Tag Archives: gelar sarjana

Kisah Petani Tegal Antar Anak Raih Gelar Sarjana di UNJ



Jakarta

Rasa haru bercampur bangga tak mampu disembunyikan Sutarwo, seorang petani asal Tegal, Jawa Tengah. Akhirnya, ia bisa menyaksikan putrinya diwisuda di Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Senin (6/10/2025).

Putrinya, Suni Putri Anggraini, resmi menyandang gelar sarjana dari Program Studi Pendidikan Tata Boga, Fakultas Teknik UNJ. Bagi Sutarwo, ini merupakan sebuah pencapaian luar biasa dan tak pernah terbayangkan.

“Alhamdulillah, acaranya meriah sekali dan luar biasa. Ini kali kedua saya ke Jakarta, dan kali ini sangat istimewa karena bisa melihat anak sendiri memakai toga dan apalagi langsung bersalaman dengan Pak Rektor,” ujar Sutarwo dikutip dari laman UNJ, Selasa (7/10/2025).


Perjuangan Sutarwo untuk Kuliahkan Anak

Sutarwo kembali mengenang masa-masa berjuang untuk putrinya. Sebagai petani, penghasilan Sutarwo bergantung pada hasil panen.

Ia bercerita, sebagian besar pendapatannya selalu disisihkan untuk biaya kuliah sang anak. Terkadang, saat hasil sawah belum bisa dipanen, ia terpaksa harus menjual barang di rumah demi menutup biaya pendidikan.

“Kalau habis panen, disisihkan buat biaya kuliah. Tapi kalau belum panen dan anak butuh bayar kos atau semester, ya kadang sampai jual apa yang ada,” tuturnya.

Sutarwo memang tidak punya jejak pendidikan yang tinggi. Namun, ia selalu yakin meski hidup sederhana, ia harus berpegang pada prinsip kerja keras dan keikhlasan.

Kegigihan Orang Tua-Anak Demi Pendidikan

Kerja keras demi pendidikan juga dilakukan putrinya. Tak tinggal diam, ia bekerja paruh waktu di hotel dan membantu di warung keluarga.

“Dia pernah bantu mamanya di warung, kerja paruh waktu di hotel, bantu masak dan dekorasi gedung. Namanya juga anak tata boga, ya dia manfaatkan ilmunya,” katanya.

Sutarwo hanya menamatkan pendidikan hingga kelas dua SMP. Namun, ia percaya bahwa pendidikan adalah jalan untuk memperbaiki nasib sehingga hal itu ia tanamkan pada anak-anaknya.

“Saya enggak sekolah tinggi, tapi anak jangan sampai kayak bapaknya. Zaman sudah beda. Kalau anak mau sekolah, orang tua jangan minder. Usaha dulu, Tuhan pasti kasih jalan,” katanya.

Saat pandemi Covid-19 melanda, sang putri menghadapi ujian yang cukup sulit, Warung keluarga di Jakarta harus tutup dan penghasilan berhenti.

Meski demikian, semangat belajar sang anak tidak padam. Ia tetap belajar secara online sembari membantu Sutarwo bertani di sawah.

“Waktu corona itu berat banget. Warung enggak bisa buka, penghasilan berhenti, tapi anak tetap harus kuliah. Ya sudah, dibawa pulang dulu ke kampung, bantu saya di sawah. Tapi dia tetap semangat belajar online,” kenangnya.

Doa dan Harapan yang Jadi Kenyataan

Perjuangan untuk melewati masa-masa sulit tersebut kini terbayar. Upaya Sutarwo dan sang putri berbuah manis dengan disandangnya gelar sarjana.

“Saya cuma bisa bersyukur. Yang penting ilmunya bermanfaat. Mau kerja di Jakarta atau pulang ke kampung, saya cuma berharap dia bisa pakai ilmunya buat orang lain,” ucapnya.

Menurut Sutarwo, orang tua harus selalu mendukung penuh sang anak untuk menempuh pendidikan setinggi mungkin. Ia yakin usaha untuk menyekolahkan anak selalu diberikan jalan rezekinya.

“Kalau anak punya keinginan buat sekolah, dukung saja. Jangan takut nggak mampu. Selama kita mau usaha, pasti ada jalan. Jangan lupa banyak bersyukur. Punya Rp 5 ribu pun kalau disyukuri, rasanya cukup,” tuturnya.

