Jakarta –
Makanan yang dapat memicu alergi kulit bisa dihindari jika tak ingin kondisi semakin parah. Di antaranya ada telur, kacang kedelai, hingga seafood.
Alergi kulit kerap ditandai dengan ruam kemerahan di beberapa area tubuh. Biasanya muncul di sekitar lengan, leher, dan wajah.
Penyebab alergi ini memang bisa dikarenakan faktor biologis, tapi beberapa jenis makanan juga bisa menjadi pemicu timbulnya alergi pada kulit. Dikutip dari Times of India, ada sekitar 6 makanan yang sebaiknya dihindari.
Beberapa makanan tersebut bisa memicu alergi berdasarkan struktur protein, kandungan histamin, hingga zat aditif lainnya.
Berikut 6 makanan yang dapat memicu timbulnya alergi kulit:
1. Kerang
Bake seafood on the charcoal fire of the barbecue stove Foto: Getty Images/iStockphoto/kuppa_rock |
Kerang atau seafood laut yang bercangkang lain diketahui mengandung protein yang dapat memicu reaksi alergi pada mereka yang sensitif. Kandungan tersebut dapat menyebabkan gejala penyakit kulit, seperti gatal-gatal. Reaksinya bisa langsung dirasakan tubuh atau menunggu beberapa waktu.
2. Kacang-kacangan
Banyak orang yang alergi terhadap kacang-kacangan. Reaksi alerginya bisa berupa ruam pada kulit hingga membuat gangguan pernapasan yang berakibat fatal.
Kacang-kacangan yang dimaksud adalah kacang tanah, kacang kedelai, dan lainnya. Hal ini dikarenakan kacang-kacangan mengandung protein alergen yang mengakibatkan gejala eksim dan gatal-gatal.
3. Susu Sapi
Susu sapi juga mengandung protein seperti kasein dan whey. Dua kandungan tersebut dapat memicu reaksi alergi pada sebagian orang. Gejala yang muncul berupa eksim atau gatal-gatal yang merupakan respon imun terhadap zat protein itu.
Makanan pemicu alergi lain ada di halaman selanjutnya…
4. Telur
fried eggs isolated on white background Foto: Getty Images/iStockphoto/Magone |
Bagi sebagian orang yang sensitif, telur juga dapat menyebabkan reaksi alergi. Ini karena telur mengandung protein, seperti ovomucoid dan ovalbumin. Reaksi alergi kulit yang mungkin timbul dari konsumsi telur adalah eksim dan gatal-gatal.
5. Ikan
Selain seafood bercangkang, ikan juga termasuk makanan yang mungkin menyebabkan alergi pada seserorang. Ini dapat terjadi karena kekebalan tubuh bereaksi berlebihan terdapat protein ikan, seperti parvalbumin, tropomiosin, dan lainnya.
Alergi kulit yang dikarenakan ikan juga bisa dipicu bukan dari konsumsinya, melainkan karena menghirup asap atau uap saat memasaknya. Hal ini disebabkan oleh pelepasan protein pada ikan saat dimasak.
6. Biji Wijen
Biji wijen kerap ditambahkan pada makanan untuk mempercantik hidangan. Penggunaan lainnya bisa ditambahkan sebagai pelengkap hidangan, karena dapat menambah rasa gurih.
Protein juga terkandung dalam biji wijen. Bagi mereka yang sensitif, tubuh akan menghasilkan antibodi lgE yang memicu pelepasa histamin dan zat kimia lain. Sehingga reaksi alergi terasa pada tubuh.
(yms/adr)
![]() |
||
Source : unsplash.com / Eater Collective
Waspada! Gegara Kebiasaan Ini Tubuh Jadi Alergi Daging Jakarta – Pola makan sangat berpengaruh pada kebiasaan tubuh menentukan proses pencernaannya. Bahkan ada satu kondisi yang disebut dapat membuat tubuh alergi daging. Ada banyak jenis alergi makanan di dunia yang diidap setiap individu dengan kondisi tubuh khusus. Pengaruh sindrom hingga imunitas yang berbeda-beda membuat seseorang tak bisa menerima asupan makanan tertentu secara spesifik. Misalnya makanan laut seperti udang, kerang, olahan susu layaknya keju, yogurt, dan masih banyak lagi dapat menimbulkan reaksi alergi yang berbeda-beda juga. Tetapi BBC (11/3) mengatakan bahwa ada kondisi di mana tubuh akan tiba-tiba alergi dengan makanan yang sebelumnya terasa aman untuk dikonsumsi.
