Tag Archives: fenomena astronomi

Viral Meteor Jatuh di Langit Cirebon, Pakar Bilang Begini


Jakarta

Viral video warga yang merekam cahaya terang serupa bola api dan dentuman keras di media sosial. Suara dentuman itu terdengar hingga belasan kilometer.

Melansir detikJabar, fenomena tersebut muncul di langit wilayah Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Minggu (5/10/2025) sekitar pukul 19.00 WIB.


Meteor Jatuh di Langit Cirebon

Merespons fenomena ini, Peneliti Pusat Riset Antariksa Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Thomas Djamaluddin mengatakan bola api tersebut merupakan meteor dengan ukuran cukup besar.

Berdasarkan analisisnya terhadap pemantauan tangkapan gambar dan data, termasuk dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Thomas menjelaskan meteor tersebut melintasi Kota Kuningan dan Kabupaten Cirebon.

“Analisis berdasarkan kesaksian adanya dentuman yang terdengar di wilayah Kuningan dan Kabupaten Cirebon, terdeteksi adanya getaran oleh BMKG Cirebon (ACJM) pada pukul 18:39:12 WIB pada azimut 221, ada yang menyaksikan bola api yang meluncur dan ada rekaman CCTV pukul 18.35 (WIB),” terang Thomas dalam unggahan di akun Instagramnya, Senin (6/10/2025), dikutip dengan izin oleh detikcom.

“Saya menyimpulkan itu adalah meteor cukup besar yang melintas memasuki wilayah Kuningan-Kabupaten Cirebon dari arah barat daya sekitar pukul 18.35-18.39 (WIB),” ucapnya.

Mengapa Meteor Jatuh Mengeluarkan Dentuman?

Thomas menambahkan, suara dentuman keras dapat bersumber dari meteor saat memasuki atmosfer yang lebih rendah.

“Ketika memasuki atmosfer yang lebih rendah menimbulkan gelombang kejut berupa suara dentuman dan terdeteksi oleh BMKG Cirebon pukul 18.39.12 WIB. Meteor jatuh di laut Jawa,” terangnya.

Terpisah, Kepala Tim Kerja Prakiraan, Data, dan Informasi BMKG Kertajati Muhammad Syifaul Fuad di Cirebon sebelumnya mengatakan suara dentuman dari sisi meteorologi dapat terjadi saat ada sambaran petir, aktivitas gempa bumi, dan longsor.

Syifaul mengatakan pihaknya masih mengumpulkan data fenomena tersebut. Hingga saat ini, tidak ada aktivitas getaran signifikan di Cirebon maupun cuaca ekstrem.

Ia menggarisbawahi, fenomena terkait meteor merupakan kewenangan lembaga yang membidangi antariksa, seperti BRIN. Sementara itu, BMKG tidak memiliki instrumen khusus untuk mendeteksi pergerakan meteor dan benda langit.

“Terkait fenomena meteor atau benda antariksa merupakan kewenangan lembaga yang membidanginya seperti BRIN,” ucapnya, melansir Antara.

(twu/nwk)



Sumber : www.detik.com

Mengenal Hujan Meteor Draconid, Sebagian Pakar Kaitkan dengan Meteor Cirebon


Jakarta

Saat ini, tengah terjadi periode hujan meteor Draconid. Aktivitas hujan meteor tersebut terjadi pada 6-10 Oktober 2025 dan puncaknya pada 8 Oktober 2025.

Meski begitu, hujan meteor Draconid dinilai tergolong sebagai hujan meteor yang tidak terlalu aktif. Fenomena astronomi ini terjadi di belahan bumi utara.

Sementara, jatuhnya meteor di Cirebon yang terjadi pada Minggu (5/10/2025) malam bertepatan dengan periode aktivitas metor ini. Dikutip dari laman Pendidikan Sains FMIPA Universitas Negeri Surabaya (Unesa), sebagian pakar menduga meteor yang jatuh di Cirebon itu bisa jadi bagian dari aktivitas hujan meteor Draconid atau puing tambahan dari jalur orbit komet.


Apa Itu Hujan Meteor Draconid?

Hujan meteor terjadi ketika Bumi melintasi awan puing-puing komet. Dikutip dari Royal Museums Greenwich, dalam hal ini, hujan meteor Draconid berasal dari puing-puing komet 21 P/Giacobini-Zinner.

