Tag Archives: hamengkubuwono i

Ulasan Destinasi Bersejarah di Jogja, dari Benteng Vredeburg-Monjali



Yogyakarta

Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), seperti namanya kota ini begitu istimewa dan selalu punya cerita. Yogyakarta juga punya andil besar dalam kemerdekaan RI dengan bukti tinggalan sejarahnya.

Berbagai situs bersejarah terkait perjuangan rakyat Indonesia mengusir penjajah masih terawat. Bahkan, kini ada museum untuk mengenang perjuangan itu.

Bangunan atau tempat bersejarah bahkan dibuka sebagai tempat wisata. Mulai dari peninggalan keraton sampai penjajahan Belanda, wisata sejarah Jogja punya banyak pilihan.


5 Wisata Sejarah Jogja

1. Museum Benteng Vredeburg

Museum Benteng Vredeburg, Jogja. Foto diunggah pada Selasa (10/10/2023).Museum Benteng Vredeburg, Jogja. (Anandio Januar-Novi Vianita/detikJogja)

Lokasi: Jl. Margo Mulyo No.6, Ngupasan, Kec. Gondomanan, Kota Yogyakarta

Buka: Setiap hari Selasa – Minggu (08.00 WIB – 15.00 WIB)

Harga tiket masuk: Rp 2.000 (anak), Rp 3.000 (dewasa), dan Rp 10.000 (turis asing)

Museum Benteng Vredeburg dibangun pada 1765 oleh pemerintah Belanda. Museum ini awalnya adalah benteng pertahanan dari serangan Kraton Yogyakarta.

Di dalam museum ini, kamu akan menemukan sejumlah koleksi, seperti diorama yang menceritakan perjuangan rakyat pra-proklamasi, bangunan-bangunan peninggalan Belanda, serta benda-benda bersejarah lainnya yang sangat khas dengan budaya masa lalu.

2. Situs Warungboto

Situs Warungboto Jogja. Foto diambil Senin (3/9/2023).Situs Warungboto Jogja. (Anandio Januar/detikJogja)

Lokasi: Jalan Veteran No. 77, Kalurahan Warungboto, Kêmantrèn Umbulharjo, Kota Yogyakarta.

Buka: Setiap hari (08.00 WIB – 17.00 WIB)

Harga tiket masuk: Gratis

Situs Warungboto merupakan wisata sejarah yang memiliki banyak nama lain, yakni Umbul Warungboto, Pesanggrahan Warungboto, dan Pesanggrahan Rejowinangun. Banyaknya nama ini bisa jadi karena situs ini berada di dua kalurahan yang berbeda.

Dikutip dari website resmi Dinas Pariwisata Kota Yogyakarta, situs bersejarah ini dulunya dibangun oleh Sultan Hamengkubuwono II ketika beliau sedang menjadi putra mahkota pada periode 1765-1792. Selain menjadi tempat beristirahat, Pesanggrahan Rejowinangun juga merupakan sebuah benteng pertahanan dari sisi timur Keraton Ngayogyakarta.

Pesanggrahan ini juga dilengkapi dengan taman, segaran, kolam, dan kebun di sisi timur. Sementara, di sisi barat merupakan kompleks bangunan berkamar dan dua kolam pemandian.

3. Keraton Yogyakarta

Keraton YogyakartaKeraton Yogyakarta (Pradita Utama/detikTravel)

Lokasi: Jl. Rotowijayan Blok No. 1, Panembahan, Kecamatan Kraton, Kota Yogyakarta

Buka: Setiap hari (08.30 WIB – 14.00 WIB)

Harga tiket masuk: mulai dari Rp 5.000 – Rp 15.000 per orang.

Salah satu wisata sejarah di Jogja yang wajib kamu kunjungi tentu saja Keraton Yogyakarta. Tempat wisata sekaligus salah satu ikon kota ini memiliki nama asli Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Hingga kini, istana ini masih dihuni oleh para keturunan raja-raja Yogyakarta.

Tidak hanya melihat bangunan bersejarah saja, kamu juga bisa menyaksikan berbagai pertunjukan atau upacara adat yang masih sering dilakukan oleh pihak keraton. Jika masuk ke dalam, kamu juga akan menemukan barang-barang pusaka peninggalan zaman dulu.

Barang-barang pusaka tersebut misalnya seperti kereta kencana, keris, tombak, ampilan, panji-panji, pelana kuda, dan regalia. Tak heran, lokasi ini juga sudah diakui oleh UNESCO sebagai salah satu situs warisan dunia.

