Tag Archives: gratis

Pakar UGM Sebut Celah Ini Picu Keracunan MBG



Jakarta

Angka keracunan massal Makan Bergizi Gratis (MBG) tembus 10.482 anak per 4 Oktober 2025, berdasarkan catatan Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI). Dalam kurun 29

September-3 Oktober 2025, korban keracunan MBG mencapai 1.883 anak, lebih tinggi dari rata-rata mingguan 1.531 anak/minggu.


Merespons lonjakan kasus keracunan MBG, Pusat Kedokteran Tropis Universitas Gadjah Mada (PKT UGM) menilai kejadian luar biasa (KLB) ini menunjukkan perlunya evaluasi menyeluruh agar aman dilaksanakan.

Direktur PKT UGM, Dr dr Citra Indriani MPH menjelaskan ada celah risiko keracunan MBG dari pengelolaan makanan yang dilakukan Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG).

Celah Risiko Keracunan MBG

Ia menjelaskan, pengelolaan makanan skala besar menjadi celah keracunan. Terlebih jika jumlahnya di luar kapasitas pengelola.

Citra menyorot skala produksi SPPG disebut setara, bahkan lebih, dari katering industri. Sayangnya, kondisi ini tidak diikuti dengan disiplin terhadap standar Hazard Analysis and Critical Control Points (HACCP) yang seharusnya ditaati produksi skala besar tersebut.

Ia mengungkap, hasil kajian investigasi UGM terhadap sejumlah kasus KLB pangan terkait MBG di Yogyakarta menunjukkan terdapat kesenjangan penerapan kaidah HACCP.

Di samping itu, pihak UGM menemukan minimnya pengawasan dan terbatasnya pengetahuan pelaksana MBG di lapangan.

“Jumlah porsi yang diproduksi setiap hari sangat besar. Setiap celah dalam proses, mulai dari pemilihan bahan baku, memasak, penyimpanan, hingga distribusi, bisa berdampak pada ribuan anak sekolah,” kata Citra, dikutip dari laman UGM, Senin (6/10/2025).

Masalah Pengelolaan Pangan Skala Besar

Investigasi UGM juga mengungkap total durasi antara proses memasak, pengemasan, sampai konsumsi sering kali lebih dari 4 jam. Masalahnya, manajemen penyimpanan makanan dengan jumlah besar tersebut belum memadai.

Di proses memasak sendiri, Citra mengatakan beberapa menu kurang matang lantaran dimasak dalam banyak porsi.

Sedangkan di tahap pengemasan, ia mengatakan sejumlah sekolah mengemas ulang makanan tanpa dipanaskan kembali.

“Kondisi ini memperbesar risiko terjadinya keracunan massal,” ucapnya.

Saran Perbaikan untuk Hindari Keracunan MBG

Berikut sejumlah rekomendasi PKT UGM untuk perbaikan MBG:

  • Standarisasi fasilitas dan kapasitas SPPG
  • Asesmen awal untuk menilai kelayakan produksi massal
  • Penerapan SOP berbasis HACCP, mulai dari bahan baku sampai siap dikonsumsi siswa.
  • Kewajiban pelatihan keamanan pangan dan memastikan setiap staf SPPG mengantongi Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS).
  • Pengawasan, termasuk mekanisme kontrol yang jelas, monitoring periodik, serta penguatan koordinasi lintas sektor.

“Kolaborasi berbagai pihak mutlak diperlukan agar anak-anak benar-benar mendapat manfaat program tanpa terpapar risiko keracunan pangan,” ucap Citra.

(twu/faz)



Sumber : www.detik.com

Guru Terbatas, Ruang Kelas Kurang, hingga Atap Ilalang



Jakarta

Saat skena pendidikan nasional membicarakan program sekolah rakyat hingga Makan Bergizi Gratis (MBG), SMP Negeri 3 Wamena masih memiliki kebutuhan mendasar yang perlu dipenuhi, yaitu kecukupan guru dan ruang kelas. Sekolah ini terletak di di Minimo, Kecamatan Maima, Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua Pegunungan.

Kepala SMP Negeri 3 Wamena, Ansgar Blasius Biru S Pd, M Pd, mengatakan, jika dirinya ingin menyampaikan suatu hal penting untuk pemerintah, maka itu adalah kebutuhan guru dan ruang kelas. Setelah itu, baru dukungan untuk murid berupa asrama bagi anak yang memiliki tempat tinggal sangat jauh.

“Pertama, kami masih membutuhkan ruang kelas untuk belajar, terus dukungan asrama untuk para murid. Ini memang kami sangat kesulitan dengan tempat tinggal mereka yang sangat jauh dari sekolah,” katanya kepada detikcom, saat ditemui Kamis (9/10/2025).


