Tag Archives: hikmah

Inspirasi Kisah Kesederhanaan Ali bin Abi Thalib saat Lebaran



Jakarta

Ali bin Abi Thalib RA adalah sahabat Rasulullah SAW yang menyimpan sejumlah kisah menginspirasi. Salah satunya saat Lebaran tiba.

Merangkum berita Hikmah detikcom, sahabat yang memiliki nama lengkap Ali bin Abi Thalib bin Abdul Muththalib bin Hasyim ini lahir di Makkah pada tanggal 13 Rajab. Ali RA lahir pada tahun ke-32 dari kelahiran Nabi Muhammad SAW.

Terdapat juga yang menyebutkan jika Ali RA dilahirkan pada 21 tahun sebelum hijrah.


Menurut beberapa keterangan, disebutkan bahwa ayah beliau adalah paman dari Nabi Muhammad SAW, Abu Thalib bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdi Manaf bin Qushay. Sedangkan ibu beliau bernama Fathimah binti Asad bin Hasyim bin Abdi Manaf.

Dilihat secara garis keturunan kedua orang tuanya, Ali RA merupakan keturunan berdarah Hasyimi yang dikenal oleh masyarakat pada zamannya sebagai keluarga yang mulia, penuh kasih sayang, pemegang kepemimpinan masyarakat, dan memiliki sejarah cemerlang di masyarakat Makkah.

Ibunya memberikan nama Haidarah (macan) kepada Ali RA, diambil dari nama kakek Ali RA, Asad. Dengan harapan bahwa buah hati mereka kelak menjadi seorang laki-laki pemberani. Namun, ayahnya memberinya nama Ali (yang leluhur), hingga sekarang nama Ali-lah yang lebih dikenal masyarakat luas.

Ali bin Abi Thalib RA telah memeluk Islam sejak ia masih berusia sangat belia. Dikutip dari buku tulisan Mustafa Murrad berjudul Kisah Hidup Ali Ibn Abi Thalib, ia bahkan disebut sebagai orang pertama yang masuk Islam.

Rasulullah SAW adalah salah satu orang yang paling berpengaruh yang telah mengasuh, mendidik, dan mengajarinya sejak kecil. Kasih sayang dan kemuliaan Rasulullah SAW inilah yang membentuk karakter Ali RA hingga matang saat dewasa.

Semasa hidupnya, Ali RA hidup dengan sangat sederhana. Bahkan dalam beragam riwayat, dijelaskan bahwa beliau cukup makan dengan lauk cuka, minyak, dan roti kering yang dipatahkan dengan lututnya.

Dikutip dari buku Rezeki Level 9 The Ultimate Fortune karya Andre Raditya, dijelaskan terdapat kisah kesederhanaan Ali bin Abi Thalib RA saat Lebaran. Dikisahkan pada suatu suasana Idul Fitri, seseorang berkunjung ke rumah Sayyidina Ali Karamallahu Wajhah.

Didapatinya beliau sedang memakan roti yang keras. Lalu sang tamu ini berkata,

“Dalam suasana hari raya kenapa engkau memakan roti yang keras ini?”

Maka Sayyidina Ali bin Abi Thalib RA pun menjawab,

“Sesungguhnya hari ini adalah lebarannya orang yang diterima puasanya, yang bersyukur atas usahanya dan diampuni dosa-dosanya. Hari ini adalah Id bagi kami, demikian juga esok, dan bahkan setiap hari pun engkau juga bisa lebaran (Id) seperti ini.”

Merasa ingin tahu lagi, orang itu kembali bertanya,

“Bagaimana bisa aku berlebaran setiap hari?”

Ali bin Abi Thalib Karamallahu Wajhah pun memberikan jawabannya,

“Jika seorang hamba tidak bermaksiat sedikit pun kepada Allah SWT di hari itu, maka sesungguhnya ia sedang berlebaran (Id).” Subhanallah.

Kisah kesederhanaan Ali bin Abi Thalib RA yang makan roti kasar saat Lebaran turut diceritakan dalam Kitab Ahlur-rahmah fil Qur’an was-Sunnah karya Syekh Thaha Abdullah al-Afifi.

Dikatakan, oleh sebab itulah, Sayyidina Ali RA terus berada dalam hari raya yang berkelanjutan karena ia termasuk di antara orang yang taat kepada Allah SWT dan Rasul-Nya.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Kisah Rasulullah Menikah dengan Aisyah di Bulan Syawal



Yogyakarta

Sebagaimana Rasulullah yang menikahi Aisyah dan para ummahatul mu’minin lainnya, menikah menjadi salah satu amalan ibadah yang dapat dilaksanakan, utamanya di bulan Syawal.

Sebagai tanda kebesaran-Nya, Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat Ar-Rum ayat 21,

وَمِنْ ءَايَٰتِهِۦٓ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَٰجًا لِّتَسْكُنُوٓا۟ إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَءَايَٰتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ


Arab latin: Wa min āyātihī an khalaqa lakum min anfusikum azwājal litaskunū ilaihā wa ja’ala bainakum mawaddataw wa raḥmah, inna fī żālika la`āyātil liqaumiy yatafakkarụn

Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”

Anjuran Menikah di Bulan Syawal

Pada dasarnya, dalam Islam tidak ada waktu khusus untuk menggelar pernikahan. Semua hari tidak memiliki larangan untuk pernikahan selama mengikuti aturan syariat. Namun, Islam menganjurkan dan mensyariatkan bahwa bulan terbaik untuk menikah adalah bulan Syawal.

Rasulullah SAW dalam salah satu hadistnya menyebutkan bahwa beliau menikahi Aisyah RA pada bulan Syawal. Umat muslim yang telah memenuhi syarat dan mampu tentu disarankan mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW.

تَزَوَّجَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي شَوَّالٍ وَبَنَى بِي فِي شَوَّالٍ فَأَيُّ نِسَاءِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ أَحْظَى عِنْدَهُ مِنِّي

Artinya: “Rasulullah SAW menikahiku pada bulan Syawal dan berkumpul denganku pada bulan Syawal, maka siapa di antara istri-istri beliau yang lebih beruntung dariku?” (HR Muslim).

