Tag Archives: brin

Gunung Batu Spot Ikonik Bukti Gempa Sesar Lembang-Makam Keramat



Cimahi

Gunung Batu di Cimahi, Jawa Barat memang tak termasuk gunung tinggi di Indonesia, namun di sini berbagai aktivitas monumental dilakukan. Rupanya, gunung ini adalah bagian dari Sesar lembang yang paling mencolok.

Gunung Batu memiliki ketinggian 1.228 mdpl. Gunung itu berada di Desa Pagerwangi, Kecamatan Lembang, Bandung Barat.

Di gunung itu berbagai aktivitas monumental dilakukan, mulai dari pembentangan bendera merah putih raksasa pada bulan Agustus, latihan panjat tebing dan vertical rescue, hingga berkaitan dengan bencana alam.


Gunung Batu memang spesial. Gunung itu juga merupakan titik paling terlihat dari Sesar atau Patahan Lembang, sumber gempa bumi yang membentang sepanjang 29 kilometer dari ujung utara di Jatinangor sampai Padalarang di belahan baratnya.

Gunung Batu memiliki ketinggian 1.228 Mdpl yang ada di Desa Pagerwangi, Kecamatan Lembang, Bandung Barat.Gunung Batu memiliki ketinggian 1.228 Mdpl yang ada di Desa Pagerwangi, Kecamatan Lembang, Bandung Barat. (Whisnu Pradana)

“Jadi Gunung Batu ini merupakan bagian dari Sesar Lembang. Dulu ini satu level yang sama, namun kemudian naik ke atas, terangkat oleh aktivitas tektonik,” ujar Peneliti Gempa Bumi pada Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Mudrik Rahmawan Daryono dilansir detikjabar, Kamis (28/8/2025).

Merujuk informasi dari badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika pada sebuah plang informasi di puncak Gunung Batu, Gunung Batu terbentuk akibat membekunya magma yang menerobos daratan atau intrusi sekitar 510 ribu tahun yang lalu atau bertepatan pada kala Pleistosen.

Catatan gempa besar akibat Sesar Lembang terjadi sekitar tahun 1400-an. Sesar Lembang bergerak 1,95 sampai 3,45 milimeter per tahun. Periode keberulangan gempa tersebut diperkirakan 170 sampai 670 tahun.

Sementara itu, Mudrik menyebut berdasarkan penelitian tinggi Gunung Batu terus mengalami peningkatan di setiap event gempa bumi akibat aktivitas Sesar Lembang terjadi.

“Studi kita itu Gunung Batu sudah bergeser sekitar 120 sampai 450 meter, tapi yang paling muda itu 120 meter. Dari penelitian terakhir, Gunung Batu ini naik 40 sentimeter akibat gempa dengan magnitudo 6,5 sampai 7. Jadi 1 kali event gempa itu bisa bergeser naik 1 meter sampai 2 meter, tapi yang terakhir 40 sentimeter,” kata Mudrik.

Makam Keramat di Puncak Gunung Batu

Bagian puncak Gunung Batu Lembang tak sulit didaki. Jalurnya sudah terbentuk berupa jalan setapak, ketinggiannya tak terlalu ekstrem, sehingga banyak menjadi destinasi berolahraga maupun jalan-jalan warga sekitar.

Di puncak, beragam aktivitas biasa dilakukan. Mulai dari sekadar duduk santai, berfoto, penelitian lantaran terdapat pos pengamatan pergerakan tanah Sesar Lembang milik BMKG, hingga pelaksanaan ritual.

Menariknya, ada satu bangunan di puncaknya yang papan namanya bertuliskan ‘Makam Patilasan Mbah Mangkunagara Mbah Jambrong’. Makam dua nama yang lazim digunakan pada zaman kerajaan itu ada di dalam bangunan berupa bedeng berdinding triplek.

detikjabar menengok pusara berkeramik biru muda. Nisannya ditulis menggunakan cat hitam, font yang digunakan asal-asalan, cuma demi menegaskan bahwa itu merupakan makam Mbah Jamrong atau Mbah Jambrong dan Mbah Mangkunagara.

Di sebelahnya, ada batu berukuran besar. Makam keramat itu terkunci dari luar. Penjaganya alias juru kunci makam keramat ialah Lasmana alias Abah Ujang. Pria warga Lembang yang dipercaya menjaga makam keramat itu melanjutkan orangtua dan leluhurnya.

“Sejarahnya seperti diceritakan oleh orang tua abah dan sesepuh, Gunung Batu ini dulunya itu tempat berkumpulnya para dalem, pemimpin suatu wilayah,” kata Abah Ujang.

Gunung Batu memiliki ketinggian 1.228 Mdpl yang ada di Desa Pagerwangi, Kecamatan Lembang, Bandung Barat.Gunung Batu memiliki ketinggian 1.228 Mdpl yang ada di Desa Pagerwangi, Kecamatan Lembang, Bandung Barat. (Whisnu Pradana)

Lantas siapa Mbah Mangkunagara dan Mbah Jambrong? Berdasarkan penjelasan yang ia terima sebelum dipercaya sebagai kuncen, kedua nama itu merupakan kepala negara dan wakilnya. Mbah Mangkunagara sebagai kepala negara dan Mbah Jambrong ialah wakilnya.

