Tag Archives: hadas

Niat Mandi Wajib setelah Haid dan Sunnah-sunnahnya


Jakarta

Wanita haid wajib bersuci dengan mandi besar setelah selesai haidnya. Tata cara pelaksanaannya dimulai dengan membaca niat mandi wajib setelah haid.

Dalil pelaksanaan mandi wajib setelah haid tertuang dalam Al-Qur’an dan hadits. Berikut penjelasannya.

Pengertian Mandi Wajib

Dikutip dari buku Panduan Lengkap Ibadah Muslimah karya Muhammad Syukron Maksum, mandi adalah cara lain selain wudhu untuk menghilangkan hadas. Jika wudhu digunakan untuk menghilangkan hadas kecil, maka mandi berguna untuk menghilangkan hadas besar. Perintah untuk mandi wajib ada pada Al-Qur’an surah Al Maidah ayat 6.


وَاِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوْاۗ

Artinya: “..jika kamu dalam keadaan junub, maka mandilah…”

Dikutip dari Buku Tuntunan Lengkap Salat Wajib, Sunah, Doa, dan Zikir karya Zakaria R. Rachman, dalam thaharah, yang dimaksud mandi yaitu mandi wajib atau mandi janabat. Mandi wajib adalah aktivitas mengalirkan atau meratakan air ke seluruh permukaan kulit tubuh dengan niat menghilangkan hadas besar.

Sebab Mandi Wajib

Beberapa hal yang dapat menjadi sebab mandi wajib di antaranya:

1. Junub (Janabat)

Junub yaitu keadaan sesudah bersetubuh atau keluar mani, baik melalui mimpi ataupun disengaja. Junub termasuk hadas besar sehingga harus disucikan dengan mandi wajib.

2. Selesai Haid dan Nifas

Haid dan nifas juga merupakan hadas besar. Oleh karena itu, bagi wanita, setelah darah haid dan nifas berhenti harus menyucikan diri dengan mandi wajib sebelum melakukan ibadah seperti salat wajib.

3. Mati yang Bukan Mati Syahid

Mandi wajib yang dimaksud dalam hal ini adalah memandikan orang yang telah mati jika matinya bukan karena mati syahid, seperti mati di medan perang ketika berperang dengan orang kafir.

Mayoritas ulama berpendapat bahwa memandikan orang mati hukumnya fardhu kifayah, atau jika sebagian orang sudah melakukannya, maka yang lain gugur kewajibannya.

Rukun Mandi Wajib

  • Niat ikhlas karena Allah Ta’ala.
  • Menyiramkan atau mengalirkan air ke seluruh badan dan meratakannya dimulai dari rambut kepala.
  • Menghilangkan najis yang menempel.

Sunnah Mandi Wajib

  • Membaca basmalah sebelum mulai mandi.
  • Mencuci tangan sebanyak tiga kali.
  • Mencuci kemaluan hingga bersih.
  • Berwudhu seperti wudhunya orang yang hendak salat sebelum mandi.
  • Diawali dengan mengalirkan air ke bagian tubuh sebelah kanan.
  • Menggosok seluruh badan hingga bersih.

Dikutip dari kitab Fiqh Sunnah karya Sayyid Sabiq yang diterjemahkan Khairul Amru Harahap dkk, tata cara mandi wajib yang sesuai dengan sunnah Rasulullah SAW juga diriwayatkan oleh Ummul Mukminin Aisyah RA.

“Apabila Rasulullah SAW hendak mandi junub, beliau selalu memulai dengan membasuh kedua tangannya. Kemudian menuangkan air pada bagian kanan kemudian dilanjutkan bagian kiri. Setelah itu, beliau membasuh kemaluannya. Kemudian dilanjutkan wudhu seperti halnya ketika wudhu untuk mengerjakan salat. Setelah itu, beliau mengambil air dan menyiramkannya di atas kepala sambil memasukkan jari-jarinya untuk menyelah-nyela pangkal rambut. Ketika beliau merasa air telah membasahi kulit kepala, beliau membilas rambutnya sebanyak tiga kali. Kemudian beliau mengguyurkan air ke seluruh tubuhnya.” (HR Bukhari dan Muslim)

Pada dasarnya, tata cara mandi wajib ini sama baik karena junub maupun haid dan sebab lainnya. Mandi wajib diawali dengan membaca niat. Berikut bacaan niatnya untuk mandi wajib karena haid.

Niat Mandi Wajib setelah Haid

Berikut bacaan niat mandi wajib setelah haid.

نَوَيْتُ الْغُسْلَ لِرَفْعِ الْحَدَثِ اْلاَكْبَرِ فَرْضًا ِللهِ تَعَالَى

Nawaitul ghusla liraf ‘il hadatsil akbari fardhal lillaahi ta’aala.

Artinya: “Aku berniat mandi besar untuk menghilangkan hadas besar fardu karena Allah ta’ala.”

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Apakah Keputihan Bisa Membatalkan Puasa?