Laju meteor selama puncak hujan meteor bergantung pada bagian jalur komet mana yang berpotongan dengan orbit Bumi pada tahun tertentu. Dalam beberapa tahun terakhir, Draconid tidak menghasilkan ledakan aktivitas yang signifikan. Namun, pada tahun 1933 dan 1946, hujan meteor Draconid menghasilkan beberapa penampakan paling aktif di abad ke-20.

Di Mana Dapat Menyaksikan Hujan Meteor Draconid?

Hujan meteor dapat disaksikan secara maksimal dengan jelas dan jernih pada malam tanpa awan. Bagi masyarakat yang berpeluang menyaksikannya, sebaiknya mencari tempat dengan langit gelap, pemandangan alam yang tidak terhalang, dan polusi cahaya yang sangat minim.

Seluruh hujan meteor Draconid pada 2025 terjadi sekitar bulan purnama, 7 Oktober 2025, sehingga kondisi pengamatan akan kurang baik.

Pengamat sebaiknya memastikan tidak ada sumber cahaya langsung yang mengenai mata, agar dapat beradaptasi sepenuhnya dengan kondisi setempat dan memastikan meteor yang lebih redup terlihat. Tidak ada keuntungan menggunakan teropong atau teleskop, cukup lihat ke atas untuk mendapatkan pemandangan langit seluas mungkin.

Selain itu, meskipun kebanyakan hujan meteor lainnya paling baik disaksikan pada dini hari, Draconid dapat diamati paling maksimal pada sore hari, setelah malam tiba.

Komet Induk Draconid

Michel Giacobini secara visual menemukan komet yang kini menyandang namanya pada 20 Desember 1900 di langit senja, dari Observatorium Nice di Prancis. Komet itu redup dan berada di bagian selatan rasi bintang Aquarius.

Giacobini menggunakan teleskop refraktor 46 sentimeter (lensa berdiameter 18 inci), teleskop terbesar untuk berburu komet pada saat itu. Meskipun 21P/Giacobini-Zinner bersifat periodik dengan orbit 6,6 tahun mengelilingi Matahari, para pengamat melewatkannya saat kembali lagi.

Kemudian, pada 23 Oktober 1913, Ernst Zinner dari Jerman menemukan komet tersebut saat mengamati bintang variabel. Ini adalah satu-satunya penemuan kometnya.

Penjelajah Komet Internasional atau International Cometary Explorer mengunjungi komet ini pada bulan September 1985, menjadikannya komet pertama yang dikunjungi oleh wahana antariksa.

(nah/nwk)



Sumber : www.detik.com

Hari Tanpa Bayangan Terjadi Minggu Ini, Apakah Wilayahmu Kena?



Jakarta

Hari tanpa bayangan atau kulminasi adalah fenomena ketika Matahari tepat berada di posisi tertinggi di langit. Fenomena hari tanpa bayangan bisa diamati di berbagai wilayah di Indonesia pada pekan ini 7-15 Oktober 2025.

Mengutip laman BMKG, momen ketika deklinasi Matahari sama dengan lintang pengamat, fenomenanya disebut sebagai ‘Kulminasi Utama’. Saat Matahari tepat berada di atas kepala pengamat, bayangan benda tegak akan tampak ‘menghilang’. Ini karena bayangan bertumpuk dengan benda itu sendiri.

Maka itu, kulminasi utama akhirnya dikenal sebagai hari tanpa bayangan.


Alasan Bisa Terjadi Hari Tanpa Bayangan

Fenomena hari tanpa bayangan bisa terjadi karena bidang ekuator Bumi/bidang rotasi Bumi tidak tepat berimpit dengan bidang ekliptika atau bidang revolusi Bumi. Ini membuat posisi Matahari dari Bumi akan terlihat terus berubah sepanjang tahun antara 23,5° LU s.d. 23,5° LS.

Mengingat posisi Indonesia yang berada di sekitar ekuator, kulminasi utama di wilayah Indonesia akan terjadi dua kali dalam setahun dan waktunya tidak jauh dari saat Matahari berada di khatulistiwa. Di kota-kota lain, kulminasi utama terjadi saat deklinasi Matahari sama dengan lintang kota tersebut.

Pada 2025, Matahari tepat berada di atas Kota Pontianak pada 20 Maret 2025 pukul 11.50 WIB dan 23 September 2025 pukul 11.35 WIB.

Sementara pada 21 Juni 2025 pukul 09.40 WIB Matahari berada di titik balik Utara dan pada 21 Desember 2025 pukul 22.02 WIB Matahari berada di titik balik Selatan.