Pernikahan Rasulullah dengan Aisyah RA berlangsung di Mekkah, yaitu pada bulan Syawal tahun 10 kenabian sebelum hijrah. Pendapat lain mengatakan pada tahun 11 kenabian, tepatnya 2 tahun 5 bulan sebelum hijrah dan setahun setelah Rasulullah menikahi Saudah RA.

Membantah Tradisi Jahiliyah

Sunnah menikah di bulan Syawal ini berawal dari tradisi masyarakat Arab zaman jahiliyah yang menganggap bulan Syawal sebagai pembawa sial. Dikutip dari buku Menggapai Berkah di Bulan-Bulan Hijriah oleh Siti Zamratus Sa’adah, masyarakat Arab pada zaman jahiliyah memiliki tradisi untuk tidak melakukan pernikahan pada bulan Syawal.

Bahkan, mereka beranggapan bahwa penyakit lepra terjadi di bulan Syawal sehingga mereka benci menggauli istrinya pada bulan itu. Dari sudut pandang fiqih Islam, dilarang untuk menghukumi tanggal atau hari sial, sebagaimana ajaran Rasulullah bahwa menganggap suatu hari adalah hari atau tanggal sial maka itu disebut sebagai kesyirikan.

Oleh karena itu, pada saat masa kenabian, Rasulullah SAW mencoba untuk menghilangkan tradisi masyarakat Arab yang membenci bulan Syawal tersebut. Beliau lantas menikahi Aisyah RA (juga Ummu Salamah di waktu yang lain) tepat pada bulan Syawal.

Tafsir Hadits dari Aisyah

Mengutip buku Fikih Keseharian: Bahasa Arab Bahasa Surga Hingga Siapa yang Memberikan Fatwa yang disusun oleh Hafidz Muftisany Imam Nawawi menerangkan, “Dalam hadits ini terdapat anjuran untuk menikahkan, menikah, dan membangun rumah tangga pada bulan Syawal. Para ulama kami (ulama Syafi’iyyah) telah menegaskan anjuran tersebut dan berdalil dengan hadits ini.”

“Ketika menceritakan hal ini, Aisyah RA bermaksud membantah apa yang diyakini masyarakat jahiliyyah dan anggapan sebagian orang awam pada masa kini yang menyatakan menikah, menikahkan, dan membangun rumah tangga di bulan Syawal adalah makruh,” tambahnya.

Adapun selain bulan Syawal, anjuran menikah juga bisa dilakukan di bulan Shafar sebagaimana pernikahan Fatimah putri Rasulullah dengan Ali bin Abi Thalib.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

Ini Alasan Utsman bin Affan Masuk Islam, Kenapa?



Jakarta

Utsman bin Affan adalah termasuk golongan orang-orang pertama yang masuk Islam atau yang disebut sebagai Assabiqunal Awwalun. Bahkan beliau adalah orang laki-laki kelima yang masuk Islam setelah Khadijah binti Khuwailid, Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Haritsah, dan Abu Bakar Ash Shiddiq.

Dikutip dari buku Sahabat Rasulullah Utsman Bin Affan karya M. Syaikuhudin dipaparkan mengenai kisah Utsman sebagai berikut. Utsman bin Affan memeluk Islam secara garis besar dikarenakan ajakan Abu Bakar Ash-Shiddiq.

Sebagai sesama pedagang keduanya memang berteman dekat, kedekatan tersebut yang pada akhirnya membuat Utsman akhirnya tertarik untuk mengikuti ajaran Rasulullah SAW yaitu agama Islam.


Keislaman Utsman bin Affan dimulai dari ketika Utsman mendengar mengenai Ruqayyah putri dari Rasulullah SAW yang telah dinikahkan dengan sepupunya Utbah bin Abi Lahab.

Utsman merasa menyesal karena keduluan oleh Utbah dan tidak mendapatkan istri sebaik Ruqayyah baik budi dan nasabnya. Saat itu, Utsman pun kembali ke rumahnya dengan merasa kesal dan bersedih.

Saat kembali ke rumahnya, Utsman mendapati bibinya yang bernama Su’da binti Kuraiz, seorang peramal di masa Jahiliyah, berada di rumah. Melihat Utsman tengah bersedih, bibinya menyampaikan kepada Utsman mengenai kemunculan Nabi Muhammad SAW dan agama yang dibawa olehnya.

Su’da mengatakan bahwa Muhammad itu berada di pihak yang benar serta agama yang diajarkannya akan unggul dan mengalahkan seluruh kaum yang memusuhinya. Su’da pun menyuruh Utsman untuk mengikuti ajaran agama nabi tersebut.

Pernyataan bibinya tersebut selalu terngiang dalam benaknya. Hingga Utsman bertemu dengan Abu Bakar Ash Shiddiq dan menceritakan apa yang dikabarkan oleh bibinya.

Singkat cerita, Abu Bakar Ash Shiddiq menyambut baik cerita tersebut dan mengajak Utsman untuk memeluk agama Islam. Ia diajak untuk menemui Rasulullah SAW,

“Ini adalah Muhammad bin Abdullah, telah diutus oleh Allah SWT untuk menyampaikan risalah-Nya kepada seluruh makhluk-Nya. Apakah engkau ingin menemuinya dan mendengar sesuatu darinya?”

Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘anhu pun tanpa berpikir panjang langsung mengiyakan ajakan Abu Bakar Radhiyallahu anhu. Keduanya lalu berangkat menemui Rasulullah SAW.

Sesampainya di sana, Abu Bakar Radhiyallahu anhu pun berbicara kepada beliau tentang maksud kedatangan mereka. Maka, Rasulullah SAW menghadapkan wajahnya ke Utsman bin Affan Radhiyallahu anhu dan berkata kepadanya,

“Wahai Utsman, penuhi panggilan Allah untuk masuk ke surga-Nya. Sesungguhnya, saya adalah utusan Allah kepadamu dan kepada seluruh makhluk-Nya.”

Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘anhu pun menceritakan kesannya berhadapan dengan Rasulullah SAW, ia berkata, “Demi Allah, ketika saya mendengar ucapkan beliau, saya tidak bisa mengelak untuk masuk Islam. Saya langsung bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan sesungguhnya Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.”

Setelah mengalami beberapa perdebatan dan dialog dijelaskan bahwa akhirnya Rasulullah SAW melihat kegundahan Utsman, lalu Rasulullah SAW langsung bersabda:

“Ya Utsman, sambutlah seruan orang yang mengajak ke jalan Allah, sebab aku adalah utusan Allah kepada kalian secara khusus, dan kepada semua makhluk Allah secara umum.”

Utsman berkata, “Demi Allah, begitu aku melihat Beliau dan mendengarkan sabdanya, maka aku langsung merasa nyaman dan aku percaya akan kerasulannya.”

Sesaat kemudian, Utsman pun langsung masuk Islam dan bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba-Nya dan Rasul-Nya.”

Begitulah kisah singkat Utsman bin Affan masuk Islam karena Abu Bakar yang mempertemukannya dengan Rasulullah SAW. Pada konteks ini, terdapat pelajaran berharga yang bisa dijadikan panutan dari kisah Utsman bin Affan.

(rah/rah)



Sumber : www.detik.com

Ini Sahabat Nabi yang Berniat Tak Menikah hingga Ditentang Rasulullah



Jakarta

Ada salah satu sosok sahabat nabi yang enggan untuk menikah hingga tindakannya tersebut ditentang oleh Rasulullah SAW. Diketahui, sosok sahabat satu ini berniat untuk ingin fokus beribadah kepada Allah SWT.

Sebab, mengutip Hamidulloh Ibda dalam buku Stop Pacaran Ayo Nikah, menikah merupakan salah satu jalan terbaik dan terhormat untuk mencapai ridha Allah SWT.

“Nabi Muhammad SAW pernah melarang sahabat yang berniat untuk meninggalkan nikah agar bisa mempergunakan seluruh waktunya untuk beribadah kepada Allah SWT, karena hidup membujang tidak disyariatkan dalam agama. Oleh karena itu, manusia disyariatkan untuk menikah. Karena menikah, adalah jalan terbaik dan terhormat untuk mencapai ridha Allah,” demikian keterangannya.


Setelah ditelusuri melalui literatur yang lain, ditemukan bahwa nama sahabat yang dilarang oleh Rasulullah SAW ketika berniat untuk tidak menikah adalah bernama Ukaf bin Wida’ah. Dikutip dari buku Ta’aruf Billah Nikah Fillah karya Zaha Sasmita diterangkan bahwa Ukaf adalah seorang pemuda yang kehidupannya sudah mapan.

Namun Ukaf enggan berniat untuk menikah bahkan cenderung berniat untuk membujang. Kemudian, setelah mendengar perkara ini Rasulullah SAW segera mendatangi Ukaf lalu menasihatinya dan menyuruh Ukaf agar menikah.

Tidak baik untuk hidup membujang bagi seseorang yang sudah berkecukupan. Pada akhirnya, Ukaf menuruti apa yang dikatakan oleh Rasulullah SAW. Namun demikian, Ukaf tidak berani untuk mencari calon istrinya sendiri.

Akhirnya Ukaf meminta pertolongan dari Nabi Muhammad SAW untuk mencarikan perempuan. Kriteria yang diinginkan Ukaf adalah berpatokan pada pandangan Nabi Muhammad SAW, artinya hanya menurut kepada nabi mengenai siapa yang baik untuk menjadi istri Ukaf.

Dijelaskan melalui sebuah hadits juga yang menjelaskan pentingnya menikah dan bahkan menjadi wajib kepada orang yang sudah mampu. Hal ini dapat diketahui melalui sebuah hadits dari Anas bin Malik Radhiyallahu’anhu yang berkata,

“Terdapat beberapa sahabat Rasulullah SAW yang menanyakan kepada istri-istri Nabi Muhammad SAW perihal ibadah beliau di rumah. Lalu sebagian mereka berkata, ‘Saya tidak akan menikah, sebagian lagi berkata, ‘Saya tidak akan makan daging,’ sebagian yang lain berkata, ‘Saya tidak akan tidur di atas kasur (tempat tidurku), dan sebagian yang lain berkata, ‘Saya akan terus berpuasa dan tidak berbuka.’ Abu Daud (perawi dan pentakhrij hadits) berkata, ‘Berita ini sampai kepada Nabi SAW, hingga beliau berdiri untuk berkhotbah seraya bersabda setelah memanjatkan puja-puji syukur kepada Allah SWT, “Bagaimanakah keadaan suatu kaum yang mengatakan demikian dan demikian? Akan tetapi aku berpuasa dan berbuka, aku salat dan tidur, dan aku juga menikahi perempuan. Maka barangsiapa yang membenci sunnah (tuntunan)-ku maka ia tidak termasuk golonganku.” (HR Abu Daud)

Dikutip dari buku Ajak Aku ke Surga Ibu! karya Rizem Aizid dipaparkan bahwa keterangan di atas itulah kedudukan pernikahan dalam Islam. Berdasarkan riwayat yang ada, diterangkan sejelas-jelasnya bahwa menikah memiliki kedudukan yang sangat mulia dalam Islam.

(rah/rah)



Sumber : www.detik.com

Perang Khandaq dan Strategi Parit



Jakarta

Salah satu peristiwa bulan Syawal dalam sejarah Islam adalah meletusnya Perang Khandaq. Perang ini melibatkan kaum muslimin dan pasukan gabungan dari Quraisy, Yahudi, dan Ghathafan.

Menurut Sirah Nabawiyah yang disusun oleh Ibnu Hisyam, Perang Khandaq terjadi pada bulan Syawal tahun 5 H atau 627 M. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam Kitab Tarikh-nya menyebut ini adalah pendapat yang shahih karena Perang Uhud terjadi pada bulan Syawal tahun 3 H.

