Tag Archives: an – nasai

Hukum Zakat Fitrah Bagi Bayi dalam Kandungan



Jakarta

Zakat yang berkaitan dengan badan (zakat an-nafs) disebut juga sebagai zakat fitrah. Zakat ini diwajibkan kepada segenap kaum muslimin, laki-laki maupun perempuan, orang dewasa maupun anak kecil. Adapun untuk penyerahannya yakni dalam satu tahun sekali, tepatnya pada akhir bulan Ramadan atau sebelum Syawal.

Dalam buku Keutamaan Zakat, Infak, Sedekah yang ditulis oleh Gus Arifin disebutkan tentang kewajiban mengeluarkan zakat. Rasulullah bersabda,

فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ ، وَالذَّكَرِ وَالأُنْثَى ، وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاَةِ


Artinya: Dari Ibnu Umar RA ia berkata: “Rasulullah telah mewajibkan zakat fitrah sebanyak satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum. Kewajiban itu dikenakan kepada hamba sahaya, orang merdeka, laki-laki, perempuan, anak kecil dan orang dewasa dari orang-orang Islam. Dan beliau memerintahkannya supaya ditunaikan sebelum orang-orang keluar menuju (tempat) sholat.” (HR Al Bukhari, Muslim, An Nasa’i, At Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad, Malik, dan Ad-Darimi).

Dalam hadits tersebut hanya diterangkan secara eksplisit bahwa anak kecil juga wajib mengeluarkan zakat fitrah atas tanggung jawab orang tuanya tentu saja. Lantas, bagaimana dengan bayi yang masih di dalam kandungan ibunya?

Pendapat Ulama Tentang Zakat Fitrah Bagi Bayi di Kandungan

Khairuddin, S.H.I., M.A dalam bukunya Zakat Dalam Islam: Menelisik Aspek Historis, Sosiologis, dan Yuridis menyebutkan terdapat dua perbedaan pendapat terkait hal ini. Pertama, wajib. Kedua, tidak wajib.

Jumhur ulama menyepakati tidak ada kewajiban bagi orang tua untuk mengeluarkan zakat fitrah pada bayi yang masih di dalam kandungan (janin). Hal ini dikarenakan meski bayi tersebut merupakan seorang calon manusia, belum bisa dianggap sebagai manusia yang utuh. Sehingga, jika bayi yang masih dalam kandungan belum lahir pada saat hari raya Idul Fitri maka tidak terkena wajib zakat fitrah.

Sementara itu, jumhur ulama selain Imam Abu Hanifah RA mengatakan bahwa bayi yang lahir setelah terbenamnya matahari pada malam 1 Syawal sudah wajib dizakatkan. Hal tersebut dikarenakan titik dimulainya kewajiban zakat ada pada saat terbenamnya matahari pada malam 1 Syawal.

Adapun Imam Abu Hanifah sendiri mengatakan bahwa titik awal wajibnya zakat fitrah adalah saat terbit fajar keesokan harinya. Jadi, bila bayi lahir pada tanggal 1 Syawal pagi hari setelah matahari terbit, sudah harus dikeluarkan zakat fitrahnya.

Melansir laman resmi NU Online (13/04/2023), hukum zakat fitrah bagi bayi dalam kandungan hukumnya mutlak tidak wajib. Hal ini dijelaskan dalam kitab Hasyiyah al-Bujairami ala al-Khatib:

ـ (دون من ولد بعده) وكذا من شك في أنه ولد قبله أو بعده ، ويؤخذ من كلامه أنه لو خرج بعض الجنين قبل الغروب وباقيه بعده فلا وجوب ؛ لأنه جنين ، ما لم يتم انفصاله

Artinya: “Begitu juga tidak wajib mengeluarkan zakat atas bayi yang ragu apakah lahir sebelum terbenamnya matahari di hari akhir Ramadhan atau setelahnya. Dan diambil dari perkataan mushannif bahwa jika sebagian janin keluar sebelum terbenamnya matahari, sedangkan bagian janin yang lain keluar setelahnya maka tidak wajib mengeluarkan zakat, sebab bayi tersebut masih disebut janin selama belum sempurna terpisahnya (dari kandungan),” (Syekh Sulaiman al-Bujairami, Hasyiyah al-Bujairami ala al-Khatib, juz 6, hal. 335).

Anjuran Mengikuti Usman bin Affan

Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan dalam buku Ringkasan Fikih Lengkap Volume 1 menyebutkan bahwa sunnah hukumnya membayar zakat fitrah untuk bayi yang masih ada dalam kandungan.

Hal ini dikarenakan anjuran membayar zakat fitrah untuk bayi didasarkan pada apa-apa yang pernah dilakukan Khalifah Utsman bin Affan RA, sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat dari Qatadah:

أن عثمان كان يعطي صدقة الفطر عن الصغير والكبير والحمل

Artinya: “Bahwa Utsman RA membayar zakat fitrah untuk anak-anak, orang dewasa, dan bayi yang masih di kandungan.” (Masail Abdullah bin Ahmad)

Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa hukum zakat fitrah bagi bayi yang masih di dalam kandungan adalah tidak wajib. Namun, apabila ada orang tua yang ingin atau sudah terlanjur mengeluarkan zakat fitrah tetap sah hukumnya meski bukan sebagai zakat fitrah tetapi sebagai sedekah.

Demikian penjelasan hukum zakat fitrah bagi bayi yang masih di dalam kandungan.

(dvs/dvs)



Sumber : www.detik.com

Bolehkah Sedekah Subuh untuk Orang yang Sudah Meninggal?


Jakarta

Waktu setelah salat Subuh merupakan waktu utama untuk bersedekah. Amalan ini dikenal dengan sedekah subuh. Bolehkah sedekah subuh untuk orang yang sudah meninggal?

Sedekah menjadi salah satu amalan yang disenangi Allah SWT. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an surah Ali ‘Imran ayat 134.

الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ فِى السَّرَّۤاءِ وَالضَّرَّۤاءِ وَالْكٰظِمِيْنَ الْغَيْظَ وَالْعَافِيْنَ عَنِ النَّاسِۗ وَاللّٰهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَۚ


Artinya: “(yaitu) orang-orang yang selalu berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, orang-orang yang mengendalikan kemurkaannya, dan orang-orang yang memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan.”