Daftar Wilayah yang Bisa Mengamati Hari Tanpa Bayangan Oktober 2025

Berdasarkan laporan BMKG, fenomena hari tanpa bayangan bisa diamati di sejumlah wilayah. Mulai dari Jakarta hingga Surabaya.

Bandar Lampung: 7 Oktober 2025 pukul 11.46.49 WIB

Kepulauan Seribu: 7 Oktober 2025 pukul 11.41.24 WIB

Serang: 8 Oktober 2025 pukul 11.42.56 WIB

Jakarta Utara: 8 Oktober 2025 pukul 11.39.54 WIB

Jakarta Pusat: 9 Oktober 2025 pukul 11.39.58 WIB

Jakarta Barat: 9 Oktober 2025 pukul 11.40.20 WIB

Jakarta Selatan: 9 Oktober 2025 pukul 11.40.05 WIB

Jakarta Timur: 9 Oktober 2025 pukul 11.39.45 WIB

Sofifi: 9 Oktober 2025 pukul 12.22.53 WIT

Bandung: 11 Oktober 2025 pukul 11.36.20 WIB

Semarang: 11 Oktober 2025 pukul 11.24.58 WIB

Surabaya: 12 Oktober 2025 pukul 11.15.39 WIB

Yogyakarta: 13 Oktober 2025 pukul 11.24.47 WIB

Denpasar: 15 Oktober 2025 pukul 12.04.57 WITA

Mataram: 15 Oktober 2025 pukul 12.01.24 WITA

Merauke: 15 Oktober 2025 pukul 11.51.16 WIT

Sementara untuk di Kupang, hari tanpa bayangan terjadi pada 19 Oktober 2025 pukul 11.30.40 WITA.

Cara Mengamati Fenomena Hari Tanpa Bayangan

Untuk menyaksikan fenomena hari tanpa bayangan, bisa dilakukan secara langsung tanpa alat bantu khusus. Menurut BMKG, pengamatan bisa dilakukan dengan menggunakan benda tegak seperti tiang, tongkat, atau botol di tempat terbuka. Kemudian amati bayangan benda tegak tersebut.

Pengamatan akan lebih baik jika dilakukan beberapa menit sebelum hingga sesudah waktu kulminasi yang tercantum di wilayah masing-masing. Ini karena bayangan benda yang tampak hilang berlangsung sangat singkat, sekitar satu hingga dua menit.

(faz/nwk)



Sumber : www.detik.com

Fenomena Supermoon Pertama 2025 Tampak di Langit, Kapan Muncul Lagi?


Jakarta

Fenomena supermoon atau purnama perigee muncul di langit pada Selasa, 7 Oktober 2025 semalam. Bagi yang melewatkan supermoon pertama 2025 ini, catat jadwal fenomena supermoon selanjutnya.

Berdasarkan catatan Badan Penerbangan dan Antariksa AS (NASA), supermoon selanjutnya akan tampak pada Rabu, 5 November 2025 pukul 20.19 WIB dan Jumat, 5 Desember 2025 pukul 06.14 WIB.

NASA dalam laman resminya menjelaskan supermoon hanya terjadi 3-4 kali dalam setahun. Rangkaian fenomena supermoon dalam satu tahun tersebut terjadi secara berurutan.


Mengapa Fenomena Supermoon Istimewa?

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menjelaskan supermoon terjadi saat Bulan purnama bertepatan dengan jarak terdekatnya dari Bumi, yang disebut perigee. Posisinya setidaknya berada pada 90 persen perigee.

Pada 7 Oktober 2025 pukul 10.47 WIB, Bulan berjarak 361.458 km dari Bumi. Sedangkan jarak terjauhnya (apogee) bisa sampai 405.500 km.

Posisi ini membuat dampak berikut:

  • Bulan tampak lebih besar dan lebih terang dari biasanya, sampai 14 persen lebih besar dan 30 persen lebih terang dari Bulan paling redup dalam setahun.
  • Air pasang lebih tinggi dari biasanya
  • Air surut lebih rendah dari biasanya hingga lebih banyak ikan bisa terbawa ke pinggir pantai.

Mengapa Jarak Bulan ke Bumi Berubah-ubah?

Rupanya, jarak Bulan ke Bumi tidak selalu sama karena jalur orbit Bulan mengorbit Bumi tidak berbentuk bulat sempurna. Bentuknya cenderung elips.

