Tag Archives: haji

Arab Saudi Buka Pendaftaran Umrah Ramadan 2025, Ini Ketentuannya


Jakarta

Ramadan menjadi puncak musim umrah tahunan di Tanah Suci. Pemerintah Arab Saudi telah membuka pendaftaran umrah untuk paruh pertama Ramadan 2025.

Dilansir dari Gulf News, Jumat (21/2/2025), pendaftaran umrah Ramadan bisa dilakukan lewat aplikasi Nusuk. Aplikasi ini nantinya akan mengeluarkan izin umrah yang wajib dimiliki setiap jemaah.

Kementerian Haji dan Umrah Arab Saudi mencatat indikator kepadatan di halaman pemesanan untuk hari pertama Ramadan, yang diprediksi mulai 1 Maret 2025, menunjukkan sedang. Namun, pihaknya tidak melaporkan angka spesifik pemesanan itu.


Terjadi peningkatan pemesanan pada dua hari Jumat pertama bulan tersebut, sedangkan pemesanan pada hari-hari lainnya masih rendah.

Umrah bulan Ramadan selalu ramai. Laporan detikHikmah dari Tanah Suci pada Ramadan tahun lalu, area pelataran Ka’bah dipadati jemaah menjelang buka puasa dan salat berjamaah. Saat Ramadan, memasuki pelataran Ka’bah juga bukan perkara mudah karena banyaknya jemaah umrah.

Otoritas Arab Saudi mencatat lebih dari 30 juta umat Islam menunaikan umrah selama Ramadan 2024. Seorang pejabat otoritas yang bertanggung jawab atas Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, Walid Basamad, dalam wawancaranya dengan TV Saudi Al Ekhbariya mengatakan direktorat terkait telah bekerja untuk memastikan layanan berkualitas tinggi untuk jemaah yang memadati Masjidil Haram.

Keutamaan Umrah Ramadan

Umrah bulan Ramadan menjadi incaran umat Islam karena keutamaan yang terkandung di dalamnya. Menurut sebuah hadits yang terdapat dalam Shahih Muslim, Rasulullah SAW pernah menyebut pahala umrah di bulan Ramadan setara dengan haji.

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِامْرَأَةِ مِنْ الْأَنْصَارِ يُقَالُ لَهَا أُمُّ سِنَانٍ مَا مَنَعَكِ أَنْ تَكُونِي حَجَجْتِ مَعَنَا قَالَتْ نَاضِحَانِ كَانَا لِأَبِي فُلَانٍ زَوْجِهَا حَجَّ هُوَ وَابْنُهُ عَلَى أَحَدِهِمَا وَكَانَ الْآخَرُ يَسْقِي عَلَيْهِ غُلَامُنَا قَالَ فَعُمْرَةً فِي رَمَضَانَ تَقْضِي حَجَّةً أَوْ حَجَّةً مَعِي

Artinya: “Dari Ibnu Abbas RA, bahwasanya Nabi SAW bertanya kepada seorang perempuan dari kaum Anshar yang bernama Ummu Sinan, “Apa yang menghalangimu sehingga kamu tidak turut berhaji bersama kami?” Perempuan itu menjawab, “Ada dua saluran air milik ayah anakku (yakni milik suaminya). Ketika suamiku berhaji, putranya yang mengurus salah satu dari dua saluran air tersebut, sedangkan yang satu lagi diurus oleh pembantu kami untuk mengairi kebun kurma milik kami.” Rasulullah SAW bersabda, “Jika kamu berumrah di bulan Ramadan, maka pahalanya seperti haji (atau berpahala seperti haji bersamaku).” (HR Muslim)

(kri/lus)



Sumber : www.detik.com

Kisah Penjarahan Hajar Aswad hingga Sempat Hilang 22 Tahun



Jakarta

Hajar Aswad adalah objek istimewa bagi umat Islam yang berada di salahh satu sudut Ka’bah. Di balik keistimewaannya, mungkin tidak banyak muslim yang mengetahui bahwa Hajar Aswad pernah dijarah dalam sejarahnya.

Hajar Aswad sendiri memiliki salah satu keistimewaan yakni sebagai batu yang dicium Rasulullah SAW ketika sedang melaksanakan thawaf. Sunnah ini didasarkan pada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar Radhiyallahu anhu, yang berbunyi sebagai berikut.

لَمْ أَرَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَلِمُ مِنَ الْبَيْتِ إِلَّا الرُّكْنَيْنِ الْيَمَانِيَّيْنِ


Artinya: “Sesungguhnya Rasulullah SAW beristilam (menyentuh) Rukun Yamani dan Hajar Aswad setiap kali beliau thawaf,” (HR Muttafaq ‘alaih)

Kisah Penjarahan Hajar Aswad

Hajar Aswad adalah batu hitam dan suci yang diyakini berasal dari surga. Lokasinya berada di sudut tenggara Ka’bah, kira-kira 1,5 meter dari permukaan lantai.

Awalnya berwarna putih, lebih putih daripada salju. Namun, kini menjadi hitam kemerah-merahan dan sebagian kekuning-kuningan. Dari Ibnu ‘Abbas RA, Rasulullah SAW mengatakan, menghitamnya Hajar Aswad seiring dengan dosa-dosa yang diperbuat oleh manusia.

نَزَلَ الْحَجَرُ الأَسْوَدُ مِنَ الْجَنَّةِ وَهُوَ أَشَدُّ بَيَاضًا مِنَ اللَّبَنِ فَسَوَّدَتْهُ خَطَايَا بَنِى آدَمَ

Artinya: “Hajar aswad turun dari surga padahal batu tersebut begitu putih bahkan lebih putih daripada susu pada awalnya. Dosa manusialah yang membuat batu tersebut menjadi hitam.” (HR At Tirmidzi)

Dikutip dari buku Kamus Pintar Agama Islam tulisan Syarif Yahya, setelah Nabi Adam wafat, batu ini disimpan di pegunungan Abu Qubais, Makkah, lalu dikeluarkan oleh Malaikat Jibril ketika Ibrahim dan Ismail membangun Ka’bah.

