Tag Archives: cerai

Bolehkah Suami Menceraikan Istri yang Sedang Hamil? Ini Hukum dan Dalilnya


Jakarta

Pernikahan bukan hanya penyatuan antara dua insan, tetapi juga merupakan perjanjian suci yang melibatkan Allah SWT. Ikatan ini dibangun atas dasar cinta, tanggung jawab, dan komitmen untuk saling menjaga dalam suka maupun duka.

Namun dalam perjalanan rumah tangga, tidak semua pasangan mampu mempertahankan hubungan hingga akhir hayat. Perselisihan, ketidakharmonisan, atau perbedaan prinsip sering kali menjadi penyebab berakhirnya ikatan tersebut melalui perceraian.

Menariknya, dalam beberapa kasus, perceraian justru terjadi ketika sang istri sedang mengandung. Kondisi ini menimbulkan banyak pertanyaan di kalangan umat Islam tentang apakah talak saat hamil diperbolehkan? Bagaimana hukum cerai saat sedang hamil menurut syariat Islam?


Hukum Talak Saat Sedang Hamil

Dalam buku Fiqih Perempuan Kontemporer karya Farid Nu’man Hasan, dijelaskan bahwa jumhur ulama sepakat hukum cerai saat istri hamil adalah mubah atau boleh. Bahkan, Imam Ahmad bin Hanbal menyebut jenis perceraian ini sebagai bentuk talak yang sesuai dengan syariat.

Pendapat tersebut didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, di mana Rasulullah SAW bersabda,

“Kemudian, ceraikanlah ia pada waktu suci atau hamil.” (HR. Muslim).

Hadits ini menjadi dasar bahwa menjatuhkan talak pada istri yang sedang mengandung diperbolehkan dalam Islam dan tidak termasuk kategori cerai yang dilarang.

Apabila seorang istri diceraikan dalam keadaan hamil, maka masa iddahnya akan berakhir ketika ia melahirkan anaknya. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Surat At-Thalaq ayat 4,

وَالّٰۤـِٔيْ يَىِٕسْنَ مِنَ الْمَحِيْضِ مِنْ نِّسَاۤىِٕكُمْ اِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلٰثَةُ اَشْهُرٍۙ وَّالّٰۤـِٔيْ لَمْ يَحِضْنَۗ وَاُولٰتُ الْاَحْمَالِ اَجَلُهُنَّ اَنْ يَّضَعْنَ حَمْلَهُنَّۗ وَمَنْ يَّتَّقِ اللّٰهَ يَجْعَلْ لَّهٗ مِنْ اَمْرِهٖ يُسْرًا ۝٤

Artinya: Perempuan-perempuan yang tidak mungkin haid lagi (menopause) di antara istri-istrimu jika kamu ragu-ragu (tentang masa idahnya) maka idahnya adalah tiga bulan. Begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid (belum dewasa). Adapun perempuan-perempuan yang hamil, waktu idah mereka adalah sampai mereka melahirkan kandungannya. Siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia menjadikan kemudahan baginya dalam urusannya.

Hak dan Kewajiban Istri yang Diceraikan

Dalam jurnal Iddah dan Ihdad dalam Islam karya Abdul Moqsith disebutkan bahwa perempuan yang ditalak memiliki hak untuk memperoleh tempat tinggal yang layak, nafkah, pakaian, serta kebutuhan hidup lainnya dari mantan suaminya.

Rasulullah SAW pun menegaskan hal tersebut melalui sabdanya yang menjelaskan kewajiban suami terhadap istri yang masih berada dalam masa iddah.

“Perempuan beriddah yang bisa dirujuk oleh (mantan) suaminya berhak mendapat kediaman dan nafkah darinya.”

Selama menjalani masa iddah, seorang wanita tidak diperbolehkan menerima lamaran dari laki-laki lain, baik secara langsung maupun melalui sindiran (ta’ridh). Larangan ini berlaku hingga ia melahirkan dan tetap harus dipatuhi sesuai ketentuan syariat.

Selain itu, wanita yang sedang dalam masa iddah juga tidak diperkenankan keluar rumah kecuali untuk keperluan yang mendesak. Ketentuan ini disepakati oleh para ulama fiqih, seperti Imam Syafi’i, Malik bin Anas, Ahmad bin Hanbal, dan Al-Layts.

