Tag Archives: hikmah

Nabi Adam Menangis Ratusan Tahun usai Diturunkan dari Surga, Begini Kisahnya



Jakarta

Allah SWT menurunkan Nabi Adam AS ke bumi setelah sebelumnya tinggal di surga. Menurut sejumlah riwayat, ketika itu Nabi Adam AS menangis hingga ratusan tahun.

Kisah turunnya Nabi Adam AS ke bumi diceritakan dalam Al-Qur’an surah Al Baqarah ayat 35-36. Allah SWT berfirman,

وَقُلْنَا يٰٓاٰدَمُ اسْكُنْ اَنْتَ وَزَوْجُكَ الْجَنَّةَ وَكُلَا مِنْهَا رَغَدًا حَيْثُ شِئْتُمَاۖ وَلَا تَقْرَبَا هٰذِهِ الشَّجَرَةَ فَتَكُوْنَا مِنَ الظّٰلِمِيْنَ ٣٥ فَاَزَلَّهُمَا الشَّيْطٰنُ عَنْهَا فَاَخْرَجَهُمَا مِمَّا كَانَا فِيْهِ ۖ وَقُلْنَا اهْبِطُوْا بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ ۚ وَلَكُمْ فِى الْاَرْضِ مُسْتَقَرٌّ وَّمَتَاعٌ اِلٰى حِيْنٍ ٣٦


Artinya: “Kami berfirman, “Wahai Adam, tinggallah engkau dan istrimu di dalam surga, makanlah dengan nikmat (berbagai makanan) yang ada di sana sesukamu, dan janganlah kamu dekati pohon ini, sehingga kamu termasuk orang-orang zalim!” Lalu, setan menggelincirkan keduanya darinya sehingga keduanya dikeluarkan dari segala kenikmatan ketika keduanya ada di sana (surga). Kami berfirman, “Turunlah kamu! Sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain serta bagi kamu ada tempat tinggal dan kesenangan di bumi sampai waktu yang ditentukan.”

Menurut Ibnu Katsir dalam Qashash Al-Anbiyaa, ayat di atas menunjukkan bahwa Nabi Adam AS dan Siti Hawa diturunkan langsung ke bumi dalam satu tahap. Al-Hafizh ibnu Asakir meriwayatkan dari Mujahid bahwa Allah SWT memerintahkan dua malaikat untuk mengeluarkan Nabi Adam dan Hawa dari sisi-Nya.

Pada saat itu, Jibril melepas mahkota dari kepala Nabi Adam AS, sementara Mikail melepas tanda kehormatan dari jidatnya. Selanjutnya, benda-benda berharga itu digantungkan pada sebatang dahan.

Menurut riwayat yang terdapat dalam Ensiklopedia Tasawuf Imam Al-Ghazali karya M. Abdul Mujieb dkk, Nabi Adam AS menangis selama 300 tahun ketika diturunkan dari surga. Riwayat ini berasal dari Hasan, ia berkata,

“Sesungguhnya Nabi Adam AS menangis ketika diturunkan dari surga selama tiga ratus tahun, hingga jurang Sarandib penuh dengan air matanya.”

Sufi besar dan ahli makrifat abad ke-7, Syaikh Abdul Aziz ad-Dirini, dalam Kitab Thaharatul Qulub turut menceritakan kisah menangisnya Nabi Adam AS selama 300 tahun. Ia menceritakan dari Wahab bin Munabbih.

Dikatakan, ketika turun ke bumi, Nabi Adam AS diam selama tujuh hari, menangis hingga air matanya kering, dan kepalanya menunduk. Lalu, Allah SWT bertanya, “Beban berat apa yang Aku lihat menimpa dirimu?”