4. Taman Sari Keraton Yogyakarta

Wisatawan berfoto di halaman Tamansari Yogyakarta, Sabtu (26/6/2021). Raja Keraton Yogyakarta, Sri Sultan HB X menutup sementara wisata milik Keraton Yogyakarta antara lain Museum Kereta Keraton, Kompleks Pagelaran, Keben/Kompleks Kedhaton (Museum Keraton), Tamansari, serta Puralaya Imogiri dan Kotagede selama satu pekan mulai Sabtu (26/6) hingga Jumat (2/7) untuk menekan penyebaran COVID-19. ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko/rwa.Wisatawan berfoto di halaman Tamansari Yogyakarta, Sabtu (26/6/2021). (Antara Foto/Andreas Fitri Atmoko)

Lokasi: Patehan, Kecamatan Kraton, Kota Yogyakarta

Buka: Setiap hari (09.00 WIB – 15.00 WIB)

Harga tiket masuk: Rp 5.000 per orang.

Wisata sejarah di Jogja lainnya yang wajib kamu kunjungi adalah Kampung Wisata Taman Sari. Bangunan yang sudah ada sejak abad ke-17 ini dibangun pada masa kesultanan Hamengkubuwono I dengan lama waktu pengerjaan sekitar 9 tahun (1758 hingga 1765).

Dulunya, bangunan ini memiliki luas awal 10 hektar dengan 57 bangunan, yang terdiri dari kompleks kolam pemandian, pulau buatan, danau buatan, jembatan gantung, taman, lorong bawah tanah, kanal air, serta beberapa gedung dengan beragam arsitektur.

Kini, salah satu bangunan yang masih tersisa dan bisa kamu nikmati adalah masjid bawah tanah. Masjid yang sangat populer di kalangan wisatawan ini sukses menjadi spot favorit untuk mengabadikan momen liburan yang menyenangkan.

5. Monumen Yogya Kembali

Pemasangan bendera raksasa di Monumen Yogya Kembali (Monjali), Rabu 29 Juni 2016Pemasangan bendera raksasa di Monumen Yogya Kembali (Monjali), Rabu 29 Juni 2016 (Sukma Indah P/detikcom)

Lokasi: Jl. Ring Road Utara, Jongkang, Sariharjo, Ngaglik, Kabupaten Sleman

Buka: Setiap hari Selasa – Minggu pukul 08.00 – 16.00 WIB.

Harga tiket masuk: mulai dari Rp 10.000 – Rp 15.000 per orang.

Museum ini mulai dibangun pada 29 Juni 1985 dan diresmikan pada 6 Juli 1989 oleh Presiden Soeharto.

Museum ini didirikan dengan tujuan untuk memperingati peristiwa sejarah ditariknya tentara kolonial Belanda dari Ibu Kota Yogyakarta pada 29 Juni 1949, yang sekaligus juga menjadi penanda berfungsinya kembali Kota Yogyakarta sebagai Ibu Kota Republik Indonesia yang direbut dari penjajah Belanda.

Gagasan awal pendirian Museum Monjali disampaikan oleh Kolonel Sugiarto dalam peringatan Yogya Kembali yang diselenggarakan pada 29 Juni 1983.

Keunikan Museum Monjali terletak pada struktur bangunannya. Bangunan Monjali berbentuk kerucut yang terdiri dari 3 lantai. Bentuk bangunan yang unik ini sangat ikonik dan telah menjadi ciri khas dari Museum Monjali.

Selain itu, keunikan lain dari Museum Monjali adalah bangunan induk museum yang dikelilingi oleh kolam ikan.

(bnl/fem)



Sumber : travel.detik.com

Keraton Solo, Sejarah, Kedudukan, dan Perannya Kini



Jakarta

Keraton Solo merupakan salah satu kerajaan yang masih berdiri di Indonesia. Hingga saat ini, Keraton Solo masih memiliki peran penting bagi masyarakat Jawa Tengah, khususnya Surakarta.

Keraton Solo atau dikenal juga dengan Keraton Surakarta Hadiningrat merupakan salah satu keraton yang masih eksis di Jawa Tengah hingga saat ini. Berada di Kelurahan Baluwarti, Kecamatan Pasar Kliwon, Kota Surakarta, Jawa Tengah, keraton ini menjadi simbol keberagaman budaya di Indonesia.

Apa saja fakta tentang Keraton Solo? Simak penjelasan berikut.


