Tag Archives: climate change

Usai Banjir Denpasar, Bandara Bali Utara Perlu Pertimbangkan Aliran Air Hujan



Jakarta

Rencana pembangunan Bandara Bali Utara perlu mempertimbangkan aspek hidrologi secara serius. Banjir yang kembali melanda Denpasar menjadi pengingat bahwa infrastruktur besar tanpa perencanaan tata air yang matang dapat berisiko tinggi, apalagi di wilayah dengan kontur tanah kompleks dan curah hujan tinggi.

Rencana pembangunan Bandara Bali Utara kembali menjadi perbincangan usai desain bandara diluncurkan ke publik. Namun, hingga saat ini belum pasti titik yang menjadi lokasi bandara ini.

Rencana pembangunan bandara di Bali utara itu diatur dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2025 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2025-2029. Selain itu, dalam PP tersebut disebutkan beberapa rencana pembangunan di wilayah Bali, di antaranya, pembangunan Tol Gilimanuk-Mengwi, perencanaan pembangunan Tol Singapadu-Ubud-Bangli-Kintamani menuju Bandara Internasional Bali Baru/Bali Utara hingga pengembangan Pelabuhan Gunaksa.


Deretan rencana pembangunan itu menjadi sorotan setelah Bali dilanda banjir parah akibat hujan deras dalam tempo dua hari. Perencanaan wilayah dengan matang menjadi catatan penting dari pengamat soal pembangunan Bandara Bali Utara itu.

Prof Dwita Sutjiningsih, pakar hidrologi sekaligus guru besar Universitas Indonesia (UI), mengatakan perlu kehati-hatian dalam pembangunan Bali, terutama perubahan iklim yang drastis menjadi tantangan tersendiri.

“Ini memang harus cermat ya, apalagi climate change ini memang serius terjadi. Nah, rencana pembangunan-pembangunannya itu memang Bali digenjot terus ya, artinya pembangunan itu benar-benar mengubah itu land cover terutama, ya,” kata Dwita dalam perbincangan dengan detiktravel, Rabu (8/10/2025).

“Jadi, dari land use itu kan pasti tutupan lahannya berubah dan pasti berhubungan langsung dengan bagaimana hujan itu berubah menjadi aliran. Kalau banyak lahan yang diubah menjadi permukaan lahan kedap air sehingga hujan yang jatuh itu ya semuanya langsung menjadi aliran gitu,” dia menambahkan.

“Walaupun memang banyak teori bagaimana kita mengubah bentang lahan seperti Green Infrastructure atau Nature Based Solution dan lainnya tetap ada perubahan permukaan,” kata dia lagi.

Dwita mengatakan pembangunan masif di Bali itu seharusnya memperhatikan detail dengan cermat, tak hanya detail dalam desain. Dwita mengingatkan bahwa dalam perencanaan sudah semestinya menakar imbas dari perubahan drastis yang diakibatkan oleh pembangunan.

“Artinya harus pada waktu benar-benar dilihat lokasinya, terus pengaruhnya bagaimana. Kalau tidak dipelajari detailnya, akibatnya itu berjangka panjang dan untuk memperbaikinya tidak mudah dan murah. Kita jangan hanya mengejar pertumbuhan GDP saja, tapi harus juga dihitung yang namanya biaya lingkungan,” kata dia.

“Pasti kan bandara itu mengubah bentang lahan, apalagi maunya juga internasional kan. Skala ruangnya pasti akan dikonversi besar kan. Supaya perubahan terhadap karakteristik hujan menjadi aliran itu tidak terlalu drastis, perlu diperhatikan gitu low impact development. Perlu dikaji dengan hati-hati,” dia menjelaskan.

Tak hanya kajian secara ilmiah dan keberlanjutan saja, Dwita mengingatkan kembali penegakan hukum dalam mengiringi pembangunan. Pemerintah harus tegas menegakkan aturan dan perizinan yang jelas.