Pada 930 M/317 H, Hajar Aswad pernah dijarah oleh kaum Qaramitah atau Waramatian yang menyerang Makkah dan dibawa ke Kota Qatif di Bahrain. Qarmatian adalah salah satu kelompok syiah dengan Abu Tahir Al Qarmuti sebagai pemimpinnya.

Pada awal mulanya, Abu Tahir dan pengikutnya datang dari Bahrain menuju Makkah tepat sebelum waktu pelaksanaan haji. Namun, mereka ditolak masuk ke wilayah Makkah oleh penduduknya.

Sebagaimana yang dituliskan dalam situs Archyde, kelompok Qarmatian bahkan berpura-pura untuk menunaikan haji agar dibolehkan masuk ke Makkah. Berdasarkan catatan sejarah, Abu Tahir membawa sekitar 600 penunggang kuda dan 900 pasukan berjalan.

Kedok itu pada akhirnya dapat membuat kelompok Qarmatian berhasil menduduki Kota Makkah berikut mencabut Hajar Aswad dari tempatnya secara paksa. Pencurian tersebut dilakukan mereka dalam rangka menjarah barang-barang berharga yang ada di Ka’bah.

Sebab itu, kelompok Qarmatian juga merampas harta orang-orang di Ka’bah, merobek kiswah atau penutup Ka’bah, melepas pintu Ka’bah, hingga mengambil talang emasnya dan hampir semua yang bisa dibawa oleh mereka.

Abu Tahir memerintahkan pasukannya untuk menyimpan Hajar Aswad tersebut ke Masjid al Dirar yang terletak di ibu kota baru negara mereka, al Hasa di Bahrain. Hajar Aswad pun diketahui dijarah dan disimpan di sana selama 22 tahun.

Sebagaimana dikisahkan oleh Sejarawan Ottoman, Qutb al Din, dalam tulisannya tahun 1857, Abu Tahir hendak menjadikan masjid tersebut sebagai tempat suci dan memindahkan aktivitas Ka’bah ke Masjid al Dirar tersebut alias menjadi pusat ibadah umat muslim dunia. Namun, mimpinya tidak sempat terealisasikan hingga akhirnya ia wafat.

“Pemimpin Qarmatian, Abu Tahir al-Qarmati, meletakkan Hajar Aswad di masjidnya sendiri, Masjid al-Dirar, dengan maksud mengalihkan haji dari Makkah. Namun, ini gagal,” tulis Qutb al Din yang dikutip dari World Bulletin.

Setelah dinasti sekte ini runtuh, Hajar Aswad dikembalikan ke tempat semula pada 339 H, setelah hilang selama 22 tahun. Hajar Aswad dikembalikan dalam kondisi rusak dengan keretakan yang membaginya menjadi tujuh bagian. Untuk menjaga bentuknya, penjaga Ka’bah pun membingkai Hajar Aswad dengan perak seperti yang dapat dilihat saat ini.

(rah/rah)



Sumber : www.detik.com

Kisah Tukang Sol Sepatu, Jadi Haji Mabrur Padahal Tak Berhaji ke Makkah



Jakarta

Setiap umat Islam tentunya memiliki keinginan untuk bisa menunaikan ibadah haji dan mendapat predikat haji mabrur. Namun, tahukah detikers bahwa ada kisah seorang menyandang predikat haji mabrur, padahal dia tidak berangkat ke Baitullah di Makkah. Seperti apa kisahnya?

Kisah Seorang Haji Mabrur Padahal Tidak Berangkat ke Baitullah

Kisah ini dikutip dari Buku Koleksi Hadits dan Kisah Teladan Muslim tulisan Ahmad Saifudin dan tulisan Mahdi berjudul Kisah Diterimanya Ibadah Haji Seorang Hamba Meski Tidak Berangkat ke Tanah Suci dalam situs resmi Kemenag.

Kisah ini diriwayatkan oleh Abdullah bin Al Mubarak, bahwa pada suatu masa setelah menyelesaikan ritual ibadah haji, Abdurrahman Abdullah bin Al Mubarak beristirahat dan tidur. Saat tidur, dia bermimpi melihat dua Malaikat turun dari langit dan mendengar percakapan mereka.


Salah satu Malaikat bertanya kepada yang lain, “Berapa banyak orang yang datang untuk berhaji tahun ini?”.

“Mereka adalah enam ratus ribu jamaah,” jawab Malaikat yang ditanya.

Lalu, Malaikat pertama bertanya lagi, “Berapa banyak dari mereka yang haji mereka diterima?”.

“Tidak ada satupun,” jawab Malaikat yang pertama.

Percakapan itu membuat Abdullah Al Mubarak merasa gemetar.

“Dalam mimpiku,” dia menangis, “Apakah semua orang ini datang dari tempat-tempat jauh dengan perjuangan dan kelelahan, melewati gurun pasir yang luas, hanya untuk semua usahanya menjadi sia-sia?”.

Sambil gemetar, dia terus mendengarkan percakapan kedua malaikat itu.

“Namun ada seseorang yang meskipun tidak berhaji, amal perbuatan hajinya diterima oleh Allah dan semua dosanya diampuni. Berkat dia, seluruh jamaah haji diterima oleh Allah.”

“Bagaimana bisa begitu?” tanya Malaikat pertama.