Nabi Adam AS menjawab, “Wahai Tuhan, musibahku besar dan kesalahan mengelilingiku. Aku dikeluarkan dari malakut Tuhanku, hingga kini berada di negeri kehinaan, padahal sebelumnya berada di negeri kemuliaan. Aku berada di negeri kesengsaraan, padahal sebelumnya berada di negeri kebahagiaan. Aku berada di negeri keletihan, padahal sebelumnya berada di negeri kesenangan. Aku berada di negeri ujian, padahal sebelumnya berada di negeri kesehatan. Karenanya, bagaimana mungkin aku tidak menangisi kesalahanku?”

Lalu, Allah SWT mewahyukan, “Wahai Adam, bukankah Aku memilihmu untuk diri-Ku menghalalkan negeri-Ku, mengistimewakanmu dengan kemuliaan-Ku, serta memerintahkanmu untuk mewaspadai amarah-Ku? Bukankah Aku menciptakanmu dengan tangan-Ku, meniup roh-Ku ke dalam dirimu, memerintahkan para malaikat bersujud kepada-Mu, namun kamu malah bermaksiat kepada perintah-Ku, melupakan janji-Ku, dan perlahan mendekati amarah-Ku. Demi kemuliaan dan keagungan-Ku, seandainya bumi penuh dengan para lelaki yang semuanya sepertimu, mereka beribadah kepada-Ku, bertasbih kepada-Ku, lalu bermaksiat kepada-Ku, maka Aku benar-benar akan menempatkan mereka di tempat orang-orang yang bermaksiat.”

Lalu, Nabi Adam AS menangis selama 300 tahun.

Sementara itu, dalam riwayat lain yang berasal dari Hasan, Nabi Adam AS menangisi surga selama 70 tahun karena menyesali kesalahannya dan menangis selama 40 tahun ketika anaknya terbunuh.

Sebagaimana Al-Auza’i menceritakan dari Hasan (Ibnu Athiyah) yang berkata, “Adam menempati surga selama seratus tahun.” Dalam riwayat lain disebutkan, “Enam puluh tahun. Beliau menangisi surga selama tujuh puluh tahun. Menangis selama tujuh puluh tahun karena menyesali kesalahannya dan menangis selama empat puluh tahun ketika anaknya terbunuh.” (HR Ibnu Asakir)

Wallahu a’lam.

(kri/erd)



Sumber : www.detik.com

Kisah Cinta Nabi Yusuf dan Zulaikha, Berpisah sebelum Menikah



Jakarta

Nabi Yusuf AS banyak dikenal dalam masyarakat sebagai nabi yang memiliki wajah tampan dan memiliki sifat baik hati dengan suara yang lembut. Terdapat kisah unik dan menarik untuk diketahui muslim mengenai kisah cinta Nabi Yusuf dan Zulaikha.

Mengutip buku Menengok Kisah 25 Nabi & Rasul karya Ustad Fatih, dikatakan bahwa kisah ini menjadi salah satu kisah yang dapat dijadikan rujukan bagi umat khususnya ketika mengagumi seseorang. Berikut ini adalah kisah cinta Nabi Yusuf dan Zulaikha selengkapnya.

Kisah Cinta Nabi Yusuf dan Zulaikha

Kisah cinta ini berawal dari pertemuan antara Nabi Yusuf dan Zulaikha. Keduanya diketahui bertemu lantaran Nabi Yusuf saat itu adalah budak yang diangkat menjadi anak oleh Qithfir Al Aziz, yaitu suami Zulaikha yang saat itu sedang menjabat menjadi menteri keuangan di Mesir.


Singkat cerita, Nabi Yusuf pun tinggal bersama dengan anak angkat lainnya hidup bersama dengan Zulaikha dan suaminya. Dengan wajah yang tampan, Nabi Yusuf menarik perhatian dari Zulaikha hingga menarik pujian yang keluar dari mulut Zulaikha.

Kejadian ini pun terjadi berulang kali dan dapat dikatakan semakin parah. Terlebih lagi fakta bahwa Zulaikha memiliki paras yang cantik jelita dan bahkan berias hanya untuk menggoda Nabi Yusuf semata.

