Tag Archives: gen z

WHV Australia 2025 Resmi Dibuka, Gen-Z yang Ingin Kerja di Aussie Cek Nih!



Jakarta

Pendaftaran Surat Dukungan Usulan Work and Holiday Visa (SDUWHV) Australia telah dibuka mulai 15 Oktober 2025. Surat ini adalah salah satu dokumen pendukung untuk mengikuti program Work and Holiday Visa (WHV) Australia.

Working Holiday Visa (WHV) adalah jenis visa untuk liburan sekaligus bekerja di luar negeri.WHV merupakan program kerja sama antara pemerintah Australia dengan pemerintah Indonesia melalui Direktorat Jenderal Imigrasi (Ditjen Imigrasi).


Khusus Australia, terdapat dua subkelas dalam program ini, yakni subclass 417 dan subclass 462. Jenis yang berlaku untuk Warga Negara Indonesia (WNI) adalah subclass 462 yang merupakan visa “Work and Holiday”.

Melalui visa ini, pemegang bisa dapat berlibur, bekerja fleksibel (full-time, part-time, shift) selama enam bulan, serta mengikuti kursus atau pelatihan hingga empat bulan. Masa berlaku WHV adalah selama 12 bulan, tetapi dalam kondisi tertentu, visa bisa diperpanjang atau diperoleh hingga 2-3 tahun.

Syarat WHV Australia 2025

Agar memperoleh WHV kelas 462, seseorang harus memenuhi sejumlah syarat berikut seperti dilansir dari laman Kedutaan Besar Australia untuk Indonesia:

1. Pemohon harus berada dalam rentang usia 18 hingga 30 tahun pada saat mengajukan permohonan.

2. Pemohon memiliki kualifikasi pendidikan di perguruan tinggi, atau telah menyelesaikan setidak-tidaknya dua tahun pendidikan perguruan tinggi

3. Belum pernah mengikuti WHV

4. Kemampuan bahasa Inggris dengan ketentuan sebagai berikut:

IELTS dengan skor rata-rata minimal 4,5 dari keempat komponen
TOEFL iBT minimal total 32 dari empat komponen tes
PTE Academic minimal 30 dari empat komponen tes
Cambridge English Advanced (CAE) dengan minimal 147 dari empat bagian tes
Sertifikat bahasa Inggris umumnya harus diterbitkan dalam kurun waktu maksimal 12 bulan, sebelum permohonan diajukan.

5. Bukti keuangan yang memadai untuk biaya awal tinggal di Australia dan tiket pulang ke Indonesia, yaitu sekitar AUD 5.000 atau setara. Per Jumat (17/10), AUD 5.000 adalah sekitar Rp53 juta.

6. Pemohon harus dalam kondisi sehat jasmani dan bebas dari catatan kriminal

7. Surat dukungan dari pemerintah Indonesia (SDUWHV)

8. Dokumen pendukung umum

Beberapa dokumen lain yang harus disiapkan meliputi:

Paspor dengan masa berlaku minimal sekitar 12 bulan atau lebih dari tanggal pengajuan.
Foto terbaru latar polos
Ijazah / transkrip / surat keterangan mahasiswa aktif
SKCK
Dokumen identitas (KTP, Akta Kelahiran, Kartu Keluarga)
Sertifikat bahasa Inggris
Bukti kepemilikan dana dan surat pernyataan keabsahan dokumen.

Cara Pengajuan SDUWHV Australia 2025

Cara Buat Akun SDUWHV

  1. Kunjungi laman resmi sduwhv.imigrasi.go.id
  2. Klik menu “Login” di pojok kanan atas, lalu pilih “Buat Akun Baru”
  3. Masukkan data diri dengan benar, seperti email, nomor paspor, nama lengkap, hingga tanggal lahir;
    Klik tombol “Submit”
  4. Setelah itu, cek kotak masuk pada email untuk verifikasi akun. Jika tidak ada, buka di folder spam.

