanya pada pengajaran. Ia mencakup empat dimensi penting: penemuan, integrasi, penerapan, dan pengajaran. Penekanan Boyer ini relevan, bahwa penelitian tidak hanya untuk memenuhi tuntutan birokratis, melainkan untuk memperkaya kehidupan sosial dan memberi makna lebih luas bagi keberadaan perguruan tinggi.

Namun, fakta di lapangan justru menunjukkan sebaliknya. Banyak kampus yang sulit mengalokasikan dana riset, apalagi publikasi bereputasi. Keterbatasan keuangan membuat penelitian hanya sekadar formalitas, atau bahkan dikesampingkan. Akibatnya, Tri Dharma yang seharusnya berjalan seimbang, tereduksi hanya menjadi satu: mengajar.

Dampaknya jelas. Perguruan tinggi kehilangan energi pembaruan pengetahuan. Dosen tidak terdorong menghasilkan riset bermutu. Mahasiswa pun hanya dijejali materi tanpa kesempatan cukup untuk mengalami proses penciptaan ilmu. Perguruan tinggi yang mestinya menjadi pusat inovasi, berubah sekadar ruang penyampaian pengetahuan.

Jika dirunut lebih jauh, problem ini membentuk lingkaran yang saling mengikat. Jumlah mahasiswa yang sedikit membuat pemasukan terbatas. Dana yang minim berdampak pada kesejahteraan dosen dan sarana prasarana yang tertinggal. Kualitas akademik pun merosot, reputasi kampus menurun, hingga pada akhirnya makin tidak diminati oleh calon mahasiswa. Lingkaran ini berputar terus-menerus, sulit diputus tanpa adanya intervensi kebijakan yang nyata.

Padahal, pendidikan yang sehat seharusnya mampu menumbuhkan imajinasi, empati, dan daya kritis. Perguruan tinggi idealnya menjadi ruang subur bagi tumbuhnya kualitas-kualitas tersebut. Namun, realitas menunjukkan bahwa perguruan tinggi kecil kerap terjebak dalam pola bertahan hidup, sehingga energi yang seharusnya dipakai untuk pengembangan akademik lebih banyak tersita untuk sekadar menjaga keberlangsungan lembaga.

Keberpihakan dan Kolaborasi

Apakah berarti kampus kecil ditakdirkan untuk selamanya berada di pinggiran? Tidak. Keterbatasan tidak selalu identik dengan kebuntuan. Ada sejumlah langkah strategis yang bisa ditempuh.

Pertama, keberpihakan negara dalam pembinaan perguruan tinggi kecil perlu terus diperkuat. Program hibah dan bantuan pemerintah harus benar-benar menyentuh kebutuhan kampus kecil, tidak hanya berfokus pada kampus besar. Wujud keberpihakan itu dapat berupa langkah afirmatif maupun kebijakan klasterisasi perguruan tinggi swasta, sehingga setiap institusi memperoleh dukungan yang proporsional sesuai kapasitas dan tantangannya. Pada akhirnya, pendidikan tinggi harus dipahami sebagai urusan kebangsaan yang menuntut kolaborasi dan pemerataan, bukan semata kompetisi antar lembaga.

Kedua, kampus kecil harus membangun kolaborasi. Di era digital, jarak bukan lagi penghalang. Jejaring riset lintas kampus, baik nasional maupun internasional, bisa membuka akses publikasi dan inovasi. Kerja sama ini bukan sekadar formalitas, melainkan upaya membangun ‘ekosistem belajar’ yang saling menopang.

Ketiga, transformasi pembelajaran. Perguruan tinggi kecil harus berani meninggalkan metode tradisional yang hanya mengandalkan ceramah. Mereka perlu mengadopsi blended learning, problem-based learning, atau pendekatan partisipatif lain yang memberi ruang kreativitas mahasiswa. Dengan demikian, keterbatasan fisik bisa diimbangi oleh inovasi pedagogi.

Namun, setiap langkah strategis harus disertai analisis risiko. Bidang kemahasiswaan berisiko kehilangan calon mahasiswa jika tidak ada diversifikasi strategi penerimaan. SDM berisiko stagnan jika insentif tidak diperbaiki. Infrastruktur pembelajaran berisiko tertinggal jika kebijakan anggaran tidak berpihak. Riset dan publikasi berisiko macet jika jejaring tidak dibangun. Pendidikan berisiko melahirkan lulusan tidak kompetitif jika metode pembelajaran tidak berubah.