Mengutip buku Penakluk Subuh karya Muhammad Iqbal, salah satu keutamaan bersedekah adalah memadamkan panasnya kubur. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam salah satu hadits,

“Sesungguhnya sedekah itu memadamkan panasnya kubur dan hanyalah seorang Mukmin yang mendapat naungan pada hari kiamat nanti dengan sedekahnya.” (HR Thabrani dan Baihaqi)

Sedekah Subuh

Sedekah dapat dilakukan kapan saja. Akan tetapi, terdapat beberapa waktu utama untuk melakukan sedekah, salah satunya setelah salat Subuh. Sedekah seperti ini biasa disebut sebagai sedekah subuh.

Menukil buku Bahagia Tanpa Jeda karya Nurhasanah Leubu, keutamaan sedekah subuh dijelaskan dalam salah hadits Rasulullah SAW,

“Tidak ada suatu Subuh pun yang dialami hamba-hamba Allah kecuali turun kepada mereka dua malaikat. Salah satu di antara keduanya berdoa, ‘Ya Allah, berilah ganti bagi orang yang berinfak’, sedangkan yang satunya lagi berdoa, ‘Ya Allah, berilah kerusakan bagi orang-orang yang menahan hartanya’.” (HR Bukhari dan Muslim)

Sedekah Subuh untuk Orang yang Sudah Meninggal

Bersedekah, termasuk pula bersedekah waktu Subuh untuk orang yang sudah meninggal merupakan hal yang diperbolehkan, bahkan dianjurkan. Ini karena pahala sedekah dapat mengalir ke orang yang sudah meninggal.

Diterangkan dalam kitab Ahkaamul Janaa’iz wa Bid’ihaa karya M. Nashiruddin al-Albani yang diterjemahkan A.M. Basalamah, hal ini bersandar pada beberapa riwayat.

Pertama, diriwayatkan dari Aisyah RA bahwa ada seorang laki-laki yang berkata, “Ibuku telah meninggal mendadak (tanpa berwasiat sebelumnya), dan aku mengira jika dia sempat berbicara sebelum meninggalnya, pastilah ia akan bersedekah. Apakah ia memperoleh pahala jika aku bersedekah atas namanya (dan pahala pula untukku)?”

Rasulullah SAW menjawab, “Benar.” Orang itu pun bersedekah atas nama ibunya. (HR Bukhari, Muslim, Malik, Abu Dawud, An-Nasa’i, Ibnu Majah, Baihaqi, dan Ahmad)

Berikutnya, diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA bahwa ibu Sa’ad bin Ubadah meninggal sedangkan ia tidak menghadirinya. Ia bertanya kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah, ibuku telah wafat sedangkan aku tidak hadir pada saat kematiannya, apakah berguna baginya sedekah atas namanya?”

Rasulullah menjawab, “Ya, tentu.”

Sa’ad bin Ubadah pun berkata, “Aku persaksikan di hadapan engkau bahwa buah hasil dari kebun yang dikelilingi tembok itu akan aku sedekahkan atas namanya.” (HR Bukhari, Abu Dawud, An-Nasa’i, Tirmidzi, Baihaqi, dan Ahmad)

Terakhir, diriwayatkan dari Abu Hurairah RA bahwa terdapat seorang laki-laki yang bertanya kepada Rasulullah SAW, “Ibuku telah meninggal dan meninggalkan harta tetapi tidak berwasiat, lalu apakah jika aku bersedekah atas namanya dapat mengganti kedudukannya?”

Rasulullah SAW menjawab, “Ya, dapat.” (HR Muslim, An-Nasa’i, Ibnu Majah, Baihaqi, dan Ahmad)

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Berapa Nominal Sedekah Subuh? Ini Penjelasan Hukumnya


Jakarta

Sedekah subuh adalah salah satu bentuk amalan kebaikan yang memiliki keistimewaan tersendiri. Dilaksanakan setelah mengerjakan salat Subuh, sedekah ini bukan hanya menjadi sarana berbagi, tetapi juga agar diberi keberkahan.

Dalam ajaran Islam, malaikat akan langsung mendoakan orang yang bersedekah subuh agar Allah SWT melipatgandakan rezekinya. Sebaliknya, bagi yang enggan bersedekah, malaikat akan mendoakan sebaliknya, agar dibinasakan.

Mengutip buku Sapu Jagat Keberuntungan karya Ahmad Mudzakir, Rasulullah SAW bersabda, “Setiap awal pagi saat matahari terbit, Allah menurunkan dua malaikat ke bumi. Lalu salah satu berkata, ‘Ya Allah, berilah karunia orang yang menginfakkan hartanya. Ganti kepada orang yang membelanjakan hartanya karena Allah’. Malaikat yang satu berkata, ‘Ya Allah, binasakanlah orang-orang yang bakhil.” (HR. Bukhari dan Muslin, dari Abu Hurairah).


Namun, banyak yang bertanya, berapa nominal sedekah subuh yang dianjurkan? Apakah ada batasan atau aturan tertentu? Untuk mengetahuinya, mari simak penjelasan lengkap tentang hukum nominal sedekah subuh berikut ini.

Nominal Sedekah Subuh

Sedekah subuh adalah salah satu bentuk ibadah yang penuh keutamaan. Namun, tak jarang muncul pandangan bahwa nilai sedekah bergantung pada nominalnya, semakin besar jumlahnya, semakin tinggi pula nilainya. Benarkah demikian?

Dalam buku Sedekah Pengubah Nasib karya Aditya Akbar Hakim dijelaskan, keberkahan sebuah sedekah tidak hanya dinilai dari jumlahnya, tetapi lebih pada konsistensi dan keikhlasan dalam melaksanakannya. Rasulullah SAW mengajarkan bahwa amalan yang paling dicintai Allah SWT adalah amalan yang dilakukan secara konsisten, meskipun hanya sedikit.

