Tag Archives: gerhana matahari

Mengenal Teleskop Radio yang Digunakan Peneliti dalam Pengamatan Astronomi



Jakarta

Teleskop menjadi salah satu alat yang digunakan untuk mengamati keadaan langit. Tahukah detikers, ada berbagai jenis teleskop yang bisa digunakan dalam pengamatan astronomi?

Hal itu disampaikan oleh Peneliti Pusat Riset Komputasi Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN), Ibnu Nurul Huda. Ia menyebut teleskop tidak hanya yang berbentuk tabung dengan cermin.

Rupanya, ada juga satu jenis lain yang dikenal dengan sebutan teleskop radio.


Tentang Teleskop Radio

Pada dasarnya, cahaya terdiri dari berbagai panjang gelombang, yakni:

1. Frekuensi paling tinggi: Sinar gamma

2. Frekuensi sedang: Cahaya tampak

3. Frekuensi paling rendah: Gelombang radio

Teleskop yang dikenal masyarakat disebut dengan teleskop optik. Teleskop jenis ini berguna untuk mendeteksi cahaya tampak yang bisa dilihat dengan mata kita sendiri.

Namun, teleskop radio punya fungsi yang berbeda.

“Teleskop radio akan mengeksplor alam semesta dengan sudut pandang yang berbeda,” tuturnya dikutip dari laman resmi BRIN, Minggu (5/10/2025).

Cara Kerja Teleskop Radio

Bentuk teleskop radio seperti parabola dengan ukuran lebih besar. Alat itu dilengkapi dengan dish dan penopang yang dihubungkan dengan kabel ke komputer (sinyal) untuk memproses objek langit.

Cara kerja alat ini yaitu menangkap gelombang radio dari berbagai objek langit. Ketika sudah tertangkap, informasi akan dikirim ke komputer untuk memproses dan menjadikannya gambar.

“Di teleskop radio, ada proses pengolahan sinyal yang menghasilkan gambar yang cukup mirip seperti pada teleskop optik,” sambungnya.

Ada beberapa poin penting mengapa astronom sebagian menggunakan teleskop radio untuk melakukan observasi, yaitu:

1. Gelombang radio bisa sampai ke Bumi dan cenderung tidak terhalang atmosfer.

“Ada beberapa gelombang cahaya yang diblok oleh atmosfer, misalnya sinar gamma, X-ray, dan ultraviolet,” jelas Ibnu.

2. Teleskop radio dapat mengobservasi fenomena yang unik, yang tidak didapatkan dari teleskop optik karena panjang gelombang yang berbeda.

3. Teleskop radio dapat melakukan observasi selama 24 jam, sedangkan observasi dengan teleskop optik harus pada malam hari karena ketika siang akan terhalang Matahari.

4. Teleskop radio bisa mengobservasi saat langit sedang mendung.

Webinar “100 Jam Astronomi untuk Semua”

Berbagai penyampaian Ibnu tertuang dalam acara webinar “100 Jam Astronomi untuk Semua” yang diselenggarakan oleh BRIN. Acara ini digelar selama empat hari pada 2-5 Oktober 2025 dan dapat diakses di kanal YouTube BRIN Indonesia.

Berbagai materi yang dibahas seperti teleskop radio, penjelajahan alam semesta, arkeoastronomi tentang jejak bintang di peradaban manusia, hingga materi terkait gerhana Matahari.

Kepala Pusat Riset Antariksa BRIN, Emmanuel Sungging Mumpuni, menyampaikan kegiatan ini merupakan agenda tahunan. Lebih dari itu, kegiatan ini telah menjadi bagian agenda komunitas internasional untuk membawakan ilmu astronomi agar lebih populer di masyarakat.

“Saya berharap melalui kegiatan ini ada lebih banyak yang bisa terlibat di kegiatan astronomi,” pungkasnya.