“Itu adalah kehendak Allah.”

“Siapa orang itu?” tanya Malaikat pertama lagi.

“Orang itu adalah Ali bin Al Muwaffaq, tukang sol sepatu di Kota Damaskus.”

Setelah mendengar ucapan itu, Abdullah Al Mubarak terbangun dari tidurnya. Setelah pulang dari ibadah haji, dia tidak langsung kembali ke rumahnya, tetapi pergi langsung ke Damaskus, Syria. Hatinya masih gemetar dan penuh pertanyaan.

Ketika dia sampai di sana, dia mencari tukang sol sepatu yang disebutkan oleh Malaikat dalam mimpinya. Dia bertanya kepada hampir semua tukang sol sepatu apakah ada seorang tukang sol sepatu bernama Ali bin Al Muwaffaq.

“Ada, di tepi kota,” jawab salah seorang tukang sol sepatu sambil menunjukkan arahnya.

Setelah mencapai tempat itu, dia menemukan seorang tukang sol sepatu yang berpakaian sangat sederhana. “Apakah Anda Ali bin Al Muwaffaq?” tanya bin Al Mubarak.

“Iya, tuan. Ada yang bisa saya bantu?”

“Saya ingin tahu apa yang telah Anda lakukan sehingga Anda berhak mendapatkan pahala haji yang diterima oleh Allah, padahal Anda tidak berangkat haji.”

“Saya sendiri tidak tahu, tuan.”

“Ceritakanlah kehidupan Anda selama ini.”

Ali bin Al Muwaffaq pun menceritakan, “Selama puluhan tahun, setiap hari saya menyisihkan sebagian uang dari penghasilan saya sebagai tukang sol sepatu. Saya menabung sedikit demi sedikit hingga akhirnya pada tahun ini, saya memiliki 350 dirham, jumlah yang cukup untuk berhaji. Saya sudah siap untuk berangkat haji.”

“Tapi Anda tidak berangkat haji.”

“Benar.”

“Apa yang terjadi?”

“Pada saat itu, istri saya hamil dan sedang mengidam. Ketika saya hendak berangkat, dia sangat mengidamkan aroma masakan yang lezat.”

“Suamiku, bisakah kau mencium aroma masakan yang sedap ini?”

“Iya, sayang.”

“Cobalah cari siapa yang memasak, aroma masakannya begitu lezat. Tolong mintakan sedikit untukku,” pintanya.

“Akhirnya, saya mencari sumber aroma masakan itu. Ternyata berasal dari gubuk yang hampir roboh. Di sana, ada seorang janda dan enam anaknya. Saya mengatakan kepadanya bahwa istri saya menginginkan masakan yang dia masak, meskipun hanya sedikit. Janda itu diam dan memandang saya, jadi saya mengulangi kata-kata saya,” ungkap Ali bin Al Muwaffaq.

Akhirnya, dengan sedikit ragu, dia mengatakan, “Tidak boleh, tuan.”

“Apa pun harganya, saya akan membelinya.”

“Makanan ini tidak dijual, tuan,” katanya sambil meneteskan air mata.

“Mengapa?” tanya Ali.

Dengan berlinang air mata, janda itu menjawab, “Makanan ini halal bagi kami, tapi haram bagi tuan.”

Dalam hatinya, Ali bin Al Muwaffaq bertanya, “Bagaimana mungkin ada makanan yang halal bagi dia, tapi haram bagi saya, padahal kita sama-sama muslim?” Karena itu, dia mendesaknya lagi, “Kenapa?”

“Selama beberapa hari ini, kami tidak memiliki makanan. Di rumah kami tidak ada makanan sama sekali. Hari ini, kami melihat seekor keledai mati, jadi kami mengambil sebagian dagingnya untuk dimasak dan dimakan,” janda itu menjelaskan dengan terisak.

Mendengar cerita itu, saya menangis dan pulang ke rumah. Saya menceritakan kejadian tersebut kepada istri saya, dan dia juga menangis. Akhirnya, kami memasak makanan dan pergi ke rumah janda tersebut.

“Kami membawa makanan untukmu.”

Saya memberikan 350 dirham, uang yang saya kumpulkan untuk berhaji, kepada mereka. “Gunakan uang ini untuk keluarga Anda. Gunakan untuk usaha agar Anda tidak kelaparan lagi.”

Mendengar cerita itu, Abdullah Al Mubarak tidak bisa menahan air mata. Ternyata, inilah amal yang dilakukan oleh Sa’id bin Muhafah sehingga Allah menerima amalan hajinya, meskipun dia tidak berkesempatan untuk menunaikan ibadah haji.

(erd/erd)



Sumber : www.detik.com

Kisah Haji Pertama Rasulullah Sekaligus yang Terakhir



Jakarta

Rasulullah SAW melaksanakan haji sekali seumur hidup. Beliau menunaikan haji pertama sekaligus terakhirnya pada 10 H.

Sebelum itu, belum diwajibkan dan Nabi Muhammad SAW juga tidak pernah melaksanakan haji setelah Haji Wada. Hal itu sebagaimana dijelaskan Said Ramadhan al-Buthy dalam Fiqh as-Sirah an-Nabawiyyah Ma’a Mujaz Litarikh al-Khilafah ar-Rasyidah.

Sementara itu, dalam Jawami as-Sirah an-Nabawiyah karya Ibnu Hazm al-Andalusi dikatakan, Rasulullah SAW berhaji dan berumrah berkali-kali sebelum kenabian dan setelahnya, tetapi sebelum hijrah. Setelah hijrah ke Madinah, beliau hanya berhaji satu kali.


Para sahabat menyebut haji yang dilaksanakan Rasulullah SAW sebagai Hajjatul Islam (haji pertama dalam Islam) atau Hajjatu Rasulillah (haji wajib yang dilaksanakan Rasulullah SAW).