Menurutnya, keberadaan asrama bagi siswa yang berjarak jauh dari sekolah sangat penting. Melalui asrama, anak-anak tersebut bisa dikumpulkan dan dipenuhi kebutuhannya sebagai pelajar sesuai keseharian mereka.

“Saya sangat optimis bahwa pasti ada peningkatan sumber daya mereka, kualitas pendidikan untuk mereka,” imbuh Blasius.

Keterbatasan Tenaga Pendidik, Guru BK Tidak Ada

Blasius mengakui, pendidikan di Provinsi Papua Pegunungan secara keseluruhan masih tertinggal dibanding wilayah lain di Papua. Ia berharap, pemerintah bisa lebih memperhatikan sekolah-sekolah di Papua Pegunungan.

“Masih sangat tertinggal dengan teman-teman, saudara-saudara kita yang ada di wilayah barat, bahkan juga di wilayah tengah. Nah ini juga sesuatu yang menjadi suatu pemikiran dari Pemerintah Pusat, pimpinan untuk bisa memperhatikan tentang pendidikan kami,” ucap guru asal Nusa Tenggara Timur (NTT) tersebut.

Lebih lanjut, ia mengungkapkan, sekolah di Papua Pegunungan mengalami keterbatasan guru. Bahkan, katanya, masih sangat kurang.

Di SMPN 3 Wamena sendiri, ia mengatakan, tidak ada guru Bimbingan Konseling (BK). Padahal, menurutnya, guru BK penting dalam pendidikan karakter.

“Ini hal yang sangat penting bahwa kami masih sangat terbatas dengan tenaga kependidikan, terutama guru-guru BK, yang sekarang Menteri Pendidikan genjot bahwa bagaimana penanaman karakter. Nah, guru-guru BK masih sangat terbatas (di sini). Masih sangat jauh, masih sangat kurang. Terutama kami di SMP 3, sama sekali tidak ada guru Bimbingan Konseling,” ungkapnya.

Menurut laporan di laman Sekretariat Negara pada 2024, keterbatasan guru di tanah Papua telah menjadi tantangan yang belum rampung diselesaikan. Guru yang ada sering kali mengajar hingga tiga mata pelajaran berbeda.

Laporan menyebut, kondisi ini terjadi karena fenomena guru yang pilah-pilih tempat mengajar. Mayoritas guru kebanyakan berada di sekolah-sekolah perkotaan, sedangkan di daerah terpencil sangat sedikit.

Mayoritas Sekolah di Papua Pegunungan Masih Kekurangan Ruang Kelas

Kepala SMP Negeri 3 Wamena menyampaikan, kekurangan ruang kelas tidak hanya di sekolahnya, melainkan juga di Provinsi Papua Pegunungan. Khususnya yakni di Kabupaten Jayawijaya.

“Fasilitas juga, bahwa kami masih sangat terbatas. Mulai dari ruang kelas, yang masih kurang. Ini saya bicara bukan khusus untuk SMP 3, tapi secara keseluruhan untuk Provinsi Papua Pegunungan, khususnya untuk Kabupaten Jayawijaya. Jadi masih sangat terbatas,” kata Blasius.

Sementara itu, di beberapa sekolah, masih ada ruang kelas yang memiliki atap dari alang-alang atau ilalang. Hal ini belum ditambah akses sekolah yang jauh dari kota.

“Kalau diakses ke daerah-daerah yang sangat jauh dari Kota Wamena, itu ruang kelas masih sangat terbatas, masih atapnya berupa alang-alang atau secara tradisional mereka membangun dan mereka menempati ruang kelas itu. Memang sangat terbatas,” ujarnya.

Selain itu, model kurikulum yang memasukkan konten digital juga menjadi tantangan tersendiri di tanah Papua. Terutama di wilayah Papua Pegunungan, akses internet masih sangat terbatas.

“Apalagi sekarang pembelajaran digital, kami masih sangat terbatas dengan akses internet,” tuturnya.

(faz/twu)



Sumber : www.detik.com

Pakar UGM Ungkap Beda Alergi dan Keracunan Serta Cara Menanganinya


Jakarta

Pakar sekaligus Guru Besar Mikrobiologi Klinik Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Tri Wibawa soroti banyaknya kasus keracunan makanan dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG). Terlebih korban dari kasus ini berasal dari kalangan siswa yang menjadi sasaran MBG.

Tri menjelaskan selain menyoroti kasusnya, masyarakat dan tenaga pendidik perlu memahami tentang perbedaan alergi dan keracunan makanan. Pemahaman ini diperlukan agar masyarakat bisa mengambil langkah pertolongan pertama yang tepat bila hal itu terjadi.

Lalu apa perbedaan diantara keduanya? Dikutip dari laman resmi UGM, Kamis (9/10/2025) berikut informasinya.