Karena itu, ada waktu-waktu tertentu yang membuat Bulan berada di titik terjauh dari Bumi. Ada pula waktu Bulan berjarak terdekat dari Bumi. Ketika berjarak terdekat dan ternyata sedang Bulan purnama, maka terjadilah supermoon.

NASA menyatakan supermoon bukan istilah resmi astronomi. Namun, supermoon lazim digunakan untuk menyebut Bulan purnama yang berada di setidaknya 90 persen perigee. Yuk, hidupkan pengingat agar tak ketinggalan supermoon 2025 terdekat!

(twu/pal)



Sumber : www.detik.com

Ternyata Ada Hujan yang ‘Mengerikan’ di Matahari, Ilmuwan Ungkap Fakta Ini



Jakarta

Para peneliti di Institut Astronomi Universitas Hawaiʻi (IfA) mengungkap fenomena hujan yang ada di Matahari. Hujan deras yang terjadi di Matahari, disebut sangat mengerikan. Kenapa?

Berbeda dengan hujan di Bumi yang berupa air, hujan di Matahari terjadi di korona Matahari. Wilayah itu merupakan plasma super panas di atas permukaan lapisan terluar Matahari.

Plasma sendiri merupakan suatu wujud materi di mana atom-atom terionisasi dan berperilaku kolektif di bawah gaya magnet dan listrik. Di korona, suhu plasma melonjak hingga lebih dari satu juta derajat Celcius, tetapi pendinginan lokal dapat menciptakan gumpalan padat yang jatuh ke bawah di sepanjang garis medan magnet.


Hujan di Matahari Terdiri dari Apa?

Mengutip laman resmi University of Hawaiʻi, hujan di Matahari terdiri dari gumpalan plasma yang lebih dingin dan lebih padat yang jatuh kembali setelah terbentuk di bagian atas korona. Selama beberapa dekade, para ilmuwan berjuang untuk menjelaskan bagaimana hujan ini terbentuk begitu cepat selama jilatan matahari.

Sejak tahun 1970-an, para ilmuwan telah mengusulkan beberapa mekanisme untuk hujan Matahari. Namun, tidak ada yang dapat menjelaskan kemunculannya yang tiba-tiba dalam flare.

Salah satu teorinya adalah nonequilibrium termal, di mana pemanasan berkepanjangan di dasar loop magnetik menciptakan gradien yang memicu hujan. Teori lainnya adalah ketidakstabilan termal, di mana ketidakseimbangan dalam pemanasan dan pendinginan berputar menjadi kondensasi yang tak terkendali.

Sayangnya, model ini secara konsisten gagal mereproduksi pengamatan. Hampir setiap suar menunjukkan hujan koronal, tapi simulasi tanpa kelimpahan variabel tidak menunjukkan hujan koronal. Ketidakcocokan ini menandakan bahwa terdapat bagian fundamental fisika matahari yang hilang.

Sementara pada penemuan terbaru, para peneliti berhasil menambahkan bagian yang hilang pada model-model surya yang telah ada selama puluhan tahun. Penelitian tim IfA menunjukkan bahwa pergeseran kelimpahan unsur dapat menjelaskan bagaimana hujan dapat terbentuk dengan cepat.

Dengan penemuan ini, ilmuwan bisa memodelkan dengan lebih baik bagaimana Matahari berperilaku selama flare. Temuan ini juga akan memberi wawasan yang suatu hari nanti dapat membantu memprediksi cuaca luar angkasa yang memengaruhi kehidupan kita sehari-hari.

“Penemuan ini penting karena membantu kita memahami cara kerja Matahari yang sebenarnya,” kata astronom IfA, Jeffrey Reep.

“Kita tidak bisa melihat proses pemanasan secara langsung, jadi kita menggunakan pendinginan sebagai proksi. Namun, jika model kita tidak memperhitungkan kelimpahan dengan tepat, waktu pendinginan kemungkinan telah ditaksir terlalu tinggi. Kita mungkin perlu kembali ke dasar pemikiran tentang pemanasan koronal, jadi masih banyak pekerjaan baru dan menarik yang harus dilakukan,” urainya lebih lanjut.

Penemuan menyoal hujan di Matahari ini telah diterbitkan di Astrophysical Journal, pada 1 Oktober 2025.

Pentingnya Penemuan bagi Cuaca Luar Angkasa

Untuk diketahui, bahwa suar matahari memicu badai yang memengaruhi satelit Bumi, seperti jaringan listrik, dan komunikasi. Untuk memprediksi peristiwa ini, para ilmuwan mengandalkan model tentang bagaimana Matahari memanaskan dan mendinginkan atmosfernya.