Kisah haji pertama dan terakhir Rasulullah SAW yang juga disebut dengan Haji Wada ini juga dijelaskan dalam Ar-Rahiq al-Makhtum-Sirah Nabawiyah karya Shafiyurrahman al-Mubarakfuri dan Sirah Nabawiyah karya Ibnu Hisyam.

Diceritakan, memasuki bulan Zulkaidah, Rasulullah SAW bersiap-siap untuk melaksanakan ibadah haji dan memerintahkan kaum Muslimin untuk mempersiapkan perbekalan.

Ibnu Ishaq mendengar dari Abdurrahman bin Qasim, dari ayahnya, Qasim bin Muhammad, dari Aisyah, istri Nabi yang mengatakan, “Rasulullah berangkat untuk menunaikan ibadah haji pada tanggal 25 Zulkaidah.”

Pada saat itu, Rasulullah SAW mengangkat Abu Dujanah as-Saidi sebagai pemimpin sementara di Madinah. Pendapat lain mengatakan bahwa yang ditunjuk adalah Siba bin Urfuthah al Ghifari.

Allah SWT menghendaki Rasulullah SAW bisa menyaksikan buah dakwah yang beliau perjuangkan melawan beragam kesulitan selama lebih dari dua puluh tahun. Maka beliau mengumpulkan berbagai kabilah Arab di pinggiran Kota Makkah untuk ditanyai tentang syariat dan hukum-hukum agama.

Beliau minta persaksian mereka bahwa beliau telah menunaikan amanah, menyampaikan risalah, dan menasihati umat. Nabi mengumumkan niatnya untuk melaksanakan Haji Wada yang mabrur.

Mendengar pengumuman itu, orang-orang berdatangan ke Madinah Mereka semua ingin ikut bersama Rasulullah SAW. Pada hari Sabtu, lima hari sebelum berakhirnya bulan Zulkaidah, Nabi berkemas siap untuk berangkat. Beliau menyisir rambut, memakai jubah, dan memakai minyak wangi. Beliau membawa unta dan berangkat selepas zuhur

Setelah fajar menyingsing, beliau bersabda kepada para sahabatnya, “Malam ini aku didatangi oleh utusan Tuhanku. la berkata, ‘Salatlah di lembah yang diberkahi ini dan katakan, umrah beserta haji.'” (HR Bukhari dari Umar)

Sebelum salat Zuhur, beliau mandi untuk berihram. Aisyah RA lalu memercikkan minyak dzariyah dan minyak yang bercampur kesturi di tubuh dan kepala Nabi Muhammad SAW hingga kilaunya terlihat di kening dan jenggot beliau.

Wewangian itu dibiarkan saja dan tidak dibasuh. Setelah itu, beliau memakai jubah dan selendang. Perjalanan Rasulullah sampai di dekat Makkah. Beliau bermalam di Dzu Thuwa lalu memasuki Makkah setelah shalat subuh dan mandi pada hari Ahad 4 Zulhijah 10 H.

Perjalanan ini ditempuh selama delapan hari, setelah memasuki Masjidil Haram, beliau tawaf di Baitullah dan melakukan sa’i antara Shafa dan Marwah.

Beliau tidak bertahallul karena yang dilakukan adalah haji qiran. Dalam rombongan itu digiring pula hewan-hewan kurban. Selanjutnya beliau beristirahat di Hajun dan tidak lagi melakukan thawaf kecuali thawaf untuk haji.

Para sahabat yang tidak membawa hewan kurban diperintahkan agar menjadikan ihramnya sebagai umrah. Lalu mereka melakukan tawaf berkeliling Ka’bah, disusul melakukan sa’i antara Shafa dan Marwah kemudian bertahallul dengan sempurna.

Setelah itu, Rasulullah SAW melanjutkan ibadah hajinya, memperlihatkan kepada mereka tata cara ibadahnya, mengajari mereka sunnah-sunnah haji, dan berpidato di depan orang banyak untuk menjelaskan segala sesuatu yang perlu dijelaskan.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Perjuangan Uwais Al Qarni Gendong Ibunya dari Yaman untuk Naik Haji



Jakarta

Uwais al Qarni adalah seorang pemuda fakir yang berbakti kepada sang ibu. Ia menggendong ibunya dari Yaman ke Makkah agar bisa menunaikan haji.

Merujuk dari buku Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah karya Syaikh Muhammad Sa’id Mursi, Uwais al Qarni memiliki nama lengkap Uwais bin Amir bin Jaza’ bin Malik al Qarni. Ia dilahirkan di tengah-tengah keluarga besar Qarn, salah satu silsilah keluarga dari bani Murad di Yaman.

Ia memang hidup pada masa Nabi Muhammad SAW tetapi tidak pernah bertemu dengan beliau. Mengenai Uwais al Qarni, Rasulullah SAW pernah berkata kepada Umar bin Khattab RA,


“Akan datang kepada kalian Uwais bin Amir bersama dengan pasukan bantuan dari bani Murad, kemudian dari Qarn. Ia adalah orang yang menderita penyakit kusta, lalu penyakitnya sembuh, kecuali tempat seluas mata uang dirham. Ia adalah orang yang sangat berbakti kepada ibunya. Jika kamu bisa memintanya untuk memohon ampunan untukmu, maka lakukanlah!”

Ketika banyak pembebasan wilayah baru pada masa pemerintahan Umar bin Khattab RA, Uwais datang bersama dengan beberapa orang dari Yaman dalam rangka untuk berjihad di jalan Allah SWT. Ketika Umar bin Khattab RA bertemu dengan Uwais ia memintanya untuk memohon ampunan kepada Allah SWT lalu Uwais pun melakukannya.

