Tag Archives: geologi

Satelit Deteksi Gravitasi Aneh, Berdampak Perubahan Bumi


Jakarta

Satelit mendeteksi sinyal gravitasi aneh di lepas pantai Afrika hampir 20 tahun lalu, yang menunjukkan sesuatu yang tidak biasa telah terjadi jauh di dalam planet yang menyebabkan distorsi medan gravitasinya, menurut sebuah studi terkini.

Anomali gravitasi besar ini berlangsung selama sekitar dua tahun di Samudra Atlantik bagian timur. Puncaknya terjadi pada Januari 2007. Para peneliti baru-baru ini menemukan sinyal tersebut saat menganalisis data yang dikumpulkan oleh satelit Gravity Recovery and Climate Experiment (GRACE) antara tahun 2003 hingga 2015.


Anomali gravitasi tersebut terjadi sekitar waktu yang sama dengan ‘sentakan’ geomagnetik, yakni perubahan mendadak dalam variasi medan magnet Bumi.

Para peneliti menduga anomali aneh dan sentakan tersebut disebabkan oleh proses geologi yang sebelumnya tidak diketahui. Temuan mereka, yang dipublikasikan pada 28 Agustus di jurnal Geophysical Research Letters, menunjukkan bahwa pergeseran mineral mungkin telah menyebabkan redistribusi massa yang cepat di mantel dalam, dekat inti, yang mengubah medan magnet Bumi.

Rekan penulis studi Mioara Mandea, seorang ahli geofisika di National Centre for Space Studies (CNES) di Prancis dan peneliti utama untuk proyek Gravimetry, Magnetism, Rotation and Core Flow Dewan Riset Eropa. Pada awalnya, ia mempertanyakan validitas sinyal tersebut.

“Seperti yang sering terjadi dalam penelitian ilmiah, respons awal saya adalah pertanyaan: apakah sinyal itu asli, bagaimana cara memvalidasinya, dan bagaimana seharusnya ditafsirkan?,” ujar Mandea seperti dikutip dari Live Science.

“Meskipun hasil dan publikasinya tentu saja memuaskan, pikiran utamanya adalah mempertimbangkan langkah selanjutnya dan kemungkinan implikasinya,” ujarnya.

Satelit GRACE adalah sepasang wahana antariksa identik yang dioperasikan sebagai bagian dari misi gabungan antara NASA dan Pusat Antariksa Jerman (DLR). Para ilmuwan menggunakan satelit-satelit ini, yang aktif sejak 2002 hingga kehabisan bahan bakar pada 2017, untuk mengukur variasi gravitasi Bumi. Satelit-satelit tersebut bergerak beriringan mengelilingi Bumi, dan para peneliti mengukur jarak antara kedua objek tersebut untuk mencari perubahan yang terjadi akibat variasi gaya gravitasi Bumi.

Variasi gravitasi semacam itu sering kali disebabkan oleh variasi konsentrasi massa. Semakin banyak massa, semakin besar gravitasinya. Misalnya, arus air menggeser massa di lautan, yang dapat menyebabkan variasi lokal pada medan gravitasi Bumi.

Dalam studi baru ini, para peneliti meneliti data GRACE untuk mencari sinyal gravitasi anomali yang berpotensi berasal dari dalam Bumi, alih-alih dari pergeseran air di permukaan atau di dekat permukaan.

Sinyal tersebut merupakan anomali gravitasi yang berorientasi utara-selatan, membentang sekitar 7.000 kilometer, mendekati panjang seluruh benua Afrika, dari tahun 2006 hingga 2008.

Para peneliti masih mempelajari mantel dalam Bumi dan batas antara lapisan batuan dan inti luar cair planet kita, tetapi bagian bawah mantel sebagian besar terdiri dari magnesium silikat (MgSiO3). Para penulis studi berpendapat bahwa redistribusi massa yang mereka kaitkan dengan sinyal tersebut terjadi sebagai akibat dari transformasi fase perovskit menjadi pasca-perovskit di bagian mantel bawah ini, yang mengakibatkan struktur magnesium silikat berubah di bawah tekanan, menggeser massa jauh di dalam Bumi.