Mbah Mangkunagara juga dikenal sebagai Aki Gul Wenang, sementara Mbah Jambrong dikenal sebagai Eyang Jagawalang. Mbah Mangkunagara bukan kepala negara dalam konteks seperti presiden, melainkan pemimpin di wilayahnya di masa itu. Sementara Mbah Jambrong merupakan pendampingnya.

“Ya seperti sekarang itu gubernur, bupati, kalau dulu kan dalem. Jadi dari Gunung Batu ini, mereka sering mengadakan pertemuan dengan kepala negara daerah lain, di sini semedi raganya sementara jiwanya bisa terbang kemana-mana. Itu dilakukan kalau mereka sedang rapat,” kata Abah Ujang.

Gunung Batu di Kecamatan Lembang yang diyakini sebagai bagian dari Patahan Lembang yang paling jelasGunung Batu di Kecamatan Lembang yang diyakini sebagai bagian dari Patahan Lembang yang paling jelas (Whisnu Pradana/detikcom)

Kebijaksanaan dan kesaktian kedua orang itu, kemudian tersebar kemana-mana. Keduanya diyakini tilem atau meninggal dunia dengan raganya berada di suatu tempat yang orang biasa tahu. Sementara pusara di puncak Gunung Batu, sebagai manifestasi atas tilemnya dua tokoh yang bisa diyakini sebagai hikayat ataupun mitos.

“Saya mulai jadi kuncen di sini sejak tahun 1992, kalau awalnya keluarga saya jadi kuncen di tahun 1940-an,” kata Abah Ujang.

Banyak orang yang datang ke makam keramat itu. Maksud dan tujuannya berbeda satu sama lain. Ada yang datang demi meraih kesuksesan, ada yang datang ingin meminta ini dan itu, namun selalu ditekankan bahwa upaya itu hanya sebagai syariat.

“Saya selalu sampaikan meminta tetap pada Allah SWT, jangan menduakan dengan meminta di makam keramat ini. Cuma kita harus yakini, bahwa ketika berdoa itu ada syariatnya, dan makam ini jadi syariatnya,” kata Abah Ujang.

“Banyak yang datang ketika mendekati pemilu, kemudian mau ujian, mau menikah, mau sukses bisnis. Ada yang dari Jakarta, Bogor, Sukabumi, jadi enggak cuma dari Lembang saja,” dia menambahkan.

***

Selengkapnya klik di sini.

(fem/fem)



Sumber : travel.detik.com

Mengenal Radioaktif Cesium-137 yang Ditemukan di Cikande, Seperti Apa Risikonya?


Jakarta

Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) menetapkan kawasan industri modern Cikande di Serang, Banten berstatus kejadian khusus cemaran radiasi. Aktivitas di kawasan industri tersebut diawasi ketat lantaran temuan cemaran radiasi cesium-137 (Cs-137) yang diduga asalnya dari reaktor nuklir.

Penetapan status tersebut dilakukan setelah Satgas Cesium-137 KLH, Brimob Polri, Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten), dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melakukan penanganan.

Kasus ini bermula ketika udang beku asal Indonesia dari PT Bahari Makmur Sejati (BMS) diduga mengandung Cs-137 sehingga ditolak Amerika Serikat (AS). Walau demikian, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Provinsi Banten memastikan udang segar yang dikonsumsi masyarakat aman, meskipun PT BMS berlokasi di Cikande, Kabupaten Serang.


Apa Itu Cesium-137?

Cesium (simbol kimia: Cs) adalah logam lunak, fleksibel, berwarna putih keperakan yang mencair mendekati suhu ruangan, tetapi mudah berikatan dengan klorida membentuk bubuk kristal. Bentuk radioaktif cesium yang paling umum adalah Cs-137.

Disebutkan dalam United States Environmental Protection Agency, Cesium-137 diproduksi melalui fisi nuklir untuk digunakan dalam peralatan medis dan alat ukur. Cesium juga merupakan salah satu produk sampingan dari proses fisi nuklir dalam reaktor nuklir dan uji coba senjata nuklir.

Karena Cs-137 berikatan dengan klorida membentuk bubuk kristal, ia bereaksi di lingkungan seperti garam dapur (natrium klorida):

  • Cesium mudah bergerak di udara.
  • Cesium mudah larut dalam air.
  • Cesium terikat kuat pada tanah dan beton, tetapi tidak bergerak terlalu jauh di bawah permukaan.

Tanaman dan vegetasi yang tumbuh di dalam atau di dekat tanah yang terkontaminasi dapat menyerap sejumlah kecil Cs-137 dari tanah. Sejumlah kecil Cs-137 dapat ditemukan di lingkungan dari senjata nuklir dan kecelakaan reaktor nuklir.

Risiko Paparan Cs-137 dalam Jumlah Besar

Sementara, menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS, manusia terpapar sejumlah Cs-137 setiap hari karena isotop radioaktif cesium ini terdapat di lingkungan dari uji coba senjata pada 1950-an dan 1960-an.

Namun, Cs-137 berbahaya dalam jumlah besar dan terkonsentrasi, seperti yang ditemukan di unit terapi radiasi dan alat ukur industri. Sumber radiasi dalam perangkat ini dirancang agar tetap tertutup rapat dan mencegah paparan manusia. Jika tabung-tabung ini dibuka secara sengaja atau tidak sengaja, Cs-137 di dalamnya dapat tersebar.