Mengenai Uwais, salah seorang warga Kufah pernah berkata, “Ia hidup sangat sederhana dan bersahaja. Ia suka bergabung bersama kami dalam halaqah dzikir. Jika ia berdzikir menyebut nama Allah, maka dzikirnya tersebut sangat merasuk dalam hati sanubari kami.”

Ia hidup di Kufah di tengah-tengah komunitas awam. Tidak seorang pun di antara mereka yang mengenal identitasnya. Bahkan, terkadang di antara mereka tidak ada yang mengenal Uwais al Qarni. Bahkan di antara mereka ada yang suka mengejeknya, hingga akhirnya Umar bin Khattab RA menceritakan tentang jati diri Uwais.

Setelah itu, identitas Uwais diketahui oleh publik luas, kemudian ia pergi meninggalkan Kufah, dan bergabung bersama Ali bin Abi Thalib RA dalam Perang Shiffin.

Mengenai kebaktian Uwais al-Qarni ini dijelaskan pula dalam buku Unconditional Marriage karya Mega Anindyawati.

Uwais Al-Qarni adalah seorang pemuda dari Yaman yang begitu taat kepada ibunya. Semua permintaan sang ibu yang buta dan lumpuh selalu ia penuhi. Namun, ada satu keinginan ibunya yang belum bisa dikabulkan yaitu ingin pergi haji ke Makkah.

Uwais yang merupakan seorang pemuda miskin tidak memiliki biaya untuk memberangkatkan haji ibunya. Sehingga setiap hari ia menggendong seekor kambing yang ia gembala untuk naik turun bukit. Orang-orang banyak yang mengira bahwa ia sudah gila.

Ternyata, saat musim haji tiba Uwais yang sudah lebih kuat dan berotot menggendong ibunya untuk pergi ke Makkah. Ia menempuh jarak ratusan kilometer selama berhari-hari demi baktinya kepada sang ibu. Hal itulah yang membuat Uwais al Qarni menjadi seseorang yang tidak terkenal di bumi namun terkenal di langit.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Kisah Jusuf Hamka Naik Haji, Kelaparan di Pesawat



Jakarta

Tiga tahun setelah mengucap syahadat sebagai tanda menjadi muslim, Jusuf Hamka alias Babah Alun menunaikan ibadah haji pada 1984. Ia menuangkan pengetahuan dan pengalamannya hampir 40 tahun lalu itu ke dalam buku bertajuk, “Babah Alun Naik Haji”.

Membaca buku setebal 136 halaman yang diterbitkan Gramedia pada 2020 ini kita akan mendapat gambaran apa dan bagaimana perubahan ibadah haji ke Tanah Suci sejak 1984.

Babah Alun Naik Haji karya HM Jusuf Hamka, terbitan Gramedia, 2020Babah Alun Naik Haji karya HM Jusuf Hamka, terbitan Gramedia, 2020 Foto: Sudrajat / detikcom

Dalam hal layanan selama penerbangan di pesawat, misalnya. Dalam buku ini Jusuf Hamka menyebut menumpang pesawat Boeing 747 berkapasitas 500 orang. Dengan jumlah penumpang sebanyak itu ditambah pemahaman yang terbatas terkait penggunaan toilet membuat ‘kekacauan’ tersendiri. Belum lagi kebiasaan membuang sampah sembarangan di dalam kabin membuat kesibukan para pramugara dan pramugari bertambah. Akibatnya, tugas mereka untuk membagikan jatah makan siang untuk para penumpang terlambat.


“Sudah terlambat dari waktunya, eh kotak-kotak yang disajikan ternyata cuma berisi kue-kue ringan,” keluh Jusuf Hamka.

Tak cuma dia yang mengeluh, banyak penumpang lain pun demikian. Beberapa di antaranya malah ada yang mengecam pelayanan Garuda seolah tega menyengsarakan perut penumpang.

“Maklum, perut orang Indonesia walau dijejali kue segerobak, kalau belum terisi nasi namanya belum makan,” imbuhnya.

Ada seorang ibu yang menyesalkan kenapa suguhan beberapa potong lemper yang disajikan saat di Asrama Haji Pondok Gede tak dibawa serta. Tapi si suami buru-buru mengingatkan bahwa apa yang terjadi boleh jadi merupakan bagian dari ujian ibadah haji.

Beruntung ketika petang tiba, jatah makan siang akhirnya tiba. Menunya, sejumput nasi berikut lauk-pauk, sayuran, sambal, kerpuk, dan buah. “Kami pun sigap menyantap. Suasana suram di pesawat selama berjam-jam berubah menjadi cerah. Alhamdulillah,” tulis Jusuf Hamka.

Selepas makan siang di petang itu, azan magrib berkumandang di dalam kabin pesawat. Mereka semua bertayamum. “Ini pengalaman baru, mendengarkan suara azan dengan khusuk dan tawakal di pesawat. “Jiwa relijus saya terasa bangkit. Kami menjamak salat magrib dan isya,” imbuhnya.

Dibandingkan dengan peristiwa 40 tahun lalu, Jusuf Hamka menilai pelayanan ibadah haji saat ini pasti jauh lebih baik. “Saya pribadi cuma sekali haji kala itu saja. Selebihnya saya beberapa kali umrah,” kata Jusuf Hamka kepada detikhikmah.

(dvs/jat)



Sumber : www.detik.com

Kisah Jusuf Hamka Naik Haji, Ada Razia Ajaran Sesat di Buku Manasik



Jakarta

Situasi di Bandara King Abdul Aziz, Jeddah, pada pukul 20.00 benar-benar hiruk-pikuk. Ribuan Jemaah yang akan menunaikan ibadah haji dari berbagai negara tumplek-blek di sana. Jusuf Hamka dan sekitar 500 jemaah asal Indonesia termasuk di antaranya, dan harus menunggu masuk pintu imigrasi sejam kemudian.