Jakarta

Umat Islam harus mewaspadai hal-hal yang dapat membatalkan puasa. Salah satu hal yang menjadi pertanyaan kaum muslim utamanya muslimah yaitu apakah keputihan bisa membatalkan puasa? Berikut penjelasannya.

Salah satu hal yang dapat membuat puasa seorang muslimah batal yaitu haid atau menstruasi. Ini karena menstruasi termasuk dalam hadas besar.

Mengutip buku Dahsyatnya Puasa Wajib & Sunah karya Akhyar As-Shiddiq Muhsin dan Dahlan Harnawisastra, larangan puasa ketika haid ini berdasarkan ijma’ para ulama mengenai batalnya puasa dalam keadaan haid dan nifas. Hal ini juga sesuai dengan salah satu hadits.


Rasulullah SAW bersabda, “Jika seorang mengalami haid, bukankah ia tidak melaksanakan salat dan tidak pula shaum? itu adalah bagian dari kekurangannya dalam agama.” (HR Bukhari)

Keputihan memiliki pengertian yang berbeda dengan haid. Keputihan adalah kondisi keluarnya cairan atau lendir berwarna putih dari vagina. Dikutip dari buku La Tahzan untuk Wanita Haid karya Ummu Azzam, keputihan dapat dibagi menjadi dua yaitu keputihan normal dan keputihan abnormal. Keputihan normal umum terjadi pada setiap wanita.

Keputihan Membatalkan Puasa?

Menukil buku Fiqih Perempuan Kontemporer karya Farid Nu’man, para ulama membedakan antara keputihan yang keluar dari dalam kemaluan dan keputihan yang keluar dari permukaan bagian luar kemaluan. Disebutkan dalam al-Mausu’ah al-Fiqhiyah,

“Mayoritas ahli fiqih keputihan yang keluar dari dalam kemaluan najis karena itu merupakan cairan yang keluar dari dalam. Adapun yang keluar dari bagian permukaan, yaitu yang wajib dibasuh ketika mandi, maka itu menjadi suci. Abu Hanifah dan Hanabilah mengatakan bahwa keputihan adalah suci secara mutlak. “

Dikutip dari buku 125 Masalah Thaharah karya Muhammad Anis Sumaji, para ulama mengkategorikan keputihan dalam darah penyakit atau masuk dalam kategori istihadhah. Darah istihadhah adalah salah satu jenis darah dari tiga jenis darah wanita, selain haid dan nifas.

Orang yang sedang mengalami istihadhah tidak diwajibkan untuk mandi junub atau mandi wajib, hanya diwajibkan untuk berwudhu. Selain berwudhu, keputihan yang dimaknai sebagai darah istihadhah juga wajib dibersihkan.

Pendapat lain dijelaskan dalam Fikih Muslimah Praktis karya Hafidz Muftisany. Para ulama memperselisihkan sifat dari keputihan atau ifrazat, apakah disamakan dengan madzi dan irq (cairan kemaluan) atau dengan mani.

Asy Syairazi bersikukuh menyebutnya najis karena lebih dekat jenisnya dengan madzi, sedangkan Baghawi dan ar-Rafii berpendapat ifrazat adalah suci. Imam Syafi’i juga berpendapat bahwa status ifrazat adalah suci.

Dari pernyataan tersebut diketahui masih terdapat perbedaan pendapat mengenai najis tidaknya keputihan. Akan tetapi, pendapat yang menyebutkan bahwa keputihan termasuk najis juga memberi keterangan bahwa muslimah yang mengalami keputihan tidak diharuskan mandi wajib.

Itu berarti, keputihan dapat dibedakan dengan haid dan nifas yang disyariatkan untuk mandi wajib. Dengan kata lain, keputihan tidak membatalkan puasa. Wallahu a’lam.

Hal-hal yang Membatalkan Puasa

Mengutip buku Memantaskan Diri Menyambut Bulan Ramadhan karya Abu Maryam Kautsar Amru, 5 hal yang disepakati ulama sebagai pembatal puasa yaitu:

1. Makan dan Minum dengan Sengaja

Makan dan minum dengan sengaja dapat membatalkan puasa. Adapun jika seseorang makan dan minum dengan tidak sengaja, maka hal itu tidak membatalkan puasanya.

2. Muntah dengan Sengaja

Muntah dengan sengaja juga termasuk perkara yang membatalkan puasa. Adapun, jika muntah tidak disengaja maka tidak membatalkan puasa. Misalnya muntahnya wanita hamil yang mengalami morning sickness. Orang yang muntah dengan sengaja wajib mengqadha puasa, sebagaimana dikatakan Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqh Sunnah-nya yang diterjemahkan Abu Syauqina yang bersandar pada sabda Rasulullah SAW,

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – – مَنْ ذَرَعَهُ الْقَيْءُ فَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ, وَمَنْ اسْتَقَاءَ فَعَلَيْهِ اَلْقَضَاءُ – رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ

Artinya: “Barang siapa yang (terpaksa) muntah, maka ia tidak berkewajiban mengqadha (puasa). Tetapi barang siapa yang sengaja muntah, maka ia berkewajiban mengqadha (puasa).” (HR lima imam hadits, yaitu Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan An-Nasa’i)

3. Mengalami Haid dan Nifas bagi Wanita

Wanita yang mengalami haid dan nifas ketika berpuasa maka puasanya batal dan wajib menggantinya di luar bulan Ramadan.