Dalam Buku Pintar Fikih Wanita karya Muhammad Zaenal Arifin, dijelaskan bahwa masa iddah memiliki beberapa konsekuensi yang dianggap kurang menguntungkan bagi suami, misalnya larangan menikahi perempuan kelima jika masih memiliki empat istri. Sebab, wanita yang berada dalam masa iddah masih berstatus sebagai istri sah, dan baru setelah masa iddah berakhir, sang suami diperbolehkan menikahi perempuan lain yang halal baginya.

Wallahu a’lam.

(hnh/inf)



Sumber : www.detik.com

Hukum Talak Saat Marah dalam Islam, Apakah Sah?


Jakarta

Ketika menikah, setiap pasangan tentu berharap agar pernikahan tersebut menjadi pernikahan yang langgeng dan penuh kebahagiaan. Namun, dalam perjalanan rumah tangga, tak jarang muncul tantangan yang membuat pasangan suami-istri tidak sejalan dalam pandangan dan sikap terhadap suatu hal.

Perbedaan pendapat yang tidak diselesaikan dengan tenang sering kali berujung pada pertengkaran dan luapan emosi. Dalam kondisi seperti ini, kata-kata bisa meluncur tanpa kendali, termasuk ucapan talak yang diucapkan dalam keadaan marah.

Hal ini menimbulkan pertanyaan yang kerap muncul di benak banyak orang: bagaimana hukum talak yang diucapkan saat sedang marah dan emosi? Apakah talak tersebut tetap sah di mata Islam, atau justru tidak dianggap karena diucapkan tanpa kesadaran penuh?


Hukum Talak Saat Emosi

Dikutip dari website resmi Kementerian Agama, terdapat perbedaan pandangan di kalangan ulama mengenai talak yang diucapkan oleh suami dalam keadaan marah atau emosi. Sebagian ulama berpendapat bahwa talak yang diucapkan dalam kondisi tersebut tetap sah dan memiliki kekuatan hukum.

Salah satu ulama yang berpendapat demikian adalah Syekh Zainuddin al-Malibari dari mazhab Syafi’i, yang menjelaskan bahwa talak orang yang marah tetap dianggap sah selama ia masih dalam keadaan sadar dan mengetahui apa yang diucapkannya.

واتفقوا على وقوع طلاق الغضبان وإن ادعى زوال شعوره بالغضب

Artinya: “Para ulama bersepakat bahwa talak orang yang marah itu tetap jatuh, meskipun ia mengklaim bahwa kesadarannya hilang karena marah.” (Syekh Zainuddin al-Malibari, Fathul Mu’in [Semarang, Thoha Putra: t.t], halaman 112).

Sementara itu, sebagian ulama lain berpendapat bahwa talak yang diucapkan suami dalam keadaan marah berat atau emosi yang memuncak tidak dianggap sah. Alasannya, pada tingkat kemarahan tersebut, seseorang tidak lagi sepenuhnya sadar terhadap ucapan dan tindakannya.

Kondisi ini bahkan disamakan dengan keadaan orang yang kehilangan akal, seperti orang gila atau penderita epilepsi saat kambuh.

وأربع لا يقع طلاقهم: الصبي، والمجنون. وفي معناه المغمى عليه، والنائم، والمكرَه

Artinya: “Empat orang yang penyataan talaknya dianggap tidak berlaku, yaitu anak kecil, orang gila – termasuk di dalamnya adalah penderita epilepsi-, orang yang sedang tidur, dan orang yang dipaksa”. (Syekh Ibnu Qasim Al-Ghazi, Fathul Qarib al-Mujib, [Semarang, Thoha Putra: t.t] halaman 48).

Tingkat Kemarahan Suami Saat Mengucap Talak

Masih mengutip dari laman Kemenag, Syekh Abdurrahman al-Jaziri dalam Kitabul Fiqhi ‘alal Madzhabil Arba’ah (Beirut, Darul Kutubil Ilmiyah: 2003), juz IV, halaman 262, menjelaskan bahwa tingkat kemarahan seorang suami saat mengucapkan talak dibagi menjadi tiga.

