Tag Archives: ensiklopedia fikih indonesia

Islam Larang Semir Rambut Warna Hitam, Begini Jika Telanjur


Jakarta

Menyemir rambut diperbolehkan dalam Islam asal tidak berwarna hitam. Sebab, Rasulullah SAW melarang warna tersebut.

Larangan menyemir rambut dengan warna hitam berlaku bagi laki-laki dan perempuan, baik untuk rambut jenggot maupun kepala. Dalam sebuah hadits yang terdapat dalam kitab Riyadhus Shalihin karya Imam an-Nawawi dikatakan,

عَنْ جَابِرٍ قَالَ : أُتِيَ بِأَبِي قُحَافَةَ وَالِدِ أَبِي بَكْرِ الصِّدِّيقِ مَا ، يَومَ فَتْحِ مَكَّةَ وَرَأْسُهُ وَلِحْيَتُهُ كَالثَّغَامَةِ بَيَاضًا . فَقَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ ﷺ : غَيِّرُوا هَذَا وَاجْتَنِبُوا السَّوَادَ . رواه مسلم


Artinya: “Dari Jabir RA, dia berkata: Pada hari penaklukkan Kota Makkah Abu Quhafah dibawa ke hadapan Rasulullah SAW dengan rambut dan jenggotnya yang memutih seperti pohon tsaghamah (pohon yang daun dan buahnya putih). Maka Rasulullah SAW bersabda, “Rubahlah (warna celupan ini) dan jauhilah warna hitam.” (HR Muslim)

Dalam riwayat lain dikatakan,

اذْهَبُوا بِهِ إِلَى بَعْضٍ نِسَائِهِ فَلْتُغَيِّرْهُ وَجَنِّبُوهُ السَّوَادَ

Artinya: “Ajaklah dia kepada istri-istrinya agar mereka mengubah warna rambutnya tetapi jauhilah warna hitam.” (HR Muslim)

Menurut penjelasan dalam Ensiklopedia Fikih Indonesia susunan Ahmad Sarwat, ulama Hanabilah, Malikiyah, dan Hanafiyah mengatakan mengecat rambut dengan warna hitam dimakruhkan kecuali bagi orang yang akan berperang karena ada ijma mengenai kebolehannya. Sementara ulama dari mazhab asy-Syafi’iyah menyatakannya haram kecuali bagi yang akan berperang.

Pendapat tersebut bersandar pada sabda Rasulullah SAW, “Akan ada pada akhir zaman orang-orang yang akan mengecat rambut merek dengan warna hitam, mereka tidak akan mencium bau surga.” (HR Abu Daud, An-Nasa’i, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim)

Warna yang Dianjurkan untuk Menyemir Rambut

Menyemir rambut, termasuk untuk menutupi uban, boleh pakai warna selain hitam. Dianjurkan dengan warna kuning atau merah, sebagaimana penjelasan Imam an-Nawawi dalam Syarah Riyadhus Shalihin.

“Dianjurkan menyemir uban dengan pacar dan selainnya, baik uban pada jenggot atau selainnya,” jelas Imam an-Nawawi seperti diterjemahkan Misbah.

Adapun, bahan yang baik untuk menyemir rambut yang beruban adalah inai dan katam, sebagaimana diriwayatkan Abu Dzar RA, dari Rasulullah SAW,

إِنَّ أَحْسَنَ مَا غَيَّرْتُمْ بِهِ الشَّيْبُ الْحِنَّاءُ وَالْكَتَمُ.

Artinya: “Sungguh, sesuatu yang paling baik untuk mengubah warna uban adalah inai dan katam.” (HR Tirmidzi, Nasa`i, dan Ibnu Majah)

Bagaimana Jika Telanjur Menyemir Hitam?

Menurut Pengasuh Lembaga Pengembangan Da’wah dan Pondok Pesantren Al-Bahjah, Buya Yahya, apabila sudah telanjur menyemir rambut dengan warna hitam, cukup biarkan sampai warna rambut kembali seperti semula, dan bertobat tidak mengulanginya.

“Kalau sudah terlanjur ya biarkan saja sampai rambut kan berganti nanti. Taubat itu sudah selesai ‘insyaallah saya tidak akan melakukan lagi’. Selesai, bertobat, dan berakhir, akan berganti dengan rambut yang asli,” kata Buya Yahya saat menjawab pertanyaan yang diunggah di YouTube Al-Bahjah TV. detikcom telah mendapat izin untuk mengutip tayangan dalam channel tersebut.

(kri/lus)



Sumber : www.detik.com

Orang yang Berhak Menerima Zakat Fitrah, Siapakah Ibnu Sabil?



Jakarta

Secara bahasa, istilah ibnu sabil terdiri dari dua kata yakni ibnu yang berarti anak laki-laki dan sabil yang berarti jalan. Hal ini berarti ibnu sabil adalah seseorang yang menempuh perjalanan jauh. Adapun secara istilah, umumnya para ulama mendefinisikan ibnu sabil sebagai:

المـنْقَطِعُ عَنْ مَالِهِ سَوَاءٌ كَانَ خَارِجَ وَطَنِهِ أَوْ بِوَطَنِهِ أَوْ مَارًّا بِهِ

Artinya: Orang yang terputus dari hartanya, baik di luar negerinya, atau di dalam negerinya atau melewatinya.