(det/twu)



Sumber : www.detik.com

Burung Bisa Lebih ‘Cerewet’ Setelah Gerhana Matahari Total



Jakarta

Gerhana Matahari total di Amerika Utara pada 8 April 2024, ternyata mengatur ulang jam biologis beberapa spesies burung sementara waktu. Hal ini diketahui dari penelitian terbaru.

Selama dan setelah peristiwa tersebut, 29 spesies burung berkicau seolah-olah hari baru telah dimulai, kata para penulis studi yang diterbitkan di jurnal Science Volume 390 No 6769 dengan judul “Total solar eclipse triggers dawn behavior in birds: Insights from acoustic recordings and community science.”

Banyak pengamatan dari ilmuwan warga yang berada di sepanjang jalur gerhana, membantu memperluas cakupan studi.


Bagi para ilmuwan yang melacak perilaku hewan, gerhana ini memberikan eksperimen alami yang sempurna untuk melihat bagaimana burung bereaksi terhadap perubahan cahaya sementara. Hal ini yang sulit dicapai di laboratorium.

Sebagian Burung Sangat Sensitif Cahaya

Gerhana matahari total biasanya terjadi di lokasi yang sama setiap tiga hingga empat abad, menurut studi tersebut, yang berarti sebagian besar burung liar tidak pernah mengalaminya.

Mempelajari bagaimana hewan liar merespons peristiwa alam seperti gerhana memberikan wawasan tentang bagaimana mereka mengatasi perubahan lingkungan yang cepat dan membantu upaya konservasi, kata penulis utama studi Liz Aguilar, yang merupakan mahasiswa doktoral dalam program evolusi, ekologi, dan perilaku di Indiana University Bloomington.

“Cahaya adalah salah satu kekuatan paling kuat yang membentuk perilaku burung, dan bahkan ‘malam’ selama empat menit saja sudah cukup bagi banyak spesies untuk bertindak seolah-olah hari sudah pagi lagi,” tulis Aguilar dalam sebuah e-mail, dikutip dari CNN Science.

“Hal itu menunjukkan betapa sensitifnya beberapa burung terhadap perubahan cahaya – dengan implikasi yang jelas untuk masalah seperti polusi cahaya dan cahaya buatan di malam hari,” imbuhnya.

Hewan Juga Butuh Cahaya untuk Rutinitas Harian

Menurut Aguilar, sama seperti manusia, hewan lain mengambil isyarat dari cahaya untuk rutinitas harian mereka.

Selama gerhana Matahari total pada 2017, para ilmuwan mengamati reaksi hewan-hewan di kebun binatang, dengan beberapa burung kembali ke tempat bertengger di malam hari sementara spesies nokturnal menjadi lebih aktif. Namun, Aguilar dan timnya ingin mendokumentasikan secara spesifik respons di antara spesies burung liar.

Gerhana terjadi selama musim semi di Amerika Utara, waktu yang sangat aktif ketika burung berkicau untuk menarik pasangan, mempertahankan wilayah mereka, dan bermigrasi di malam hari, tambahnya. Di musim semi, burung cenderung bersuara paling banyak saat fajar dan senja.

Lalu apa yang mungkin terjadi pada ritme harian dan musiman mereka, yang sudah ditentukan secara ketat oleh terang dan gelap, jika malam singkat tiba-tiba terjadi di siang hari? Misalnya, totalitas berlangsung selama empat menit 15 detik di Bloomington, Indiana.

Menurut Aguilar, setelah bertukar pikiran tentang cara meningkatkan interaksi publik dengan kelangkaan gerhana dan mendokumentasikan perilaku hewan secara bersamaan, tim merancang aplikasi ponsel pintar gratis.

“Ilmuwan komunitas sangat penting untuk proyek ini,” ujarnya.

“Gerhana bergerak ribuan mil melintasi Amerika Utara hanya dalam beberapa jam, dan tim kami tidak mungkin berada di semua tempat itu sekaligus,” imbuhnya.

