Tag Archives: Fiqih

Keluar Flek Saat Puasa, Batal atau Tidak?

Jakarta

Flek saat puasa batal atau tidak ya? Mungkin kamu sering menanyakan hal tersebut. Mari cari tahu penjelasannya.

Puasa merupakan salah satu ibadah wajib bagi umat Islam di bulan Ramadhan. Namun bagi wanita yang haid atau masa nifas tidak boleh berpuasa.

Bagaimana jika seorang wanita mengalami flek atau bercak darah saat sedang berpuasa? Apakah puasanya tetap sah atau harus dibatalkan?


Pertanyaan ini sering kali muncul karena tidak semua bercak darah yang keluar dari tubuh wanita dikategorikan sebagai haid. Oleh karena itu, penting memahami perbedaan antara flek dan darah haid agar tidak salah dalam mengambil keputusan terkait kelangsungan ibadah puasa.

Keluar Flek Saat Puasa, Batal atau Tidak?

Ketahui Batas Telat Haid Tanda Dinyatakan HamilIlustrasi wanita sakit haid. Foto: Getty Images/kyonntra

Dalam hukum Islam, puasa menjadi batal jika seorang wanita mengalami haid atau nifas. Berdasarkan buku Panduan Lengkap Puasa Ramadhan Menurut Al-Quran dan Sunnah, salah satu hadits yang dapat dijadikan landasan berbunyi:

أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلُّ، وَلَمْ تَصُمْ؟ فَذَلِكَ نُقْصَانُ دِينِهَا

Artinya:

“Bukankah wanita jika sedang haid, maka dia tidak salat dan tidak puasa? Itulah bentuk kekurangan agamanya.” (HR. Bukhari no. 304 dan Muslim no. 79)

Meski demikian, perlu dipahami bahwa flek atau bercak darah ringan yang muncul di luar masa haid sering kali menimbulkan kebingungan. Para ulama berpendapat kalau flek yang bukan merupakan bagian dari siklus haid tidak membatalkan puasa.

Jika kamu mengalami bercak darah yang sifatnya tidak berkelanjutan dan tak menyerupai darah haid, maka puasanya tetap sah dan tidak perlu dibatalkan.

Melansir NU Online, flek di luar masa haid atau nifas bisa disebut sebagai istihadhah. Berikut hadis yang diriwayatkan Aisyah RA:

أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ أَبِي حُبَيْشٍ، سَأَلَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ: إِنِّي أُسْتَحَاضُ فَلاَ أَطْهُرُ، أَفَأَدَعُ الصَّلاَةَ، فَقَالَ: «لاَ إِنَّ ذَلِكِ عِرْقٌ، وَلَكِنْ دَعِي الصَّلاَةَ قَدْرَ الأَيَّامِ الَّتِي كُنْتِ تَحِيضِينَ فِيهَا، ثُمَّ اغْتَسِلِي وَصَلِّي»

Artinya:

“Fatimah binti Abi Hubaisy bertanya kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, ia berkata: ‘Aku pernah istihadhah dan belum bersuci, apakah aku mesti meninggalkan salat?’. Nabi pun menjawab: ‘Tidak, itu adalah darah penyakit, namun tinggalkanlah salat sebanyak hari yang biasa engkau haid sebelum darah istihadhah itu, kemudian mandilah dan salatlah’.” (HR Bukhari)

Jadi, perlu diperhatikan bahwa flek saat puasa yang muncul sebelum dan setelah masa haid memiliki hukum berbeda. Jika flek tersebut keluar beberapa hari sebelum datangnya darah haid dan diikuti dengan keluarnya darah secara terus-menerus, maka flek tersebut dianggap sebagai bagian dari haid sehingga puasanya batal.

Sebaliknya, jika flek muncul setelah haid telah benar-benar selesai maka tidak lagi dihitung sebagai masa menstruasi dan tak membatalkan puasa. Oleh sebab itu, wanita yang mengalami flek saat berpuasa disarankan untuk mencermati warna, jumlah, serta pola kemunculannya guna memastikan apakah masih termasuk dalam kategori haid atau bukan.