Rasulullah SAW bersabda, “Amal yang paling dicintai oleh Allah adalah amal yang kontinu walaupun itu sedikit.” (HR Muslim)

Sedekah subuh yang dilakukan rutin, walaupun nominalnya kecil, seperti lima ribu rupiah setiap kali melaksanakan salat Subuh, memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan dengan sedekah jutaan rupiah yang dilakukan hanya sesekali. Kenapa demikian? Karena istiqomah yaitu kebiasaan yang berlanjut hingga akhir hayat yang merupakan bentuk ibadah yang tidak mudah dilakukan oleh semua orang.

Banyak yang beranggapan bahwa sedekah adalah kewajiban orang-orang kaya. Namun, Allah SWT tidak membatasi amalan ini hanya untuk golongan tertentu. Siapa saja bisa bersedekah subuh, tak peduli apakah hidupnya pas-pasan atau berlimpah harta, yang Allah SWT lihat adalah keikhlasan dan konsistensi, bukan jumlahnya.

Sedekah lima ribu rupiah bagi orang yang penghasilannya sederhana, bisa jadi memiliki nilai lebih dibandingkan dengan satu juta rupiah dari mereka yang kaya, karena ia memberi sedekahnya dengan sepenuh hati dan perjuangan.

Sebagai contoh, seseorang yang rutin memasukkan uang lima ribu rupiah ke kotak amal setiap subuh selama bertahun-tahun, hingga menjadi kebiasaan, telah membangun sebuah amalan bernilai tinggi. Sedekahnya mungkin tampak kecil, tetapi efeknya begitu besar di mata Allah SWT. Bandingkan dengan mereka yang mampu menyumbang jutaan rupiah, tetapi melakukannya hanya setahun sekali. Mana yang lebih berat? Tentu yang melakukan istiqomah dalam sedekah.

Dalam buku Sedekah yang disusun oleh Neti Suriana dkk., terdapat sebuah hadits yang diriwayatkan oleh An-Nasai, Rasulullah SAW bersabda, “Satu dirham telah mengalahkan seratus ribu dirham.” Para sahabat bertanya, “Bagaimana itu (wahai Rasulullah)?” Beliau menjawab, “Ada seseorang yang hanya mempunyai dua dirham lalu dia bersedekah dengan salah satu dari dua dirham itu. Dan ada seseorang yang mendatangi hartanya yang sangat melimpah ruah, lalu mengambil seratus ribu dirham dan bersedekah dengannya.” (HR An-Nasai, Shahihul Jami’)

Hadits ini mengajarkan bahwa sedekah subuh bukan terletak pada nominalnya semata, tetapi pada pengorbanan yang dilakukan oleh seseorang saat bersedekah.

Sebagai contoh, Rp 100.000 yang disedekahkan oleh seseorang dengan penghasilan Rp 200.000 memiliki nilai yang jauh lebih besar dibandingkan Rp 100.000 yang diberikan oleh orang dengan penghasilan Rp2.000.000. Artinya, nilai sedekah sangat bergantung pada tingkat pengorbanan dari pemberi.

Satu hal yang perlu dipahami tentang sedekah subuh adalah bahwa amalan ini tidak akan pernah membuat seseorang miskin. Sebaliknya, sedekah memiliki kekuatan luar biasa untuk memperkaya hati, pikiran, dan kehidupan seseorang seperti yang dikutip dari buku Cantik dengan Sedekah tulisan Indrita R. Dani dkk.

Dengan bersedekah, seseorang tidak hanya berkontribusi kepada mereka yang membutuhkan, tetapi juga memperkaya dirinya sendiri dengan kebahagiaan, keseimbangan hidup, dan keberkahan.

Sedekah subuh menjadi bukti bahwa kebaikan kecil yang dilakukan secara konsisten mampu menciptakan dampak besar. Bahkan sekecil apa pun jumlah yang kita sedekahkan, dampaknya dapat dirasakan oleh si penerima dan memberikan pengaruh positif pada lingkungan sekitar kita.

Urutan Melakukan Sedekah Subuh

Sebelum Anda melakukan sedekah subuh, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar sedekah yang Anda berikan dapat menjadi amal yang berkah dan diterima oleh Allah SWT.

Berikut ini adalah urutan dan beberapa aspek yang harus Anda perhatikan seperti yang dijelaskan pada sumber sebelumnya:

1. Sedekah ketika Sehat

Penting untuk melakukan sedekah subuh ketika Anda berada dalam keadaan sehat.

2. Sedekah setelah Kebutuhan Wajib Terpenuhi

Pastikan bahwa sebelum Anda melakukan sedekah subuh, segala kebutuhan wajib seperti nafkah keluarga dan kebutuhan pribadi sudah terpenuhi.

3. Sedekah untuk Keluarga

Salah satu yang utama dalam sedekah adalah memberikan kepada keluarga terlebih dahulu, dengan bersedekah kepada keluarga, Anda juga akan mendapatkan pahala sedekah dari Allah SWT.

4. Sedekah kepada Kerabat

Setelah memberikan kepada keluarga terdekat, Anda bisa melanjutkan untuk memberikan sedekah kepada kerabat Anda. Karena sedekah yang diberikan kepada kerabat dapat mendatangkan 2 kebaikan yakni, sedekah dan menyambung tali silaturahmi.

5. Sedekah kepada Tetangga

Sedekah kepada tetangga akan semakin mempererat hubungan antar sesama dan menciptakan lingkungan yang saling peduli dan mendukung.

6. Sedekah untuk Pejuang di Jalan Allah SWT

Sedekah subuh juga bisa diberikan kepada mereka yang berjuang di jalan Allah SWT, baik itu dalam peperangan fisik atau dalam perjuangan untuk kebaikan masyarakat.

7. Sedekah untuk Perjuangan di Jalan Dakwah

Sebagai bagian dari ibadah yang sangat dianjurkan, sedekah untuk mereka yang bekerja dalam perjuangan dakwah, menyebarkan ilmu agama, juga adalah amalan yang sangat bernilai di sisi Allah SWT.