“Aturan sudah ada tapi kemudian implementasinya tidak sesuai. Jadi artinya misalnya sudah ada rancangan tata ruang, tapi akhirnya di lapangan beda dan tidak tindakan lanjutan. Nah, kebanyakan kita lemahnya di sana,” kata dia.

Turis Nakal

Selanjutnya Prof Dwita menyoroti banyaknya turis nakal yang datang dan berulah di Bali. Dengan nanti adanya bandara baru, kunjungan turis akan meningkat dan para investor juga akan ramai melirik pembangunan di Bali. Potensi turis nakal juga bertambah.

Dia berharap pemerintah dan masyarakat Bali tegas dalam menyikapi dan mengawasi pergerakan turis dan investor di Bali.

(sym/fem)



Sumber : travel.detik.com

Forum Iklim 2025 Ditutup, Tekankan Aksi Iklim Tak Bisa Ditunda


Jakarta

Rangkaian Indonesia Climate Change Forum 2025 (ICCF 2025) resmi berakhir pada Kamis (23/10). Forum tersebut dihadiri sejumlah pejabat pemerintah, pelaku usaha energi terbarukan, hingga pegiat iklim.

Dalam pidato penutupan, Wakil Ketua MPR sekaligus inisiator ICCF Eddy Soeparno menyebut forum ini menjadi ruang dialog berbagai pihak dalam merespons dampak perubahan iklim.

“Forum ini menjadi Call to Action bahwa krisis iklim sudah terjadi di depan mata kita, bukan lagi di masa depan tapi terjadi hari ini di sekitar kita. Karena itu tidak ada waktu lagi, aksi iklim harus dimulai saat ini, Climate Action Starts Now!” kata Eddy dalam keterangannya, Rabu (23/10/2025).


Ia mengatakan, bagi MPR RI forum ini merupakan implementasi amanat UUD 1945 Pasal 28H ayat 1 tentang hak atas lingkungan hidup yang sehat.

“Kami di MPR RI yakin dan percaya, pesan Prof. Emil Salim ‘Satu Bumi untuk semua generasi’ harus menjadi kompas moral sekaligus panduan bagi pegiat iklim, pengambil kebijakan hingga entitas bisnis dalam upaya menghadapi dampak perubahan iklim,” lanjutnya.

Salah satu rekomendasi forum ini adalah mendorong Indonesia mengambil peran lebih aktif dalam COP 30. Eddy juga mendorong Indonesia mengambil posisi kepemimpinan global terkait aksi iklim.

“Sejalan dengan itu melalui forum ICCF ini sejalan dengan upaya kami di MPR untuk mendorong Indonesia dan Presiden Prabowo untuk menjadi Climate Leader dengan mengambil inisiatif kepemimpinan global dalam aksi iklim,” ujarnya.

Ia juga menyoroti pembahasan pengelolaan sampah melalui pendekatan teknologi termasuk waste to energy sesuai Perpres No. 109 Tahun 2025.

“Kami di MPR terus berkolaborasi dengan walikota dan kepala daerah serta Kementerian terkait untuk memastikan pendekatan waste to energy ini bisa secara signifikan mengurangi masalah sampah dan di saat yang sama menjadi sumber energi terbarukan,” tuturnya.

Eddy menutup forum dengan menekankan pentingnya kolaborasi multipihak dalam aksi iklim.

“Forum ini mengingatkan kita bahwa masa depan hanya bisa dijaga bila semua pihak berjalan bersama. ICCF sekali lagi Adalah call to action bahwa bahwa aksi iklim tidak menunggu besok tapi harus dimulai hari ini.”

“Pesan Prof, Emil satu Bumi untuk semua generasi harus menjadi kompas moral bagi pembuat kebijakan, pelaku usaha, dan masyarakat sipil,” kata Eddy.

(fdl/fdl)



Sumber : finance.detik.com