Paparan eksternal terhadap Cs-137 dalam jumlah besar dapat menyebabkan luka bakar, penyakit radiasi akut, dan bahkan kematian. Paparan Cs-137 dapat meningkatkan risiko kanker karena paparan radiasi gamma berenergi tinggi.

Paparan internal terhadap Cs-137, melalui konsumsi atau inhalasi, memungkinkan bahan radioaktif terdistribusi di jaringan lunak, terutama jaringan otot, sehingga jaringan tersebut terpapar partikel beta dan radiasi gamma, serta meningkatkan risiko kanker.

Cs-137 diproduksi melalui fisi nuklir untuk digunakan dalam perangkat medis dan alat ukur. Cs-137 juga merupakan salah satu produk sampingan dari proses fisi nuklir dalam reaktor nuklir dan uji coba senjata nuklir.

Sejumlah kecil Cs-137 dapat ditemukan di lingkungan dari uji coba senjata nuklir yang dilakukan pada tahun 1950-an dan 1960-an. Cs-137 juga dapat ditemukan dalam kecelakaan reaktor nuklir, seperti kecelakaan pembangkit listrik Chernobyl pada tahun 1986, yang menyebarkan Cs-137 ke banyak negara di Eropa.

(nah/twu)



Sumber : www.detik.com

BRIN Riset Ketersediaan Air di IKN, Ini Dampaknya Jika Tidak Tercukupi


Jakarta

Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melakukan penelitian persentase ketersediaan air di wilayah Ibu Kota Nusantara (IKN) dan sekitarnya. Riset tersebut dilakukan melalui Pusat Riset Iklim dan Atmosfer BRIN.

Kajian ini dilakukan menggunakan pendekatan metode Artificial Neural Network (ANN) atau Jaringan Saraf Tiruan (JST). Kajian dilakukan menggunakan data satelit selama Januari hingga Desember 2022.

Seberapa Banyak Ketersediaan Air di IKN?

Berdasarkan studi yang dilakukan oleh BRIN, ketersediaan air di IKN dan sekitarnya menunjukkan ketersediaan air tinggi atau high water (HW) 0,51%, air vegetasi atau vegetation water (VW) sebanyak 20,41%, dan non air atau non water (NW) 79,08%.


Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Iklim dan Atmosfer BRIN, Laras Toersilawati mengatakan, contoh dampak apabila ketersediaan air di IKN tidak tercukupi yakni perubahan iklim dan lingkungan. Kondisi ini mengakibatkan berkurangnya hujan, baik jumlah hari hujan maupun curah hujan. Hal ini juga menimbulkan penurunan kualitas air menjadi asam dan tercemar zat besi.

Terlebih, menurutnya ketersediaan air yang tidak tercukupi juga dapat menimbulkan dampak sosial serta lingkungan terhadap peningkatan kebutuhan air. Pasalnya, pendatang yang tertarik ke IKN dapat meningkatkan kebutuhan air bersih.

Apa yang Bisa Dilakukan Pemerintah?

Laras menyebut, untuk mengatasi kemungkinan kelangkaan air di IKN, maka pemerintah dapat membangun bendungan dan sistem perpipaan baru, serta embung.

Ia juga mengusulkan agar pemerintah membangun hutan kota dan melakukan konservasi lahan melalui reboisasi atau penanaman pohon pengganti. Sebab,terjadi alih lahan dari hutan industri eucalyptus menjadi lahan terbangun.

“Penerapan Kota Spons (Sponge City) dengan cara mengelola air hujan secara alami, menyerap dalam tanah, dan memanfaatkan kembali. Serta tak kalah penting melakukan edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat akan pentingnya menghemat dan tidak mencemari air, ini bisa menjadi solusinya,” jelas Laras, dikutip melalui keterangan tertulis BRIN, pada Rabu (1/9/2025).

Metode Kajian BRIN

Penelitian BRIN menggunakan citra Sentinel-2A yang dianalisis langsung melalui Google Earth Engine (GEE) untuk menghitung tiga indeks spektral, yakni Indeks Air Permukaan Tanah (LSWI), Indeks Perbedaan Vegetasi Ternormalisasi (NDVI), serta Indeks Perbedaan Air Ternormalisasi (NDWI).

Ketiga indeks tersebut digunakan sebagai prediktor dalam model ANN atau JST.

“JST atau ANN ini merupakan sistem pemrosesan informasi dengan karakteristik yang mirip dengan jaringan saraf biologis, yaitu jaringan saraf pada otak manusia,” jelas Laras.

Ia mengatakan, JST semula dirancang sebagai alat pengenalan pola dan analisis data yang unggul daripada metode statistik konvensional yang mengharuskan data berdistribusi normal.

Lebih komprehensif Laras menjelaskan, model yang dibuat mengikuti tahapan-tahapan dalam jaringan saraf tiruan, yakni menentukan arsitektur jaringan saraf tiruan yang meliputi lapisan masukan dan keluaran, penyiapan data sampel, pelatihan data sampel, serta pengujian data yang sudah dan belum dilatih.