Pertama, marah tingkat awal, yaitu ketika seseorang mulai marah namun masih mampu mengendalikan diri dan menyadari setiap ucapannya. Dalam kondisi ini, talak yang diucapkan tetap sah karena dilakukan dalam keadaan sadar.

Kedua, marah tingkat puncak, yakni saat emosi telah memuncak hingga menghilangkan akal dan kesadaran. Orang dalam kondisi ini disamakan dengan orang gila, sehingga talaknya tidak sah dan tidak berlaku.

Ketiga, marah tingkat pertengahan, yaitu ketika kemarahan sudah tinggi dan membuat seseorang keluar dari kebiasaannya, tetapi belum sampai kehilangan kesadaran. Dalam kondisi ini, mayoritas ulama berpendapat bahwa talaknya tetap sah, karena pelaku masih dalam keadaan sadar dan mengetahui apa yang diucapkannya.

Menentukan tingkat kemarahan suami saat mengucapkan talak perlu dilakukan dengan penilaian yang objektif melalui bukti, saksi, serta pertimbangan pihak berwenang seperti petugas KUA atau tokoh agama agar keputusan sesuai dengan syariat.

Cara Menahan Amarah dalam Islam

Emosi yang tidak terkendali dapat membuat seseorang kehilangan kemampuan untuk berpikir jernih dan bertindak rasional. Dalam konteks pernikahan, hal ini bisa memicu pertengkaran yang berujung pada retaknya hubungan suami-istri.

Oleh karena itu, penting bagi setiap pasangan untuk menahan amarah dan tidak mengambil keputusan saat emosi memuncak. Islam pun mengajarkan umatnya untuk mengendalikan amarah sebagai bentuk menjaga diri dan keharmonisan rumah tangga.

Menurut Buku Ajar Akidah Akhlak karya Syafiuddin dan Machnunah Ani Zulfah, salah satu cara menahan amarah dalam Islam adalah dengan beristighfar. Dalam menghadapi tantangan rumah tangga, seperti perbedaan pendapat atau kesalahpahaman dengan pasangan, beristighfar membantu menenangkan hati agar tidak terbawa emosi.

Cara kedua adalah menahan diri dari melampiaskan kemarahan. Rasulullah SAW pernah memberi wasiat agar seseorang tidak marah, dan hal ini sangat relevan dalam pernikahan, karena kemampuan menahan diri dapat mencegah ucapan atau tindakan yang bisa melukai pasangan.

Ketiga, amarah juga bisa diredam dengan berwudhu, karena wudhu menyucikan diri dari emosi negatif dan menurunkan panas hati. Dalam kehidupan rumah tangga, berwudhu sebelum melanjutkan pembicaraan dapat membantu suami-istri berpikir lebih jernih dan bijak dalam menyelesaikan masalah.

Cara keempat adalah berdiam diri dan membaca ta’awudz ketika marah. Dengan diam, seseorang dapat menghindari kata-kata yang memperkeruh suasana, dan dengan membaca ta’awudz, ia memohon perlindungan Allah SWT agar setan tidak memperbesar konflik dalam rumah tangga.

(hnh/inf)



Sumber : www.detik.com

Kapan Istri Boleh Minta Cerai Menurut Islam?


Jakarta

Perceraian dalam Islam tergolong sebagai hal yang dihalalkan namun dibenci oleh Allah SWT. Istri boleh meminta cerai kepada suami apabila ia melakukan hal-hal ini. Apa saja?

Dikutip dari buku Bulughul Maram & Dalil-Dalil Hukum: Panduan Hidup Sesuai Tuntunan Rasulullah SAW dalam Ibadah, Muamalah, dan Akhlak oleh Ibnu Hajar, dijelaskan bahwa perceraian memang sebuah perkara yang halal, namun Allah SWT sangat membencinya.

Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah SAW,


عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ أَبْغَضُ الْحَلَالِ عِنْدَ اللَّهِ الطَّلَاقُ. رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَابْنُ مَاجَهِ وَصَحَّحَهُ الْحَاكِمُ وَرَبَّحَ أَبُو حَاتِمٍ إِرْسَالَهُ

1098. Dari Ibnu Umar radhiyallaahu ‘anhuma bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Perbuatan halal yang paling dibenci Allah ialah cerai.” (HR Abu Dawud dan Ibnu Majah. Hadits ini shahih menurut al-Hakim. Abu Hatim menilainya hadits mursal)

Cerai merupakan jalan keluar terakhir dan yang paling baik dihindari apabila terjadi sebuah kerusuhan dalam rumah tangga. Cara ini boleh ditempuh ketika semua bentuk pendekatan dan percobaan penyelesaian masalah sudah dilakukan.

Namun, tentu saja semua orang menginginkan rumah tangga yang baik dan bahagia. Tak jarang, di dalam rumah tangga seorang istri tidak merasa bahagia dan malah mendapat kekerasan.

Oleh karena itu, perceraian dalam Islam tidak hanya bisa dilakukan oleh suami. Namun, istri juga mendapat hak yang sama untuk meminta perceraian ketika terjadi sesuatu pada diri dan rumah tangganya.

Terdapat beberapa alasan yang membolehkan istri untuk meminta perceraian suami. Dengan catatan dirinya tidak meminta cerai karena alasan-alasan yang tidak jelas atau dibenarkan agama.

Masykur Arif Rahman dalam Dosa-Dosa Istri yang Paling Dibenci Allah Sejak Malam Pertama menyebutkan bahwa istri yang tidak memiliki alasan yang sah secara syariat, akan mendapat dosa bila ia mengajak bercerai.

Rasulullah SAW bersabda, “Siapa saja wanita yang minta diceraikan oleh suaminya tanpa alasan yang sah maka haram baginya wangi surga.” (HR Ahmad)

Adapun alasan-alasan yang membolehkan perceraian dalam Islam dari sisi istri adalah sebagaimana berikut ini.

5 Alasan Istri Halal Minta Cerai

1. Tidak Mendapat Nafkah dari Suami

Alasan istri boleh minta perceraian dalam Islam yang pertama adalah karena suami tidak menafkahi istri dan ia tidak merelakannya. Namun, jika istri mengerti kondisi suami yang memang tidak bisa menafkahi dan rela berkorban kepadanya, maka tidak perlu bercerai.

2. Tidak Mampu Menahan Syahwat

Alasan istri boleh minta perceraian dalam Islam yang kedua adalah karena ia tidak kuat menahan syahwat, sedangkan suaminya tidak bisa memenuhi hasrat tersebut. Sehingga, daripada memilih berzina, lebih baik bercerai.

Namun, apabila istri rela tidak mendapat kebutuhan biologis itu, maka terhapuslah alasan baginya untuk minta cerai.

Istri boleh minta cerai suami apabila ia tidak dapat memenuhi kewajiban-kewajiban suami karena benci atau lain-lain. Daripada selalu bertengkar, lebih baik bercerai sebab berpotensi menambah keburukan.

4. Suami Berakhlak Buruk

Keempat, alasan istri halal meminta perceraian dalam Islam yakni ketika suami mempunyai kepribadian dan akhlak yang buruk, yang tidak sesuai dengan ajaran agama.

Misalnya ketika istri merupakan seorang yang salihah, sedangkan suaminya sering meninggalkan salat, tidak berpuasa, sering berbohong, durhaka kepada orang tua, mabuk, berjudi, dan melakukan perbuatan tercela lainnya, maka istri boleh meminta cerai kepada suami.

Sebab, pada dasarnya, wanita salihah adalah untuk suami yang salihah juga. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT dalam surah An-Nur ayat 26 yang berbunyi,

اَلْخَبِيْثٰتُ لِلْخَبِيْثِيْنَ وَالْخَبِيْثُوْنَ لِلْخَبِيْثٰتِۚ وَالطَّيِّبٰتُ لِلطَّيِّبِيْنَ وَالطَّيِّبُوْنَ لِلطَّيِّبٰتِۚ اُولٰۤىِٕكَ مُبَرَّءُوْنَ مِمَّا يَقُوْلُوْنَۗ لَهُمْ مَّغْفِرَةٌ وَّرِزْقٌ كَرِيْمٌ ࣖ ٢٦

Artinya: “Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji dan laki-laki yang keji untuk perempuan-perempuan yang keji (pula), sedangkan perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik (pula). Mereka (yang baik) itu bersih dari apa yang dituduhkan orang. Bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia.”