Mandea mencatat bahwa pesan utama penelitian tersebut adalah bahwa Bumi itu kompleks dan diperlukan kumpulan data dan metode yang berbeda untuk memahami proses internalnya.

“Bumi adalah sistem kompleks yang harus dipelajari menggunakan beragam data dan metode analisis yang saling melengkapi. Sinergi ini memberi kita kesempatan untuk mengungkap dan lebih memahami proses tersembunyi di kedalaman Bumi,” ujar Mandea.

(rns/rns)



Sumber : inet.detik.com

Meteor Jatuh Bisa Sebabkan Tsunami? Ini Kata Ahli Geologi UGM



Jakarta

Sebuah meteor berdiameter sekitar 3-5 meter terpantau melintas di langit Cirebon, Jawa Barat, pada Selasa (7/10). Fenomena langka ini sontak memancing rasa ingin tahu publik, apa yang akan terjadi jika benda langit semacam itu benar-benar jatuh ke wilayah Indonesia?

Secara astronomis, Indonesia memang berada di kawasan strategis di sekitar garis ekuator, jalur yang kerap dilintasi oleh sejumlah asteroid dan meteoroid kecil. Kondisi ini, ditambah dengan prediksi adanya asteroid yang diperkirakan melintasi orbit Bumi pada tahun 2032, membuat banyak pihak mulai menaruh perhatian pada benda dari luar angkasa tersebut.


Dosen Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, Dr. Nugroho Imam Setiawan, menuturkan kejatuhan meteor dapat membawa dampak positif maupun negatif. Di sisi negatif, jatuhnya meteor berpotensi menyebabkan tsunami. Tumbukan asteroid berukuran besar yang jatuh ke laut berpotensi memicu gelombang tsunami akibat energi yang dilepaskan ke permukaan air.

Namun, Nugroho menegaskan kemungkinan terjadinya skenario tersebut sangat kecil. Bumi memiliki sistem pertahanan alami berupa lapisan atmosfer yang berfungsi memperlambat dan mengurangi ukuran benda langit yang memasuki orbitnya. Akibatnya, sebagian besar meteor terbakar habis sebelum mencapai permukaan tanah.

Namun, apabila jatuhan meteor tetap terjadi, maka diharapkan tidak menimbulkan dampak yang besar. “Tentu saja potensi jatuhan meteorit itu masih ada karena kita memiliki asteroid yang ada di sekitar bumi,” ujarnya dalam laman UGM dikutip Kamis (16/10/2025).

Dampak Positif Jatuhnya Meteor

Jatuhan meteor juga bisa menjadi berkah terutama dalam bidang ilmiah. Melalui meteorit, ilmuwan dapat mengetahui informasi batuan dari tata surya dan yang ada di sekitar Bumi, komposisi batuan, dan kandungannya.

“Kita jadi tahu komposisi batuan yang ada di sekitar bumi, umur dari meteorit bisa menjadi informasi umur bumi, kemudian kita juga bisa mengetahui bagaimana sistem tata surya yang terjadi, serta memanfaatkan kandungan dari meteorit tersebut,” jelasnya.

Untuk memastikan keaslian kandungan dalam meteorit tersebut, ilmuwan harus menggunakan cara khusus dalam pengambilannya. Sampel meteorit lebih banyak diambil dari kutub selatan, karena disana permukaan dari Benua Antartika sebagian besar tertutupi salju, sehingga ketika ada benda langit yang warnanya lebih gelap bisa terlihat dengan jelas.

“Semakin cepat mengambil sampel dari masa jatuhnya itu semakin baik, kalau semakin lama meteorit sudah bercampur dengan tanah, dan lapuk tentu akan mengurangi keaslian meteorit tersebut,” ujarnya.

Nugroho menambahkan, salah satu kandungan organik yang ditemukan di dalam meteorit adalah asam amino. Namun, asam amino juga bisa menghilang sebelum sampai di Bumi.

“Ketika meteorit memiliki pori untuk menyimpan asam amino, dia akan lebih aman tetapi kalau tidak berpori dan asam amino hanya terselubung di bagian luar, tidak akan survive lagi ketika jatuh di bumi,” tambahnya.

(nir/pal)



Sumber : www.detik.com