Akan tetapi, Nabi Yusuf adalah sosok yang sangat taat pada Allah sehingga ia melindungi diri dan tidak terhasut tipu daya istri tuannya itu. Dalam kondisi seperti itu, melansir Ibnu Katsir dalam Kisah Para Nabi, Nabi Yusuf terus menolak sebagaimana termaktub dalam surah Yusuf ayat 23,

وَرَاوَدَتْهُ الَّتِيْ هُوَ فِيْ بَيْتِهَا عَنْ نَّفْسِهٖ وَغَلَّقَتِ الْاَبْوَابَ وَقَالَتْ هَيْتَ لَكَ ۗقَالَ مَعَاذَ اللّٰهِ اِنَّهٗ رَبِّيْٓ اَحْسَنَ مَثْوَايَۗ اِنَّهٗ لَا يُفْلِحُ الظّٰلِمُوْنَ

Artinya: Perempuan, yang dia (Yusuf) tinggal di rumahnya, menggodanya. Dia menutup rapat semua pintu, lalu berkata, “Marilah mendekat kepadaku.” Yusuf berkata, “Aku berlindung kepada Allah. Sesungguhnya dia (suamimu) adalah tuanku. Dia telah memperlakukanku dengan baik. Sesungguhnya orang-orang zalim tidak akan beruntung.”

Zulaikha yang merasa cintanya tidak berbalas pun kemudian memfitnah Nabi Yusuf. Suatu waktu, ia mengejar dan menangkap Nabi Yusuf yang hendak lari darinya hingga gamis yang dipakai Nabi Yusuf terkoyak. Suami dari Zulaikha pun muncul hingga membuat wanita itu menuduh Yusuf sebagai pelakunya.

Setelah beradu argumen serta saksi, Al Aziz menyadari bahwa penggoda utamanya ialah Zulaikha. Ia pun meminta sang istri agar segera berdoa dan memohon ampun.

Kabar dan cacian kepada istri Al Aziz pun menjadi perbincangan dari para istri pejabat tinggi dan pembesar di Mesir saat itu. Mereka menyebarkan berita tentang kekejian perilaku istri Al Aziz yang berusaha menggoda pelayannya, Nabi Yusuf.

Hal itu pun membuat Zulaikha berinisiatif mengundang mereka makan di rumahnya. Para tamu wanita itu diberikan pisau untuk memotong makanan. Zulaikha pun dengan sengaja memanggil Nabi Yusuf untuk hadir demi menunjukkan ketampanan beliau pada para tamu.

Akibatnya, para tamu tersebut terpana dengan ketampanan Nabi Yusuf hingga mereka tidak menyadari mengiris tangan mereka sendiri dengan pisau. Hal ini terabadikan dalam surah Yusuf ayat 31.

Setelah itu, Zulaikha dan Raja Qithfir memasukkan Yusuf ke penjara. Maksud tujuan ini supaya rumor tentang keluarganya tidak berkepanjangan dan membuat masyarakat melupakannya. Yusuf tidak keberatan dimasukkan ke penjara, ia pun mendekam di sana cukup lama hingga lebih dari lima tahun.

Bertemunya Kembali Nabi Yusuf dan Zulaikha

Seiring berjalannya waktu berlalu, Zulaikha mengakui kesalahan dirinya hingga Nabi Yusuf pun dikeluarkan dari penjara. Al Aziz juga turut membersihkan nama Nabi Yusuf atas tuduhan palsu yang dialamatkan padanya.

Setelah terbebas dari segala tuduhan, Al Aziz memberikan kepercayaan jabatan kepada Nabi Yusuf untuk memimpin Mesir dan berhasil menggantikan posisi raja yang sebelumnya memimpin.