(inf/inf)



Sumber : www.detik.com

Kisah 7 Pemuda yang Tidur Selama Ratusan Tahun di Gua



Jakarta

Kisah pemuda yang tidur selama ratusan tahun di dalam gua atau yang dikenal dengan sebutan Ashabul Kahfi dalam Al-Qur’an adalah salah satu cerita penuh hikmah. Kisah ini diabadikan dalam surah Al-Kahfi ayat 9-26.

Ashabul Kahfi yang berarti “Para Penghuni Gua” adalah sekelompok pemuda beriman yang memilih bersembunyi di dalam gua untuk menghindari penguasa zalim pada masa itu. Allah SWT menidurkan mereka selama ratusan tahun sebagai bentuk perlindungan.

Dalam surah Al-Kahfi, Allah SWT menjelaskan bahwa pemuda-pemuda ini tidak hanya diselamatkan dari ancaman penguasa, tetapi juga dijadikan tanda kebesaran-Nya bagi umat manusia. Kisah ini mengajarkan tentang iman, keteguhan hati, dan kebesaran Allah SWT yang mampu menjaga hamba-hamba-Nya dalam kondisi apa pun.


Awal Mula Kisah Ashabul Kahfi

Mengutip dari buku Inspirasi Kisah Ashabul Kahfi yang ditulis oleh Muhammad Atim, kisah Ashabul Kahfi dimulai dari sekelompok pemuda yang hidup di bawah tekanan kemungkaran yang meluas di tengah kaumnya. Pada masa itu, seorang raja yang zalim bernama Dekianus menguasai salah satu negeri Romawi yang disebut Thorthus.

Dekianus memerintah dengan kekerasan, memaksa rakyatnya untuk menyembah berhala dan mengingkari Tuhan yang sebenarnya. Masyarakat yang takut akan ancaman sang raja pun mengikuti ajarannya, hingga perbuatan menyembah berhala dan meninggalkan iman menjadi hal yang lumrah.

Namun, para pemuda ini, yang disebut dalam Al-Qur’an sebagai Ashabul Kahfi, bertekad untuk mempertahankan keimanan mereka dan menolak segala bentuk penyembahan berhala. Mereka merasakan kesedihan yang mendalam melihat kerusakan moral dan spiritual yang terjadi di sekitar mereka.

Pada suatu hari, saat kaumnya mengadakan sebuah perayaan besar untuk menyembah berhala, para pemuda ini tidak hanya menolak untuk bergabung, tetapi juga menyampaikan teguran kepada kaumnya. Mereka menegaskan bahwa penyembahan tersebut adalah bentuk kemungkaran yang nyata.

Menyadari mereka berada dalam bahaya karena perlawanan mereka terhadap ajaran raja, para pemuda Ashabul Kahfi akhirnya memutuskan untuk melarikan diri demi menjaga keimanan mereka. Allah SWT mengabadikan bagian kisah ini dalam Al-Qur’an, tepatnya dalam surah Al-Kahfi ayat 9-13.

Dakwah kepada Raja yang Zalim

Selanjutnya dalam surah Al-Kahfi ayat 14-15 diceritakan para pemuda yang beriman ini berkumpul secara tak terduga di bawah sebuah pohon. Mereka datang satu per satu tanpa saling mengenal, namun hati mereka terpaut dalam keimanan yang sama.

Awalnya, mereka diam karena takut dan khawatir akan adanya perbedaan pandangan. Namun, seorang dari mereka memberanikan diri untuk berbicara tentang akidah dan keimanan dan dilanjut dengan jawaban oleh pemuda lain yang satu keimanan juga.

Hingga, kabar keberadaan mereka yang beriman kepada Allah SWT ini akhirnya terdengar oleh sang raja yang zalim. Raja yang penasaran akan keyakinan para pemuda ini lantas memerintahkan mereka untuk datang ke istananya.

Saat dihadapkan dengan sang raja, mereka dengan penuh keberanian dan tanpa keraguan mengumumkan keimanan mereka di depan penguasa yang kejam itu. Bahkan mereka menyampaikan kalimat dakwah kebenaran.

Rasulullah SAW sendiri pernah bersabda tentang pentingnya menyampaikan kalimat kebenaran di hadapan penguasa yang zalim. Dalam sebuah riwayat, seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah SAW tentang jihad yang paling utama, lalu Rasulullah SAW menjawab, “Kalimat kebenaran di hadapan raja yang zalim” (HR An-Nasa’i)

Mencari Tempat Aman Lalu Tertidur Selama Ratusan Tahun

Setelah para pemuda Ashabul Kahfi berani berdakwah di hadapan raja zalim dan tetap menolak beribadah kepada selain Allah SWT, sang raja menanggapi dengan ancaman. Dia mengultimatum mereka untuk meninggalkan keyakinan atau menghadapi hukuman. Meski dihadapkan pada intimidasi untuk kembali pada ajaran kaumnya, para pemuda itu tidak gentar.

Malam itu, Allah SWT memberi kesempatan bagi mereka untuk melarikan diri, dan mereka pun memutuskan mencari tempat aman. Mereka bergerak menuju sebuah gua yang letaknya sekitar dua farsakh (sekitar 6 kilometer) dari istana, sebagai tempat perlindungan dari kejaran sang raja.

Keesokan paginya, raja mengirim pasukannya untuk mengejar mereka hingga ke pintu gua. Namun, dengan pertolongan Allah SWT, para pemuda ini terselamatkan. Allah SWT meneguhkan hati mereka dalam persembunyian tersebut, mirip dengan kisah Rasulullah SAW dan Abu Bakar saat bersembunyi di Gua Tsur dalam perjalanan hijrah ke Madinah.

Di dalam gua, Allah SWT menunjukkan kuasa-Nya dengan menidurkan para pemuda ini selama 309 tahun. Hal ini sesuai dengan penggalan dari surah Al-Kahfi ayat 16-18, yang mengisahkan bagaimana Allah SWT menjaga mereka sepanjang waktu.

Cahaya matahari yang masuk ke gua pun diatur sedemikian rupa agar tidak langsung mengenai tubuh mereka. Ketika matahari terbit, sinarnya condong ke kanan, dan ketika terbenam, condong ke kiri, menunjukkan bahwa pintu gua tersebut menghadap ke utara. Dengan demikian, tubuh mereka tetap aman dari paparan cahaya langsung yang bisa membahayakan.