Dalam beberapa mazhab, seperti mazhab Syafi’i, flek yang muncul sebelum darah haid keluar dalam jumlah cukup banyak bisa dianggap sebagai bagian dari haid. Namun jika hanya berupa bercak ringan tanpa tanda-tanda haid yang jelas maka puasa tetap sah.

Sumber : wolipop.detik.com

Alhamdulillah muslimah sholihah hijab اللهم صل على رسول الله محمد
ilustrasi gambar : unsplash.com / Satria SP

Hukum Memegang Mushaf Qur’an bagi Wanita Haid, Bolehkah?


Jakarta

Setiap bulannya, wanita mengalami siklus menstruasi. Pada kondisi itu, ada sejumlah larangan dan ketentuan dalam Islam bagi wanita haid.

Sayyid Abdurrahman bin Abdul Qadir Assegaf melalui bukunya yang berjudul Kitab Haid, Nifas dan Istihadhah mendefinisikan haid sebagai pengalaman biologis yang Allah SWT berikan kepada wanita. Haid atau menstruasi menjadi tanda organ reproduksi wanita sehat dan berfungsi dengan baik.

Terkait larangan bagi wanita haid dijelaskan dalam surah Al Baqarah ayat 222,


وَيَسْـَٔلُونَكَ عَنِ ٱلْمَحِيضِ ۖ قُلْ هُوَ أَذًى فَٱعْتَزِلُوا۟ ٱلنِّسَآءَ فِى ٱلْمَحِيضِ ۖ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ ۖ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ ٱللَّهُ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلتَّوَّٰبِينَ وَيُحِبُّ ٱلْمُتَطَهِّرِينَ

Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: “Haid itu adalah suatu kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.”

Selain itu, Rasulullah SAW juga menjelaskan dalam hadits bahwa puasa dan salat dilarang bagi wanita haid. Berikut bunyi haditsnya,

“Apabila datang haid, maka tinggalkanlah salat. Saat durasi waktu haid telah tuntas, maka bersihkanlah darah itu darimu lalu kerjakanlah salat.” (HR Bukhari & Muslim)

Wanita haid juga terhalang untuk memegang mushaf Al-Qur’an. Terkait hal ini, ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Berikut selengkapnya.

Hukum Memegang Mushaf Qur’an bagi Wanita Haid

Mengutip buku Ensiklopedia Fikih Wanita oleh Agus Arifin dan Sundus Wahidah, haram hukumnya wanita haid membawa atau memegang tulisan Al-Qur’an untuk dibaca meskipun hanya sebagian ayat yang berbentuk jumlah mufidah atau kalimat sempurna dan dipahami.

Namun, jika Al-Qur’an tersebut terjatuh dari tempat yang tidak semestinya atau keadaan darurat lainnya maka wanita haid diizinkan untuk memegangnya. Membawa buku-buku seperti Iqra’, Qira’ati dan sejenisnya juga diperbolehkan bagi wanita haid.

Mazhab Hanafi, Maliki dan Syafi’i sepakat bahwa wanita haid tidak diperbolehkan memegang mushaf Al-Qur’an apabila tidak suci dari hadats kecil maupun besar, termasuk haid. Hal ini didasarkan dari surah Al Waqiah ayat 79,

لَّا يَمَسُّهُۥٓ إِلَّا ٱلْمُطَهَّرُونَ

Artinya: “Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan.”

Meski demikian, dalam buku Fikih Muslimah Praktis oleh Hafidz Muftisany, sebetulnya terkait hukum haram atau tidaknya wanita haid memegang Al-Qur’an terdapat perbedaan dari para fuqaha. Tetapi, soal membaca ayat Al-Qur’an tanpa mushaf para ulama sepakat akan kebolehannya.

Larangan memegang mushaf Al-Qur’an bagi wanita haid ini termasuk ke dalam penghormatan pada kitab suci itu sendiri. Siapa pun yang menyentuh Al-Qur’an harus dalam keadaan suci dari hadats kecil maupun besar. Haid termasuk ke dalam hadats besar.

Amalan yang Dapat Dikerjakan Wanita Haid

Meski tidak diperbolehkan memegang mushaf Al-Qur’an, wanita haid masih bisa melakukan sejumlah amalan lainnya. Apa saja? Berikut bahasannya yang dikutip dari Buku Lengkap Fiqh Wanita susunan Syukur al-Azizi dan arsip detikHikmah.