Rasa lelah mereka harus menghadapi ujian tambahan oleh sikap petugas keimigrasian yang bertele-tele. Mereka tak cuma kurang sigap tapi juga terkadang malah asyik ngobrol kanan-kiri, seolah mengabaikan antrean ribuan Jemaah.

“Sungguh menjengkelkan. Tapi apakah ini termasuk ujian kesabaran, hanya Allah yang tahu,” tulis Jusuf Hamka dalam bukunya, “Babah Alun Naik Haji” yang diterbitkan Gramedia, 2020.


Jusuf Hamka alias Babah Alun bersama rekan-rekan saat berhaji, 1982Jusuf Hamka alias Babah Alun bersama rekan-rekan saat berhaji, 1982 Foto: Repro buku “Babah Alun Naik Haji”

Persoalan selanjutnya, ia melanjutkan, tak kalah berat. Mereka harus mencari koper dan barang-barang jinjingan yang ternyata ditumpuk seperti gunung.

Kala itu, 1984, belum ada sistem ban berjalan yang memudahkan dan membuat koper lebih aman dari potensi rusak. Setelah koper ditemukan, bea cukai akan memeriksa dengan cara yang seolah mengacak-acak seenaknya. Tak cuma pakaian, buku manasik haji pun diteliti isinya.

“Mereka khawatir kalau ajaran sesat masuk ke Saudi melalui buku,” tulis Jusuf Hamka yang berhaji didampingi Mochtar Sum, aktor dan pengurus Himpunan Seni Budaya Indonesia.

Di bandara yang megah dan luas tersebut, kata Jusuf Hamka, terdapat keistimewaan bagi Jemaah haji Indonesia. Mereka bisa antre dengan tertib untuk mendapatkan satu boks makanan dari catering khusus.

Jusuf Hamka alias Babah Alun tak melulu berkisah tentang kualitas manajemen pelayanan haji yang belum baik. Dalam buku setebal 136 halaman ini juga memaparkan kondisi dari tempat-tempat yang dikunjunginya. Dia melengkapinya dengan sejarah tempat-tempat tersebut, seperti soal pengalamannya beribadah di Masjid Nabawi di Madinah dan mengunjungi Makam Nabi.

Tak hanya menguraikan pengalaman spiritualnya, Babah Alun juga menjelaskan tentang sejarah Masjid Nabawi yang didirikan oleh Nabi Muhammad.

Idealnya, buku ini dibaca sebelum berangkat haji atau umrah. Dengan pengetahuan tentang tempat-tempat yang dikunjungi dan sejarahnya, niscaya ibadah akan menjadi lebih khusyuk.

(dvs/jat)



Sumber : www.detik.com

Bermata Sipit, Askar Izinkan Jusuf Hamka Jenguk Makam Nabi dan Sahabat



Jakarta

“Hanya mereka yang tidak berperasaan bersusah payah menunaikan ibadah haji ke Mekah tapi tega tidak berziarah ke makam kekasihnya di Madinah.” Kalimat Buya Hamka itu terus terngiang di telinga Babah Alun alias Jusuf Hamka saat berhaji pada 1984. Atau tiga tahun setelah dia mengucap syahadat.

Kekasih yang dimaksud Buya Hamka adalah Rasulullah Muhammad SAW. Hal itu tertuang dalam buku “Babah Alun Naik Haji” terbitan Gramedia, 2020.

Begitu tiba di Madinah, dia pun bergegas menuju Masjid Nabawi. Sahabatnya, Mochtar Sum (aktor dan pengurus Himpunan Seni Budaya Indonesia), menjadi pembimbing pribadinya.


Masjid ini didirikan Nabi Muhammad SAW di atas lahan yang sebagian milik dua anak yatim, Sahal dan Suhail putra Amr bin Amarah. Keduanya sejak kecil diasuh oleh Mu’adz bin Afra. Sebagian lahan merupakan area pekuburan yang telah rusak dan terbengkalai yang diwakafkan oleh Asád bin Zurarah.

Nabi berpatungan dengan sahabatnya, Abu Bakar Ash-Shiddiq membeli lahan seharga sepuluh dinar. Saat pembangunan, turut meletakan batu pertama masjid adalah Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib.

Masjid terbuat dari batu tanah setinggi setengah meter. Tiang-tiangnya dari batang pohon kurma, atapnya dari pelepah daun kurma. Lantainya ditutup dengan batu-batu halus. Dengan luas 70×60 meter, masjid yang semula menghadap Baitul Maqdis di Yerusalem itu diberi tiga pintu. Satu di belakang, dan dua di samping.

Di bagian sisi masjid itulah dibangun kediaman Nabi Muhammad, yang kemudian di sana pula dimakamkan.
Kompleks pemakaman Nabi disebut Maqshurah, berada di sebelah timur. Di sana juga ada dua makam sahabat Nabi, yakni Abu Bakar Ashiddiq dan Umar bin Khattab.

Haji Jusuf Hamka, 28 Oktober 1982Haji Jusuf Hamka, 28 Oktober 1982 Foto: Repro buku “Babah Alun Naik Haji”

Butuh perjuangan tersendiri untuk bisa mendekati makam. Ribuan orang berdesakan, beberapa di antaranya bersikap berlebihan. Penjagaan oleh Askar (tentara) sangat ketat, dan akan langsung mengusir mereka yang meratap-ratap di muka makam. Toh begitu ada saja Jemaah yang mencuri-curi kesempatan untuk sekedar mencium pagar atau menggosokan sorban ke dinding makam.

