Tag Archives: ekologi

Mengapa Macan Tutul Bisa Berkeliaran di Hotel Bandung? Pakar IPB Bilang Begini



Jakarta

Macan tutul yang diduga lepas dari Lembang Park Zoo ditemukan di kawasan hotel di Bandung, Jawa Barat. Mengapa satwa liar itu malah berada di permukiman?

Diketahui, seekor macan tutul dari Lembang Zoo ditemukan di kawasan Hotel Anugerah, Kota Bandung. Pada Senin (6/10), tim gabungan yang terdiri dari Dinas Pemadam Kebakaran dan Penyelamatan (Diskarmat) Kota Bandung bersama jajaran kepolisian, Balai KonservasiSDA (BKSDA), Lembang Park Zoo, dan manajemen hotel berhasil mengevakuasi macan tutul tersebut.


Kepala Diskarmat Kota Bandung Soni Bakhtyar mengaku menerima laporan keberadaan macan tutul sekitar pukul 06.50 WIB. Pihaknya segera mengerahkan 10 personel Diskarmat ke lokasi.

“Petugas tiba di lokasi pukul 07.50 WIB, dan proses penanganan berlangsung hingga pukul 10.25 WIB. Saat ini macan tutul sudah dibawa ke Lembang Park Zoo untuk diobservasi,” katanya dalam laman Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat, Rabu (8/10/2025).

Menurut Soni, kebun binatang akan memastikan status macan tutul tersebut merupakan satwa yang lepas dari Lembang Park Zoo atau berasal dari habitat lain.

“Jika ternyata bukan milik Lembang Park Zoo, maka akan dibawa olehBKSDA keSukabumi untuk dilepaskan kembali ke habitat aslinya,”ucapnya.

Mengapa Macan Tutul Bisa Berkeliaran di Kawasan Hotel?

Pakar ekologi satwa liar IPB University yang juga dosen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Dr Abdul Haris Mustari, menjelaskan ada lima indikator utama kesejahteraan satwa dalam penangkaran, yaitu bebas dari rasa lapar dan haus, bebas dari ketidaknyamanan lingkungan fisik, bebas dari rasa sakit dan penyakit, bebas dari rasa takut dan tekanan, serta bebas mengekspresikan perilaku alaminya.

“Meskipun satwa diberi makan setiap hari, kebutuhan mereka untuk mengekspresikan perilaku alami seperti berburu dan berinteraksi sosial tidak bisa digantikan,” ucapnya dalam laman IPB University, dikutip Rabu (8/10/2025).

Kondisi tertekan di dalam kandang sering menjadi alasan satwa berusaha keluar. Dr Mustari juga menambahkan, satwa yang sudah lama dikandangkan dan terbiasa diberi makan oleh manusia akan memiliki ketergantungan pada suplai makanan tersebut.

“Karena itu, ketika lepas, mereka cenderung kembali mendekati lingkungan manusia,” ujarnya.

Sebagai solusi jangka panjang, Dr Mustari menekankan peran penting konservasi in-situ, yakni perlindungan satwa di habitat aslinya. Pendekatan ini tidak hanya melindungi satu spesies, tetapi juga seluruh keanekaragaman hayati di dalam ekosistem.

“Dengan konservasi in-situ, sumber air, iklim mikro, dan keseimbangan ekologis dapat terjaga dengan baik,” tutur DrMustari.

Minta Pemerintah & Lembaga Konservasi Jaga Kesejahteraan Satwa

Dr Mustari juga menekankan pesan untuk menjaga kesejahteraan satwa liar dalam upaya konservasi.

“Memelihara satwa liar predator tidaklah mudah, pihak pengelola hendaknya memperhatikan faktor keamanan dan kesejahteraan satwa,” jelasnya.

Ia juga menegaskan agar pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kehutanan (Kemenhut)/BKSDA sebagai otoritas pengelola (management authority), lebih meningkatkan pengawasannya terhadap lembaga konservasi (LK), seperti kebun binatang, taman margasatwa, dan taman safari.

(nir/twu)



Sumber : www.detik.com

Predator Super Paling Ditakuti Melebihi Singa, Siapa Dia?


Jakarta

Singa dijuluki sebagai Si Raja Hutan. Akan tetapi, masih ada satu super predator yang lebih ditakuti oleh banyak spesies melebihinya. Siapa predator tersebut?

Jawabannya adalah kita, manusia. Dalam lebih dari 10.000 rekaman satwa liar di sabana Afrika, 95% spesies yang diamati merespons dengan jauh lebih ngeri terhadap suara manusia.

“Rasa takut terhadap manusia sudah mengakar dan menyebar luas. Ada anggapan bahwa hewan-hewan akan terbiasa dengan manusia jika tidak diburu. Namun, kami telah menunjukkan bahwa kenyataannya tidak demikian,” kata ahli biologi konservasi Michael Clinchy dari Western University, Kanada.


Dalam penelitian yang dipublikasikan tahun lalu, ahli ekologi dari Western University, Liana Zanette dan rekan-rekannya memperdengarkan serangkaian vokalisasi dan suara kepada hewan-hewan di lubang-lubang air di Taman Nasional Kruger Raya Afrika Selatan dan merekam respons mereka.

Kawasan lindung ini merupakan rumah bagi populasi singa (Panthera leo) terbesar yang tersisa di dunia, sehingga mamalia lain sangat menyadari bahaya yang ditimbulkan oleh karnivora ini.

Melansir Science Alert, para peneliti menyiarkan suara percakapan manusia dalam bahasa lokal, termasuk Tsonga, Sotho Utara, Inggris, hingga Bahasa Afrika lainnya. Ada juga suara perburuan manusia, termasuk gonggongan anjing dan tembakan. Mereka juga memutar suara singa yang berkomunikasi satu sama lain.

“Kuncinya adalah vokalisasi singa tersebut berupa geraman dan geraman, seolah-olah sedang ‘berbicara’, bukan saling mengaum. Dengan begitu, vokalisasi singa tersebut dapat dibandingkan secara langsung dengan suara manusia yang sedang berbicara,” ucap Clinchy.

Hasilnya mengejutkan, hampir semua 19 spesies mamalia yang diamati dalam eksperimen dua kali lebih mungkin meninggalkan kubangan air ketika mendengar manusia berbicara dibandingkan dengan singa atau bahkan suara berburu. Mamalia tersebut meliputi badak, gajah, jerapah, macan tutul, hyena, zebra, dan babi hutan, beberapa di antaranya dapat menimbulkan bahaya tersendiri.

“Mendengar vokalisasi manusia secara khususlah yang memicu rasa takut terbesar,” tim menjelaskan dalam makalah mereka.

“(Ini) menunjukkan bahwa satwa liar mengenali manusia sebagai bahaya yang sebenarnya, sedangkan gangguan terkait seperti gonggongan anjing hanyalah proksi yang lebih kecil,” sambungnya.

Zanette mengatakan bahwa meluasnya rasa takut di seluruh komunitas mamalia sabana merupakan bukti nyata dampak lingkungan yang ditimbulkan manusia.

“Bukan hanya melalui hilangnya habitat, perubahan iklim, dan kepunahan spesies, yang semuanya merupakan hal-hal penting. Tetapi kehadiran kita di lanskap tersebut saja sudah cukup menjadi sinyal bahaya sehingga mereka merespons dengan sangat kuat. Mereka sangat takut pada manusia, jauh lebih takut daripada predator lainnya,” tuturnya.

Penelitian ini telah dipublikasikan di Current Biology.

(ask/ask)



Sumber : inet.detik.com