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah mengatakan, seusai Perang Uhud, orang-orang musyrik berjanji kepada Rasulullah SAW untuk menemui beliau pada tahun ke-4. Namun, mereka melanggar karena kegersangan tahun tersebut dan pada tahun ke-5 baru mereka datang.


Pada saat itu, kaum Yahudi bani Nadhir yang pindah ke Khaibar menghasut kabilah-kabilah Arab di sekitar Khaibar agar memerangi kaum muslimin, sebagaimana diceritakan dalam Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad SAW II karya Moenawar Chalil.

Dikutip dari buku Sejarah Terlengkap Peradaban Islam karya Abul Syukur al-Azizi, berikut adalah keterangan dan kisah mengenai Perang Khandaq selengkapnya.

Latar Belakang Perang Khandaq

Perang Khandaq adalah perang antara kaum muslimin melawan pasukan gabungan dari kaum Quraisy, Yahudi, serta Ghathafan. Perang ini disebut juga Perang Ahzab, yang artinya Perang Gabungan.

Dinamakan perang Khandaq yang berarti parit karena kaum muslimin menggali parit di sekeliling kota Madinah sebagai mekanisme pertahanan agar mencegah kaum kafir agar tidak bisa menerobos kota Madinah. Perang ini dimulai karena beberapa kaum dan pihak merasa tidak terima setelah diusir dari Madinah lantaran telah melanggar perjanjian yang telah disepakati bersama.

Selain itu, penyebab lain terjadinya perang ini adalah karena ketakutan kaum kafir Makkah akan kekuatan kaum muslimin di Madinah yang semakin berkembang. Perang Khandaq sangat terkenal di kalangan muslim di berbagai masa, lantaran perang ini merupakan adu strategi dan perang urat saraf.

Strategi Parit dalam Perang Khandaq

Terdapat tiga figur utama yang menjadi faktor utama dalam perang ini. Selain Nabi Muhammad SAW sebagai panglima perang dari pihak muslimin, aktor utama lain dalam Perang Khandaq adalah Ali bin Abi Thalib, Salman al-Farisi, serta Nu’aim bin Mas’ud yang setia dan loyal menjalankan tugas dan perannya masing-masing.

Kisah luar biasa dalam Perang Khandaq bermula dari ide brilian Salman al Farisi yang kepada nabi untuk membangun parit. Ide itu sesungguhnya didasari dari kebiasaan orang-orang di kampung halamannya, Persia.

Mereka akan membangun parit pertahanan ini dilakukan jika sedang dalam situasi takut diserang, terutama oleh pasukan berkuda. Kondisi seperti itulah pula yang dialami oleh kaum muslimin pada saat itu.

Pembangunan parit seperti itu sebenarnya tidak dikenal dalam strategi perang orang Arab. Hal ini dikarenakan mereka sebelumnya hanya mengenal teknik seperti gerilya, yaitu maju, mundur, gempur, atau lari.

Meskipun demikian, Nabi Muhammad SAW yang mendengarkan strategi “unik” ini kemudian sepakat dengan usul Salman. Bahkan, beliau pulalah yang membuat peta penggalian, memanjang dari ujung utara hingga ke selatan.

Waktu itu, setiap sepuluh orang pasukan persiapan kaum muslim diwajibkan menggali parit sepanjang 40 meter (lebar 4,62 meter dan dalam 3,234 meter). Setelah enam hari (dalam riwayat lain, 10 hari), panjang parit yang berhasil digali adalah mencapai 5.544 meter.

Kisah heroik ditunjukkan oleh Nu’aim bin Mas’ud yang ditugaskan oleh Nabi Muhammad SAW sebagai pemecah belah kaum kafir Quraisy, bani Ghathafan, dan kaum Yahudi yang bersekongkol. Sementara itu, Ali bin Abi Thalib juga memiliki pengalaman yang tak kalah menarik.

Hal ini lantaran ia harus berduel dengan Amr bin Abdi Wudd, yakni salah satu pimpinan pihak musuh yang terkenal jago pedang. Pada awalnya Rasulullah SAW tidak ingin untuk memberikan tanggung jawab kepada Ali untuk menghadapi Amr karena ia dianggap masih terlalu muda.

Rasulullah SAW ingin memilih sosok sahabat yang lebih tua dan dianggap sepadan. Namun, di luar perkiraan Rasulullah SAW ternyata Ali bersikeras.

Sebenarnya, nabi cukup khawatir terhadap keselamatan Ali. Hal ini bukan tanpa dilandasi alasan yang jelas, melainkan pada perang sebelumnya di Uhud, beliau telah kehilangan sang paman, yaitu Hamzah yang tewas secara mengenaskan.

Berkat pertolongan Allah SWT, Ali berhasil memenangkan pertarungan. Kemudian Amr bin Abdi Wudd tewas di tangan Ali yang masih tergolong muda pada saat itu.

Peristiwa inilah yang menjadi titik puncak yang mengakibatkan pasukan musuh mundur dari lokasi perang meskipun jumlah mereka berjumlah lebih dari 10.000 tentara. Selain itu, mundurnya kaum kafir dari lokasi peperangan karena kondisi kota Madinah saat itu cuaca sangatlah dingin.

Kaum kafir musuh umat muslim yang masih tertahan di tenda-tenda karena tidak bisa memasuki kota Madinah. Banyak di antara mereka yang mati kedinginan dan terserang penyakit malaria dalam peristiwa bulan Syawal tersebut.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Kisah Pemenggalan Malik bin Nuwairah, Si Pemimpin yang Enggan Bayar Zakat



Jakarta

Malik bin Nuwairah merupakan kepala suku dari Bani Tamim. Ia merupakan salah satu tokoh pembangkang pada masa khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq.

Pria yang tinggal di Buthah itu menolak membayar zakat. Selain itu, ia juga memerangi para pengikut-pengikut Islam yang ada di dalam sukunya, seperti dikisahkan dalam buku Kisah Empat Khalifah tulisan Fazl Ahmad.