Perbedaan Alergi dan Keracunan Makanan

Alergi dijelaskan Tri sebagai reaksi yang diberikan sistem kekebalan tubuh setelah mengonsumsi makanan tertentu. Reaksi ini bisa timbul bahkan ketika seseorang memakan makanan pemicu alergi sekecil apapun.

“Makanan pemicu alergi dapat menyebabkan gejala seperti biduran, pembengkakan saluran pernapasan yang memicu asma, hingga gangguan pencernaan,” tuturnya.

Alergi makanan yang menimpa seseorang tidak bisa dipandang sebelah mata. Hal ini bisa terjadi karena dalam beberapa kasus reaksi alergi dapat berujung pada kondisi yang mengancam jiwa atau dikenal sebagai anafilaksis.

Berbeda dengan alergi, keracunan makanan tidak berhubungan dengan reaksi sistem imun manusia. Keracunan makanan bisa terjadi karena masuknya kuman atau zat berbahaya dari makanan/minuman yang dikonsumsi.

Ketika seseorang mengalami keracunan makanan, biasanya ada gejala yang ditimbulkan. Gejala yang dimaksud seperti sakit perut, muntah, dan diare yang muncul beberapa jam hingga hari setelah mengonsumsi makanan.

Sebagian besar kasus keracunan makanan bersifat ringan, sehingga bisa sembuh tanpa pengobatan khusus. Tetapi, dalam kondisi tertentu kasus ini bisa berakibat serius jika tidak ditangani, terlebih bila pemicunya adalah bakteri seperti Salmonella sp dan Escherichia coli (E. coli).

Bakteri Salmonella sp bisa bertahan dalam tubuh, terhindar dari asam lambung, dan bisa menyerang mukosa usus. Dengan begitu, bila keracunan karena bakteri ini, biasanya seseorang akan merasa sakit perut karena terjadi peradangan serta luka pada dinding usus.

Sedangkan, bakteri E coli mampu menghasilkan toksin Shiga (Shiga toxin-producing E. coli / STEC). Toksin ini dapat menyebabkan penyakit tular makanan yang parah.

Tri menegaskan setiap kasus keracunan memiliki penanganan yang berbeda-beda. Penangan yang dimaksud sesuai dengan jenis bakteri yang menyerang tubuh.

“Meskipun gejalanya mirip, mekanisme penyebabnya berbeda-beda tergantung jenis bakterinya,” ungkapnya.

Tips Beri Pertolongan Pertama Saat Keracunan Makanan

Dalam konteks MBG, Tri memberikan tips beri pertolongan pertama saat keracunan makanan, yakni:

1. Cegah Dehidrasi

Jika gejala keracunan yang timbul adalah muntah dan diare, korban bisa kehilangan cairan dan elektrolit. Untuk itu langkah paling penting yang harus dilakukan adalah mengganti cairan dan elektrolit yang hilang agar mencegah korban dehidrasi.

Ia menyarankan agar penderita banyak minum air putih. Jika dirasa kurang, orang tersebut juga bisa diberikan suplemen elektrolit.

“Jika muntah masih terjadi, minumlah sedikit demi sedikit. Dan jika kondisi memburuk, segera cari pertolongan dari petugas kesehatan,” tambahnya.

2. Jangan Panik Kalau Demam

Selain muntah dan diare, demam bisa menjadi salah satu gejala yang mungkin muncul saat keracunan. Ketika hal ini terjadi, detikers diharapkan tidak panik.

Demam disebutkan Tri menjadi mekanisme alami tubuh dalam melawan infeksi. Peningkatan suhu tubuh dapat membantu memperlambat pertumbuhan bakteri serta mengoptimalkan kerja sistem imun.

“Demam membantu mengendalikan infeksi dengan memberi tekanan panas pada patogen dan meningkatkan efektivitas sistem kekebalan tubuh,” paparnya.

Meski ada langkah pertolongan pertama ketika keracunan makanan datang, Tri mengingatkan mencegah adalah langkah paling baik. Diperlukan pengawasan yang ketat terhadap seluruh rantai produksi makanan MBG.

Menurutnya, setiap tahap proses baik dari pemilihan bahan, penyimpanan, pengolahan, hingga distribusi dapat menjadi titik masuk bagi bakteri, virus, jamur, atau parasit penyebab keracunan. Oleh karena itu, standar kebersihan harus diterapkan secara optimal.

Tri berpesan agar masyarakat juga harus paham perbedaan antara alergi dan keracunan, serta upaya preventif terjadinya keracunan makanan. Keduanya merupakan kunci untuk mecegah risiko fatal dari keracunan makanan.

“Kata kuncinya adalah menjaga mutu bahan dan proses, menaati standar kebersihan, dan segera bertindak tepat ketika gejala muncul,” tandasnya.

(det/pal)



Sumber : www.detik.com