Ia menilai, penginderaan jauh dengan satelit digunakan untuk mendeteksi perubahan kadar air dalam tanah atau vegetasi dengan menggunakan indeks inframerah dekat (NIR) 0,7-1,3 μm dan SWIR.

Tiga metode citra satelit multiband dipakai dalam penelitian untuk memperkirakan badan air permukaan, yakni NDVI; NDWI; dan LSWI.

(nah/twu)



Sumber : www.detik.com

Mengapa Radiasi Cesium-137 di Cikande Bisa Picu Kanker? Berikut Penjelasan Sains



Jakarta

Pemerintah telah menetapkan Radiasi Cesium-137 sebagai Kejadian Khusus pada Selasa (30/9). Keputusan ini diumumkan oleh Menteri Lingkungan Hidup/Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (KLH/BPLH) setelah hampir dua pekan terakhir Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Radiasi Cesium-137 turun ke lapangan.

Sebagai informasi, kasus ini berawal dariditemukannya sejumlah titik penimbunan material slag hasil peleburan yang mengandung zat radioaktif Cesium-137 di Kawasan Industri ModernCikande, Serang, Banten. Kasus ini kemudian mendapat perhatian publik setelah produk ekspor Indonesia, seperti udang beku, ditolak oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) karena terdeteksi mengandung Cesium-137.


Menanggapi situasi ini, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) berkoordinasi dengan Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), serta Komando Brimob Polri (KBRN) untuk mengamankan lokasi dan mencegah kontak langsung dengan manusia. Menurut laman resmi KLH, KBRN telah memasang garis pengaman di delapan titik teridentifikasi dan dilanjutkan proses dekontaminasi oleh Tim Khusus Pelaksana.

Paparan Cesium-137 dinilai berbahaya bagi manusia, bahkan berpotensi menyebabkan kanker. Lantas, apa itu Cesium-137?

Apa Itu Cesium-137?

Cesium-137 atau Cs-137 adalah isotop radioaktif hasil sampingan reaksi fisi nuklir, baik dari reaktor maupun ledakan bom atom. Unsur ini memiliki waktu paruh sekitar 30 tahun yang berarti butuh puluhan tahun hingga daya radioaktifnya berkurang.

Cs-137 tidak ditemukan secara alami di lingkungan.Tetapi, unsur ini hampir selalu terkait dengan aktivitas manusia, seperti kecelakaan nuklir, pengolahan limbah industri, atau penggunaan medis tertentu.

Cs-137 digunakan dalam jumlah kecil untuk kalibrasi peralatan pendeteksi radiasi, seperti penghitung Geiger-Mueller.

Dalam jumlah yang lebih besar, Cs-137 digunakan dalam:

Perangkat terapi radiasi medis untuk mengobati kanker
Sterilisasi medis
Pengukur industri yang mendeteksi aliran cairan melalui pipa
Perangkat industri lain untuk mengukur ketebalan material, seperti kertas, film fotografi, atau lembaran logam.

Cesium-137 Bisa Picu Kanker

Menurut laman Centres for Disease Control and Prevention US, paparan Cs-137 dalam jumlah besar dapat menyebabkan luka bakar, penyakit radiasi akut, dan bahkan kematian. Paparan Cs-137 juga dapat meningkatkan risiko kanker karena paparan radiasi gamma berenergi tinggi.

Paparan internal Cs-137, melalui konsumsi atau inhalasi, memungkinkan bahan radioaktif terdistribusi di jaringan lunak, terutama jaringan otot. Jaringan tersebut bisa terpapar partikel beta dan radiasi gamma, serta meningkatkan risiko kanker.

Paparan Cs-137 dapat meningkatkan risiko:

Leukemia: radiasi merusak sumsum tulang tempat sel darah diproduksi.
Kanker tiroid: Cesium-137 memaparkan beban radiasi ke kelenjar tiroid.
Kanker padat (solid cancers): termasuk kanker paru, hati, ginjal, dan saluran pencernaan, tergantung rute paparan.

(nir/nwk)



Sumber : www.detik.com

Mengenal Teleskop Radio yang Digunakan Peneliti dalam Pengamatan Astronomi



Jakarta

Teleskop menjadi salah satu alat yang digunakan untuk mengamati keadaan langit. Tahukah detikers, ada berbagai jenis teleskop yang bisa digunakan dalam pengamatan astronomi?

Hal itu disampaikan oleh Peneliti Pusat Riset Komputasi Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN), Ibnu Nurul Huda. Ia menyebut teleskop tidak hanya yang berbentuk tabung dengan cermin.

Rupanya, ada juga satu jenis lain yang dikenal dengan sebutan teleskop radio.


Tentang Teleskop Radio

Pada dasarnya, cahaya terdiri dari berbagai panjang gelombang, yakni:

1. Frekuensi paling tinggi: Sinar gamma

2. Frekuensi sedang: Cahaya tampak

3. Frekuensi paling rendah: Gelombang radio

Teleskop yang dikenal masyarakat disebut dengan teleskop optik. Teleskop jenis ini berguna untuk mendeteksi cahaya tampak yang bisa dilihat dengan mata kita sendiri.

Namun, teleskop radio punya fungsi yang berbeda.

“Teleskop radio akan mengeksplor alam semesta dengan sudut pandang yang berbeda,” tuturnya dikutip dari laman resmi BRIN, Minggu (5/10/2025).