Seusai wafatnya Nabi Muhammad SAW, mulailah muncul sosok pembangkang di Islam, seperti nabi palsu hingga sosok Malik bin Nuwairah. Kesesatan Malik ini diperangi oleh Abu Bakar dengan mengutus Khalid bin Walid, seorang panglima perang Islam yang tersohor pada masanya.


Kala itu, setelah mendengar Khalid akan datang menggempur pasukannya, Malik langsung membubarkan pasukannya. Sahabat Rasulullah yang dijuluki Pedang Allah itu bermain cerdik demi mengatasi kelicikan Malik, akhirnya dengan kepintarannya Khalid berhasil menangkap Malik.

Mengutip dari buku Lelaki Penghuni Surga oleh Ahmed Arkan, sebagian kaum Anshar tidak ingin menuruti Khalid untuk menyerang Malik. Khalid lantas berkata:

“Hal ini harus dilakukan karena ini adalah kesempatan yang tak boleh terlewatkan. Walaupun aku tidak mendapatkan instruksi, namun aku adalah pimpinan kalian dan akulah yang bertanggung jawab. Oleh karena itu, aku tidak bisa memaksakan kalian untuk mengikutiku, yang jelas aku harus ke Al-Buthah,” ujarnya.

Sebagai informasi, kala itu Malik tengah berdiam diri di suatu tempat yang dinamai Al-Buthah. Khalid dengan semangatnya yang berkobar untuk memerangi para pembangkang lalu melakukan perjalanan selama dua hari ke Buthah.

Menyaksikan hal itu, kaum Anshar lalu mengikuti dan menyusul Khalid untuk memerangi Malik di Buthah. Sesampainya di sana, Khalid memanggil Maik bin Nuwairah yang sedang berdiam diri.

Kemudian, Khalid menyatakan bahwa apa yang dilakukan Malik tidaklah baik. Terlebih zakat wajib ditunaikan oleh tiap umat Islam.

“Tidakkah engkau tahu bahwa zakat itu seiring dengan salat?” tanya Khalid.

Alih-alih merasa bersalah dan berdosa, Malik justru menjawab dengan enteng, “Begitulah yang dikatakan oleh sahabat kalian (Abu Bakar),”

“Berarti Abu Bakar adalah sahabat kami dan bukan sahabatmu?” kata Khalid kembali melontarkan pertanyaan dengan geram.

Melihat hal itu, Khalid kemudian meminta Dhirar ibnul Azur, salah satu bala tentaranya yang ia bawa untuk memenggal leher Malik. Mematuhi perintah sang panglima, Dhirar segera memenggal leher Malik tanpa pikir panjang. Terlebih, sikap Malik terlihat sangat melecehkan panglima perangnya dan merendahkan Islam.

Sayangnya, berita pemenggalan leher Malik sampai ke telinga Umar bin Khattab. Mendengar hal itu, Umar merasa kurang senang dengan keputusan sang panglima perang yang dinilai terburu-buru untuk menghabisi nyawa Malik bin Nuwairah.

Lantas, Umar berkata kepada Abu Bakar:

“Copotlah Khalid dari jabatannya! Sesungguhnya pedangnya terlampau mudah mencabut nyawa orang,” beber Umar.

Abu Bakar yang tidak setuju lalu menjawab, “Aku tidak akan menyarungkan pedang yang dihunus Allah terhadap orang kafir,”

Muttammim bin Nuwairah juga turut melaporkan perbuatan Khalid yang memenggal Malik. Umar lantas membantunya agar Abu Bakar membayarkan diyat untuk keluarga Malik dari harta pribadinya.

Diyat adalah uang darah. Nantinya saudara atau kerabat terdekat dari seseorang yang membunuh harus mengumpulkan dana untuk membantu keluarga yang terlibat dalam pembunuhan.

Meski Abu Bakar telah menyatakan tidak akan mencabut jabatan Khalid, Umar bin Khattab masih memaksa dan terus menyakinkannya. Akhirnya, Khalid dibawa ke Madinah dengan mengenakan baju perang yang berkarat karena banyak terkena darah.

Ketika menghadap Abu Bakar, Khalid pun meminta maaf atas tindakannya memenggal kepala Malik bin Nuwairah. Melihat Khalid yang seperti itu, Abu Bakar lantas memaafkannya dan tidak mencopot jabatan Khalid.

(aeb/lus)



Sumber : www.detik.com

Fatimah Az-Zahra, Putri Nabi Muhammad SAW yang Jadi Teladan Para Istri



Jakarta

Fatimah Az-Zahra adalah putri Nabi Muhammad SAW dan Siti Khadijah binti Khuwailid r.a. Kepribadiannya menjadi sosok teladan bagi para Istri dan kaum wanita.

Disebutkan dalam buku The Great Sahaba karya Rizem Aizid, Fatimah az-Zahra lahir lima tahun sebelum Rasulullah SAW mendapat wahyu pertama. Fatimah juga menjadi anak kesayangan Rasulullah SAW.

Rasa cinta dan sayang Rasulullah SAW kepada Fatimah Az-Zahra diungkapkan melalui perkataan beliau yang menyatakan bahwa putrinya merupakan bagian dari tubuhnya. Barang siapa yang menyebabkan seorang Fatimah marah, berarti ia telah menyebabkan Rasulullah SAW marah.


Pernikahan Fatimah Az Zahra dengan Ali bin Abi Thalib

Kehidupan Fatimah Az-Zahra r.a. tidak pernah jauh dari Rasulullah SAW, kecuali setelah dirinya dinikahkan dengan Ali bin Abi Thalib r.a. Keduanya dinikahkan pada tahun 2 Hijriah.

Konon, diceritakan sebelum Ali bin Abi Thalib datang melamar putri Rasulullah SAW, ada dua orang sahabat Nabi yang lebih dulu melamarnya. Kedua sahabat tersebut Abu Bakar dan Umar bin Khattab.

Akan tetapi, lamaran kedua sahabat Rasulullah SAW yang sangat berjasa besar dalam hidup beliau ditolak. Lalu, tibalah Ali bin Abi Thalib datang melamar putri beliau. Tanpa disangka-sangka, Rasulullah SAW langsung menyetujuinya.