5. Suami Berlaku Kasar

Alasan istri halal minta perceraian dalam Islam yang terakhir adalah karena suami berlaku buruk, kasar, dan keras terhadap istri.

Contohnya adalah suami selalu memukul, memaki, main tangan, tidak mau memuaskan istri dalam berhubungan badan, menyuruh kerja berat, dan lain sebagainya.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

Ketentuan Masa Iddah Wanita yang Digugat Cerai dan Larangannya


Jakarta

Masa iddah merupakan suatu waktu tunggu bagi wanita muslim setelah digugat cerai atau ditinggal mati oleh suaminya. Ketika masa iddah, wanita tidak diperbolehkan menikah kembali.

Dijelaskan dalam Fiqih Sunnah 3 tulisan Sayyid Sabiq, asal kata iddah ialah al-‘addu dan al-ihsha yang artinya hari-hari dan masa haid yang dihitung oleh kaum wanita. Jadi, iddah dimaknai sebagai masa di mana wanita muslim menunggu.

Mengutip buku Fikih Empat Madzhab Jilid 5 oleh Syaikh Abdurrahman Al-Juzairi, praktik iddah sudah ada sejak zaman jahiliyah. Kala itu, masyarakat menaati aturan tersebut. Agama Islam mengakui bahwa penetapan iddah dalam syariat dinilai memiliki banyak maslahat bagi umat.


Dalil terkait masa iddah tercantum dalam surah Al Baqarah ayat 228,

وَالْمُطَلَّقٰتُ يَتَرَبَّصْنَ بِاَنْفُسِهِنَّ ثَلٰثَةَ قُرُوْۤءٍ

Artinya: “Para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri mereka (menunggu) tiga kali qurū’ (suci atau haid).”

Selain ayat Al-Qur’an, disebutkan pula dalam hadits. Rasulullah SAW bersabda kepada Fatimah binti Qais,

“Jalanilah masa iddahmu di rumah Ummu Maktum.” (HR Muslim, Abu Dawud, An-Nasa’i & Tirmidzi)

Lantas, bagaimana ketentuan masa iddah bagi wanita yang digugat cerai?

Masa Iddah Wanita yang Digugat Cerai

Abdul Qadir Manshur melalui karyanya yang berjudul Buku Pintar Fikih Wanita membagi masa iddah ke dalam dua jenis, yaitu iddah karena perceraian dan kematian. Perlu dipahami, apabila wanita muslim yang diceraikan belum disetubuhi, maka tidak wajib menjalani masa iddah.

Allah SWT berfirman dalam surah Al Ahzab ayat 49,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا نَكَحْتُمُ ٱلْمُؤْمِنَٰتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِن قَبْلِ أَن تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا ۖ فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu menikahi perempuan-perempuan mukmin, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka tidak ada masa iddah atas mereka yang perlu kamu perhitungkan. Namun berilah mereka mut’ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya.”

Namun, jika wanita yang diceraikan dalam keadaan hamil maka masa iddahnya sampai sang bayi lahir seperti dijelaskan dalam surah At Thalaq ayat 4,

وَٱلَّٰٓـِٔى يَئِسْنَ مِنَ ٱلْمَحِيضِ مِن نِّسَآئِكُمْ إِنِ ٱرْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَٰثَةُ أَشْهُرٍ وَٱلَّٰٓـِٔى لَمْ يَحِضْنَ ۚ وَأُو۟لَٰتُ ٱلْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ ۚ وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجْعَل لَّهُۥ مِنْ أَمْرِهِۦ يُسْرًا

Artinya: “Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (menopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.”

Sementara bila wanita tersebut tidak sedang hamil, maka ada dua kemungkinan yang terjadi. Pertama, ia sedang menstruasi. Dalam keadaan itu, maka masa iddahnya adalah dalam waktu tiga kali menstruasi. Kemudian apabila ia tidak mengalami menstruasi maka masa iddahnya adalah tiga bulan.