4. Melakukan Jimak

Jimak atau hubungan suami istri baik hingga keluar air mani ataupun tidak keluar air mani dapat membatalkan puasa. Adapun jimak yang dilakukan pada waktu siang hari di bulan Ramadan hukumnya haram, sedangkan jimak pada malam hari di bulan Ramadan diperbolehkan.

5. Murtad atau Keluar dari Islam

Orang yang keluar dari Islam maka puasanya batal, demikian juga kewajiban puasanya. Empat mazhab sepakat Islam menjadi syarat wajib puasa Ramadan.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Niat Menggabungkan Mandi Junub dan Haid, Bagaimana Cara dan Pendapat Ulama?


Jakarta

Haid dan keadaan junub menyebabkan hadas besar bagi seorang pria maupun wanita. Sehingga, umat muslim yang dalam kondisi tersebut harus segera melakukan mandi wajib sebelum melaksanakan ibadah sholat.

Seorang wanita mungkin akan mengalami kondisi di mana dia harus menggabungkan kedua mandi wajib tersebut. Bagaimana caranya?

Niat Menggabungkan Mandi Junub dan Haid, Ini Pendapat Ulama

Dua hadas besar, dalam hal ini junub dan haid, bisa diselesaikan hanya dengan satu kali niat. Ketentuan ini dijelaskan ulama Buya Yahya dalam channel YouTubenya Buya Yahya.

“Kalau punya hadas empat atau lima, niatnya cuma satu. Cara mandinya cuma satu tidak perlu empat atau lima,” ujar Buya Yahya dalam videonya yang berjudul Mempunyai Lebih dari Satu Hadats, Berapa Kali Harus Bersuci?


Buya Yahya juga menjelaskan ketentuan bagi muslimah yang sudah selesai haid, lalu berhubungan badan dengan suaminya. Namun belum sempat mandi besar untuk menuntaskan hadasnya, sehingga kembali suci.

“Menurut jumhur ulama dan mahdzab kita, Syafi’i, wanita yang sudah terputus haidnya tidak boleh digauli sampau dia mandi. Kalau sudah bersuci maka boleh didatangi,” kata Buya Yahya dalam video berjudul Belum Sempat Mandi Besar Setelah Haid, Bolehkah Berhubungan Intim? di channel Al-Bahjah TV.

Selain Imam Syafi’i, pendapat serupa juga dikatakan Imam Malik dan Imam Ahmad. Buya Yahya mengatakan, mandi besar lebih dulu usai haid sebelum berhubungan tak sekadar menjalankan syariat. Dengan kondisi yang lebih bersih dan nyaman, seorang muslimah bisa berhubungan dengan lebih bersama suaminya.

Niat Menggabungkan Mandi Junub dan Haid, Bagaimana Caranya?

Sesuai petunjuk ulama, niat menggabungkan mandi junub dan haid cukup dibaca satu kali. Dalam hal ini, muslimah bisa membaca niat mandi junub sebagai berikut:

نَوَيْتُ الْغُسْلَ لِرَفْعِ الْحَدَثِ اْلاَكْبَرِ فَرْضًا ِللهِ تَعَالَى

Latin: Nawaitul ghusla liraf ‘il hadatsil akbari fardhal lillaahi ta’ala.

Artinya: “Aku berniat mandi besar untuk menghilangkan hadas besar fardu karna Allah ta’ala.”

Bacaan niat ini dikutip dari Kitab Lengkap dan Praktis Fiqh Perempuan oleh Abdul Syukur al-Azizi. Tata cara mandi wajib selengkapnya adalah:

  1. Membaca Niat
  2. Bersihkan kedua telapak tangan sebanyak tiga kali
  3. Mulai membersihkan kotoran-kotoran yang tersembunyi dengan tangan kiri, seperti kemaluan, dubur, bawah ketiak, pusar, dan lain sebagainya
  4. Mencuci tangan dengan cara menggosokkan ke sabun atau tanah
  5. Berwudhu
  6. Menyela pangkal rambut menggunakan jari-jari tangan yang telah dibasuh air hingga menyentuh kulit kepala
  7. Membasuh seluruh tubuh dengan air yang dimulai dari sisi kanan lalu kiri
  8. Memastikan seluruh lipatan kulit serta bagian yang tersembunyi ikut dibersihkan.

Langkah-langkah mandi wajib ini dikutip dari buku Fiqh Ibadah karya Zaenal Abidin. Penjelasan niat menggabungkan mandi junub dan haid ini semoga bisa meningkatkan iman dan taqwa detikers pada Allah SWT.

(elk/row)



Sumber : www.detik.com