Pernikahan Fatimah Az-Zahra dengan Ali bin Abi Thalib berlangsung sejahtera dan bahagia. Selama Fatimah Az-Zahra masih hidup, Ali bin Abi Thalib tidak pernah memadu Fatimah atau menikahi wanita lain.

Kedua pasangan tersebut turut dikaruniai empat orang anak, yaitu dua orang putra dan dua orang putri. Nama kedua putra mereka adalah Hasan dan Husain. Keduanya menjadi cucu yang sangat disayangi Rasulullah SAW. Sedangkan nama kedua putri mereka yaitu Zainab dan Ummu Kultsum.

Fatimah Az-Zahra sebagai Sosok Teladan Para Istri

Sebagai seorang istri dan ibu, sifat dan perilaku Fatimah Az-Zahra patut menjadi teladan para istri. Ibnu Marzuqi Al-Gharani dalam bukunya The Great Mothers menyebutkan, Fatimah merupakan wanita yang sederhana dan bersahaja.

Fatimah tidak pernah mementingkan kecantikan maupun kemegahan, melainkan lebih mementingkan keridhaan Allah SWT. Kehidupan rumah tangga yang sederhana membuatnya merasa cukup dan bahagia.

Sikap qana’ah dalam diri Fatimah juga menjadi suatu hal istimewa bagi anak-anaknya. Ia telah mendidik putranya, Hasan dan Husein, untuk tumbuh menjadi generasi utama yang tidak terlena dengan kemewahan harta.

Kepandaian Fatimah Az-Zahra dalam mengasuh buah hatinya tidak terlepas dari naluri kewanitaannya yang begitu halus. Kebersamaannya bersama ayahanda tercinta, Nabi Muhammad SAW, telah mendidik Fatimah untuk memiliki perasaan yang halus.

Selain itu, Fatimah juga sering memberikan pujian kepada putra-putranya. Hal tersebut dilakukan untuk membentuk kepercayaan diri kedua anaknya.

Wafatnya Fatimah Az Zahra

Sayangnya, kehidupan Fatimah Az Zahra tidak dikaruniai umur yang panjang. Dikisahkan dalam buku Ali bin Abi Thalib Ra oleh Abdul Syukur al-Azizi, setelah wafatnya Rasulullah SAW, Fatimah seperti tak kuasa lagi hidup lama.

Kesedihan selalu muncul setiap kali mendengar adzan, terlebih saat dikumandangkan lafal ‘asyhadu anna muhammadar rasulullah’. Kerinduannya untuk bertemu ayahanda semakin menyesakkan dadanya.

Sampai pada tanggal 3 Ramadan 11 H (632 M) atau beberapa bulan setelah Rasulullah SAW wafat, Fatimah Az-Zahra akhirnya turut memejamkan mata untuk selama-lamanya.

Sebelum wafat, Fatimah berwasiat kepada suaminya dalam usia 28 tahun (ada riwayat lain yang mengatakan usia 27 atau 29 tahun). Ia berwasiat tentang anak-anaknya yang masih kecil dan berwasiat agar dikuburkan secara rahasia.

Fatimah dimakamkan di tengah kegelapan malam secara sembunyi-sembunyi oleh Ali bin Abi Thalib beserta kedua putranya, Hasan dan Husein, serta terdapat beberapa sahabat terdekat. Hingga saat ini, konon keberadaan makamnya masih misterius.

Demikian kisah fatimah Az Zahra putri Nabi Muhammad SAW yang menjadi sosok teladan para Istri. Bagi muslimah yang meneladani dan mencontoh sosok Fatimah, diharapkan dapat menjadi sosok istri dan ibu yang bermartabat di hadapan Allah SWT.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

Kisah Abu Qilabah, Sahabat Nabi yang Selalu Bersyukur dan Sabar



Jakarta

Abu Qilabah adalah seorang sahabat Nabi yang dikenal selalu bersyukur. Nama lengkapnya, yaitu Abdullah bin Zaid al-Jarmi. Beliau termasuk seorang perawi yang banyak meriwayatkan hadits dari Anas bin Malik.

Mengutip dari buku Kearifan Islam karya Maulana Wahiduddin Khan, Abu Qilabah berasal dari kota Bashrah dan wafat di Syam pada tahun 104 H. Ia juga merupakan seorang yang masyhur sebagai ahli ibadah dan zuhud.

Sosok Abu Qilabah memiliki kepribadian selalu bersyukur terhadap rahmat Allah dan selalu haus akan ilmu.


Suatu hari, Abu Qilabah pernah ditanya, “Siapakah orang yang paling kaya?” Kemudian ia menjawab, “Orang yang paling kaya adalah orang yang bersyukur atas apa yang diberikan Allah kepadanya.”

“Lalu siapakah orang yang paling berilmu?” tanya seseorang itu lagi.

Abu Qilabah menjawab, “Orang yang selalu meningkatkan pengetahuannya melalui (pemberian) itu.”

Kisah Abu Qilabah yang Selalu Bersyukur dan Sabar dalam Setiap Keadaan

Kisah Abu Qilabah yang selalu bersyukur dikisahkan dalam buku Rahasia Dahsyat di Balik Kata Syukur karya Yana Adam, berdasarkan riwayat dari Abdullah bin Muhammad.

Abdullah bin Muhammad pernah mengatakan, “Suatu hari, aku pernah berada di daerah perbatasan, wilayah Arish di negeri Mesir. Aku melihat sebuah kemah kecil yang dari bentuknya menunjukkan bahwa pemiliknya orang yang sangat miskin.

Lalu, aku pun mendatangi kemah yang berada di padang pasir tersebut untuk melihat apa yang ada di dalamnya. Aku melihat ada seorang laki-laki, tetapi bukan laki-laki biasa.

Kondisi laki-laki itu sedang berbaring dengan tangan dan kakinya yang buntung, telinganya sulit mendengar, matanya buta, dan tidak ada yang tersisa selain lisannya yang berbicara.