Cara Kerja Teleskop Radio

Bentuk teleskop radio seperti parabola dengan ukuran lebih besar. Alat itu dilengkapi dengan dish dan penopang yang dihubungkan dengan kabel ke komputer (sinyal) untuk memproses objek langit.

Cara kerja alat ini yaitu menangkap gelombang radio dari berbagai objek langit. Ketika sudah tertangkap, informasi akan dikirim ke komputer untuk memproses dan menjadikannya gambar.

“Di teleskop radio, ada proses pengolahan sinyal yang menghasilkan gambar yang cukup mirip seperti pada teleskop optik,” sambungnya.

Ada beberapa poin penting mengapa astronom sebagian menggunakan teleskop radio untuk melakukan observasi, yaitu:

1. Gelombang radio bisa sampai ke Bumi dan cenderung tidak terhalang atmosfer.

“Ada beberapa gelombang cahaya yang diblok oleh atmosfer, misalnya sinar gamma, X-ray, dan ultraviolet,” jelas Ibnu.

2. Teleskop radio dapat mengobservasi fenomena yang unik, yang tidak didapatkan dari teleskop optik karena panjang gelombang yang berbeda.

3. Teleskop radio dapat melakukan observasi selama 24 jam, sedangkan observasi dengan teleskop optik harus pada malam hari karena ketika siang akan terhalang Matahari.

4. Teleskop radio bisa mengobservasi saat langit sedang mendung.

Webinar “100 Jam Astronomi untuk Semua”

Berbagai penyampaian Ibnu tertuang dalam acara webinar “100 Jam Astronomi untuk Semua” yang diselenggarakan oleh BRIN. Acara ini digelar selama empat hari pada 2-5 Oktober 2025 dan dapat diakses di kanal YouTube BRIN Indonesia.

Berbagai materi yang dibahas seperti teleskop radio, penjelajahan alam semesta, arkeoastronomi tentang jejak bintang di peradaban manusia, hingga materi terkait gerhana Matahari.

Kepala Pusat Riset Antariksa BRIN, Emmanuel Sungging Mumpuni, menyampaikan kegiatan ini merupakan agenda tahunan. Lebih dari itu, kegiatan ini telah menjadi bagian agenda komunitas internasional untuk membawakan ilmu astronomi agar lebih populer di masyarakat.

“Saya berharap melalui kegiatan ini ada lebih banyak yang bisa terlibat di kegiatan astronomi,” pungkasnya.

(det/twu)



Sumber : www.detik.com

Viral Meteor Jatuh di Langit Cirebon, Pakar Bilang Begini


Jakarta

Viral video warga yang merekam cahaya terang serupa bola api dan dentuman keras di media sosial. Suara dentuman itu terdengar hingga belasan kilometer.

Melansir detikJabar, fenomena tersebut muncul di langit wilayah Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Minggu (5/10/2025) sekitar pukul 19.00 WIB.


Meteor Jatuh di Langit Cirebon

Merespons fenomena ini, Peneliti Pusat Riset Antariksa Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Thomas Djamaluddin mengatakan bola api tersebut merupakan meteor dengan ukuran cukup besar.

Berdasarkan analisisnya terhadap pemantauan tangkapan gambar dan data, termasuk dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Thomas menjelaskan meteor tersebut melintasi Kota Kuningan dan Kabupaten Cirebon.

“Analisis berdasarkan kesaksian adanya dentuman yang terdengar di wilayah Kuningan dan Kabupaten Cirebon, terdeteksi adanya getaran oleh BMKG Cirebon (ACJM) pada pukul 18:39:12 WIB pada azimut 221, ada yang menyaksikan bola api yang meluncur dan ada rekaman CCTV pukul 18.35 (WIB),” terang Thomas dalam unggahan di akun Instagramnya, Senin (6/10/2025), dikutip dengan izin oleh detikcom.

“Saya menyimpulkan itu adalah meteor cukup besar yang melintas memasuki wilayah Kuningan-Kabupaten Cirebon dari arah barat daya sekitar pukul 18.35-18.39 (WIB),” ucapnya.

Mengapa Meteor Jatuh Mengeluarkan Dentuman?

Thomas menambahkan, suara dentuman keras dapat bersumber dari meteor saat memasuki atmosfer yang lebih rendah.

“Ketika memasuki atmosfer yang lebih rendah menimbulkan gelombang kejut berupa suara dentuman dan terdeteksi oleh BMKG Cirebon pukul 18.39.12 WIB. Meteor jatuh di laut Jawa,” terangnya.

Terpisah, Kepala Tim Kerja Prakiraan, Data, dan Informasi BMKG Kertajati Muhammad Syifaul Fuad di Cirebon sebelumnya mengatakan suara dentuman dari sisi meteorologi dapat terjadi saat ada sambaran petir, aktivitas gempa bumi, dan longsor.

Syifaul mengatakan pihaknya masih mengumpulkan data fenomena tersebut. Hingga saat ini, tidak ada aktivitas getaran signifikan di Cirebon maupun cuaca ekstrem.

Ia menggarisbawahi, fenomena terkait meteor merupakan kewenangan lembaga yang membidangi antariksa, seperti BRIN. Sementara itu, BMKG tidak memiliki instrumen khusus untuk mendeteksi pergerakan meteor dan benda langit.