Larangan bagi Wanita dalam Masa Iddah

Masih dari buku yang sama, ada sejumlah larangan yang perlu dipahami wanita ketika dalam masa iddahnya, yaitu:

1. Melakukan Ihdad

Ihdad dilakukan oleh wanita yang ditinggal mati oleh suaminya sampai habis masa iddahnya. Kata ihdad sendiri memiliki arti tidak memakai perhiasaan, wangi-wangian, pakaian mencolok, pacar, dan celak mata.

2. Tidak Keluar Rumah Kecuali dalam Keadaan Darurat

Sesuai dengan firman Allah dalam At Thalaq ayat 1, wanita yang sedang dalam masa iddah tidak diperbolehkan keluar rumah yang ditinggali bersama suaminya sebelum bercerai. Kecuali jika ada keperluan mendesak.

3. Tidak Menikah dengan Lelaki Lain

Wanita yang sedang menjalani masa iddah baik karena bercerai, fasakh, atau ditinggal meninggal oleh suaminya tidak boleh menikah selain dengan laki-laki yang meninggalkan atau menceraikannya. Apabila menikah, maka pernikahannya dianggap tidak sah. Adapun laki-laki yang meminang dengan sindiran kepada wanita yang sedang dalam masa iddah juga tidak diperbolehkan (haram).

Itulah ketentuan bagi wanita yang masa iddahnya karena gugat cerai. Semoga bermanfaat.

(aeb/lus)



Sumber : www.detik.com

Masa Iddah bagi Muslimah: Arti, Jenis dan Larangan



Jakarta

Masa iddah berlaku bagi seorang perempuan muslim yang bercerai ataupun ditinggal sang suami meninggal dunia. Selama masa iddah, muslimah ini tidak diperbolehkan menikah kembali.

Dikutip dari buku Fikih Muslimah Praktis: Hukum Masa Iddah Hingga Hukum Wanita Jadi Pejabat karya Hafidz Muftisany, iddah dalam bahasa arab artinya bilangan atau menghitung.

Hafidz mengartikan masa iddah yaitu waktu tertentu yang harus dilewati oleh seorang perempuan setelah terjadinya peristiwa tertentu, seperti perceraian dengan suami atau kematian suami.


Tujuan Masa Iddah

Terdapat beberapa tujuan masa iddah seperti yang terdapat dalam buku Fiqh Keluarga Terlengkap karya Rizem Aizid, yaitu:

– Untuk mengetahui kekosongan rahim seorang istri
– Memberikan kesempatan kepada suami untuk memilih antara rujuk atau tidak
– Merupakan unsur ta’abud dan rasa duka cita

Dalil tentang masa iddah termaktub dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah Ayat 228,

وَٱلْمُطَلَّقَٰتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَٰثَةَ قُرُوٓءٍ ۚ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَن يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ ٱللَّهُ فِىٓ أَرْحَامِهِنَّ إِن كُنَّ يُؤْمِنَّ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ۚ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِى ذَٰلِكَ إِنْ أَرَادُوٓا۟ إِصْلَٰحًا ۚ وَلَهُنَّ مِثْلُ ٱلَّذِى عَلَيْهِنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ ۚ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ ۗ وَٱللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

Artinya: Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Jenis Masa Iddah

Abdul Qadir Manshur dalam bukunya yang berjudul Buku Pintar Fikih Wanita membagi masa iddah ke dalam dua jenis, yaitu:

1. Iddah Karena Perceraian

Bagi perempuan yang diceraikan dan belum disetubuhi maka tidak wajib menjalani masa iddah.

Bagi perempuan yang diceraikan dalam keadaan hamil, maka masa iddahnya yaitu sampai bayinya lahir. Sedangkan jika perempuan yang diceraikan dalam keadaan tidak hamil, maka masa iddahnya adalah tiga kali menstruasi.

2. Iddah Karena Kematian

Bagi perempuan yang ditinggal mati suaminya tidak dalam keadaan hamil, masa iddahnya adalah empat bulan sepuluh hari, baik dia telah melakukan hubungan badan dengan suaminya yang telah meninggal itu maupun belum.

Sedangkan bagi perempuan yang ditinggal mati suaminya dalam keadaan hamil, maka masa iddahnya adalah hingga bayinya lahir.