Hampir 11.000 pengamatan dari lebih dari 1.700 pengguna aplikasi bernama SolarBird, yang dikembangkan oleh para peneliti di Indiana University Bloomington dan Ohio Wesleyan University, merekam perilaku burung di sepanjang 3.106 mil (5.000 kilometer) jalur gerhana sebelum, selama, dan setelah peristiwa tersebut.

Tim juga memasang perekam seukuran kotak tisu di Indiana selatan untuk merekam sekitar 100.000 vokalisasi burung sebelum, selama, dan setelah totalitas, atau saat-saat ketika bulan sepenuhnya menghalangi cahaya matahari.

Pengguna SolarBird memiliki misi sederhana yaitu menemukan seekor burung, mengamatinya selama durasi minimum selama gerhana, dan mendokumentasikan apakah burung tersebut sedang bernyanyi, terbang, atau makan, di antara tujuh perilaku lainnya.

“Saat kami memeriksa basis data malam itu, kami melihat komunitas tersebut juga telah melakukan keajaibannya,” kata Dr Paul Macklin, profesor madya teknik sistem cerdas di Luddy School of Informatics, Computing and Engineering, Indiana University Bloomington.

Bagaimana Perilaku Mereka Setelah Gerhana Usai?

Rekaman yang terkumpul dianalisis oleh BirdNET, sebuah sistem AI yang dapat mengidentifikasi spesies burung berdasarkan kicauannya. Para ahli dalam tim juga menganalisis kicauan burung.

Dari 52 spesies burung yang aktif selama gerhana, 29 menunjukkan perubahan yang nyata dalam vokalisasi mereka, tulis para penulis dalam studi tersebut.

Saat langit mulai gelap, 11 spesies burung berkicau lebih banyak dari biasanya. Selama kegelapan, beberapa burung terdiam sementara yang lain menjadi lebih aktif.

Namun, perubahan terbesar terjadi saat sinar matahari kembali, dengan 19 spesies berkicau dengan apa yang disebut para peneliti sebagai paduan suara fajar yang palsu.

Misalnya, burung hantu berpalang berkicau empat kali lebih sering daripada biasanya. Dan burung robin, yang memiliki kicauan khas sebelum fajar, berkicau enam kali lebih sering daripada rata-rata biasanya.

Bagi burung-burung ini, lanjut Aguilar, kembalinya sinar matahari menandakan dimulainya hari baru, yang secara efektif mengatur ulang jam biologis mereka.

“Berbagai spesies burung menyambut fajar dengan cara yang sangat berbeda, beberapa memiliki kicauan fajar yang lantang dan rumit, sementara yang lain jauh lebih pelan,” kata Aguilar.

“Kami menemukan bahwa spesies dengan kicauan fajar paling intens juga merupakan yang paling mungkin bereaksi terhadap gerhana,” ujarnya.

(nah/nwk)



Sumber : www.detik.com

Gerhana Matahari 2023 Kuatkan Konsep Hisab Hakiki Wujudul Hilal Muhammadiyah



Jakarta

Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah telah menetapkan awal 1 Syawal/Hari Raya Idul Fitri 1444 H jatuh pada 21 April 2023. Dalam menentukan penanggalan tersebut, Muhammadiyah menggunakan hisab hakiki wujudul hilal yang dipedomani oleh Majelis Tarjih dan Tajdid dari organisasi Islam (ormas) tersebut.

Melansir dari situs resmi Muhammadiyah, metode hisab yang mereka gunakan mengacu pada gerak faktual Bulan di langit sehingga bermula dan berakhirnya bulan kamariah berdasarkan pada kedudukan atau perjalanan Bulan. Metode ini dikenal dengan sebutan hisab hakiki.

Dalam metode tersebut, Muhammadiyah menggunakan kriteria wujudul hilal, yakni Matahari terbenam lebih dulu daripada Bulan meskipun jarak waktunya hanya selang satu menit atau kurang. Ide tersebut dicetus oleh pakar falak Muhammadiyah, Wardan Diponingrat.


