Tag Archives: energi terbarukan

Jangan Jadi Solusi Utama Sampah


Jakarta

Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara Indonesia) akan mengadakan proyek waste to energy atau Pengolahan Sampah Menjadi Energi Listrik (PSEL) pada akhir Oktober 2025.

Sebanyak 33 stasiun PSEL ditargetkan berdiri se-Indonesia, dengan kapasitas 1.000 ton sampah per hari per stasiun. Nilai investasi ditaksir mencapai Rp 2 triliun-Rp 3 triliun. Proyek ini diharapkan menjadi solusi jangka panjang untuk isu lingkungan, kesehatan dan energi, serta bagian dari upaya mencapai target Net Zero Emissions (NZE) Indonesia tahun 2060.


CEO Danantara Indonesia Rosan Roeslani mengatakan Indonesia menghasilkan 35 juta ton sampah per tahun. Angka ini setara dengan 16.500 lapangan bola atau seluruh wilayah Jakarta jika ditutupi sampah setebal 20 cm persegi. Hanya 61 persen yang berhasil dikelola.

Dari 33 kota di Indonesia, salah satu wilayah prioritas stasiun pengolahan sampah menjadi listrik berlokasi di Yogyakarta.

“Yang utama yang ingin kita lakukan pertama adalah di Jakarta sendiri akan ada 4-5 lokasi, kemudian di Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Bali,” kata Rosan dalam Rapat Koordinasi Nasional Pengolah Sampah menjadi Energi (Waste to Energy) di Wisma Danantara, Jakarta, Selasa (1/10/2025).

Merespons rencana pemerintah tersebut, pakar teknik bioproses Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Wiratni, ST MT PhD berpendapat, pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) sebaiknya tidak dijadikan satu-satunya andalan untuk menangani sampah.

Wiratni menjelaskan, akar masalah sampah sesungguhnya terletak pada manusia selaku penghasil sampah. Untuk itu, keberhasilan proyek PSEL ini menurutnya akan sangat bergantung pada kesiapan teknis dan perubahan perilaku warga sebagai penghasil sampah.

Perlu Pemilahan Agar Tak Rugi

Ia menegaskan, proyek PLTSa bisa optimal jika ada pemilahan sampah yang baik. Sampah yang masuk sebaiknya sampah kering agar peralatan tidak cepat rusak dan efisiensi termal juga terjaga.

“Jika sampah masih bercampur antara organik dan anorganik, proses akan merugi dan investasi berisiko sia-sia. PLTSa memang bisa dilengkapi dengan alat pengering, tetapi hal itu meningkatkan biaya operasional sekaligus menimbulkan bau yang mengganggu,” kata Wiratni, dikutip dari laman UGM, Kamis (2/10/2025).

Wiratni menjelaskan, sampah organik juga bisa dipakai sebagai bahan baku energi jika dikeringkan, tapi tidak direkomendasikan karena mudah busuk dan berbau. Pengangkutan skala besar dari sumber sampah ke titik pengolahan jadi tidak efisien karena belum mampu menjamin tidak menimbulkan bau dan potensi penyakit di sepanjang perjalanan.

“Permasalahan sampah organik bukan soal bisa atau tidak menjadi energi, melainkan pada proses pengangkutan dari sumber ke lokasi pengolahan. Agar ekonomis, diperlukan skala besar, tetapi hal itu justru berpotensi menimbulkan masalah serupa dengan TPA Piyungan,” jelasnya.

Berkaca dari Piyungan

Dikutip dari laman DPRD DIY, Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Piyungan sebelumnya menerima sampah dari Sleman, Bantul, dan Yogyakarta. Overload pada 2012, TPST Piyungan baru ditutup pada 2024 lalu.

Kepala Balai Pengelolaan Sampah DIY, Aris Prasena, SSi MSc mengatakan 50 persen sampah di TPST Piyungan merupakan sampah organik. Hal ini mempercepat proses dekomposisi, tanah cepat ambles, dan umur teknis lebih pendek.

“Desain awal TPA hanya untuk residu akhir setelah sampah dipilah dan diolah di tingkat rumah tangga. Tapi dalam praktiknya, seluruh sampah langsung dibuang ke sini, tanpa pemilahan. Akibatnya, umur teknisnya jauh lebih pendek,” ujar Aris, Rabu (14/5/2025) lalu.

Untuk itu, Wiratni merekomendasikan agar sampah organik diselesaikan di level rumah tangga atau komunal yang dekat sumber sampah. Pengelolaannya bisa skala kecil dan realistis, seperti dengan komposting dan maggot.

Insentif & Tipping Fee buat Buang Sampah

Wiratni merekomendasikan adanya mekanisme insentif dan disinsentif agar masyarakat mau memilah dan mengurangi sampah. Di samping itu, perlu ada biaya pembuangan sampah ke fasilitas pengelolaan sampah (tipping fee) yang realistis.

Langkah praktis ini menurutnya penting agar warga punya rasa tanggung jawab lebih besar sejak dari sumber. Di samping itu, biaya pembuangan sampah juga diharapkan membuat orang tidak memperbanyak produksi sampah.