Larangan dalam Masa Iddah

Masih mengutip dari sumber buku yang sama, Islam menentukan tiga larangan yang tidak boleh dilanggar oleh perempuan ketika menjalani masa iddah.

– Haram Menikah dengan Laki-laki Lain

Perempuan yang sedang dalam masa iddahnya baik karena dicerai, fasakh, maupun ditinggal mati oleh suami tidak boleh menikah selain dengan laki-laki yang telah menceraikannya itu. Jika dia menikah lagi, maka pernikahannya tidak sah, dan jika dia berhubungan badan, maka dia terkena hukuman al-hadd.

Allah SWT berfirman dalam surah Al-Baqarah ayat 235,

وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيْمَا عَرَّضْتُمْ بِهٖ مِنْ خِطْبَةِ النِّسَاۤءِ اَوْ اَكْنَنْتُمْ فِيْٓ اَنْفُسِكُمْ ۗ عَلِمَ اللّٰهُ اَنَّكُمْ سَتَذْكُرُوْنَهُنَّ وَلٰكِنْ لَّا تُوَاعِدُوْهُنَّ سِرًّا اِلَّآ اَنْ تَقُوْلُوْا قَوْلًا مَّعْرُوْفًا ەۗ وَلَا تَعْزِمُوْا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتّٰى يَبْلُغَ الْكِتٰبُ اَجَلَهٗ ۗوَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ يَعْلَمُ مَا فِيْٓ اَنْفُسِكُمْ فَاحْذَرُوْهُ ۚوَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ حَلِيْمٌ ࣖ ٢٣٥

Artinya: “Tidak ada dosa bagimu atas kata sindiran untuk meminang perempuan-perempuan) atau (keinginan menikah) yang kamu sembunyikan dalam hati. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka. Akan tetapi, janganlah kamu berjanji secara diam-diam untuk (menikahi) mereka, kecuali sekadar mengucapkan kata-kata yang patut (sindiran). Jangan pulalah kamu menetapkan akad nikah sebelum berakhirnya masa iddah. Ketahuilah bahwa Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu. Maka, takutlah kepada-Nya. Ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.”

– Haram Keluar Rumah Kecuali Karena Alasan Darurat

Seorang perempuan yang sedang dalam masa iddah tidak diperbolehkan untuk keluar dari rumah yang ditinggali bersuaminya sebelum bercerai kecuali jika ada keperluan mendesak.

Allah SWT berfirman dalam surah At-Thalaq ayat 1,

يٰٓاَيُّهَا النَّبِيُّ اِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاۤءَ فَطَلِّقُوْهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَاَحْصُوا الْعِدَّةَۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ رَبَّكُمْۚ لَا تُخْرِجُوْهُنَّ مِنْۢ بُيُوْتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ اِلَّآ اَنْ يَّأْتِيْنَ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍۗ وَتِلْكَ حُدُوْدُ اللّٰهِ ۗوَمَنْ يَّتَعَدَّ حُدُوْدَ اللّٰهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهٗ ۗ لَا تَدْرِيْ لَعَلَّ اللّٰهَ يُحْدِثُ بَعْدَ ذٰلِكَ اَمْرًا ١

Artinya: “Wahai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu, hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) idahnya (yang wajar), dan hitunglah waktu iddah itu, serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumahnya dan janganlah (diizinkan) keluar kecuali jika mereka mengerjakan perbuatan keji yang jelas. Itulah hukum-hukum Allah. Siapa melanggar hukum-hukum Allah, maka sungguh, dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui boleh jadi setelah itu Allah mengadakan suatu ketentuan yang baru.”

– Wajib Melakukan Ihdad

Perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya wajib melakukan ihdad (menahan diri) sampai habis masa ‘iddahnya.

Ihdad berarti tidak memakai perhiasan, wewangian, pakaian bermotif, pacar, dan celak mata, seperti sabda Rasulullah SAW, “Seorang perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya tidak boleh memakai pakaian bermotif, tidak memakai perhiasan, tidak memacari kuku, dan tidak bercelak mata.” (HR Abu Dawud)

(dvs/dvs)



Sumber : www.detik.com