Dengan risk mapping yang jelas, perguruan tinggi kecil bisa menyiapkan mitigasi yang realistis, misalnya: beasiswa daerah, insentif kinerja, shared facilities, konsorsium riset, dan digitalisasi pembelajaran. Langkah-langkah ini bukan sekadar teknis, tetapi strategi bertahan hidup sekaligus melangkah maju.

Kampus kecil di daerah ibarat lilin kecil di tengah gelapnya malam. Cahayanya mungkin redup, tetapi ia tetap memberikan arah bagi anak-anak bangsa yang haus ilmu. Lilin itu bisa padam jika dibiarkan berjuang sendiri, tetapi bisa pula semakin terang bila ditiup angin keberpihakan dan dilindungi kaca kolaborasi.

Menyulam asa kampus kecil adalah bagian dari menyulam masa depan bangsa. Indonesia tidak akan maju hanya dengan menonjolkan kampus besar di kota-kota utama. Kekuatan bangsa justru akan lahir jika kampus di pelosok pun mendapat ruang tumbuh yang sama. Di situlah sejatinya keadilan pendidikan, yakni menghadirkan cahaya pengetahuan di setiap sudut negeri.

*) Ahmad Tholabi Kharlie
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Anggota Dewan Pendidikan Tinggi Kemdiktisaintek RI

*) Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com

(nwk/nwk)



Sumber : www.detik.com

Sekolah Bakal Punya 6 Papan Interaktif Digital per 2029



Jakarta

Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) telah mendistribusikan sebanyak 64.072 Interactive Flat Panel (IFP) atau papan interaktif digital ke sekolah-sekolah di seluruh di Indonesia.

IFP adalah perangkat yang digunakan untuk mendukung pembelajaran agar lebih interaktif dan kolaboratif. IFP menjadi media pembelajaran yang relevan dengan perkembangan digital saat ini.

Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti mengatakan pihaknya menargetkan sebanyak sebanyak 6 IFP sudah disalurkan ke masing-masing sekolah pada 2029.


“Tahun berikutnya dua (2027-2029). Sehingga, diharapkan dalam rentang waktu lima tahun ada enam (IFP) di masing-masing sekolah,” katanya di Plaza Insan Berprestasi, Gedung A Kemendikdasmen, Jakarta pada Rabu, (22/10/2025).

Penambahan IFP Dimulai Tahun Depan

Ditambahkan oleh Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Wamendikdasmen) Fajar Riza Ulhaq, pengadaan IFP merupakan bagian dari program digitalisasi pendidikan yang menjadi salah satu prioritas Presiden Prabowo Subianto.

Rencananya, IFP akan mulai ditambah ke sekolah-sekolah mulai 2026. Layar pintar ini khususnya menyasar sekolah di wilayah terluar, terdalam, dan tertinggal (3T).

“Dalam rapat kabinet tadi sore, beliau meminta agar jumlah IFP ditambah pada tahun depan agar semakin banyak sekolah di seluruh daerah, termasuk wilayah 3T, bisa menikmati pembelajaran digital yang setara,” kata Fajar dalam keterangannya, Selasa (21/10/2025).

Wamen Fajar: IFP Dukung Deep Learning

Menurut Fajar, IFP tak didatangkan ke sekolah begitu saja. Selain mendorong pembelajaran secara lebih digital dan adaptif, IFP juga akan membantu pembelajaran mendalam (deep learning).

IFP menurut Fajar akan terintegrasi dengan platform pembelajaran dan mengajar lain seperti Rumah Pendidikan. Platform tersebut berisikan sistem yang terintagrasi seperti materi belajar, portal data, alat kolaborasi guru dan siswa, serta lainnya.

“Rumah Pendidikan bisa diunduh di perangkat masing-masing. Kontennya sudah dikurasi, dan menjadi ‘otaknya’ IFP. Dua platform ini saling melengkapi, membentuk super apps pembelajaran nasional,” kata Wamen Fajar.

Tak hanya IFP, program digitalisasi pembelajaran di sekolah juga mendatangkan internet satelit, dan solar panel (cadangan listrik). Keduanya langsung disediakan oleh PLN.

“Bapak Presiden meminta agar setiap anak di negeri ini memiliki akses yang sama terhadap teknologi dan ilmu pengetahuan. Digitalisasi pendidikan adalah cara kita memperkuat keadilan sosial dan menyiapkan generasi unggul untuk masa depan bangsa,” pesannya.