Cara Pengajuan SDUWHV Australia 2025

  1. Kembali ke halaman utama di sduwhv.imigrasi.go.id
  2. Pilih opsi “Login” dengan memasukkan email dan password yang telah dibuat sebelumnya
  3. Kemudian klik “Ajukan Permohonan”
  4. detikers akan diarahkan ke halaman antrean, tunggu hingga slot pengisian formulir tersedia
  5. Saat menunggu antrean, tidak perlu me-refresh halaman karena akan mengulang antrean
  6. Jika slot sudah tersedia, lengkapi formulir dengan mengisi data yang diminta, lalu klik “Lanjutkan”
  7. Isi riwayat pendidikan, mulai dari lokasi perguruan tinggi, NIM, status mahasiswa, hingga kolom deskripsi tujuan
  8. Setelah memastikan data terisi dengan benar, klik “Lanjutkan”
  9. Unggah dokumen yang telah disebutkan di atas
  10. Pastikan seluruh dokumen yang diunggah sudah benar
  11. Setujui persyaratan dan peraturan yang berlaku, kemudian klik “Submit”
  12. Selanjutnya, lakukan swafoto (selfie) dan pilih tombol “Ambil Foto”
  13. Klik “Submit” untuk menyelesaikan proses pengajuan
  14. Sistem akan melakukan verifikasi data selama 60 menit
  15. Jika disetujui, SDUWHV dapat diunduh dengan memilih tombol “Download SDUWHV”.

Informasi selengkapnya mengenai SDUWHV Australia dapat dicek melalui Instagram resmi @ditjen_imigrasi atau laman Kedutaan Besar Australia https://indonesia.embassy.gov.au/.

(nir/nah)



Sumber : www.detik.com

Kanker Kolorektal Intai Gen Z, Kemenkes Bakal Skrining 33 Juta Populasi Berisiko


Jakarta

Kanker kolorektal makin banyak ditemukan pada usia muda. Kementerian Kesehatan RI berupaya meningkatkan skrining, temuan kasus kanker kolorektal lebih dini agar kematian bisa dicegah.

Targetnya, 33 juta warga Indonesia yang masuk kategori populasi berisiko bisa diskrining selambatnya 2025. Berdasarkan data awal cek kesehatan gratis, lima provinsi dengan jumlah populasi berisiko tinggi terbanyak berada di Bali, DI Yogyakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, hingga Jawa Timur dengan 7,6 juta orang.

Kepala Tim Kerja KDI Kemenkes RI Rindu Rachmiati SKM M Epid menjelaskan kanker kolorektal adalah keganasan yang berasal dari jaringan usus besar terdiri dari kolon, bagian terpanjang usus besar atau rektum bagian kecil terakhir dari usus besar sebelum anus.


Mengutip data International Agency for Research on Cancer (IARC), Rindu menekankan kanker kolorektal adalah salah satu penyebab kematian tertinggi akibat kanker di Indonesia.

“Penyebab kematian kelima tertinggi di Indonesia. Angka kematian kolorektal laki-laki dan perempuan tidak terlalu jauh bedanya dibandingkan dengan misalkan perempuan payudara dan kanker serviks. Dengan insiden kasus prevalensinya 12,1 dan kematian 6,6,” sebutnya.

Kanker terus menjadi beban pembiayaan terbesar kedua terkait kesehatan, dengan sekitar Rp 5,9 triliun menurut data 2022.

Rindu merinci kelompok yang memiliki faktor risiko tinggi kanker kolorektal:

  • usia lebih dari 45 tahun laki2 perempuan
  • memiliki riwayat keluarga kanker susus
  • pola makan rendah serat tinggi lemak junkfood
  • perokok
  • obesitas sentral
  • kurang aktivitas fisik

“Mayoritas ditemukan dalam stadium lanjut,” tegas dia.

Karenanya, pemerintah meningkatkan deteksi dini demi menekan kemungkinan angka kesakitan dan kematian serta tingginya beban biaya kesehatan akibat kanker. Bila ini semua tidak diintervensi, diperkirakan terjadi peningkatan 77 persen kasus kanker di 2050.

Skrining akan dilakukan pada orang yang tampaknya sehat di atas 45 tahun, tidak memiliki gejala. Pertama dilakukan wawancara kuesioner, bila hasilnya dinyatakan berisiko, dilakukan pemeriksaan colok dubur, hingga pemeriksaan darah samar pada feses.

(naf/kna)



Sumber : health.detik.com

Gen Z Melek Teknologi tapi Terjebak Judol


Jakarta

(Hasil penelitian mahasiswa IPB ini menarik dan sekaligus jadi pengingat bagi anak muda terkait fenomena judi online.)