(cyu/twu)



Sumber : www.detik.com

Omar M Yaghi, Ilmuwan Keturunan Palestina Pemenang Nobel Kimia 2025



Jakarta

Perjalanan hidup Omar M Yaghi dapat dijadikan kisah inspiratif dalam ketekunan dan kecerdasan. Ilmuwan berdarah Palestina ini baru saja dinobatkan sebagai pemenang Hadiah Nobel Kimia 2025.

Ia diganjar penghargaan tersebut karena temuannya berupa teknologi memanen air langsung dari udara. Inovasinya disebut bisa menjadi solusi global atas krisis air bersih.


Dulu Pengungsi, Kini Disorot Dunia

Yaghi lahir di Amman, Yordania pada tahun 1965. Keluarganya dulu adalah pengungsi Palestina yang pindah ke sana usai perang Arab-Israel 1948.

Hidupnya di masa kecil jauh dari kata mudah. Ia harus berbagi kamar sempit bersama sembilan saudaranya dan hewan ternak di rumah tanpa listrik.

“Aku tumbuh dalam keluarga pengungsi. Aku berjalan sejauh tiga mil (4,8 km) setiap hari ke sekolah, pergi dan pulang. Aku mengalami masa-masa sulit,” kata Yaghi dikutip, dari laman Anadolu Ajansi.

Saat itu, air di lingkungannya sangat langka. Yaghi kecil bahkan harus bangun sebelum Matahari terbit hanya untuk membuka katup air yang hanya mengalir beberapa jam seminggu.

“Dulu, kami harus memikirkan setiap tetes air, karena itu sangat berharga,” ujarnya.

Walau masa kecilnya pahit, justru pengalaman itu yang menumbuhkan rasa ingin tahu mendalam terhadap kimia. Rasa penasaran tersebut membawanya pada penemuan besar yang menyentuh kehidupan jutaan orang.

Usia 10 Tahun Mulai Suka Kimia

Kecintaannya pada kimia dimulai sejak usia 10 tahun. Kala itu, ia menemukan model molekul di perpustakaan sekolah yang seharusnya tutup.

Berbekal semangat tinggi dan dukungan keluarganya, Yaghi dikirim ke Amerika Serikat pada usia 15 tahun untuk menempuh pendidikan. Ia datang ke New York dengan kemampuan bahasa Inggris yang minim, tapi semangatnya membara.

Menempuh pendidikan selama 10 tahun, akhirnya Yaghi berhasil meraih gelar sarjana dari State University of New York at Albany. Ia juga menyabet gelar doktor dari University of Illinois at Urbana-Champaign pada 1990.

Setelah itu, Yaghi berkarier sebagai peneliti di Harvard University (1990-1992). Ia lalu menjadi asisten profesor di Arizona State University pada 1998.

Karier akademiknya berlanjut di University of Michigan. Di sana ia menjadi profesor kimia pada 1999 hingga 2006. Yaghi akhirnya menjadi pengajar di University of California, Berkeley hingga kini.

Ilmuwan dengan 300+ Publikasi

Kini, Yaghi dikenal sebagai salah satu ilmuwan paling berpengaruh di dunia. Ia telah menulis lebih dari 300 publikasi ilmiah.

Karya-karyanya telah dikutip lebih dari 250.000 kali. Tak hanya aktif mengajar, ia juga menjadi pendiri Berkeley Global Science Institute, serta co-director di Kavli Energy NanoSciences Institute dan Bakar Institute of Digital Materials for the Planet.

Yaghi juga merupakan anggota National Academy of Sciences Amerika Serikat dan German National Academy of Sciences Leopoldina.

Inovasi Yaghi: Menyulap Udara Jadi Air

Fokus penelitian Yaghi adalah merancang material kristalin baru berbasis senyawa logam dan organik. Inovasi tersebut mampu menyimpan energi, menangkap karbon, dan bahkan mengumpulkan air dari udara.

Yaghi membuat proyek Atoco Mission yang mengembangkan sistem dengan kemampuan memanen air bersih langsung dari atmosfer, bahkan di daerah paling kering di dunia.
Sembunyikan kutipan teks

Sebelum meraih penghargaan Nobel Kimia 2025, Yaghi juga telah meraih berbagai penghargaan bergengsi seperti Wolf Prize in Chemistry (2018), King Faisal International Prize in Science (2015), BBVA Foundation Frontiers of Knowledge Award (2017), Tang Prize, dan Balzan Prize (2024).