Allah SWT juga menjaga tubuh mereka agar tidak kaku atau rusak. Di dalam gua yang luas, tubuh mereka dibiarkan berbalik-balik dari kanan ke kiri, menjaga mereka dari kemungkinan digerogoti tanah.

Bangun dari Tidur hingga Wafatnya

Setelah tertidur selama ratusan tahun, para pemuda Ashabul Kahfi akhirnya terbangun dalam keadaan yang tidak berubah sedikit pun pada diri mereka. Mereka tidak menyadari bahwa mereka telah tertidur selama 309 tahun. Pemuda-pemuda ini mengira mereka hanya tidur sebentar, mungkin sehari atau setengah hari saja sesuai penggalan surah Al-Kahfi ayat 19-20.

Setelah terbangun, fokus utama mereka adalah mencari makanan. Dengan rasa lapar yang mulai terasa, mereka menyuruh salah seorang di antara mereka untuk pergi ke kota terdekat, kota yang dulunya bernama Deqsus.

Mereka berpesan agar pemuda ini berhati-hati dalam melangkah. Mereka juga mengingatkan agar ia tidak mengungkapkan keberadaan mereka kepada siapa pun, sebab khawatir akan ancaman penguasa yang mungkin masih berkuasa.

Dalam kehati-hatiannya, pemuda tersebut memasuki kota dengan penuh waspada. Namun, yang ia temui justru adalah perubahan besar. Kota yang dulunya penuh dengan ketidakadilan kini berbeda. Ketika ia memberikan uang perak kuno untuk membeli makanan, penjual yang menerimanya langsung menolak dan tampak terkejut melihat bentuk uang tersebut. Pemuda ini pun mulai heran dengan reaksi orang-orang sekitar yang tampak kebingungan.

Ketika ditanya tentang asal uang tersebut, pemuda tersebut menjelaskan bahwa ia adalah penduduk kota itu dan baru saja pergi semalam dari kota di bawah kekuasaan Raja Dekianus. Namun, mendengar nama Raja Dekianus membuat orang-orang semakin heran, sebab raja tiran tersebut sudah lama tiada. Beberapa orang yang ada di sekitar bahkan berpikir bahwa pemuda itu gila. Setelah mendengar penjelasan, akhirnya mereka membawa pemuda tersebut menghadap penguasa baru yang saleh dan beriman, Raja Tedosis.

Raja Tedosis bersama rombongan pasukannya pun mendatangi gua tempat para pemuda lainnya menunggu. Saat sampai di gua, mereka menyaksikan para pemuda Ashabul Kahfi sedang melaksanakan salat, sebagai bentuk ketakwaan mereka kepada Allah SWT yang telah menjaga mereka. Setelah mereka menyelesaikan salat, Raja Tedosis pun mengajak mereka untuk berbincang hingga akhirnya Allah SWT mewafatkan mereka.

Wallahu a’lam.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Kisah Rasulullah Naik ke Sidratul Muntaha untuk Terima Perintah Salat


Jakarta

Salat adalah rukun Islam yang wajib dilaksanakan oleh setiap muslim. Perintah untuk melaksanakannya tercantum dalam ayat-ayat Al-Qur’an, salah satunya dalam surah Al-Baqarah ayat 43.

Allah SWT berfirman,

وَاَقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتُوا الزَّكٰوةَ وَارْكَعُوْا مَعَ الرّٰكِعِيْنَ ۝٤٣


Artinya: “Tegakkanlah salat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk.”

Di balik diwajibkannya seseorang untuk melaksanakan ibadah ini, salat memiliki sejarah pada awal permulaannya. Berikut penjelasan singkatnya.

Sejarah Singkat Awal Diwajibkannya Salat

Dikutip dari buku Sejarah Kenabian karya Aksin Wijaya, istilah salat berasal dari bahasa Aramaik (shala) yang bermakna rukuk. Dalam perjalanannya, makna salat berubah menjadi ibadah sebagaimana umum dikenal.

Kemudian, kaum Yahudi menggunakan istilah itu sehingga salat yang awalnya berbahasa Aramaik berubah menjadi berbahasa Ibrani. Kaum Yahudi menggunakan istilah (shalutuhu).

Salat awalnya turun dalam Al-Qur’an dalam surah Al-‘Alaq, Al-A’la, Al-Baqarah, dan Taha. Dalam Islam, salat diwajibkan pada peristiwa Isra dan Mi’raj pada pertengahan periode Makkah. Tujuan diperintahkannya salat adalah membersihkan hati dari syirik yang kala itu berkembang merata di masyarakat Arab.

Merangkum buku Ensiklopedia Fikih Indonesia 3 karya Ahmad Sarwat, sebelum salat lima waktu ini diwajibkan syariat, sesungguhnya Rasulullah SAW dan para sahabat sudah disyariatkan untuk menjalankan ibadah salat. Hanya saja ibadah salat itu belum seperti salat lima waktu yang disyariatkan sekarang ini.

Aisyah RA menyebutkan bahwa dahulu Rasulullah SAW dan para sahabat telah menjalankan ibadah salat di malam hari sebagai kewajiban. Setidaknya selama setahun sebelum kewajiban salat malam itu diringankan menjadi salat sunnah.

Awalnya, umat Islam mendapatkan rukhshah (kemudahan) dalam bersuci untuk bertayamum, terutama saat berada dalam perjalanan pulang dari peperangan dan tidak menemukan air untuk berwudhu. Meskipun demikian, bersuci dengan air (wudhu) tetap diutamakan.

Sementara itu, perintah untuk menjaga kesucian pakaian terdapat dalam Al-Qur’an surah Al-Muddassir. Selanjutnya, perintah untuk melaksanakan salat khauf dan salat Jumat diturunkan di Madinah. Nabi Muhammad SAW pertama kali melaksanakan salat Jumat di rumah Hay bin Auf setelah tiba di Madinah.