Saat ini banyak pihak yang gencar menyuarakan kampanye literasi digital di samping pesatnya kemajuan teknologi. Salah satu ironi yang ada dalam ranah digital sekarang adalah judi online (judol).

Fenomena ini menjadi sorotan penelitian mahasiswa IPB University yang tergabung dalam Program Kreativitas Mahasiswa (PKM). Mereka menemukan kenyataan mencolok bahwa pendidikan tinggi dan literasi digital belum cukup melindungi anak muda dari godaan judol.


“Fenomena ini bukan lagi sekadar persoalan moral, tetapi cermin dari paradoks digital yang menimpa Gen Z, kelompok yang lahir dan tumbuh di era konektivitas tanpa batas,” kata Zyahwa Aprilia, perwakilan tim dikutip dari laman IPB, Minggu (19/10/2025).

Tekanan Ekonomi dan Gaya Hidup Digital

Dalam riset ini, tim IPB mewawancarai sejumlah responden laki-laki berusia 22-27 tahun. Tim mendapat data bahwa mereka mayoritas adalah lulusan sarjana.

Adapun pendapatan mereka berkisar antara Rp2 juta hingga Rp5 juta per bulan. Dengan gaji demikian, mereka dituntut hidup di perkotaan yang secara ekonomi punya tekanan lebih tinggi.

“Sebagian responden menyatakan bahwa judol menjadi ‘jalan pintas’ untuk memenuhi gaya hidup digital. Bukan semata karena keinginan berjudi, tetapi karena keinginan untuk bertahan di lingkungan yang serba cepat dan kompetitif,” ungkap Zyahwa.

Zyahwa melihat hasil penelitiannya menunjukkan masih adanya kontradiksi. Di satu sisi pelaku judol paham risikonya tapi di sisi lain tekanan sosial dan ekonomi menjadikan mereka berani bertaruh.

Normalisasi Judi di Dunia Digital

Tim juga menemukan budaya digital berperan besar dalam menormalisasi perilaku berjudi. Pasalnya, kini iklan judol semakin bermunculan banyak channel media sosial. aplikasi, game, dan lainnya.

“Bagi mereka, judi digital bukan lagi aktivitas ‘gelap’, tetapi sekadar bagian dari hiburan daring. Main game sambil dapat uang, katanya,” ungkap Zyahwa.

Menurutnya, hal ini membuktikan bahwa literasi digital tinggi tidak selalu sejalan dengan literasi moral dan finansial. Akses internet yang luas justru membuka celah bagi perilaku berisiko yang sebelumnya sulit dijangkau.

Lulusan Sarjana pun Tak Kebal Adiksi Digital

Zyahwa menyebut temuan lain yang cukup mengejutkan adalah mayoritas pelaku judi online merupakan lulusan sarjana. Mereka memang memiliki kemampuan berpikir kritis, tetapi tekanan sosial dan ekonomi tetap menjadi alasan.

“Mereka melek teknologi, tapi belum tentu siap menghadapi kompleksitas dunia digital yang memanipulasi psikologi dan ekonomi personal,” katanya.

Menurut Zyahwa, penelitian ini memperlihatkan wajah nyata paradoks digitalisasi. Banyak yang berharap teknologi bisa memperluas peluang.

Akan tetap, malah justri menciptakan jebakan baru bagi generasi muda yang belum siap secara ekonomi dan budaya. Zyahwa menambahkan, judi online hanyalah salah satu bentuk perilaku bermasalah akibat penggunaan internet berlebihan (Specific Problematic Internet Use / SPIU).

“Penelitian ini membuktikan bahwa angka-angka tidak berdiri sendiri. Di balik statistik, ada wajah-wajah muda yang berjuang antara realitas ekonomi dan dunia digital yang menggoda,” katanya.

Melihat kondisi ini, tim peneliti IPB mendorong agar kebijakan publik tidak berhenti pada pemblokiran situs, tetapi juga mencakup pendekatan sosial dan kultural.

“Gen Z tidak butuh sekadar peringatan, tapi ruang aman untuk memahami dan mengelola perilaku digital mereka. Jika tidak, paradoks digitalisasi akan terus berulang, melahirkan generasi yang pintar secara teknologi, tapi kalah oleh algoritma,” pungkasnya.

(cyu/nwk)



Sumber : www.detik.com