Tidaknya hanya itu, sebelum wafat, Al Aziz sudah lebih dulu mempertemukan kembali Nabi Yusuf dengan Zulaikha dan menikahkan keduanya. Dari pernikahannya tersebut, Nabi Yusuf dikaruniai dua putra yang bernama Afrayin dan Mansa.

(rah/rah)



Sumber : www.detik.com

Hakim bin Hizam, Satu-Satunya Orang yang Lahir di dalam Kakbah



Jakarta

Hakim bin Hizam bin Abdul Gazi, sosok sahabat sekaligus keponakan Nabi Muhammad SAW yang satu ini memiliki keteguhan hati dan keberanian dalam membuat keputusan. Ia merupakan satu-satunya orang yang dilahirkan di tempat suci umat Islam, yaitu Kakbah.

Dalam sejarah Islam, tercatat Hakim bin Hizam merupakan seseorang yang lahir di dalam naungan kemuliaan Kakbah. Bahkan, menjadi orang pertama sekaligus satu-satunya yang dilahirkan di dalam Kakbah. Saat itu, sang ibu yang tengah hamil tua masuk ke dalam Kakbah bersama dengan rombongan di Baitullah.

Ketika di tengah Kakbah, tiba-tiba perut ibunya terasa sakit seperti hendak melahirkan (kontraksi). Dikarenakan tidak sempat untuk keluar Kakbah, akhirnya lahirlah Hakim bin Hizam bin Khuwailid, yaitu anak laki-laki dari saudara Ummul Mukminin Khadijah binti Khuwailid.


Hakim bin Hizam dididik di tengah keluarga yang berada. Ia tumbuh besar di lingkungan bangsawan kaya raya tanpa kekurangan suatu apapun. Dengan segala faktor yang mendukungnya, ia pun tumbuh menjadi sosok yang kuat, pandai, lagi dihormati.

Ketika menjelang dewasa, ia pun diangkat oleh kaumnya untuk menjadi kepala dan membantu mengurus lembaga penyedia bekal orang-orang yang berhaji. Bahkan, Hakim bin Hizam banyak merelakan hartanya demi kepentingan lembaga.

Masa Keislaman Hakim bin Hizam

Sebelum masa kenabian, Hakim bin Hizam sudah berteman akrab dengan Rasulullah SAW, meskipun usianya lebih tua lima tahun. Hubungan kekerabatan mereka semakin erat ketika Rasulullah SAW menikahi bibinya, yakni Khadijah binti Khuwailid.

Saat itu, Hakim bin Hizam masih belum memeluk Islam. Namun, bagaimanapun Rasulullah tetap menghormati dan berkawan baik dengannya.

Dalam buku Intisari Sirah Nabawiyah Kisah-Kisah Penting dalam Kehidupan Nabi Muhammad oleh Ibnu Hazm al-Andalusi, Hakim bin Hizam baru masuk Islam ketika terjadi peristiwa penaklukkan Mekkah atau Fathu Makkah, kala itu ia termasuk ke dalam orang-orang mualaf (yang perlu dilunakkan hatinya).

Barulah setelah merasakan nikmatnya menjadi seorang muslim, penyesalan mendalam tumbuh dalam hati Hakim bin Hizam. Ia merasa terlalu lama mengingkari Allah SWT dan Rasulullah SAW dan berkubang dalam kemusyrikan.

Hakim bin Hizam pun kemudian semakin bertekad untuk selalu menjunjung Rasulullah dan mendukung segala yang dilakukan Rasulullah SAW untuk menebus waktu ketika ia masih belum memeluk Islam.

Kisah Kedermawanan Hakim bin Hizam

Hakim bin Hizam dikenal karena kedermawanannya. Berdasarkan buku 88 Kisah Orang-Orang Berakhlak Mulia yang ditulis oleh Harlis Kurniawan, ia bahkan tidak mau meminta dan menerima pemberian.