Dari lisannya, orang tersebut mengucapkan, “Ya Allah, berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku. Dan Engkau sangat memuliakan aku dari ciptaan-Mu yang lain.”

Lantas aku pun menemuinya dan berkata kepada orang itu, “Wahai saudaraku, nikmat Allah mana yang engkau syukuri?”

Sang laki-laki pemilik kemah menjawab, “Wahai saudara, diamlah. Demi Allah, seandainya Allah datangkan lautan, niscaya laut tersebut akan menenggelamkanku atau gunung apa yang pasti aku akan terbakar atau dijatuhkan langit kepadaku yang pasti akan meremukkanku. Aku tidak akan mengatakan apapun kecuali rasa syukur.”

Aku kembali bertanya, “Bersyukur atas apa?”

Laki-laki pemilik kemah menjawab lagi, “Tidakkah engkau melihat Dia telah menganugerahkan aku lisan yang senantiasa berdzikir dan bersyukur. Di samping itu, aku juga memiliki anak yang waktu sholat ia selalu menuntunku untuk ke masjid dan ia pula yang menyuapiku. Namun, sejak tiga hari ini dia tidak pulang kemari. Bisakah engkau tolong carikan dia?”

Aku pun menyanggupi permohonannya dan pergi untuk mencari anaknya. Setelah beberapa saat mencari, aku mendapati jenazah yang sedang dikerubungi oleh singa. Ternyata, anak laki-laki tersebut telah diterkam oleh kumpulan singa.

Mengetahui tragedi itu, aku pun bingung bagaimana cara mengatakan kepada laki-laki pemilik kemah itu. Aku lalu kembali dan berkata kepadanya untuk menghiburnya.

“Wahai saudaraku, sudahkah engkau mendengar kisah tentang Nabi Ayyub?”

Lelaki itu menjawab, “Iya, aku tahu kisahnya.”

Kemudian aku bertanya lagi, “Sesungguhnya Allah telah memberinya cobaan dalam urusan hartanya. Bagaimana keadaannya dalam menghadapi musibah itu?”

Ia menjawab, “Ia menghadapinya dengan sabar.” Aku bertanya kembali, “Wahai saudaraku, Allah telah menguji Ayub dengan kefakiran. Bagaimana keadaannya?”

Lagi-lagi ia menjawab, “Ia bersabar.” Aku kembali memberi pertanyaan, “Ia pun diuji dengan tewasnya semua anak-anaknya, bagaimana keadaannya?”

Ia menjawab, “Ia tetap bersabar.” Aku kembali bertanya yang terakhir kali, “Ia juga diuji dengan penyakit di badannya, bagaimana keadaannya?”

Ia menjawab dan balik bertanya, “Ia tetap bersabar. Sekarang katakan padaku dimana anakku?”

Lalu aku berkata, “Sesungguhnya putramu telah aku temukan di antara gundukan pasir dalam keadaan telah diterkam dan dimakan oleh binatang buas. Semoga Allah melipatgandakan pahala bagimu dan menyabarkan engkau.”

Selanjutnya, laki-laki pemilik kemah itu berkata, “Alhamdulillah, yang Dia tidak meninggalkan keturunan bagiku yang bermaksiat kepada Allah sehingga ia di azab di neraka.”

Kemudian ia menarik napas panjang lalu meninggal dunia. aku pun membaringkannya di tangan, kututupi dengan jubahku, dan meminta bantuan kepada empat orang laki-laki yang lewat mengendarai kuda untuk mengurus jenazahnya.

Keempat laki-laki tersebut ternyata mengenali jenazah yang tinggal di kemah kecil, mereka berkata, “Ini adalah Abu Qilabah, sahabat dari Ibnu Abbas. Laki-laki ini pernah dimintai oleh khalifah untuk menjadi seorang hakim. Namun, ia menolak jabatan tersebut.”

Dikatakan dalam riwayat lain, Abu Qilabah merupakan sahabat terakhir Rasulullah SAW terakhir pada masa itu sehingga khalifah ingin menjadikannya seorang hakim. Itu merupakan jabatan yang mulia, tetapi Abu Qilabah menolaknya dan pergi ke wilayah Mesir hingga wafat dalam keadaan seperti ini.

Demikianlah kisah Abu Qilabah, sahabat nabi yang senantiasa selalu bersyukur dan bersabar. Semoga, sifat mulianya tersebut dapat diteladani oleh umat muslim.

Belajar dari sosok sahabat nabi Abu Qilabah, detikers juga bisa tantang diri kamu untuk mengucap rasa syukur hari ini lewat program Alhamdullah Challenge yang ada DI SINI. Tak hanya itu, kamu turut berkesempatan untuk memenangkan hadiah smartphone dan uang jutaan rupiah kalau rutin bersyukur. Yuk, ceritakan hal-hal yang kamu syukuri hari ini!

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

Mengapa Firaun Disebut dengan Raja yang Zalim?



Yogyakarta

Firaun dikenal sebagai raja yang zalim, kejam, dan kerap berbuat sewenang-wenang. Ia merupakan pemimpin di negeri Mesir pada zamannya. Rakyatnya hidup dalam rasa ketakutan dan selalu dalam keadaan gelisah.

Kekejaman Firaun disebutkan dalam Al-Qur’an surat Al-Qashash ayat 4, Allah SWT berfirman:

إِنَّ فِرْعَوْنَ عَلَا فِى ٱلْأَرْضِ وَجَعَلَ أَهْلَهَا شِيَعًا يَسْتَضْعِفُ طَآئِفَةً مِّنْهُمْ يُذَبِّحُ أَبْنَآءَهُمْ وَيَسْتَحْىِۦ نِسَآءَهُمْ ۚ إِنَّهُۥ كَانَ مِنَ ٱلْمُفْسِدِينَ


Artinya: “Sesungguhnya Firaun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sesungguhnya Fir’aun termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.”