Pada masa itu, tidak terdapat syariat azan dalam Al-Qur’an yang diturunkan di Makkah karena jumlah umat Islam masih sedikit. Azan baru dilaksanakan di Madinah, yang berdasarkan pada hadits Nabi, bukan ketentuan Al-Qur’an. Selain itu, salah satu unsur dalam salat adalah kiblat, yang menunjukkan arah yang harus dihadapi oleh umat Islam saat melaksanakan ibadah.

Kisah Rasulullah Menerima Perintah Salat yang Awalnya 50 Kali

Merujuk kembali pada buku Ensiklopedia Fikih Indonesia 3, salat fardu yang kita kenal saat ini dimulai dengan jumlah yang sangat berbeda. Awalnya, umat Islam diwajibkan untuk melaksanakan salat lima puluh kali dalam sehari semalam.

Peristiwa ini terjadi pada malam Isra Mi’raj, tepatnya pada tanggal 27 Rajab tahun kelima sebelum hijrah Nabi Muhammad SAW ke Madinah. Namun, ada perbedaan pendapat di kalangan ulama terkait waktu Isra Mi’raj ini. Adapun menurut pendapat mayoritas, Isra Mi’raj terjadi setelah Fatimah putri Rasulullah SAW lahir.

Menurut riwayat yang diceritakan dalam kitab al-Isra’ wa al-Mi’raj karya Ibnu Hajar Al-Asqalani dan Jalaluddin As-Suyuthi yang diterjemahkan Arya Noor Amarsyah, perjalanan Isra Mi’raj berlangsung dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa dan berlanjut ke Sidratul Muntaha melewati setiap lapisan langit hingga langit ketujuh.

Dari Anas bin Malik RA, “Telah difardhukan kepada Nabi SAW salat pada malam beliau diisra’kan lima puluh salat, kemudian dikurangi hingga tinggal lima salat saja. Lalu diserukan, “Wahai Muhammad, perkataan itu tidak akan tergantikan. Dan dengan lima salat ini sama bagimu dengan lima puluh kali salat.” (HR Ahmad, An-Nasai dan At-Tirmidzi)

Setelah Nabi Muhammad SAW turun dari Mi’raj di langit ketujuh, yang ditetapkan saat itu adalah salat lima waktu. Namun, jumlah rakaat untuk setiap salat tersebut masih dua rakaat, sehingga totalnya hanya sepuluh rakaat dalam sehari semalam.

Kemudian, Allah SWT menurunkan penyempurnaan yang mengubah jumlah rakaat untuk salat fardu. Salat Zuhur, Asar, dan Isya ditambah dari dua rakaat menjadi empat rakaat, sedangkan salat Magrib ditingkatkan dari dua rakaat menjadi tiga rakaat. Sementara itu, salat Subuh tetap dengan dua rakaat.

Dari Aisyah RA berkata: “Awal mula diwajibkan salat itu dua rakaat kemudian ditetapkan bagi salat safar dan disempurnakan (empat rakaat) bagi salat hadhar (tidak safar). (HR Bukhari Muslim)

Terdapat penambahan riwayat dari Bukhari, “Kemudian beliau SAW hijrah maka diwajibkan salat itu empat rakaat dan ditetapkan bagi salat safar atas yang pertama (dua rakaat).”

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Panggilan Sayang Rasulullah SAW kepada Istrinya yang Romantis


Jakarta

Rasulullah SAW adalah sosok yang romantis dalam memperlakukan para istrinya. Beliau memiliki beberapa panggilan sayang kepada istrinya yang bernama Aisyah RA.

Aisyah RA adalah istri Rasulullah SAW yang dinikahi saat usianya masih gadis. Menurut riwayat, setelah wafatnya Khadijah RA, tak ada istri yang lebih dicintai oleh Rasulullah SAW melebihi cintanya kepada Aisyah.

Panggilan Sayang Rasulullah SAW kepada Istrinya, Aisyah

Mengutip buku Agungnya Taman Cinta Sang Rasul yang ditulis oleh Ustadzah Azizah Hefni, salah satu bentuk sikap romantis Rasulullah SAW adalah panggilan sayang Rasulullah SAW kepada istrinya, Aisyah RA. Beliau selalu memanggil Aisyah dengan panggilan-panggilan sayang.


Salah satu panggilan sayang Rasulullah SAW kepada Aisyah RA adalah Humaira’ (pipi yang kemerah-merahan). Panggilan ini karena Aisyah RA adalah wanita berkulit putih, yang jika tersipu, marah, atau tertawa pipinya selalu berubah menjadi merah.

Panggilan Humaira’ sering diucapkan Rasulullah SAW kepada Aisyah RA saat sedang berduaan atau sedang berkumpul bersama banyak orang. Para sahabat sudah sangat familier dengan panggilan sayang Rasulullah SAW kepada istrinya ini.

Dikisahkan dalam buku Misteri Bidadari Surga yang ditulis oleh Joko Syahban, terlihat adegan mesra antara Rasulullah SAW dan Aisyah RA ketika orang-orang Habsyah bermain tombak saat akan masuk masjid.

“Wahai Humaira! Apakah engkau suka melihat mereka? panggil Rasulullah SAW.

Lalu, dijawab oleh Aisyah, “Ya.”

Kemudian beliau berdiri di pintu dan Aisyah RA mendatanginya, Aisyah RA pun meletakkan dagunya di atas bahu Nabi SAW dan disandarkan wajahnya pada pipi beliau.” (HR An-Nasa’i di dalam As-Sunan Al-Kubra dan Ahmad).

Sebutan “Humaira” adalah isim tasghir bentuk kata yang menunjukkan makna sesuatu yang mungil untuk memanjakan dan kecintaan, yang diambil dari kata hamra. Kata tersebut brmakna si putih berambut pirang.

Rasulullah SAW juga memanggil Aisyah RA dengan Muwaffaqah, yang berarti diberi petunjuk. Dalam sebuah riwayat Ibnu Abbas, pernah disebutkan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda,

“Barang siapa mempunyai dua orang pendahulu (maksudnya mayat) di antara umatku, Allah akan memasukkannya ke surga dengan dua orang tersebut.” Aisyah berkata, “Dan orang yang mempunyai satu pendahulu (mayat) di antara umatmu.”