Hujan koronal yang diteliti para ilmuwan merupakan sinyal pendinginan yang terlihat. Namun hingga saat ini, simulasi belum mampu mereproduksinya dalam kondisi suar yang sebenarnya.

Para ilmuwan hanya dapat menciptakan model jilatan matahari yang lebih realistis. Ini berarti prakiraan cuaca antariksa dapat menjadi lebih akurat, dengan peringatan dini akan gangguan pada teknologi Bumi.

Penelitian baru ini juga menunjukkan bahwa pendorong utama hujan di Matahari adalah melimpahnya unsur-unsur dengan potensial ionisasi pertama yang rendah, seperti besi, magnesium, dan silikon. Unsur-unsur ini meningkat di korona relatif terhadap permukaan Matahari.

Sementara unsur-unsur potensial tinggi seperti helium dan oksigen hampir tidak berubah. Pola ini disebut efek Potensial Ionisasi Pertama, demikian dilansir The Watchers.

Ke depan, studi lebih lanjut kemungkinan akan menguji bagaimana variasi kelimpahan berinteraksi dengan peristiwa berskala lebih kecil seperti nanoflare dan mikroerupsi. Pergeseran ini juga dapat memengaruhi komposisi angin di Matahari, yang membentuk heliosfer dan kondisi cuaca antariksa di seluruh Tata Surya.

Misi-misi mendatang seperti Solar Orbiter milik ESA dan observatorium-observatorium NASA di masa mendatang akan menyediakan data spektroskopi resolusi tinggi untuk menguji prediksi-prediksi ini. Dengan mengukur perubahan kelimpahan secara langsung, para ilmuwan dapat menyempurnakan model mereka dan memperdalam pemahaman mereka tentang pemanasan koronal, salah satu pertanyaan besar yang belum terpecahkan dalam fisika soal Matahari.

(faz/pal)



Sumber : www.detik.com

Hujan Meteor Leonis Minorid 24 Oktober 2025, Jam Berapa? Cek Infonya

Jakarta

Langit malam akan kembali dihiasi fenomena hujan meteor pada penghujung bulan Oktober ini. Kali ini giliran hujan meteor Leonis Minorid yang diperkirakan mencapai puncaknya pada tanggal 24 Oktober 2025.

Hujan meteor ini termasuk peristiwa tahunan yang selalu terjadi pada bulan Oktober. Lalu, kapan waktu terbaik untuk melihat hujan meteor Leonis Minorid tahun ini dan seperti apa karakteristiknya? Berikut informasinya.

Puncak Hujan Meteor Leonis Minorid

Menurut situs astronomi In The Sky, hujan meteor Leonis Minorid akan mencapai puncak pada Kamis, 24 Oktober 2025. Fenomena ini dapat diamati sepanjang malam, terutama setelah tengah malam hingga menjelang fajar. Pada saat itu, posisi rasi bintang Leo Minor yang menjadi arah datang meteor berada di atas cakrawala sehingga peluang pengamatan lebih optimal.

Meski tidak sepopuler Perseid atau Geminid, hujan meteor Leonis Minorid tetap menarik karena kemunculannya yang halus dan konsisten setiap tahun. Puncaknya diperkirakan menghasilkan beberapa meteor per jam, tergantung pada kondisi langit dan tingkat polusi cahaya di lokasi pengamatan.

Asal Usul Hujan Meteor Leonis Minorid

Hujan meteor Leonis Minorid berasal dari sisa debu komet yang melintasi orbit Bumi. Ketika Bumi melewati jalur partikel tersebut, debu-debu kecil memasuki atmosfer dengan kecepatan tinggi dan terbakar, menimbulkan kilatan cahaya yang kita kenal sebagai meteor.

Nama “Leonis Minorid” diambil dari rasi bintang Leo Minor, titik radiannya atau tempat asal tampak meteor muncul di langit. Walau berasal dari arah rasi tersebut, meteor dapat terlihat di seluruh penjuru langit sehingga pengamatan tidak harus berfokus ke satu arah saja.