“Terkait fenomena meteor atau benda antariksa merupakan kewenangan lembaga yang membidanginya seperti BRIN,” ucapnya, melansir Antara.

(twu/nwk)



Sumber : www.detik.com

Meteor Jatuh di Cirebon Bertepatan Periode Aktivitas Hujan Meteor Draconid


Jakarta

Terjadi peristiwa menghebohkan, meteor jatuh di langit Cirebon pada Minggu (5/10/2025) malam. Kisaran pukul 18.35-19.00 WIB, masyarakat di beberapa kecamatan mendengar suara dentuman keras yang menggetarkan rumah.

Tidak lama sebelum itu, ada cahaya terang menyerupai bola api yang melintas menuju ke arah timur.

Menurut peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Thomas Djamaludin, berdasarkan analisis dari kesaksian warga dan sejumlah rekaman CCTV, ia menyimpulkan objek tersebut adalah meteor yang memasuki atmosfer dari arah barat daya.


BMKG turut mencatat ada gelombang kejut pada pukul 18.39 WIB di beberapa titik, seiring waktu dentuman yang terdengar warga. Fenomena semacam itu menurut Thomas, tergolong alamiah dan tidak menimbulkan bahaya langsung.

“Peristiwa seperti ini merupakan fenomena alam biasa, meski ukurannya cukup besar sehingga menimbulkan cahaya terang dan dentuman. Publik tidak perlu khawatir,” ujarnya, dikutip dari detikJabar pada Senin (6/10/2025).

Thomas menjelaskan, setelah menimbulkan cahaya dan dentuman, meteor tersebut diperkirakan jatuh di Laut Jawa. Walaupun terbilang jarang terjadi di Indonesia, fenomena tersebut tidak berbahaya untuk masyarakat.

Bertepatan Periode Aktivitas Meteor Draconids

Berdasarkan pengamatan dan catatan gelombang kejut, fenomena tersebut kemungkinan besar adalah meteor airburst, yakni meteoroid yang meledak di udara pada ketinggian tertentu sebelum mencapai daratan. Tipe tersebut kerap menghasilkan cahaya terang serta suara dentuman tanpa meninggalkan kawah.

Dikutip dari laman Pendidikan Sains FMIPA Universitas Negeri Surabaya, fragmentasi objek antariksa tersebut kemungkinan terjadi pada lapisan atmosfer atas atau menelan laut sebagai target jatuhannya.

Adapun jatuhnya meteor ini bertepatan dengan periode aktivitas meteor Draconids yang diperkirakan mencapai outburst pada 8 Oktober 2025. Terdapat sejumlah perkiraan dari pakar, meteor jatuh di Cirebon merupakan bagian dari aktivitas meteor Draconids atau puing tambahan dari jalur orbit komet.

Mengapa Tidak Ada Peringatan Akan Jatuh Meteor?

Masih dari sumber yang sama, ada beberapa alasan mengapa tidak ada peringatan dini soal meteor yang jatuh di Cirebon pada Minggu (5/10/2025):

1. Ukuran meteoroid terlalu kecil untuk terdeteksi dini. Radar atau teleskop antariksa yang memantau Near Earth Objects (NEO) pada umumnya hanya dapat mendeteksi benda langit dengan diameter puluhan sampai ratusan meter.

Meteor seperti yang tampak seperti di Cirebon biasanya berasal dari batuan lebih kecil dengan ukuran hanya beberapa meter atau kurang. Benda sekecil itu hampir tidak mungkin dideteksi jauh-jauh hari lantaran terlalu redup di luar angkasa.

2. Atmosfer Bumi memiliki fungsi sebagai pelindung alami. Sekitar 100 ton debu kosmik masuk ke atmosfer setiap hari.

Sebagian besar darinya habis terbakar tanpa jejak. Hanya sebagian kecil dari meteoroid yang cukup besar untuk menciptakan kilatan terang atau dentuman (disebut sebagai bolide atau airburst). Fenomena tersebut terjadi mendadak karena ledakan akibat tekanan atmosfer, sehingga mustahil diprediksi akurat sebelumnya.

3. Teknologi deteksi masih terbatas. Lembaga seperti NASA dengan program Planetary Defense Coordination Office mempunyai sistem survei seperti teleskop PAN-STARRS dan Catalina Sky Survey. Meski begitu, jaringan tersebut lebih fokus pada asteroid besar yang berpotensi membahayakan Bumi dalam jangka panjang.

Untuk objek kecil yang beberapa meter, instrumen canggih hanya dapat mendeteksi beberapa jam sebelum masuk atmosfer, apabila terdeteksi.

4. Kasus meteor airburst sering terjadi tanpa adanya kerusakan. Sebagai contoh, yang paling populer adalah Chelyabinsk 2013 di Rusia.

Objek tersebut meledak pada ketinggian 30 km dan menimbulkan gelombang kejut sampai merusak jendela ribuan rumah dan tidak terdeteksi sebelumnya. Sementara yang terjadi di Cirebon kemarin memiliki skala lebih kecil, sehingga tidak tergolong ancaman besar.

Dengan begitu, tidak adanya peringatan dini bukan berarti kelalaian. Namun, memang secara ilmiah sulit untuk mendeteksi meteoroid kecil sebelum bertabrakan dengan atmosfer.