Rasulullah menjawab, “Ya, barang siapa mempunyai satu orang pendahulu, wahai Muwaffaqah?” Ibnu Abbas bertanya, “Bagaimana dengan orang yang tidak mempunyai satu orang pendahulu pun di antara umatmu?”

Rasulullah SAW bersabda, “Aku adalah pendahulu umatku. Mereka tidak akan diuji sepertiku.” (HR Tirmidzi)

Terkadang Rasulullah SAW juga memanggil Aisyah RA dengan namanya tapi hanya sebagian saja, yakni Aisy.

Pernah juga, Rasulullah SAW memanggil Aisyah RA dengan sebutan Ummu Abdullah. Itu adalah panggilan sayang Rasulullah SAW kepada istrinya yang sangat terhormat. Aisyah RA yang ditakdirkan Allah SWT tidak memiliki keturunan dari Rasulullah SAW, seolah tidak mungkin mendapatkan panggilan ibu dari suaminya. Namun ternyata, Rasulullah SAW memanggilnya dengan sebutan Ummu Abdullah untuk menghormatinya.

Adapun ketika Asma’, saudara Aisyah RA, melahirkan seorang bayi, Aisyahlah yang membawanya pertama kali ke hadapan Rasulullah SAW. Saat itu, Rasulullah SAW pun memanggilnya dengan Ummu Abdullah. Padahal, anak yang dibawa Aisyah RA bukanlah anaknya, namun Aisyah RA tetap mendapatkan panggilan ibu dari Rasulullah SAW. Apa yang dilakukan Rasulullah SAW itu sungguh membuat Aisyah RA tersanjung.

Ibnu Hibban meriwayatkan hadits tentang ini dari Aisyah RA, “Ketika Abdullah bin Zubair lahir, Aisyah membawanya kepada Rasulullah SAW. Kemudian Rasulullah SAW membasahi bibir Abdullah bin Zubair dengan ludahnya, dan itulah sesuatu yang pertama kali masuk ke perutnya. Rasulullah SAW lalu bersabda, ‘Dia Abdullah dan engkau Aisyah adalah Ummu Abdullah.” (HR Ibnu Hibban)

Sejak kelahiran Abdullah bin Zubair itu, Aisyah RA pun selalu dipanggil sebagai Ummu Abdullah. Syekh Muhammad bin Yusuf Ad-Dimasyqi mengatakan, “Sejak itu, Aisyah dipanggil dengan sebutan Ummu Abdullah, meskipun sebenarnya ia bukanlah ibu yang melahirkan Abdullah. Sampai wafat, Aisyah tetap dipanggil dengan sebutan Ummu Abdullah.”

Beberapa panggilan ini merupakan bentuk panggilan sayang Rasulullah SAW kepada istrinya. Rasulullah SAW selalu melakukannya dengan penuh cinta dan kelembutan. Panggilan itu hanya diserukan Rasulullah SAW dan tidak seorang pun memanggil istrinya itu dengan sebutan demikian.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Dalil tentang Haid, Kenali Arti dan Perbedaannya dengan Istihadhah


Jakarta

Haid merupakan siklus alami yang terjadi pada setiap perempuan. Ketika dalam keadaan haid, seorang muslimah tidak boleh mengerjakan ibadah seperti salat dan puasa.

Setiap muslimah wajib memahami hal-hal yang berkaitan dengan haid. Pahami juga dalilnya sebagai panduan untuk mengerjakan ibadah saat dalam keadaan haid.

Pengertian Haid

Mengutip buku Syarah Kumpulan Hadits Shahih Tentang Wanita: Pustaka Azzam oleh Isham bin Muhammad Asy-Syarif dijelaskan pengertian haid secara etimologis adalah darah yang mengalir. Darah haid tergolong darah normal dan alami.


Darah haid menurut pengertian syariat adalah darah alami yang keluar dari ujung rahim secara sehat tanpa suatu sebab dalam waktu-waktu yang diketahui. Demikian seperti dikutip dari buku Kitab Haid, Nifas dan Istihadhah yang ditulis Sayyid Abdurrahman bin Abdullah bin Abdul Qadir Assegaf, Abdul Majid, Lc.

Secara lebih rinci dijelaskan definisi haid secara syariat, sebagai berikut:

1. Darah haid bersifat alamiah, artinya memang terjadi akibat siklus tabiat dalam tubuh wanita yang keluar dalam keadaan sehat dan baik-baik.

2. Darah haid keluar dari rahim. Maksudnya bagian terjauh rahim (dari farji wanita).

3. Darah haid keluar dalam keadaan sehat dan tidak diakibatkan oleh suatu sebab, berbeda dari darah nifas dan istihadhah.

4. Haid memiliki siklus waktu tertentu. Ada batas waktu minimal dan maksimal bagi haid.

Dalam buku Minhajul Muslim, Syaikh Abu Bakar Jabar Al-Jazairi menjelaskan ada tiga macam perempuan yang mengalami keluarnya darah yakni perempuan yang baru mengalami haid, perempuan yang haidnya teratur dan perempuan yang mengalami istihadhah.

Pertama, perempuan yang baru mengalami haid adalah mereka yang baru haid untuk pertama kalinya. Ketika ia melihat darah haid maka ia harus meninggalkan salat, puasa dan hubungan suami istri sampai bersih haid dan suci kembali.

Kedua, perempuan yang haidnya teratur, yaitu memiliki tanggal haid yang diketahui dengan jelas dalam satu bulan. Hukumnya, dia meninggalkan salat, puasa dan hubungan suami istri selama tanggal-tanggal tersebut.

Ketiga, perempuan istihadhah, yaitu perempuan yang tidak henti mengalirkan darah, hukumnya apabila sebelum mengalami istihadhah dia adalah perempuan yang haidnya teratur dan tanggal haidnya diketahui jelas maka dia berhenti salat pada tanggal-tanggal tersebut setiap bulan. Setelah tanggal-tanggal tersebut, dia boleh mandi, salat, puasa dan berhubungan suami istri.