Hal ini terjadi ketika masa pemerintahan Abu Bakar, ia tidak pernah mengambil gajinya dari Baitul Mal. Hingga jabatan bergulir kepada Umar bin Khattab, Hakim tetap tidak juga mengambil gajinya meskipun sudah dipanggil berkali-kali.

Ia turut serta dalam Perang Hunain, sehingga ia berhak mendapatkan bagian dari harta rampasan perang yang dibagikan langsung oleh Rasulullah SAW. Awalnya, ia meminta tambahan lagi dari harta yang didapatnya.

Namun, Rasulullah menasihatinya perihal kepemilikan harta yang membuatnya tersadar. Ia pun menuruti nasihat Rasulullah SAW dan bersumpah tidak akan meminta-minta lagi hingga ajal menjemputnya.

Pada masa pemerintahan Umar bin Khattab, Hakim bin Hizam menepati janjinya. Ia menolak pembagian harta rampasan perang yang menjadi haknya sampai-sampai Umar harus meminta persaksian orang-orang tatkala pembagian harta tersebut tengah berlangsung.

Umar berkata, “Wahai orang-orang muslim, saya ingin mempersaksikan kepada kalian semua perihal Hakim. Sesungguhnya saya telah mengajukan kepadanya haknya dari harta rampasan perang ini, tetapi dia sendiri yang menolaknya dan tidak mau mengambilnya.”

Hal tersebut dilakukan agar menjadi bukti bahwa Hakim bin Hizam memang menolak harta tersebut karena ia ikhlas menjalankan apa yang telah dinasihatkan Rasulullah SAW kepadanya. Bahkan hingga Rasulullah SAW wafat, ia tetap tidak pernah lagi meminta dan menerima apapun dari siapapun.

Sementara itu, mengutip buku Seri Ensiklopedia Anak Muslim: 125 Sahabat Nabi Muhammad SAW oleh Mahmudah Mastur disebutkan bahwa Hakim bin Hizam pernah menyumbangkan 100 ekor unta demi perjuangkan dakwah Islam. Selain itu, ia juga pernah menyembelih 1.000 ekor kambing untuk dibagikan kepada orang miskin.

Itulah kisah Hakim bin Hizam, satu-satunya orang yang lahir di dalam Kakbah dan menjadi sahabat Rasulullah. Keteguhan dan keberaniannya dalam membela kebenaran patut dicontoh oleh setiap umat muslim.

(dvs/dvs)



Sumber : www.detik.com

Latar Belakang Terjadinya Perang Tabuk antara Kaum Muslimin dan Bangsa Romawi



Jakarta

Perang Tabuk adalah salah satu perang yang terjadi pada masa Rasulullah SAW. Perang ini melibatkan kaum Muslimin dan bangsa Romawi.

Latar belakang terjadinya Perang Tabuk adalah keinginan Rasulullah SAW untuk menyerang Romawi sebagai kekuatan militer terbesar di muka bumi pada waktu itu dan dalam rangka menyebarkan agama Islam.

Merangkum Sirah Nabawiyah karya Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, keinginan Rasulullah SAW tersebut terjadi setelah dibunuhnya duta Rasulullah SAW, Al-Harits bin Umair di tangan Syuhrabil bin Amr Al-Ghasaani, tepatnya saat Al-Harits membawa surat beliau yang ditujukan kepada pemimpin Bushra.


Setelah itu beliau mengirimkan satuan pasukan yang dipimpin oleh Zaid bin Haritsah yang kemudian bertempur dengan pasukan Romawi dengan pertempuran yang besar dan meninggalkan pengaruh bagi bangsa Arab.

Pada saat Rasulullah SAW memerintahkan kaum Muslimin untuk bersiap-siap menyerang Romawi. Saat itu kaum Muslimin sedang berada di masa-masa sulit.

Biasanya saat hendak berperang, Rasulullah SAW selalu memberikan kiasan mengenai tujuan. Namun dalam Perang Tabuk, Rasulullah SAW menjelaskan secara terus terang kepada kaum Muslimin.