(cyu/twu)



Sumber : www.detik.com

Kuliah Nyambi Jadi Buruh Mebel, Khoiri Jadi Wisudawan Berprestasi Undip



Jakarta

Menjadi wisudawan berprestasi adalah dambaan setiap mahasiswa. Begitu pula bagi Muhammad Khoiri, lulusan Ilmu Pemerintahan Universitas Diponegoro (Undip) yang baru saja menutup perjalanan studinya dengan catatan membanggakan.

Namun, jalan yang ditempuh Khoiri tidak semulus kebanyakan mahasiswa lain. Di saat rekan-rekannya bisa fokus belajar, ia harus membagi waktu antara kuliah dan bekerja sebagai buruh mebel demi membiayai pendidikannya.

Perjuangan itu berbuah manis. Dalam wisuda ke-179 Undip pada 12 Oktober lalu, Khoiri dinobatkan sebagai salah satu wisudawan berprestasi dengan predikat cumlaude dan IPK 3,94. Sebuah pencapaian yang menjadi bukti ketekunan dan daya juang luar biasa.


Bekerja di Pabrik Selama Kuliah

Perjalanan akademiknya pun bermula bukan dari ruang kuliah, melainkan dari lantai pabrik. Setelah gagal lolos seleksi perguruan tinggi pada 2019, Khoiri memilih bekerja sambil menabung, sembari terus belajar agar bisa mencoba lagi di tahun berikutnya.

Kini, kerja keras itu terbayar lunas. Dari tangan yang dulu memahat kayu, kini ia menorehkan prestasi emas di dunia akademik.

“Saya belajar sabar dan tekun. Tahun berikutnya, saya diterima di Undip lewat jalur UTBK, pilihan pertama saya,” kata Khoiri dalam laman Undip, dikutip pada Jumat (17/10/2025).

Kuliah, Kerja, dan Organisasi Jalan Bersamaan
Memasuki dunia perkuliahan bukan berarti perjuangan Muhammad Khoiri usai. Justru di kampus, tantangannya semakin berat. Ia harus tetap bekerja demi memenuhi kebutuhan hidup sekaligus membiayai kuliah.

Selama empat tahun sembilan bulan, rutinitas padat menjadi bagian dari kesehariannya. Khoiri tidak hanya mengikuti perkuliahan, tetapi juga aktif di organisasi kampus serta kerap tampil dalam berbagai ajang kompetisi.

Kesibukannya kian beragam. Di sela jadwal kuliah, ia sempat bekerja sebagai buruh mebel, pekerja di jasa rental acara, hingga asisten riset dosen. Semua ia jalani dengan tekun, tanpa meninggalkan tanggung jawab akademik.

“Saya percaya kemenangan lahir dari persiapan. Setiap prestasi adalah tanggung jawab, bukan sekadar euforia,” ujarnya.

Khoiri aktif memimpin lima organisasi lintas daerah dan kampus, termasuk di BEM Undip dan Himpunan Mahasiswa, serta konsisten menorehkan prestasi nasional.

“Saya percaya kemenangan lahir dari persiapan. Setiap prestasi adalah tanggung jawab, bukan sekadar euforia,” tuturnya.

Koleksi Prestasi: Duta Tenun hingga Juara Podcast

Meski ia bekerja, tak membuat dirinya merasa berbeda dengan mahasiswa lain. Ia malah aktif dan berprestasi.

Buktinya Khoiri pernah menyabet juara di berbagai penghargaan, seperti Juara 1 Lomba Podcast Ristek Unnes, Islamic Public Speaking Insani Undip, dan Duta Tenun Troso.

Khoiri yakin, prestasi bisa diwujudkan meski tanpa modal finansial. Selain itu, ia ingin membuat masa kuliahnya berharga lewat prestasi tersebut.

“Kalau hanya kuliah tanpa prestasi, apa yang bisa saya banggakan?” tuturnya.

Dari Sarjana ke Wirausahawan Muda

Setelah resmi menyandang gelar sarjana, Khoiri memilih jalur fleksibel sebagai freelancer data analis dan asisten riset. Tak berhenti di situ, ia juga merintis usaha makanan ringan dan bisnis fashion lokal di kampung halamannya bersama teman-teman.

“Bagi saya, bekerja bukan hanya soal gaji, tapi ruang untuk tumbuh dan berkontribusi,” ucapnya.

Khoiri berpesan kepada mahasiswa untuk aktif di tiga hal penting yakni publikasi ilmiah, kolaborasi internasional, dan inovasi nyata bagi masyarakat.

“Kalau tiap mahasiswa berani berkarya dan menembus forum global, maka visi World Class University bukan sekadar jargon, melainkan kenyataan,” katanya.

(cyu/pal)



Sumber : www.detik.com