Menurut data dari pemerintah Inggris, konsumsi daging sapi, babi, hingga domba menurun sebanyak 62% jika dibandingkan dengan tahun 1980 dan 2022. Ada beberapa hal yang disebut menjadi dasar fenomena ini, salah satunya adalah kenaikan harga yang signifikan.
Namun untuk mengetahui faktornya lebih lanjut, ternyata ada eksperimen yang dilakukan. Yakni dengan memantau kebiasaan makan atau pola diet dari partisipan yang dianggap mewakili subjek penelitian yang ingin dituju. Ditemukan bahwa orang yang pernah menjadi vegetarian atau vegan akan mengalami perubahan pada saluran pencernaannya. Mereka yang sudah lama tidak mengonsumsi daging dilaporkan mengalami gejala aneh saat mengonsumsi daging kembali. Seperti perut yang kembung, mual, kram perut, hingga beberapa gejala yang menunjukkan terjadinya alergi. Seorang profesor asal Amerika Serikat menyebut adanya penyesuaian proses pencernaan menjadi dasarnya, tetapi tetap butuh pengamatan khusus. “Bukti yang kurang tidak bisa menyatakan bahwa penelitian ini sudah benar-benar terbukti. Kami tidak selalu langsung puasa, hanya butuh beberapa hal yang harus dilakukan untuk melihat efeknya jauh lebih dalam,” ujar Sander Kersten, profesor nutrisi di Cornell University, Amerika Serikat.
Sejauh ini kondisi tubuh yang tiba-tiba alergi terhadap daging hanya dapat dijelaskan melalui sindrom Alpha-gal. Artinya sistem imun akan menerima protein hewan yang masuk sebagai sebuah serangan yang dapat memicu anaphylaxis hingga kematian. Kersten menjelaskan lebih lanjut, dari hasil penemuannya, kondisi yang paling terasa menyakitkan akan dialami orang yang menghindari protein hewani sama sekali. Ketika ia kembali mengonsumsinya bahkan untuk kadar yang sedikit saja dapat memicu gejala sakit secara fisik maupun ketidakstabilan emosi. Tetapi disebutkan pula bahwa peluang tubuh lupa untuk mencerna daging sangat kecil. Daging dianggap sebagai makanan lain seperti buah-buahan, sayuran, maupun kacang-kacangan yang sama-sama memiliki kandungan serat. Ada mikroba dan enzim dalam saluran pencernaan yang akan tetap mengenali daging sebagai bahan makanan yang harus dicerna. Kondisi alergi protein hewan yang paling besar terjadi bukan dari daging, melainkan kondisi sensitif terhadap laktosa yang akan kesulitan menerima protein hewan melalui susu dan produk turunannya. (dfl/odi) Pakar UGM Ungkap Beda Alergi dan Keracunan Serta Cara Menanganinya Pakar sekaligus Guru Besar Mikrobiologi Klinik Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Tri Wibawa soroti banyaknya kasus keracunan makanan dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG). Terlebih korban dari kasus ini berasal dari kalangan siswa yang menjadi sasaran MBG. Tri menjelaskan selain menyoroti kasusnya, masyarakat dan tenaga pendidik perlu memahami tentang perbedaan alergi dan keracunan makanan. Pemahaman ini diperlukan agar masyarakat bisa mengambil langkah pertolongan pertama yang tepat bila hal itu terjadi. Lalu apa perbedaan diantara keduanya? Dikutip dari laman resmi UGM, Kamis (9/10/2025) berikut informasinya.