(nah/twu)



Sumber : www.detik.com

Peneliti BRIN Perkirakan Meteor di Cirebon Sekitar 3-5 Meter, Jatuh di Laut Jawa


Jakarta

Peneliti Pusat Riset Antariksa Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Thomas Djamaluddin menilai, batu meteor yang melintas di Cirebon berukuran sekitar 3-5 meter. Ia turut membandingkan dengan peristiwa meteor Bone pada 2009.

Menurut Thomas, meteor Cirebon memang berukuran lebih kecil, tetapi cukup menimbulkan gelombang kejut.

“Kalau kita bandingkan dengan kejadian meteor Bone 2009, yang menimbulkan dentuman keras yang terdengar sampai jarak 10 km dan kaca jendela rumah warga bergetar, meteor Cirebon ukurannya lebih kecil namun cukup menimbulkan gelombang kejut,” ujar Thomas dalam blog miliknya, dikutip Selasa (7/10/2025).


Berdasarkan kesaksian warga yang dibagikan oleh media, ia menyimpulkan beberapa hal. Thomas menyebut terjadi dentuman yang terdengar di wilayah Kuningan dan Kabupaten Cirebon. Kemudian, terdapat video yang memperlihatkan bola api yang meluncur serta terdapat rekaman CCTV pada pukul 18.35 WIB.

Thomas turut mengatakan, terdeteksi adanya getaran oleh BMKG Cirebon di Astanajapura (ACJM) pada 11:39:12 UT (18:39:12 WIB) pada azimut 221 (arah barat daya).

“Ada tambahan informasi di FB saya, bahwa di Tasikmalaya juga ada saksi yang melihat objek seperti meteor. Ada juga yang melaporkan dentuman terdengar juga sampai Tegal,” jelas Thomas.

“Di Pekalongan dilaporkan ada yang melihat objek seperti meteor,” imbuhnya.

Lintasan Meteor di Cirebon

Thomas menyimpulkan berdasarkan fakta-fakta yang didapat, fenomena dentuman di Cirebon dan sekitarnya merupakan meteor yang cukup besar yang melintas dari arah barat daya di selatan Jawa kemudian ke wilayah Kuningan dan Kabupaten Cirebon sekitar pukul 18.35-18.39 WIB.

Kemudian ketika memasuki atmosfer lebih rendah dan lebih padat di atas Kuningan dan Kabupaten Cirebon, terjadi gelombang kejut yang oleh warga terdengar sebagai suara dentuman dan terdeteksi oleh BMKG Cirebon pada 18.39.12 WIB. Meteor diduga jatuh di Laut Jawa.

(nah/nwk)



Sumber : www.detik.com

Cirebon Geger, Muncul Bola Api Membelah Langit dan Suara Dentuman



Cirebon

Cirebon dikejutkan oleh bola api yang melintas cepat, diduga meteor pada Minggu (5/10/2025) malam. Fenomena itu menimbulkan dentuman keras dan perhatian publik. BMKG dan BRIN menyelidiki.

Sebuah bola api yang meluncur cepat membelah langit itu meninggalkan jejak cahaya terang sebelum diikuti dentuman keras yang menggetarkan sejumlah wilayah. Fenomena langka tersebut menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat.

Pakar astronomi dan peneliti BRIN, Thomas Djamaludin, mengatakan cahaya misterius itu merupakan lintasan meteor berukuran cukup besar.


“Berdasarkan analisis awal dari kesaksian warga serta rekaman CCTV yang menunjukkan cahaya melintas sekitar pukul 18.35 WIB, disimpulkan bahwa objek itu adalah meteor yang memasuki atmosfer dari arah barat daya,” kata Thomas dilansir detikjabar, Senin (6/10).

Tak hanya warga, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Cirebon juga mendeteksi getaran akibat peristiwa tersebut. Sensor seismik mencatat adanya gelombang kejut pada pukul 18.39.12 WIB, bertepatan dengan laporan dentuman keras yang terdengar di wilayah Kuningan dan Kabupaten Cirebon.

Thomas menjelaskan saat meteor menembus lapisan atmosfer yang lebih rendah, gesekan udara menimbulkan bola api terang (fireball) yang terlihat jelas dari permukaan bumi. Proses itu pula yang menghasilkan gelombang kejut hingga terdengar seperti ledakan.

“Peristiwa seperti ini merupakan fenomena alam biasa, meski ukurannya cukup besar sehingga menimbulkan cahaya terang dan dentuman. Publik tidak perlu khawatir,” kata Thomas.

Dia mengatakan setelah menimbulkan cahaya dan dentuman, meteor diperkirakan jatuh di Laut Jawa. Meski tergolong jarang terjadi di Indonesia, fenomena ini tidak menimbulkan bahaya bagi masyarakat.

Rekaman video amatir warga dan tangkapan CCTV yang memperlihatkan detik-detik bola api melintas terus beredar luas di media sosial. Sorotan cahaya di langit malam itu, disertai suara ledakan yang menggema.

Sementara itu, Ketua Tim Kerja Prakiraan, Data, dan Informasi BMKG Kertajati, Muhammad Syifaul Fuad, mengatakan belum dapat menyimpulkan asal-usul suara dan cahaya yang dilaporkan masyarakat itu.