Tips Cara untuk Melihat Hujan Meteor

Untuk menikmati hujan meteor Leonis Minorid secara maksimal, berikut panduan pengamatan yang dapat diikuti:

  1. Cari lokasi dengan langit gelap
    Pilih area yang jauh dari lampu kota seperti pegunungan, pantai, atau pedesaan agar meteor terlihat lebih jelas.
  2. Mulai pengamatan pada dini hari
    Waktu terbaik untuk menyaksikannya adalah setelah tengah malam, saat langit cukup gelap dan rasi Leo Minor sudah berada tinggi di langit timur laut.
  3. Arahkan pandangan ke timur laut
    Titik radian hujan meteor ini berasal dari rasi Leo Minor, yang terletak di arah timur laut langit. Namun, meteor dapat muncul di berbagai arah, jadi cukup arahkan pandangan ke area langit yang luas.
  4. Tidak perlu teleskop atau alat bantu khusus
    Hujan meteor dapat diamati langsung dengan mata telanjang. Siapkan alas atau kursi santai untuk menikmati pemandangan lebih nyaman.
  5. Biarkan mata beradaptasi dengan kegelapan
    Hindari menatap cahaya terang selama 15-20 menit sebelum pengamatan agar mata lebih sensitif terhadap cahaya meteor.
  6. Perhatikan kondisi cuaca
    Pastikan langit cerah tanpa awan dan hindari lokasi berkabut atau berawan tebal yang dapat menghalangi pandangan.

Simak juga Video: Hujan Meteor Sextantids Akan Hiasi Langit pada Akhir September

(wia/imk)



Sumber : news.detik.com

Siap-siap! Hujan Meteor Orionid Akan Hiasi Langit pada 22 Oktober 2025


Jakarta

Fenomena langit menakjubkan akan terjadi pada Oktober ini. Fenomena tersebut adalah hujan meteor Orionid yang akan mencapai puncaknya pada 22 Oktober 205.

Hujan meteor Orionid ini berlangsung hingga 7 November 2025 mendatang. Apa keunikan dari fenomena ini?

Hujan meteor Orionid terkenal karena cahaya yang terang dan punya kecepatan tinggi. Oleh karena itu, fenomena ini disebut peristiwa paling mengesankan dalam kalender astronomi.


Apa Itu Hujan Meteor Orionid?

Mengutip lama National Aeronautics and Space Administration (NASA), hujan meteor Orionid dikenal mempunyai kecepatan tinggi. Saat memasuki atmosfer Bumi, meteor ini melaju sekitar 66 kilometer per detik.

Terkadang, meteor ini dapat berubah menjadi bola api. Menimbulkan kilatan cahaya besar yang memukau di langit malam.

Selain itu, penampakan hujan meteor Orionid akan tampak indah jika dikelilingi oleh beberapa bintang paling terang di langit malam. Sehingga sayang jika peristiwa langit ini dilewatkan.

Mengutip BBC Science Focus, hujan meteor Orionid berasal dari sisa debu Komet Halley, yang melintasi orbit Bumi setiap 75 tahun sekali. Saat partikel halus komet terbakar di atmosfer, muncullah jejak cahaya terang yang melesat cepat.

Lokasi Menyaksikan Hujan Meteor Orionid

Hujan meteor Orionid bisa disaksikan di seluruh penjuru langit. Adapun lokasi terbaik untuk melihatnya seperti di tempat yang aman dan jauh dari lampu.

Kilauan hujan meteor ini bisa dinikmati dengan mata tanpa harus menggunakan teropong atau teleskop. Penampakkan hujan meteor akan terang saat meteor besar yang melintas. Sementara meteor kecil terlihat menciptakan jejak cahaya di langit.

Waktu Terbaik Melihat Hujan Meteor Orionid

Orionid ini terjadi pada 2 Oktober hingga 7 November 2025. Adapun puncaknya terjadi pada 22 Oktober 2025.

Walaupun puncak Orionid tercatat pada tanggal tersebut, sebenarnya puncaknya berlangsung sekitar seminggu. Waktu terbaik untuk melihatnya adalah antara tengah malam hingga menjelang fajar, ketika langit cukup gelap.

Dalam kondisi ideal, pengamat bisa melihat sekitar 15 meteor per jam dengan kecepatan mencapai 238.000 km/jam. Namun, untuk menyaksikan keindahannya dianjurkan untuk bersabar.

Awan rendah, kabut, hingga badai petir berpotensi mengganggu pandangan di beberapa wilayah. Meski begitu, karena puncaknya bertepatan dengan fase bulan baru, sebagian wilayah masih berpeluang menikmati langit malam tanpa gangguan cahaya bulan.

(cyu/nwk)



Sumber : www.detik.com