Selesai berdoa, Jusuf memohon kepada Askar agar diizinkan lebih dekat ke makam. Tapi si Askar malah menanggapinya dengan bertanya, “Shin (maksudnya, kamu orang Cina)?” Jusuf tegas menggeleng. Ketika menyebut dirinya orang Indonesia, si Askar yang tak percaya. “Your eyes man, your eyes, like Chinese or Japanese,” ujarnya dengan kedua tangan menarik pelipis sehingga matanya yang liar menjadi sipit.

Jusuf dan Mochtar Sum pun tertawa melihat tingkah si Askar. “Terserah Anda saja, mau bilang Cina atau Jepang. Kami datang sebagai muslim, tamu Allah. Tak ada yang berbeda di antara kita,” balas Jusuf disambut pelukan erat si Askar.

“Mabrur ya akhir! Mabrur, insya Allah,” ujarnya kemudian dan membolehkan Jusuf menjenguk ketiga makam dengan leluasa. “Tapi jangan lama-lama,” ujarnya mengingatkan.

Dari tahun ke tahun, zaman ke zaman, Masjid Nabawi diperbaiki, diperluas, diperindah. Sekarang luas keseluruhan sekitar 16.326 m2. Tiangnya berjumlah 232 buah dengan tinggi lima meter. Pintunya terbuat dari kayu dengan ukiran tembaga kuning model Arab. Di keempat sudut bangunan tegak menjulang empat menara dan sebuah kubah hijau yang menambah cantiknya masjid ini.

(dvs/dvs)



Sumber : www.detik.com

Ibadah Haji Nabi Adam yang Ikuti Cara Tawaf Para Malaikat



Jakarta

Ibadah haji sudah dilakukan sejak zaman Nabi Adam AS. Menurut sejumlah pendapat, Nabi Adam AS mengikuti tata cara tawaf para malaikat.

Kisah haji Nabi Adam AS ini diterangkan dalam Tarikh Ka’bah yang disusun oleh Ali Husni al-Kharbuthli. Ada banyak versi mengenai kisahnya, terutama awal mula pembangunan Ka’bah dan pelaksanaan tawaf.

Para sejarawan ada yang berpendapat bahwa yang pertama kali membangun Ka’bah adalah malaikat. Dikatakan, pada saat Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata, “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?” (QS Al Baqarah: 30)


Dikatakan, Allah SWT murka pada para malaikat dan Dia berpaling. Akhirnya, para malaikat lari menuju ‘Arsy. Mereka menengadah sambil memohon ampun karena takut akan murka Allah SWT.

Lalu, para malaikat tawaf mengelilingi ‘Arsy sebanyak tujuh kali–seperti tawaf jemaah haji di Ka’bah saat ini. Sambil bertawaf, mereka menyeru, “Ya Allah kami datang menyambut panggilan-Mu, kami datang memohon ampunan-Mu, kami memohon ampunan dan bertobat kepada-Mu.”

Melihat itu, kemudian Allah SWT menurunkan rahmat-Nya dan membuat sebuah rumah di bawah ‘Arsy yaitu al-baitul ma’mur. Kemudian Allah SWT berfirman, “Tawaflah kamu mengelilingi rumah ini dan tinggalkanlah ‘Arsy.”

Akhirnya, mereka tawaf di al-baitul ma’mur dan itu dirasa lebih mudah oleh mereka daripada tawaf mengelilingi ‘Arsy.

Selanjutnya, menurut sejarawan sebagaimana diceritakan Ali Husni al-Kharbuthli, Allah SWT memerintahkan para malaikat yang ada di bumi untuk membangun sebuah bangunan yang serupa dengan al-baitul ma’mur.

Kemudian, Allah SWT memerintahkan para malaikat di bumi agar tawaf mengelilingi bangunan tersebut sebagaimana tawafnya para malaikat di langit mengelilingi al-baitul ma’mur.

Menurut versi ini, ketika Nabi Adam AS melaksanakan ibadah haji di Ka’bah, para malaikat berkata, “Semoga hajimu mabrur wahai Adam. Kami telah melakukannya 2000 tahun sebelum engkau diciptakan.”

Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin turut menukil sebuah riwayat yang berisi doa malaikat untuk haji Nabi Adam AS tersebut. Hal itu diriwayatkan oleh Imam al-Mufadhdhal al-Ja’di. Dari jalur yang sama juga diriwayatkan oleh Ibnul Jauzi dalam al-‘Ilal dari hadits Ibnu Abbas RA lalu dikatakan tidak shahih. Adapun, Imam al-Azruqi dalam Tarikh Makkah meriwayatkannya secara mauquf pada Ibnu Abbas RA.

Ibnu Fadhlilah al-Umari dalam bukunya Masalik al-Abshar mengutip riwayat dari Abdullah bin Amru bin al-‘Ash yang menyatakan bahwa Allah SWT menciptakan Ka’bah 2000 tahun sebelum bumi diciptakan. Al-Umari menyandarkan riwayat ini pada Mujahid, Qatadah, dan as-Sudi.

Al-Umari juga meriwayatkan dari Qatadah tentang kisah haji Nabi Adam AS. Dikatakan, Ka’bah turun dari langit bersama Nabi Adam AS. Kemudian, Allah SWT berfirman, “Ketika rumah-Ku turun bersamamu, maka bertawaflah mengelilinginya, sebagaimana para malaikat mengelilingi ‘Arsy-Ku.”

Maka, Nabi Adam AS pun bertawaf mengelilinginya, demikian juga orang mukmin yang hidup setelahnya. Hingga saat terjadi banjir di masa Nabi Nuh AS, Allah SWT mengangkat Ka’bah kembali ke langit agar tidak dicemari dosa penduduk bumi.