  • Bersedekah, amalan ini jadi yang paling dianjurkan dan bisa dilakukan dalam segala kondisi. Begitu pun bagi wanita yang sedang haid
  • Beristighfar, sejatinya dengan beristighfar maka Allah SWT menjamin ampunan dan pahala besar bagi siapa pun yang meminta
  • Mempelajari ilmu agama juga bisa dilakukan oleh wanita ketika haid. Caranya bisa dengan mendengar ceramah guru atau ustaz
  • Berzikir, wanita muslim yang sedang haid bisa berzikir dengan bertasbih dan menyebut nama-nama Allah SWT. Dengan mengerjakan amalan ini, maka hati seorang muslimah akan merasa tenang dan tentram

(aeb/kri)



Sumber : www.detik.com

Urutan Wali Nikah untuk Perempuan, Siapa Saja?



Jakarta

Wali nikah dalam akad nilah Islam dikatakan jumhur ulama sebagai rukun yang tak bisa dilewatkan, lantaran mempengaruhi keabsahan pernikahan tersebut.

Muhammad Bagir dalam buku Fiqih Praktis 2 menjelaskan maksud perwalian nikah, yakni hak yang diberikan oleh syariat kepada seseorang wali untuk melakukan akad pernikahan atas orang yang diwakilkan.

Senada dengan pendapat tersebut, Ahmad Sarwat dalam Ensiklopedi Fikih Indonesia: Pernikahan menyebut wali nikah adalah orang yang memiliki wilayah atau hak untuk melaksanakan akad atas orang lain dengan seizinnya.


Adapun dalam akad nikah Islam, bukanlah seorang perempuan yang melakukan ijab qabul melainkan oleh wali dari perempuan tersebut. Sehingga lafaz ijab diucapkan oleh si wali dan qabul dilafalkan oleh suami

Posisi Wali dalam Pernikahan

Para ulama berbeda pendapat mengenai posisi wali dalam akad nikah. Masih dari Ensiklopedi Fikih Indonesia: Pernikahan, jumhur ulama seperti Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah menyepakati wali sebagai rukun pernikahan. Dan tanpa adanya wali, maka akad nikah tidak sah.

Mereka bersandar pada Surat Al-Baqarah ayat 221, “Janganlah kamu menikahi perempuan musyrik hingga mereka beriman!” Juga Surat An-Nur ayat 32, “Nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu.”

Selain itu, Nabi SAW melalui sabdanya menegaskan bahwa menikah tanpa izin dari wali adalah perbuatan mungkar. Dari Aisyah, Rasul SAW berkata, “Siapa pun wanita yang menikah tanpa izin walinya maka nikahnya itu batal, nikahnya itu batal dan nikahnya itu batal.

Jika (si lelaki) menggaulinya maka harus membayar mahar buat kehormatan yang telah dihalalkannya. Dan bila mereka bertengkar, maka sultan adalah wali bagi mereka yang tidak punya wali.” (HR Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi & Ibnu Majah)

Sementara ulama yang berpandangan wali tidak termasuk rukun nikah melainkan syarat, yakni Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan ulama lain yang berpaham demikian.

Mereka juga berpendapat bahwa seorang perempuan gadis maupun janda yang sudah baligh, berakal sehat, mampu menguasai dirinya, boleh melakukan akad nikah bagi dirinya sendiri dan tanpa wali. Meski pernikahan diwakilkan oleh wali lebih baik dan sangat dianjurkan.

Mereka mengambil Surat Al-Baqarah ayat 234 sebagai dalil, “Orang-orang yang mati di antara kamu dan meninggalkan istri-istri hendaklah mereka (istri-istri) menunggu dirinya (beridah) empat bulan sepuluh hari.

Kemudian, apabila telah sampai (akhir) idah mereka, tidak ada dosa bagimu (wali) mengenai apa yang mereka lakukan terhadap diri mereka71) menurut cara yang patut. Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Juga dari hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Rasul SAW bersabda, “Para janda lebih berhak atas diri mereka. ” (HR Tirmidzi)

Rizem Aizid dalam bukunya Fiqh Keluarga Terlengkap mengemukakan pendapatnya terkait perbedaan paham ini, “Berdasarkan semua pendapat tersebut, tentunya kita lebih condong kepada pandangan Imam Syafi’i dan Maliki, yang menyebut wali adalah rukun dan syarat sahnya nikah. Dan pendapat inilah yang dipegang kuat oleh perkawinan di Indonesia.”