Perbedaan Alergi dan Keracunan MakananAlergi dijelaskan Tri sebagai reaksi yang diberikan sistem kekebalan tubuh setelah mengonsumsi makanan tertentu. Reaksi ini bisa timbul bahkan ketika seseorang memakan makanan pemicu alergi sekecil apapun. “Makanan pemicu alergi dapat menyebabkan gejala seperti biduran, pembengkakan saluran pernapasan yang memicu asma, hingga gangguan pencernaan,” tuturnya. Alergi makanan yang menimpa seseorang tidak bisa dipandang sebelah mata. Hal ini bisa terjadi karena dalam beberapa kasus reaksi alergi dapat berujung pada kondisi yang mengancam jiwa atau dikenal sebagai anafilaksis. Berbeda dengan alergi, keracunan makanan tidak berhubungan dengan reaksi sistem imun manusia. Keracunan makanan bisa terjadi karena masuknya kuman atau zat berbahaya dari makanan/minuman yang dikonsumsi. Ketika seseorang mengalami keracunan makanan, biasanya ada gejala yang ditimbulkan. Gejala yang dimaksud seperti sakit perut, muntah, dan diare yang muncul beberapa jam hingga hari setelah mengonsumsi makanan. Sebagian besar kasus keracunan makanan bersifat ringan, sehingga bisa sembuh tanpa pengobatan khusus. Tetapi, dalam kondisi tertentu kasus ini bisa berakibat serius jika tidak ditangani, terlebih bila pemicunya adalah bakteri seperti Salmonella sp dan Escherichia coli (E. coli). Bakteri Salmonella sp bisa bertahan dalam tubuh, terhindar dari asam lambung, dan bisa menyerang mukosa usus. Dengan begitu, bila keracunan karena bakteri ini, biasanya seseorang akan merasa sakit perut karena terjadi peradangan serta luka pada dinding usus. Sedangkan, bakteri E coli mampu menghasilkan toksin Shiga (Shiga toxin-producing E. coli / STEC). Toksin ini dapat menyebabkan penyakit tular makanan yang parah. Tri menegaskan setiap kasus keracunan memiliki penanganan yang berbeda-beda. Penangan yang dimaksud sesuai dengan jenis bakteri yang menyerang tubuh. “Meskipun gejalanya mirip, mekanisme penyebabnya berbeda-beda tergantung jenis bakterinya,” ungkapnya. Tips Beri Pertolongan Pertama Saat Keracunan MakananDalam konteks MBG, Tri memberikan tips beri pertolongan pertama saat keracunan makanan, yakni: 1. Cegah DehidrasiJika gejala keracunan yang timbul adalah muntah dan diare, korban bisa kehilangan cairan dan elektrolit. Untuk itu langkah paling penting yang harus dilakukan adalah mengganti cairan dan elektrolit yang hilang agar mencegah korban dehidrasi. Ia menyarankan agar penderita banyak minum air putih. Jika dirasa kurang, orang tersebut juga bisa diberikan suplemen elektrolit. “Jika muntah masih terjadi, minumlah sedikit demi sedikit. Dan jika kondisi memburuk, segera cari pertolongan dari petugas kesehatan,” tambahnya. 2. Jangan Panik Kalau DemamSelain muntah dan diare, demam bisa menjadi salah satu gejala yang mungkin muncul saat keracunan. Ketika hal ini terjadi, detikers diharapkan tidak panik. Demam disebutkan Tri menjadi mekanisme alami tubuh dalam melawan infeksi. Peningkatan suhu tubuh dapat membantu memperlambat pertumbuhan bakteri serta mengoptimalkan kerja sistem imun. “Demam membantu mengendalikan infeksi dengan memberi tekanan panas pada patogen dan meningkatkan efektivitas sistem kekebalan tubuh,” paparnya. Meski ada langkah pertolongan pertama ketika keracunan makanan datang, Tri mengingatkan mencegah adalah langkah paling baik. Diperlukan pengawasan yang ketat terhadap seluruh rantai produksi makanan MBG. Menurutnya, setiap tahap proses baik dari pemilihan bahan, penyimpanan, pengolahan, hingga distribusi dapat menjadi titik masuk bagi bakteri, virus, jamur, atau parasit penyebab keracunan. Oleh karena itu, standar kebersihan harus diterapkan secara optimal. Tri berpesan agar masyarakat juga harus paham perbedaan antara alergi dan keracunan, serta upaya preventif terjadinya keracunan makanan. Keduanya merupakan kunci untuk mecegah risiko fatal dari keracunan makanan. “Kata kuncinya adalah menjaga mutu bahan dan proses, menaati standar kebersihan, dan segera bertindak tepat ketika gejala muncul,” tandasnya. (det/pal) Sari Berita Penting |