Saat itu, Ka’bah dimuliakan di langit. Nabi Ibrahim AS kemudian menelusuri jejaknya dan membangun Ka’bah yang baru, tapi dengan fondasi dari Ka’bah yang lama. Demikian menurut riwayat yang berasal dari Qatadah sebagaimana dinukil al-Umari.

Ada pendapat yang menyebut bahwa Nabi Adam AS melakukan ibadah haji sebanyak 40 kali dari India dengan berjalan kaki. Pendapat ini termuat dalam Kitab I’anat al Tholibin yang dinukil Imaduddin Utsman al-Bantanie dalam Buku Induk Fikih Islam Nusantara.

Wallahu a’lam.

(kri/lus)



Sumber : www.detik.com

Kisah Cicit Rasulullah SAW yang Pingsan saat Bertalbiyah Haji


Jakarta

Salah satu cicit Rasulullah SAW dikisahkan sampai pingsan ketika hendak bertalbiyah dalam ibadah hajinya. Cicit Rasulullah SAW yang dimaksud ialah Ali Zainal Abidin.

Dikutip dari buku 198 Kisah Haji Wali-Wali Allah karya Abdurrahman Ahmad, Ali bin Abi Thalib RA menikahkan putranya Husain dengan Shahrbanu Syah Zinan seorang putri dari Yazdajird, Raja Persia kala itu.

Dari pernikahan tersebut, lahirlah Ali bin Husain RA yang kemudian dikenal dengan Ali Zainal Abidin. Ia merupakan anak bungsu yang selamat dari pembunuhan keluarga Rasulullah SAW, sedangkan kakak-kakaknya dan kedua orang tuanya terbunuh sebagai syuhada.


Selama hidupnya, Ali Zainal Abidin juga diasuh oleh anggota keluarga lain. seperti kakeknya, Ali bin Abi Thalib selama dua tahun dan dua belas tahun tahun bersama pamannya, Hasan RA. Kemudian, 23 tahun tinggal bersama ayahnya, Husain RA.

Hal itu membuat Ali Zainal Abidin tumbuh menjadi pemuda yang kaya dengan ilmu dan ketakwaan. Atas kepribadiannya, kaumnya memberi julukan Zainal Abidin (hiasan para ahli ibadah).

Kisah Cicit Rasulullah SAW yang Pingsan saat Bertalbiyah Haji

Dijelaskan dalam buku Kisah Teladan Ulama-Ulama Besar Dunia karya Jaka Perdana Putra, Ali Zainal Abidin merupakan orang yang dermawan. Suatu saat, ia hendak menunaikan ibadah haji. Sukainah, adiknya, memberinya makanan untuk bekal selama perjalanan.

Ali Zainal Abidin pun membawa bekal yang terbilang cukup banyak karena makanan tersebut dibeli seharga seratus dirham. Ketika di tengah perjalanan, Ali Zainal Abidin melihat orang fakir miskin lalu memberikan bekalnya kepada mereka.

Ia memang terkenal sangat dermawan dan sering kali ia bersedekah secara rahasia tanpa diketahui satu orang pun. Sebab, kebiasaan bersedekah secara sembunyi-sembunyi itu ia sampai dikira orang-orang sebagai seseorang yang kikir.

Bahkan Ali Zainal Abidin juga sering memikul karung berisi makanan untuk dibagikan para fakir miskin secara diam-diam pada malam hari seraya berkata, “Sedekah secara rahasia itu memadamkan murka Allah SWT.”

Singkat cerita, sesampainya di tujuan, Ali Zainal Abidin pun memulai ibadah haji dengan berihram. Namun, ketika hendak ingin mengucapkan kalimat talbiyah, tiba-tiba tubuhnya gemetar dan warna kulitnya berubah menjadi kuning pucat. Ia pun tidak dapat mengucapkan talbiah.

“Mengapa engkau tidak mengucapkan talbiyah?” tanya orang-orang dengan heran. “Aku takut ketika mengucapkan talbiyah (labbaik), Allah SWT menjawab, ‘Engkau tidak disambut.”

Ketika dipaksakan mengucap talbiyah, dia jatuh pingsan dan jatuh dari untanya. Ia mengalami kejadian seperti itu terus-menerus sampai menuntaskan ibadah hajinya.

Masih melansir sumber sebelumnya, Imam Malik RA bercerita bahkan saat Ali Zainal Abidin menyebut lafal labbaik, ia terjatuh dari untanya dan pingsan hingga tulangnya patah.

Ali Zainal Abidin Sang Ahli Ibadah

Merujuk sumber yang sama, Ali Zainal Abidin juga dijuluki As-Sajjad karena kebiasaan sujudnya yang sangat lama, juga dijuluki Az-Zaky karena kebersihan jiwanya.

Ali Zainal Abidin memang dikenal sangat khusyu dalam salatnya. Ia bahkan pernah melaksanakan salat sunah sebanyak seribu rakaat dalam semalam.

Pada suatu ketika, setelah berwudhu dan berniat salat, tiba-tiba tubuhnya gemetar dan warna kulitnya menjadi kuning pucat. Saat ditanya penyebabnya, ia menjawab, “Tahukah kalian, di depan siapakah aku berdiri? Kepada siapakah aku akan bermunajat?”

Dalam salatnya, Ali Zainal Abidin mengatakan jika ia benar-benar merasa melihat Allah SWT di hadapannya sehingga membuatnya gemetaran dan pucat. Itulah kualitas salat hamba Allah yang sudah sangat tinggi derajatnya.

Wallahu a’lam.

(rah/rah)



Sumber : www.detik.com