Lebih lanjut, pemerintah menurut Wiratni perlu memetakan sumber-sumber sampah serta ekosistem industri penyerap hasil olahan sampah (off-taker) yang sudah ada. Contohnya dengan memetakan bank sampah dan pelaku usaha daur ulang.

“Dengan pemetaan itu, kapasitas PLTSa bisa difokuskan hanya pada sampah residu yang benar-benar tidak dapat diolah,” ucapnya.

“Perhitungan keekonomian jangan hanya mengandalkan penjualan listrik ke PLN, tetapi harus disertai mekanisme tipping fee sebagai disinsentif. Jangan sampai PLTSa justru membutuhkan lebih banyak sampah, karena arah kita seharusnya menuju zero waste dengan ekosistem ekonomi sirkuler,” pungkasnya.

(twu/nah)



Sumber : www.detik.com

ICCF Perkuat Kolaborasi Hadapi Dampak Krisis Iklim


Jakarta

Rangkaian acara Indonesia Climate Change Forum (ICCF) 2025 yang merupakan kolaborasi MPR RI dan Emil Salim Institute resmi ditutup dengan menghasilkan solusi dan rekomendasi dalam upaya mewujudkan ketahanan pangan, energi hingga krisis iklim.

Wakil Ketua MPR RI, Eddy Soeparno, sebagai kolaborator ICCF bersama Emil Salim Institute menyampaikan bahwa forum ini merupakan penegasan urgensi ketahanan pangan, energi, termasuk wilayah air menghadapi krisis iklim.

“Kita menghasilkan beberapa resolusi yang salah satunya di antaranya adalah bagaimana kita, satu, mempercepat transisi energi dari energi fosil ke energi terbarukan. Kedua, kita juga akan membahas lebih lanjut lagi dan memberikan rekomendasi terkait masalah pemanfaatan energi terbarukan yang lebih masif dalam proses transisi energi tersebut, termasuk juga kebijakan-kebijakan yang pro energi terbarukan,” tegas Eddy, di Hotel Sultan, Jakarta, dalam keterangannya, Kamis (23/10/2025).

Misalnya, kata dia, dari aspek pelaksanaan percepatan pemanfaatan lahan untuk pemanfaatan energi terbarukan. Termasuk masalah sampah, Wali Kota Bogor Didie A. Rachim dan Pandawara Group yang turut menjadi narasumber juga telah memaparkan solusinya.

Eddy juga mensyukuri bahwa Indonesia kini telah memiliki Peraturan Presiden (Perpres) 109 Tahun 2025 tentang Penanganan Sampah Perkotaan Melalui Pengolahan Sampah Menjadi Energi Terbarukan Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan.

“Alhamdulillah sekarang sudah ada Perpres 109 tahun 2025 yang memberikan solusi terhadap sampah itu melalui pembangunan insinerator yang nanti akan membakar habis sampah tersebut, dan memudahkan proses penanganan sampah yang saat ini memang sudah menumpuk di mana-mana dan tidak bisa tertampung di Tempat Pembuangan Akhir (TPA),” tuturnya.

Ia menuturkan, dalam forum ini juga turut membahas mengenai ekonomi karbon, Indonesia saat ini juga tengah melaksanakan proses transisi energi yang masif. Termasuk melaksanakan reforestasi dam pengembangan sektor teknologi lain seperti carbon capture.

“Agar kita kemudian menurunkan emisi, dengan menurunkan emisi itu, emisi gas rumah kaca, kita juga akan memperoleh manfaat. Manfaatnya adalah dengan adanya karbon ekonomi yang akan hidup. Ini kemudian akan menjadi salah satu pilar pendapatan negara ke depannya,” sambung dia.

Apalagi dengan adanya Perpres Nomor 110 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Instrumen Nilai Ekonomi Karbon dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca Nasional, Eddy yakin dengan aturan tersebut akan mempermudah terealisasinya solusi yang disampaikan dari forum ini, khususnya menjelang Conference of the Parties (COP) ke-30.

“Kita membahas banyak hal mengenai dampak daripada perubahan iklim, apa yang perlu kita lakukan dan kira-kira langkah selanjutnya apa yang secara real bisa dilaksanakan. Ini merupakan momentum yang tepat karena kita bicara iklim ini dan bicara masalah forum yang sedang diselenggarakan ini pada saat kita menjelang pelaksanaan COP ke-30,” sambungnya.

Eddy juga mengaku bangga pemerintah tengah menginisiasi sejumlah legislasi strategis di bidang energi dan lingkungan. Di antaranya, penyelesaian Undang-Undang Energi Terbarukan dan Undang-Undang Ketenagalistrikan yang menjadi fondasi transisi energi nasional.

Selain itu, Undang-Undang Pengelolaan Perubahan Iklim telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2026, yang diharapkan menjadi payung hukum utama dalam upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Ketentuan yang saat ini diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 110 Tahun 2025 juga akan menjadi bagian penting dalam pembahasan RUU tersebut.