Sejarah Berdirinya Keraton Solo

Menurut laman resmi DPRD Kota Surakarta, asal-usul nama Surakarta berasal dari permainan kata Kartasura. Sementara itu, nama Solo berasal dari nama Desa Sala yang dipilih Pakubuwono II untuk tempat mendirikan kerajaan.

Penggunaan kata Surakarta biasanya digunakan dalam situasi formal atau pemerintahan, sedangkan Solo digunakan untuk jangkauan yang lebih umum.

Melansir arsip detikJateng, Keraton Solo tidak terlepas dari perkembangan Kerajaan Mataram yang didirikan Panembahan Senapati Ing Ngalogo pada 1575. Kerajaan Mataram mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Sultan Agung (1613-1645).

Berdasarkan catatan dari buku “Kitab Terlengkap Sejarah Mataram” karya Soedjipto Abimanyu. Sejarah Keraton Solo bermula dari Pakubuwono I yang dikenal sebagai sultan dari Keraton Kartasura.

Setelah Pakubuwono I wafat, tahta keraton kemudian digantikan oleh Pakubuwono II dengan gelar Susuhunan Paku Buwana Senapati Ing Alaga Abdul Rahman Sayidin Panatagama.

Sejarah mencatat, pada 1740 terjadi sebuah pemberontakan yang dilakukan oleh orang-orang Cina kepada VOC. Hal ini didasari oleh kebijakan VOC yang membatasi jumlah orang Cina di Batavia. Pemberontakan yang dilakukan oleh laskar Cina ini dikenal dengan peristiwa Geger Pecinan.

Konflik ini bermula dari perbedaan pendapat antara Sultan Pakubuwono II dan Sultan Hamengkubuwono I. Sultan Pakubuwono II memberikan dukungan kepada laskar Cina dengan mengutus patih Keraton Kartasura, Adipati Natkusuma.

Namun, dalam perlawanan itu, Pakubuwana II melihat bahwa peluang laskar Cina menang melawan VOC sangat kecil, terlebih setelah gagal menguasai Semarang. Pakubuwana II kemudian memilih untuk mundur dari pemberontakan tersebut dengan menarik Adipati Natkusuma dan mengasingkannya ke Sailon (Srilanka).

Prediksi Pakubuwana II ternyata meleset, laskar Cina berhasil memperkuat pertahanan dan berhasil menggaet dukungan dari Bupati Pati dan Grobogan. Bahkan, Cina mendeklarasikan Mas Garendi atau Sunan Kuning sebagai penguasa Kerajaan Mataram Kartasura.

Dengan bantuan dari VOC, Pakubuwana II berhasil mendapatkan kembali kerajaan yang sempat dikuasai para pemberontak. Setelah kejadian tersebut, Pakubuwana II memindahkan pusat pemerintahan Kerajaan Kartasura ke Desa Sala (Solo) dan mengganti nama kerajannya menjadi Keraton Surakarta. Secara resmi Keraton Surakarta berdiri pada 17 Februari 1745.

Setelah Pakubuwono II wafat, tahta kerajaan digantikan oleh putranya yang diberi gelar sultan Pakubuwana III. Mengikuti jejak sang ayah, Pakubuwana III mengabdikan diri kepada VOC.

Pada masa pemerintahan Pakubuwana III terjadi perang saudara antara Pakubuwana III dengan Raden Mas Said dan Mangkubumi. Peristiwa inilah yang kemudian membuat pecahnya Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta. Sultan Pakubuwana III menyetujui pembagian wilayah Surakarta kepada Mangkubumi yang kemudian menjadi Raja dari Keraton Yogyakarta dengan gelar Hamengkubuwono I. Kesepakatan ini kemudian dikenal dengan Perjanjian Giyanti.

Silsilah dan Raja-raja Keraton Solo

Melansir situs detikJateng, tercatat sudah ada setidaknya 12 raja yang memerintah Keraton Solo dari masa ke masa.

· Sri Susuhunan Pakubuwono II (tahun 1745-1749)
· Sri Susuhunan Pakubuwono III (tahun 1749-1788)
· Sri Susuhunan Pakubuwono IV (tahun 1788-1820)
· Sri Susuhunan Pakubuwono V (tahun 1820-1823)
· Sri Susuhunan Pakubuwono VI (tahun 1823-1830)
· Sri Susuhunan Pakubuwono VII (tahun 1830-1858)
· Sri Susuhunan Pakubuwono VIII (tahun 1859-1861)
· Sri Susuhunan Pakubuwono IX (tahun 1861-1893)
· Sri Susuhunan Pakubuwono X (tahun 1893-1939)
· Sri Susuhunan Pakubuwono XI (tahun 1939-1944
· Sri Susuhunan Pakubuwono XII (tahun 1944-2004)
· Sri Susuhunan Pakubuwono XIII (tahun 2004-2025)

Sri Susuhunan Pakubuwono XIII wafat pada Minggu (2/11/2025). Keraton solo mengonfirmasi akan menggelar Jumenengan atau penobatan raja baru pada Sabtu (15/11/2025).