Berkenaan dengan itu, pada 20 April 2023 diketahui gerhana Matahari akan melintasi wilayah Indonesia. Uniknya, gerhana tersebut menguatkan konsep hisab hakiki wujudul hilal yang Muhammadiyah gunakan. Mengapa demikian?

Hubungan Antara Hakiki Wujudul Hilal dengan Gerhana Matahari 2023

Gerhana Matahari yang akan terjadi 20 April 2023 mendatang merupakan gerhana Matahari hibrida yang disebut sebagai gerhana langka serta unik. Fenomena tersebut tidak terjadi setiap tahun, terakhir kali gerhana muncul yakni 3 November 2013 lalu di Amerika Serikat.

Tahun ini, gerhana Matahari hibrida dapat disaksikan di Indonesia, tepatnya di laut Timor yang berada di sebelah Tenggara Pulau Timor. Ketika gerhana Matahari hibrida berlangsung, maka Matahari, Bulan, dan Bumi berada dalam satu garis lurus.

Posisi tersebut terjadi ketika Bulan baru, berarti saat Matahari dan Bulan mengalami konjungsi atau biasa dikenal dengan istilah ijtimak. Sementara itu, gerhana bulan terjadi ketika Matahari, Bumi, dan Bulan berada dalam satu garis lurus, biasanya terjadi saat bulan purnama.

Umumnya, apabila gerhana Matahari terjadi maka keesokan harinya sudah memasuki bulan baru kalender hijriah. Namun, ini tergantung kepada waktu terjadinya gerhana, jika fenomena berlangsung pagi sampai siang, maka keesokan harinya sudah masuk bulan baru karena tinggi hilal berada di atas ufuk. Sebaliknya, jika gerhana terjadi di sore hari, kemungkinan hilal masih di bawah ufuk dan esoknya belum masuk bulan baru.

Gerhana Matahari tahun ini terjadi di bulan Ramadan, hal ini akan menyita perhatian banyak masyarakat, terutama kaum muslimin. Bulan Ramadan, Syawal, dan Zulhijjah menjadi bulan yang banyak diperhatikan karena berkaitan dengan puasa wajib, Idul Fitri, serta Idul Adha.

Pada 29 Ramadan nanti yang bertepatan dengan 20 April 2023, tinggi hilal sebesar 2°21,39′ sudah cukup masuk kriteria hakiki wujudul hilal, sehingga keesokan harinya (21 April) sudah masuk bulan Syawal. Namun, bagi Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS), kriteria tersebut belum mencukupi.

Kriteria MABIMS mensyaratkan tinggi hilal 3° dan elongasi 6,4°. Perbedaan inilah yang jadi penyebab Idul Fitri tidak jatuh secara serentak.

Kapan Lebaran Idul Fitri 2023?

Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, Lebaran Idul Fitri 2023 versi Muhammadiyah jatuh pada 21 April. Sementara itu, pemerintah melalui Kementerian Agama (Kemenag) beserta Nahdlatul Ulama (NU) belum menetapkan tanggal pasti jatuhnya Hari Raya Idul Fitri 1444 H.

Nantinya, pemerintah akan menggelar sidang isbat untuk melakukan penetapan Lebaran 2023 secara resmi. Sidang isbat digelar pada 20 April mendatang, ini sesuai dengan pernyataan Direktur Jenderal Bimas Islam Kemenag, Kamaruddin Amin.

“InsyaAllah tanggal 29 Ramadan/20 April,” ujarnya, dikutip dari arsip detikHikmah.

Kemenag menggunakan metode rukyatul hilal yang berarti penentuan awal Ramadan serta Syawal berdasarkan pengamatan Bulan. Setelahnya, hilal akan diamati ketika Matahari tenggelam dengan mata telanjang atau alat bantu optik.

(aeb/lus)



Sumber : www.detik.com