Target Penyebaran IFP di Sekolah-sekolah

Berdasarkan data Kemendikdasmen per 22 Oktober 2025, dari 64.072 IFP yang disebarkan, sebanyak 54.578 perangkat sudah diinstal media pembelajaran sehingga siap digunakan.
Sembunyikan kutipan teks

Adapun target sekolah sasaran penerima perangkat digital ini sebanyak 288.865 sekolah yang terdiri dari 64.191 PAUD, 149.268 SD, 43.520 SMP, 14.829 SMA, 11.697 SMK, 2.360 SLB, dan 3.000 SKB dan PKMB.

(cyu/twu)



Sumber : www.detik.com

Mata Minus 20 Tak Padamkan Semangat Kuliah Tio, Tekadnya Ingin Jadi Dosen


Jakarta

Tio Rindu menyimpan cita-cita besar yakni menjadi seorang dosen. Meski lahir dari keluarga dengan keterbatasan ekonomi di Meulaboh, Aceh, semangatnya untuk menempuh pendidikan tinggi tak pernah surut.

Sejak kecil, Rindu dikenal tekun belajar dan aktif mengikuti berbagai lomba. Deretan piala pun berhasil ia bawa pulang, termasuk dari ajang tilawatil Qur’an yang kerap diikutinya.

Semua prestasi itu diraih Rindu di tengah keterbatasan penglihatan yang cukup berat. Ia diketahui mengalami miopi dengan minus 20, kondisi yang membuat jarak pandangnya sangat terbatas.


Untuk membantu aktivitas sehari-hari, Rindu masih mengandalkan kacamata lamanya yang berkekuatan minus 14. Kendati sudah duduk di bangku paling depan di kelas, terkadang tulisan masih sulit dilihat.

Penerima KIP Kuliah

Upaya Rindu untuk mengembangkan diri melalui pendidikan dan prestasi di luar sekolah berbalas. Ia diterima kuliah sebagai mahasiswa baru 2025 Program Studi Sosiologi, Universitas Teuku Umar (UTU), sebagai penerima bantuan pendidikan Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP Kuliah).

Ibu Rindu, Winaria, mendukung kemauan sang anak untuk mengenyam pendidikan. “Karena anak saya semangat kuliah, saya dukung dia,” tuturnya, dikutip dari akun Instagram @ditjen_dikti, Kamis (16/10/2025).

Winaria adalah ibu rumah tangga yang sesekali membantu suaminya di ladang. Namun karena usia dan kesehatan, ia kini fokus mengurus rumah.

Ayah Rindu, Sulaiman S, adalah seorang buruh tani di lahan orang lain. Menginjak usia 64 tahun, ia masih menafkahi keluarga dan membiayai anaknya.

“‘Aku harus kuliah’ katanya. ‘Aku kuliah Pak, dari KIP prestasi Pak ini’,” tutur Sulaiman menirukan Rindu saat mengutarakan hendak lanjut kuliah.

“Memang jenius otaknya, aku akui jenius otaknya,” imbuhnya memuji sang anak.

Ingin S2

Rindu menuturkan, ia punya mimpi untuk mengubah nasib keluarganya dan membelikan rumah untuk ayahnya saat sudah sukses. Sementara, ia ingin menekuni pendidikan tinggi hingga jenjang S2.

“Saya pengen lanjut S2, pengen kali. Saya ingin jadi dosen. Itu cita-cita dari dulu. Pengen kali, Pak. Makanya pengen kuliah,” tuturnya.

Pengen jadi dosen sosiologi,” imbuh Rindu.

Dalam kunjungan ke rumah Rindu, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemdiktisaintek) Khairul Munadi membawa Rindu untuk pemeriksaan mata. Ia juga mendapat kacamata baru serta laptop titipan Mendiktisaintek Brian untuk menunjang kegiatan belajar.

“(Agar) Rindu bisa belajar dengan sebaik-baiknya. Semangat, semangat,” ucapnya.

Khairul menuturkan, KIP Kuliah merupakan program prioritas untuk memperluas akses pendidikan tinggi bagi pelajar dengan keterbatasan ekonomi agar potensinya tidak terhenti lantaran persoalan biaya. Ia berharap Tio kini terus berani bermimpi setinggi-tingginya dalam menjalani pendidikan tinggi.

Rektor Universitas Teuku Umar, Ishaq Hasan, berharap mahasiswanya tersebut nyaman belajar dan berkembang di kampus secara adil.

“Kami ingin memastikan setiap mahasiswa, terutama dari keluarga kurang mampu, mendapatkan ruang untuk berkembang. KIP Kuliah bukan sekadar bantuan biaya, tetapi dorongan agar mereka bisa menatap masa depan dengan lebih percaya diri,” tuturnya.

(twu/pal)



Sumber : www.detik.com