Orang yang Berhak Menjadi Wali Nikah Perempuan

Yang boleh menjadi wali nikah wanita mesti memenuhi syaratnya seperti yang dilansir Fiqih Praktis 2, yakni laki-laki merdeka, berakal, baligh, dan juga beragama Islam.

Adapun menukil buku Fiqh Keluarga Terlengkap, terdapat empat jenis wali dalam Islam; wali nasab, wali hakim, wali tahkim dan wali maula.

1.Wali Nasab

Merupakan wali yang diambil berdasarkan keturunan, atau yang punya hubungan nasab dengan pengantin perempuan. Mayoritas ulama mengurutkan wali nasab dari paling berhak dan masih hidup, karena yang terdekat adalah amat utama.
1) ayah kandung,
2) ayahnya ayah (kakek) terus ke atas,
3) saudara lelaki seayah-seibu,
4) saudara lelaki seayah saja,
5) anak lelaki saudara laki-laki seayah-seibu,
6) anak lelaki saudara laki-laki seayah,
7) anak lelaki dari anak laki-laki saudara laki-laki seayah-seibu,
8) anak lelaki dari anak laki-laki saudara laki-laki seayah,
9) anak lelaki dari no. 7 di atas,
10) anak lelaki dari no. 8 dan seterusnya,
11) saudara lelaki ayah, seayah-seibu,
12) saudara lelaki ayah, seayah saja,
13) anak lelaki dari no. 11,
14) anak lelaki no. 12, dan
15) anak lelaki no. 13 dan seterusnya.

Bila diringkas, wali nasab terdiri tiga kelompok; ayah kandung seterusnya ke atas, saudara laki-laki ke bawah, dan saudara lelaki ayah ke bawah. Dan urutan di atas harus berurutan, tidak boleh melangkahi satu dengan yang lainnya.

2. Wali Hakim

Sesuai namanya, ialah wali yang berasal dari hakim (qadhi), seperti kepala pemerintah, pemimpin, atau orang yang diberi kewenangan oleh kepala negara untuk menikahkan perempuan yang berwali hakim.

Seorang wanita baru boleh diwakilkan wali hakim apabila; tidak adanya wali nasab seperti yang disebutkan di atas seluruhnya, serta tidak mencukupinya syarat bagi wali nikah di atas jika masih hidup.

Ketentuan wali hakim sendiri adalah tidak menikahkan; perempuan yang belum baligh, pasangan dari kedua pihak keluarga yang tidak sekufu (sepadan), orang yang tanpa mendapat izin dari wanita yang akan menikah, dan orang yang berada di luar wilayah kekuasaannya. Dalam kondisi tersebut, wali hakim dilarang menikahkan.

3. Wali Tahkim

Yaitu wali nikah yang diangkat sendiri oleh calon suami atau calon istri. Syarat akada nikah bisa diwakilkan wali satu ini, jika; wali nasab pada urutan di atas tidak ada seluruhnya atau tidak memenuhi syarat, serta tak adanya wali hakim. Sehingga wali hakim baru boleh menikahkan, apabila tak terdapatnya wali nasab dan wali hakim.

4. Wali Maula

Adalah majikan dari seorang hamba sahaya yang ingin menikah. Maka jika ada wanita yang berada di bawah kuasanya (yakni sebagai budak), maka majikan laki-lakinya boleh menjadi wali akad nikah bagi hamba sahaya perempuannya itu.

Rizem Aizid dalm bukunya menyimpulkan, “Dari keempat jenis, maka urutan yang berhak menjadi wali nikah perempuan adalah wali nasab (paling utama). Kemudian boleh digantikan wali hakim, bila wali nasab tidak ada seluruhnya.”

“Jika wali hakim tidak ada maka boleh diwakilkan oleh wali tahkim. Sementara untuk seorang hamba sahaya wanita yang tidak punya wali nasab, maka bisa dinikahkan oleh wali maula.” tambahnya.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com