“Semoga ICCF menjadi ruang untuk memperkuat ruang kolaborasi multipihak untuk menghadapi dampak krisis iklim,” tutup Eddy.

Lihat juga Video ‘Kadar CO2 di Atmosfer Pecah Rekor, Siap-siap Bumi Makin Panas’:

(prf/ega)



Sumber : news.detik.com

Terobosan Baru! Baterai Sodium, Lebih Murah dari Litium-Siap untuk Masa Depan


Jakarta

Baterai solid-state memiliki cara yang lebih aman dan bertenaga untuk menjalankan kendaraan listrik, perangkat elektronik daya, dan menyimpan energi terbarukan dari jaringan listrik.

Sayangnya, bahan utamanya, litium, mahal dan langka. Terlebih penambangannya seringkali menyebabkan kerusakan lingkungan yang serius.

Sodium menawarkan alternatif yang jauh lebih murah dan lebih melimpah, serta jauh lebih aman untuk diekstraksi. Namun, baterai solid-state berbasis sodium telah lama sulit untuk menyamai kinerja litium pada suhu normal.


“Ini bukan masalah sodium versus litium. Kita membutuhkan keduanya. Ketika kita memikirkan solusi penyimpanan energi masa depan, kita harus membayangkan gigafactory yang sama dapat memproduksi produk berbasis kimia litium dan sodium,” kata Profesor Liew Family di bidang Teknik Molekuler di UChicago Pritzker School of Molecular Engineering (UChicago PME), Y Shirley Meng.

“Penelitian baru ini membawa kita lebih dekat ke tujuan akhir tersebut sekaligus memajukan ilmu pengetahuan dasar di sepanjang prosesnya,” imbuhnya.

Terobosan Peneliti Singapura

Sebuah studi baru dari tim Meng, telah mengambil langkah besar untuk memecahkan masalah tersebut. Para peneliti mengembangkan baterai solid-state berbasis sodium yang berkinerja andal di suhu ruangan hingga di bawah titik beku. Sehingga, tercipta tolok ukur baru untuk bidang ini.

Menurut penulis pertama Sam Oh dari A*STAR Institute of Materials Research and Engineering di Singapura, yang melakukan penelitian ini saat mengunjungi Laboratorium Penyimpanan dan Konversi Energi milik Meng, hasil penelitian ini membawa teknologi sodium jauh lebih dekat untuk bersaing dengan litium dalam hal kinerja elektrokimia.

Pencapaian ini juga merupakan kemajuan mendasar dalam ilmu material. Penelitian tersebut diterbitkan dalam jurnal Joule Volume 9, Issue 10, 102130, October 15, 2025, dengan judul “Metastable sodium closo-hydridoborates for all-solid-state batteries with thick cathodes”.

“Terobosan yang kami dapatkan adalah kami berhasil menstabilkan struktur metastabil yang belum pernah dilaporkan,” kata Oh.

“Struktur metastabil natrium hidridoborat ini memiliki konduktivitas ionik yang sangat tinggi, setidaknya satu orde magnitudo lebih tinggi daripada yang dilaporkan dalam literatur, dan tiga hingga empat orde magnitudo lebih tinggi daripada prekursornya sendiri,” jelasnya.

Bagaimana Ahli Membuatnya?

Untuk menciptakan struktur ini, para peneliti memanaskan sodium hydridoborate dalam bentuk metastabil hingga mulai mengkristal, lalu mendinginkannya dengan cepat untuk mengunci strukturnya.

“Metode ini sudah dikenal luas di bidang ilmu material lainnya tetapi sebelumnya belum pernah digunakan untuk elektrolit padat,” kata Oh.

Familiaritas praktik tersebut dapat mempermudah transisi penemuan ini dari penelitian laboratorium ke produksi industri.

“Karena teknik ini sudah mapan, kami akan lebih mampu meningkatkan skalanya di masa mendatang,” kata Oh, dikutip dari Science Daily.

“Jika Anda mengusulkan sesuatu yang baru atau jika ada kebutuhan untuk mengubah atau menetapkan proses, maka industri akan lebih enggan menerimanya,” kata dia.

Memasangkan fase metastabil tersebut dengan katoda tipe O3 yang telah dilapisi elektrolit padat berbasis klorida dapat menciptakan katoda tebal dengan muatan area tinggi yang menjadikan desain baru ini lebih unggul daripada baterai sodium sebelumnya. Berbeda dengan strategi desain dengan katoda tipis, katoda tebal ini akan mengemas lebih sedikit material non-aktif dan lebih banyak “isi” katoda.

“Semakin tebal katodanya, kepadatan energi teoretis baterai-jumlah energi yang tersimpan dalam area tertentu-meningkat,” kata Oh.

Penelitian saat ini memajukan natrium sebagai alternatif yang layak untuk baterai, sebuah langkah penting untuk mengatasi kelangkaan dan kerusakan lingkungan akibat litium.

“Perjalanannya masih panjang, tetapi apa yang telah kami lakukan dengan penelitian ini akan membantu membuka peluang ini,” kata Oh.

(nah/nwk)



Sumber : www.detik.com