Hal ini dikarenakan mereka akan melakukan perjalanan jauh, melalui masa-masa sulit, dan banyak musuh yang akan dihadapi. Tujuan dari Rasulullah SAW langsung mengatakan hal tersebut supaya kaum Muslimin melakukan persiapan yang matang.

Rasulullah SAW memerintahkan kaum Muslimin untuk mempersiapkan perbekalan, menganjurkan orang-orang kaya untuk berinfak dan membiayai jihad di jalan Allah SWT.

Setiap orang yang mendengar suara Rasulullah SAW menyerukan perang melawan Romawi ini segera menjalankan perintah beliau. Dengan cepat, orang-orang Islam mempersiapkan pertempuran. Kabilah-kabilah berdatangan ke Madinah dari segala penjuru, tidak ada seorang pun dari kaum Muslimin yang rela tertinggal dalam pertempuran ini.

Perang antara kaum Muslimin dan bangsa Romawi ini berhasil dimenangkan oleh kaum Muslimin. Meskipun dalam keadaan yang sulit mereka berhasil memenangkan peperangan tersebut.

Tentara Islam kembali dari Tabuk dengan kemenangan dan keberhasilan gemilang. Mereka menyudahi misi ini dengan tidak menemukan kesulitan berarti Allah SWT menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan

Di tengah perjalanan, tepatnya di atas sebuah bukit, dua belas orang munafik berusaha membunuh Rasulullah SAW. Namun, hal itu berhasil digagalkan oleh Hudzaifah.

Maka Hudzaifah bangkit dan memukul kuda orang-orang yang hendak menyerang tersebut dengan menggunakan tongkat yang ia bawa. Orang orang itu pun melarikan diri Rasulullah SAW memberitahu Hudzaifah tentang nama-nama orang itu, serta apa tujuan mereka. Karena kejadian ini, Hudzaifah dijuluki sebagai penjaga rahasia Rasulullah SAW.

Peperangan ini mempunyai pengaruh yang sangat besar bagi pamor orang-orang mukmin dan menguatkan mereka di Jazirah Arab. Kini orang-orang mulai menyadari bahwa tidak ada satu kekuatan kecuali kekuatan Islam.

Sisa harapan dan angan-angan yang masih bersemayam di hati orang-orang munafik dan jahiliyah mulai sirna. Sebelumnya mereka masih berharap banyak terhadap pasukan Romawi untuk melumat pasukan muslimin.

Namun, setelah peperangan ini membuat mereka sudah kehilangan nyali dan pasrah terhadap kekuatan yang ada karena mereka sudah tidak mempunyai celah dan peluang untuk melakukan konspirasi.

Maka tidak ada yang mereka lakukan kecuali mengiba kepada orang-orang muslim agar diperlakukan dengan lemah lembut sementara Allah SWT memerintahkan untuk bersikap keras terhadap mereka.

Bahkan Allah SWT memerintahkan untuk menolak sedekah mereka, melakukan salat jenazah untuk mereka, memintakan ampunan dan berdiri di atas kubur mereka.

Allah SWT juga memerintahkan untuk menghancurkan sentral makar mereka yang diatasnamakan masjid (Masjid Dhirar) melecehkan dan menyingkap keburukan mereka, sehingga tidak ada lagi rahasia yang bisa mereka tutup-tutupi.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Mengapa Abu Thalib Tetap Lindungi Nabi Muhammad SAW Meski Menolak Islam?



Jakarta

Abu Thalib adalah paman Nabi Muhammad SAW yang telah mengasuhnya sejak kepergian sang kakek, Abdul Muththalib. Abu Thalib sangat menyayangi Nabi Muhammad seperti anak kandungnya sendiri.

Disebutkan dalam buku Orang Kafir dalam Keluarga Nabi SAW oleh Ahmad Sarwat, Abu Thalib merupakan salah satu kerabat Nabi Muhammad SAW yang tidak mau mengakui kenabiannya tatkala semua orang beriman di usia 40 tahun.