“Fenomena yang berkaitan dengan meteor atau benda antariksa merupakan kewenangan BRIN. BMKG hanya memastikan dari sisi meteorologi, sementara semua indikator cuaca normal,” ujar Syifaul saat dikonfirmasi.

Menurut hasil pemantauan BMKG, tidak ada aktivitas meteorologis yang terdeteksi pada waktu kejadian. Kondisi cuaca berdasarkan citra satelit juga menunjukkan langit cerah berawan, tanpa adanya indikasi sambaran petir atau pembentukan awan konvektif yang biasanya bisa menimbulkan suara ledakan.

Syifaul menjelaskan bahwa suara dentuman serupa juga bisa disebabkan oleh fenomena lain, seperti gempa atau longsoran besar. Namun hingga saat ini, tidak ada data seismik maupun laporan aktivitas tanah yang terekam di wilayah Cirebon.

“Dari sisi meteorologi, semua kondisi normal. Karena itu, kemungkinan lain di luar faktor cuaca perlu ditelusuri lebih lanjut,” ujar dia.

Meski demikian, BMKG mengakui tidak memiliki instrumen khusus untuk mendeteksi pergerakan meteor. Oleh karena itu, dugaan mengenai benda langit akan menjadi ranah BRIN untuk dianalisis lebih lanjut.

“Analisis sementara menunjukkan cahaya yang dilihat warga bukan sambaran petir,” kata dia.

Sementara itu, Stasiun Geofisika Bandung melaporkan adanya satu sinyal getaran lemah yang terekam pada waktu kejadian. Namun sinyal tersebut belum dapat dipastikan sumber maupun skalanya.

***

Selengkapnya klik di sini.

(fem/fem)



Sumber : travel.detik.com

Anak Muda Harus Bergerak Hadapi Krisis Dunia Lewat Riset



Jakarta

Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Tri Laksana Handoko, mengajak generasi muda agar menjadikan pendidikan dan penelitian sebagai senjata dalam menghadapi berbagai tantangan global.

Ia menilai, di tengah perubahan iklim, krisis kesehatan, dan disrupsi digital, inovasi berbasis ilmu pengetahuan menjadi harapan untuk masa depan yang lebih baik.

“Perubahan iklim terus mengganggu alam sekitar kita dan ekonomi. Krisis kesehatan global mengingatkan kita tentang ketergantungan kita. Masalah kesejahteraan makanan dan energi menjadi masalah yang menekankan setiap hari,” ujar Handoko saat memberikan sambutan dalam Week of Indonesia-Netherlands Education and Research (Winner) 2025 secara daring di Jakarta, Selasa (7/10/2025).


Dunia Hadapi Krisis, Saatnya Anak Muda Bergerak

Tri Handoko juga menyoroti dunia yang kini tengah menghadapi tantangan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Selain perubahan iklim dan krisis pangan, menurutnya disrupsi digital jadi kesenjangan baru.

“Dan di tengah-tengah semua hal ini, perubahan dinamik geopolitik menjadi masalah kesejahteraan global,” katanya.

Namun, di balik krisis tersebut, ia melihat peluang besar bagi generasi muda untuk tampil sebagai penggerak perubahan melalui pendidikan dan riset.

“Pendidikan menyelamatkan karakter dan kreativitas anak-anak kita. Ia menunjukkan nilai penasaran, resiliensi, dan bertanggungjawab. Penelitian memberikan pengetahuan dan bukti,” tegasnya.

Riset Kolaboratif Kunci Menuju Dunia Lebih Baik

Lebih lanjut Handoko menekankan pentingnya kolaborasi lintas negara untuk menjawab tantangan global. Ia mencontohkan kerja sama panjang antara Indonesia dan beberapa negara.

Dalam forum bersama periset Belanda tersebut, Tri Handoko teringat pada masa-masa lalu ketika generasi muda masih banyak yang menempuh pendidikan di Negeri Kincir Angin tersebut.

“Selama berabad-abad, pelajar Indonesia telah belajar di universitas Belanda, dan banyak penelitian Belanda telah bekerja bersama-sama dengan rakan-rakan Indonesia,” ujar Tri Handoko.

Forum Winner 2025, menurut Handoko, menjadi wadah penting untuk mempertemukan akademisi, ilmuwan, industri, dan pembuat kebijakan dalam bertukar ide serta menantang perspektif lama.

“Ini berasal bukan hanya dari perhubungan sejarah lama kita, tetapi juga dari nilai dan komitmen kita untuk membangun pertemanan yang lebih maju,” katanya.

Handoko juga menyoroti pentingnya menjaga nilai kemanusiaan di tengah perkembangan teknologi dan geopolitik dunia yang dinamis. Ia menegaskan, tidak ada satu negara pun yang bisa berjalan sendiri dalam menghadapi krisis global.

“Tantangan-tantangan ini mungkin terasa berat, tetapi sesungguhnya juga mempersatukan kita. Mereka mengingatkan kita akan kemanusiaan yang sama dan bahwa tidak ada satu bangsa pun yang dapat menyelesaikan masalah ini sendirian. Kita saling membutuhkan,” tuturnya

(cyu/faz)



Sumber : www.detik.com