Keraton menyatakan bahwa undangan Jumenengan Hajad Dalem Jumengeng Dalem Nata Binayangkare S.I.S.K.S Pakubuwono XIV sudah disebarkan. Upacara tersebut akan diadakan di Keraton Solo pukul 08.00 WIB.

“Menanggapi berbagai pertanyaan dan konfirmasi yang masuk, kami menyampaikan bahwa surat resmi mengenai pelaksanaan Hajad Dalem Jumengeng Dalem Nata Binayangkare S.I.S.K.S. Pakubuwono XIV yang beredar adalah benar dan sah dikeluarkan oleh Panitia Jumengeng Dalem Nata Binayangkare Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat,” ujar G.K.R Timoer Rumbai Kusuma Dewayani, putri tertua Pakubuwono XIII.

Raja baru yang akan dinobatkan menggantikan Pakubuwono XIII adalah Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom (KGPAA) Hamangkunegoro Sudibya Rajaputra Narendra Mataram atau lebih akrab dikenal dengan Gusti Purbaya.

Untuk mengisi kekosongan tahta, ditunjuk seorang Pelaksana Tugas (Plt) yang bertugas untuk mengawal administrasi keraton dan menghindari konflik internal. Saat ini, Plt yang ditunjuk adalah Kanjeng Gusti Panembahan Tedjowulan yang merupakan adik dari almarhum Pakubuwono XII.

Peran Keraton Solo di Zaman Modern

Di zaman modern, Keraton Solo telah berubah dari sistem politik tradisional menjadi salah satu pusat kebudayaan dan identitas lokal bagi masyarakat. Meski tidak memiliki kekuasaan secara administratif dalam sistem pemerintahan Indonesia, keraton tetap diakui sebagai simbol warisan budaya bangsa.

Secara politik, Keraton Solo memang tidak lagi berdaulat, tetapi secara kultural dan simbolik, ia masih berperan besar sebagai penjaga napas budaya Jawa dan jembatan antara masa lalu dengan masa kini.

Mengutip Antara, Kementerian Kebudayaan RI menyatakan komitmennya untuk memfasilitasi pemugaran aset dari cagar budaya di Indonesia untuk menjaga nilai sejarah dan budaya di Jawa agar tetap hidup, salah satunya Keraton Solo.

“Kami berharap aset budaya dan cagar budaya keraton ini dapat terus menjadi bagian dari kekayaan budaya nasional kita,” kata Fadli Zon, Menteri Kebudayaan Republik Indonesia dalam keterangan tertulis, dilansir detikNews.

Dalam hal ini, Keraton Solo berperan sebagai pusat pelestarian budaya keraton, pusat seni tradisional, upacara adat, dan pariwisata. Hal ini memberikan tantangan kepada pemerintah dalam melestarikan dan menjaga warisan budaya Indonesia.

Hingga kini, keraton masih aktif menyelenggarakan berbagai upacara adat dan ritual tradisional, seperti sekaten (peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW dengan nuansa budaya Jawa-Islam), tedhak siten, kirab malam 1 Suro, dan berbagai pementasan tari klasik dan gamelan, serta jumenengan yang dijadwalkan pada akhir pekan ini.

Secara administratif, Keraton Solo berdiri sebagai pusat budaya yang tidak terkait dengan sistem pemerintahan di Indonesia. Namun, pemerintah tetap memiliki tanggung jawab untuk menjaga dan melindungi keberlangsungan dari Keraton Solo.

Mengutip penelitian “Kedudukan Keraton Surakarta Berdasarkan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1950 Tentang Pembentukan Provinsi Jawa Tengah” menjelaskan bahwa Keraton Solo pernah diresmikan sebagai Daerah Istimewa pada 1945.

Namun pada 4 Juli 1950, diterbitkan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1950 tentang Pembentukan Provinsi Jawa Tengah. Dimana saat itu Surakarta masuk ke dalam provinsi tersebut secara administratif, sehingga status daerah istimewanya dihapus. Berbeda dengan Yogyakarta yang tetap mendapatkan keistimewaan sebagai daerah yang memiliki kedudukan hukum khusus.

(fem/fem)



Sumber : travel.detik.com