Firaun disebut dengan raja yang zalim sebab ia mengakui dirinya sebagai Tuhan yang harus disembah oleh seluruh rakyat di kerajaannya. Sebagaimana disebutkan dalam buku 99 Kisah Menakjubkan di Alquran oleh Ridwan Abqary, siapa pun yang tidak menganggap Firaun sebagai tuhan pada masa itu akan dibunuh tanpa ampun.

Selama berkuasa di negeri Mesir, Firaun juga telah menindas dan memecah belah rakyat. Rakyatnya dengan sengaja dibeda-bedakan berdasarkan strata sosial dan kelompok tertentu. Salah satu kelompok yang paling sering ditindas dan dilemahkan oleh Firaun, yaitu kaum Bani Israil.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

Kisah Perang Uhud pada Bulan Syawal yang Gugurkan Banyak Kaum Muslim



Jakarta

Perang Uhud termasuk perang besar dalam Islam. Menurut sejumlah riwayat, perang melawan kaum kafir Quraisy ini terjadi pada bulan Syawal.

Perang Uhud pada bulan Syawal ini merupakan salah satu dari tiga perang besar yang pernah terjadi pada masa Nabi Muhammad SAW.

Ibrahim Al-Qurabi dalam Tarikh Khulafa, menjelaskan mengenai kapan terjadinya Perang Uhud. Menurut Ibnu Katsir, yang valid adalah pendapat mayoritas ulama bahwa Perang Uhud terjadi pada bulan Syawal tahun ketiga.


Turut diceritakan pula dalam Sirah Nabawiyah karya Syaikh Shafiyyurahman Al-Mubarakfuri, Perang Uhud ini terjadi dilatarbelakangi kebencian yang begitu besar dari kaum kafir Quraisy terhadap orang-orang muslim karena kekalahannya di Perang Badar.

Dalam Perang Badar banyak sekali pemimpin dan bangsawan Quraisy terbunuh. Hati mereka membara dibakar keinginan untuk menuntut balas.

Bahkan, kaum Quraisy melarang semua penduduk Makkah meratapi korban Perang Badar dan tidak perlu terburu-buru menebus tawanan. Hal tersebut bertujuan supaya kaum Muslimin tidak merasa di atas angin karena mengetahui kesedihan hati mereka.

Setelah Perang Badar selesai, semua orang Quraisy sepakat untuk melancarkan serangan habis-habisan terhadap orang-orang Muslim, agar kebencian mereka bisa terobati dan dendam mereka bisa tersuapi.

Setelah genap setahun, persiapan Quraisy pun sudah matang, prajurit yang dipersiapkan mencapai 3000 dan sudah berhimpun bersama dengan sekutu-sekutu serta kabilah kecil.

Mereka juga membawa 3000 unta, 200 penunggang kuda, dan 700 baju besi. Setelah dirasa cukup mereka bergerak menuju Madinah.

Sementara itu, dari pihak Nabi Muhammad SAW sudah mengetahui rencana dari kaum Quraisy dan mempersiapkan pasukannya pula. Setiap pintu gerbang di Madinah pasti terdapat sekumpulan penjaga.

Ada pula sekumpulan orang Muslim yang bertugas memata-matai, mereka berputar-putar di setiap jalur yang bisa dilalui oleh kaum Quraisy.

Namun, Abdullah bin Ubay yang semula menjadi bagian dari pasukan Muslim mendadak membelot dengan alasan karena Rasulullah SAW tidak mendengarkan alasannya. Oleh karena itu, sisa pasukan dari Nabi Muhammad SAW hanya 700 prajurit.

Rasulullah SAW lalu pergi menuju bukit Uhud, hingga tiba di kaki bukit Uhud pasukan Muslimin mengambil tempat dengan posisi menghadap ke arah Madinah dengan memunggungi Uhud. Dengan posisi ini, pasukan musuh berada di tengah antara mereka dan Madinah.

Rasulullah SAW lalu membagi tugas pasukannya dan membariskan mereka sebagai persiapan untuk menghadapi pertempuran. Di bagian depan ia menempatkan para pemanah ulung dan Rasulullah SAW juga melarang semua pasukan untuk melancarkan serangan kecuali atas perintah beliau.

Meskipun kaum Quraisy sempat untuk menghasut para kaum Muslimin sebelum peperangan dimulai dengan cara mengirim surat, namun hal itu tidak mempan dan tidak membuat pasukan Muslimin merasa goyah.

Hingga akhirnya perang pun pecah, secara bergantian orang-orang bani Abdid-Dar yang menjadi bagian pasukan Quraisy bertugas membawa bendera. Hingga 10 kali semua yang membawa bendera berhasil di bunuh oleh orang Muslimin. Hingga tidak ada lagi yang mau untuk membawa bendera.

Di sisi lain pertempuran juga terjadi di beberapa titik, Abu Dujanah merupakan orang Muslimin yang dengan gagah berani maju ke depan menuju pasukan Quraisy. Siapa pun orang musyrik yang berpapasan dengannya pasti dibabatnya hingga meninggal.

Abu Dujanah berhasil menyusup hingga ke tengah barisan kaum Quraisy, ketika hendak mengayunkan pedangnya ia berhenti ketika mengetahui bahwa yang dihadapinya adalah seorang wanita. Ia menganggap bahwa pedang yang diberikan Rasulullah SAW terlalu mulia untuk membunuh seorang wanita.

Di lain sisi Hamzah bin Abdul Muthalib bertempur bagaikan singa yang sedang mengamuk, ia menyusup ke tengah barisan tanpa mengenal rasa takut. Dia terus menerjang dan mengejar tokoh-tokoh musuh, hingga akhirnya dia terbunuh di barisan paling depan. Ia terbunuh layaknya orang baik-baik yang terbunuh di tengah kegelapan malam.

Perang ini menjadi salah satu perang yang besar dan banyak menelan korban. Disebutkan dalam Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad II karya Moenawar Chalil, menurut Ibnu Hisyam pasukan kaum Muslimin yang gugur dalam Perang Uhud ada 70 orang. Adapun, menurut Ibnu Ishaq jumlahnya ada 70. Mereka terdiri dari golongan Anshar dan Muhajirin.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com