Tag Archives: control

Penting! Ini Dua Jenis Garansi Yamaha Nmax Turbo



Jakarta

Yamaha Nmax Turbo sudah menggunakan teknologi transmisi canggih bernama YECVT atau Yamaha Electric Continuously Variable Transmision. Untuk menjamin rasa aman konsumen terhadap teknologi baru tersebut, Yamaha memberikan dua jenis garansi. Apa saja?

Sebelumnya perlu diketahui, YECVT adalah sebuah teknologi mutakhir yang dikembangkan oleh Yamaha Indonesia Motor Mfg. Tak seperti pendahulunya yang menggunakan CVT konvesional dengan roller, Nmax Turbo menggunakan jenis CVT Primary Sheave Assy tanpa roler yang telah tersambung pada komponen elektris di motor.

Dari segi perawatan, YECVT pada Nmax Turbo diklaim juga jauh lebih unggul. Tidak seperti CVT konvensional yang harus diperiksa dan dirawat secara rutin pada saat servis berkala, YECVT bersifat free maintenance karena tidak menggunakan komponen roller, sehingga dapat meningkatkan efisiensi, baik dari segi waktu maupun biaya pada saat perawatan.


Jika perubahan rasio pada CVT konvensional harus disesuaikan dengan besaran rpm, maka hal itu tidak berlaku bagi YECVT pada Nmax Turbo. Melalui teknologi YECVT para bikers dapat mengubah rasio CVT-nya di berbagai rpm secara otonom sesuai kebutuhan mereka melalui fitur Y-Shift. Dengan begitu, pengendara bisa menyesuaikan rasio putaran mesin sesuai dengan pilihan Y-Shift yang dikehendaki untuk mendapatkan performa akselerasi maupun deselerasi secara cepat.

Terkait masa garansi, Yamaha secara khusus memberikan 2 jenis garansi yang menguntungkan kepada seluruh konsumen Nmax Turbo. Garansi pertama, dua Tahun Garansi Kelistrikan Khusus, meliputi Motor Assy, Sensor Primary, Speed Sensor (Secondary), dan Transmission Control Unit Assy.

Sementara garansi yang kedua adalah, tiga Tahun Garansi Mesin, yang meliputi komponen Camp Comp, Fixed Screw Assy, Sliding Screw Assy, dan juga Primary Sheave Assy.

(lua/riar)



Sumber : oto.detik.com

Pakar Sorot Dominasi Buzzer di Medsos, Sedangkan Akademisi Absen


Jakarta

Media sosial menjadi medan tempur narasi yang didominasi buzzer dan bot. Hal ini disampaikan oleh pakar analisis media sosial pendiri Drone Emprit, Ismail Fahmi.

Di sisi lain, ia juga menyorot absennya peran akademisi dalam membentuk narasi di ruang publik digital di negeri ini. Melalui penjelasannya yang bertajuk “Siapa Pemilik Narasi? Data, Disinformasi, dan Hilangnya Suara Akademisi” dalam “The 2025 International Conference on Computer, Control, Informatics, and Its Application (IC3INA) pada Rabu (15/10/2025), ia mengutarakan suara akademisi yang berbasis data dan kebenaran malah hilang dan tertinggal di belakang jurnal-jurnal ilmiah.

Perbandingan Aktivitas Kampus Terkemuka di AS dan Indonesia

Ismail Fahmi dalam acara ini memaparkan hasil analisis jaringan sosial (Social Network Analysis). Analisis ini membandingkan aktivitas digital universitas-universitas terkemuka di Amerika Serikat (AS) seperti Stanford University, Harvard University, dan Massachusetts Institute of Technology (MIT) dengan tiga universitas terkemuka di Indonesia seperti Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), dan Universitas Gadjah Mada (UGM).


Ia menemukan ada perbedaan aktivitas digital universitas-universitas di kedua negara. Di universitas-universitas di AS, jejaring akun institusi dan akademisi sangat aktif. Pembahasan yang dibangun bersifat global dan mencakup isu-isu kritis seperti COVID-19, politik internasional, serta penemuan sains. Para akademisi AS, seperti tampak pada saat pandemi, menjadi influencer pengetahuan yang aktif berdebat dan mengedukasi publik di media sosial.

Sementara, ia menemukan Universitas Indonesia memiliki keterlibatan di media sosial yang sangat minim dan cenderung bersifat institusional atau lokal. Berdasarkan analisis Drone Emprit, jejaring diskusi seputar UI justru sangat dekat dengan isu politik.

“Universitas kita tidak memiliki naratifnya sendiri di media sosial. Kita hanya ditarik oleh buzzer dan isu politik ke dalam naratif mereka,” jelasnya, dikutip dari BRIN pada Senin (20/10/2025).

Namun, Ismail Fahmi juga mengakui ada kendala yang membuat akademisi di Indonesia enggan bersuara, termasuk ketakutan akan kekerasan politik; tekanan institusional; sampai risiko hukum dan reputasi.

Saran Strategi Komunikasi untuk Akademisi

Maka dari itu, ia menawarkan strategi komunikasi yang aman serta konstruktif yang dapat dilakukan para akademisi. Ia menegaskan agar para akademisi Tanah Air fokus pada data, bukan politik; mengadopsi jurnalisme konstruktif; serta memanfaatkan kecerdasan buatan.

“Jika kita akademisi dan peneliti tetap menjadi penonton, maka siapa yang akan menjadi pemandu intelektual publik berbasis data? Data harus berada di ruang publik, bukan hanya di jurnal dan kelas”, ucapnya.

Ia berharap forum akademik dapat menjadi kekuatan intelektual publik dengan memastikan hasil penelitian mempunyai tujuan gand,a yakni literasi sains dan informasi real-time untuk masyarakat.

(nah/twu)



Sumber : www.detik.com