Ibnu sabil termasuk salah satu dari daftar delapan mustahik zakat. Hal ini telah disebutkan dalam Al-Qur’an surat At Taubah ayat 60,

اِنَّمَا الصَّدَقٰتُ لِلْفُقَرَاۤءِ وَالْمَسٰكِيْنِ وَالْعٰمِلِيْنَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوْبُهُمْ وَفِى الرِّقَابِ وَالْغٰرِمِيْنَ وَفِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَابْنِ السَّبِيْلِۗ فَرِيْضَةً مِّنَ اللّٰهِ ۗوَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ

Artinya: Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, para amil zakat, orang-orang yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) para hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk orang-orang yang sedang dalam perjalanan (yang memerlukan pertolongan), sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Siapakah Ibnu Sabil?

Ibnu Sabil merupakan kiasan bagi seorang musafir. Dikatakan bahwa Ibnu Zaid berkata: “Ibnu sabil adalah musafir, apakah ia kaya atau miskin, apabila mendapat musibah dalam bekalnya atau hartanya sama sekali tidak ada, maka ia berhak mendapat bagian dari zakat.

Para ulama sepakat apabila ada seseorang yang hartanya pas-pasan dan tidak mencukupi untuk kebutuhan mendasar dirinya sendiri, lalu kehabisan bekal dalam perjalanannya baik karena kekurangan, kehilangan, atau bahkan dirampas, maka dia termasuk orang yang berhak menerima zakat.”

Adapun Imam At Thobari meriwayatkan dalam suatu riwayat bahwa ibnu sabil memiliki hak dari dana sekalipun ia orang kaya jika perjalanannya terganggu. Kitab suci Al-Qur’an sendiri telah menyebut lafadz ibnu sabil sebanyak delapan kali dalam bentuk anjuran untuk berbuat baik padanya.

Namun, para ulama berbeda pendapat, apabila seseorang yang kehabisan harta itu termasuk orang yang berkecukupan di tempat asalnya. Apakah tetap diberi dari harta zakat, ataukah sejatinya dia bisa berhutang saja untuk memenuhi kebutuhan dirinya?

Aang Gunaepi menyebutkan dalam bukunya Konsep Fi sabilillah dalam Tinjauan Fikih Serta Implementasinya Pada Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), Al-Qur’an memberikan perhatian yang banyak kepada ibnu sabil karena beberapa alasan, di antaranya:

1. Ada anjuran untuk bepergian guna mencari rezeki Allah di muka bumi

2. Ada pula perjalanan yang diajarkan Islam untuk mencari ilmu, melihat dan mengambil pelajaran dari kebesaran Allah di muka bumi

3. Ada perjalanan yang diajarkan Islam untuk berjihad di jalan Allah, melawan kezaliman, meninggikan kalimat Allah di muka bumi

4. Ada perjalanan yang merupakan ibadah yang luas biasa, yaitu ibadah haji menuju baitullah

Syarat-Syarat Seorang Ibnu Sabil

Mengutip buku Ensiklopedia Fikih Indonesia 3: Zakat, yang ditulis oleh Ahmad Sarwat, Lc, M.A, disebutkan terdapat beberapa persyaratan yang dikemukakan oleh para ulama bagi ibnu sabil agar berhak mendapatkan hata zakat, antara lain:

1. Seorang muslim dan bukan ahlul bait

Syarat ini adalah syarat paling standar bagi semua penerima zakat

2. Di tangannya tidak ada harta lain

Syarat ini menegaskan bahwa apabila seorang musafir masih memiliki harta dari jenis yang lain, yang bisa mengantarkannya sampai ke rumahnya, dia belum termasuk mustahik zakat.

Misalnya, seseorang kehabisan uang tunai di perjalanannya, akan tetapi dia mempunyai barang berharga seperti emas, berlian, pakaian, perhiasan, atau apa saja yang dapat dijual atau dijadikan jaminan untuk utang yang diperuntukkan sebagai ongkos pulang, maka hakikatnya dia masih memiliki harta.

Demikian juga apabila seorang musafir yang masih punya kendaraan untuk pulang, entah dengan cara menjualnya atau menaikinya, pada dasarnya dia masih bisa pulang tanpa harus disantuni dari harta zakat.

3. Bukan perjalanan maksiat

Seseorang yang kehabisan bekal dalam perjalanan memang berhak menerima santunan dari zakat, yakni dengan syarat perjalannya bukan perjalanan dengan tujuan maksiat dan tidak diridai oleh Allah SWT.

Akan tetapi, perjalanan tersebut juga tidak harus berupa perjalanan ibadah seperti haji atau menuntut ilmu, asalkan perjalanan itu mubah seperti misalnya tamasya, silaturahmi, menjalankan bisnis yang halal, maka sudah termasuk memenuhi syarat.

Adapun sebaliknya, apabila niat besar perjalanan tersebut adalah untuk merampok. Mencuri, korupsi, bermabuk-mabukan, apalagi berzina, maka apabila kehabisan bekal dan uang maka haram hukumnya disantuni oleh harta zakat.

4. Tidak ada pihak yang bersedia meminjamkannya

Syarat ini khusus hanya diajukan oleh madzhab Malikiyah. Jika orang tersebut termasuk kaya di daerah tempat tinggalnya, dan dia bisa berutang untuk nantinya diganti dengan hartanya setelah dia kembali, maka orang tersebut tidak berhak menerima santunan dari harta zakat.

Adapun contoh nyata yang ada di kehidupan masa kini adalah tenaga kerja Indonesia yang terlunta-lunta (tujuannya pergi dari tanah air adalah untuk mencari nafkah) dan juga korban perdagangan manusia (human trafficking) yang dieksploitasi.

(dvs/dvs)



Sumber : www.detik.com