Dalil Tentang Haid Dijelaskan dalam Al-Qur’an dan Hadits

Ada banyak dalil yang menjelaskan tentang haid pada perempuan. Dalil ini dijelaskan melalui ayat Al-Qur’an dan beberapa hadits Rasulullah SAW.

1. Surat Al-Baqarah Ayat 222

Melalui Al-Qur’an, Allah SWT berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 222,

وَيَسْـَٔلُونَكَ عَنِ ٱلْمَحِيضِ ۖ قُلْ هُوَ أَذًى فَٱعْتَزِلُوا۟ ٱلنِّسَآءَ فِى ٱلْمَحِيضِ ۖ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ ۖ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ ٱللَّهُ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلتَّوَّٰبِينَ وَيُحِبُّ ٱلْمُتَطَهِّرِينَ

Arab-Latin: Wa yas`alụnaka ‘anil-maḥīḍ, qul huwa ażan fa’tazilun-nisā`a fil-maḥīḍi wa lā taqrabụhunna ḥattā yaṭ-hurn, fa iżā taṭahharna fa`tụhunna min ḥaiṡu amarakumullāh, innallāha yuḥibbut-tawwābīna wa yuḥibbul-mutaṭahhirīn

Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: “Haid itu adalah suatu kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.

2. Surat Al-Baqarah Ayat 228

Allah SWT berfirman,

وَٱلْمُطَلَّقَٰتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَٰثَةَ قُرُوٓءٍ ۚ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَن يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ ٱللَّهُ فِىٓ أَرْحَامِهِنَّ إِن كُنَّ يُؤْمِنَّ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ۚ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِى ذَٰلِكَ إِنْ أَرَادُوٓا۟ إِصْلَٰحًا ۚ وَلَهُنَّ مِثْلُ ٱلَّذِى عَلَيْهِنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ ۚ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ ۗ وَٱللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

Arab-Latin: Wal-muṭallaqātu yatarabbaṣna bi`anfusihinna ṡalāṡata qurū`, wa lā yaḥillu lahunna ay yaktumna mā khalaqallāhu fī ar-ḥāmihinna ing kunna yu`minna billāhi wal-yaumil-ākhir, wa bu’ụlatuhunna aḥaqqu biraddihinna fī żālika in arādū iṣlāḥā, wa lahunna miṡlullażī ‘alaihinna bil-ma’rụfi wa lir-rijāli ‘alaihinna darajah, wallāhu ‘azīzun ḥakīm

Artinya: Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Mengutip buku Tafsir Ayat-Ayat Ahkam karya Syaikh Ahmad Muhammad Al-Hushari dijelaskan lafal quru pada ayat ini artinya haid dan dan suci. Ulama berpendapat, masa iddah perempuan berakhir setelah mengalami tiga kali haid. Mereka mengatakan, “Sehingga suci dari haid yang ketiga dan sudah mandi dari haid yang ketiga.”

3. Hadits Perbedaan Haid dan Istihadhah

Haid berbeda dengan istihadhah. Seorang yang haid tidak diperbolehkan salat, puasa dan berhubungan suami istri, sementara seorang yang istihadhah tetap diwajibkan salat, puasa dan boleh melakukan hubungan suami istri dalam keadaan tertentu.

Merujuk buku Minhajul Muslim, disebutkan perempuan yang mengalami istihadhah bisa membedakan darah hitam dan darah yang merah (kuning kecoklatan), mereka tidak salat di saat hari-hari darahnya hitam, lalu boleh mandi dan salat seusai mengalirnya darah hitam atau telah berganti kemerahan. Hal ini dengan catatan selama keluarnya darah hitam itu tidak lebih dari 15 hari.

Jika tidak bisa membedakan darahnya, baik darah hitam maupun lainnya, maka dia tidak salat setiap bulan selama masa haid yang paling umum yaitu enam atau tujuh hari, setelah itu mandi dan salat. Berikut beberapa hadits yang mendasarinya:

Aisyah RA berkata, “Suatu ketika, Fatimah binti Abi Hubaisy istihadhah. Rasulullah SAW bersabda, “Sebagaimana yang diketahui, darah haid itu berwarna hitam. Apabila darah itu keluar, maka berhentilah melaksanakan salat. Dan jika yang keluar darah selainnya, maka berwudhu dan salatlah.” (HR Abu Dawud dan Nasa’i)

Dalam hadits Asma bin Umais dari Abu Dawud, “Hendaklah orang yang haid itu duduk di atas bejana yang berisi air. Jika melihat warna kuning di permukaan airnya, maka hendaklah dia mandi untuk salat Dzuhur dan Ashar dengan satu kali mandi. Kemudian mandi satu kali untuk salat Maghrib dan Isya. Mandi untuk salat Subuh satu kali. Dan berwudhulah di antara masing-masing kedua waktu tersebut.”

Dalam hadits lain dari Hammah binti Jahsy berkata, “Saya beristidhah banyak sekali. Lalu saya menemui Nabi SAW untuk meminta nasihat. Beliau bersabda, “Itu adalah gangguan setan. Anggaplah masa haid itu eman atau tujuh hari, lalu mandilah. Apabila telah bersih, maka salatlah dua puluh empat atau dua puluh tiga hari. Lakukanlah puasa dan dirikan salat, karena hal seperti itu adalah cukup bagimu. Lakukanlah setiap bulan sebagaimana yang dilakukan perempuan haid lainnya. Jika kamu mampu mengakhirkan salat Dzuhur dan mempercepat salat Ashar (maka lakukanlah). Kamu mandi ketika telah bersuci, kemudian menjamak salat Zuhur dan Ashar. Kemudian (jika kamu mampu) mengakhirkan salat Maghrib dan mempercepat salat Isya kemudian mandi dan menjamak dua waktu salat tersebut, maka lakukanlah. Kemudian kamu mandi pada waktu Subuh dan lakukan salat Subuh.’ Beliau meneruskan ucapannya, ‘Ini adalah perkara yang paling aku sukai.” (HR Imam lima kecuali an Nasai)

(dvs/lus)



Sumber : www.detik.com