Meskipun selalu melindungi semua perjuangan Nabi Muhammad SAW, hingga akhir hayatnya Abu Thalib tetap tidak mau bersyahadat. Lantas, mengapa Abu Thalib tetap melindungi Nabi Muhammad SAW meski tidak memeluk Islam semasa hidupnya?


Alasan Abu Thalib Melindungi Nabi Muhammad SAW

Abu Thalib tetap melindungi Nabi Muhammad SAW meski tidak memeluk Islam semasa hidupnya karena ia adalah paman Nabi Muhammad yang telah merawatnya sejak yatim piatu pada usia 8 tahun.

Mengutip dari Buku Pintar Sejarah Islam karya Qasim A. Ibrahim & Muhammad A. Saleh, Abu Thalib telah mengasuh dan melindungi Nabi dengan baik selama kurang lebih 42 tahun. Bahkan, Abu Thalib lebih mengutamakan Nabi dibanding anak-anak kandungnya sendiri.

Selama itu, Abu Thalib selalu setia melindungi, menemani, dan membela keponakannya hingga ajal menjemputnya, yakni sepuluh tahun setelah Nabi Muhammad SAW diutus sebagai nabi dan rasul.

Dilansir dari buku Sejarah & Kebudayaan Islam Periode Klasik karya Prof. Dr. H. Faisal Ismail, M.A. ketika Nabi Muhammad menyiarkan Islam, beliau turut melarang adanya berhala-berhala yang disembah oleh para pembesar Quraisy dan kaumnya.

Suatu hari Abu Thalib pernah didatangi oleh pemuka kafir Quraisy, Abu Sufyan bin Harb, kemudian ia berkata,

“Abu Thalib, keponakanmu itu sudah mencaci maki berhala-berhala kita, mencela agama kita, tidak menghargai harapan-harapan kita, dan menganggap sesat nenek moyang kita. Sekarang harus kau hentikan ia. Kalau tidak, biarlah kami sendiri yang akan menghadapinya. Oleh karena engkau juga seperti kami tidak sejalan, maka cukuplah engkau mewakili pihak kami menghadapi dia.”

Namun, permintaan dari pemuka kafir Quraisy tersebut ditolak dengan baik oleh Abu Thalib. Kafir Quraisy pun tetap terus-terusan bersekongkol melawan dakwah Nabi Muhammad SAW.

Di hari yang lain, mereka mendatangi Abu Thalib dengan membawa seorang pemuda rupawan bernama Umarah bin Walid bin Mughirah yang akan mereka berikan kepada Abu Thalib sebagai anak angkat.

Sebagai gantinya, Abu Thalib harus menyerahkan Nabi Muhammad SAW kepada mereka. Akan tetapi, usaha dan upaya kafir Quraisy ini kembali ditolak oleh Abu Thalib.

Dengan kemauan yang keras dan gigih, para elite Quraisy mendatangi Abu Thalib lagi seraya berkata, “Engkau sebagai orang yang terhormat di kalangan kami. Kami telah meminta kepadamu agar menghentikan kemenakanmu itu, tapi tidak juga kau lakukan. Kami tidak akan tinggal diam terhadap orang yang memaki nenek moyang kita, tidak menghargai harapan-harapan kita, dan mencela berhala-berhala kita. Kau suruh dia diam atau sama-sama kita lawan dia sampai salah satu pihak nanti binasa.”

Berat sekali bagi Abu Thalib untuk berpisah atau bermusuhan dengan masyarakatnya. Namun, di sisi lain ia tak sampai hati menyerahkan atau membuat keponakannya itu kecewa atau ditimpa mara bahaya yang dirancang oleh pemuka Quraisy itu.

Abu Thalib kemudian memanggil Nabi Muhammad SAW dan menceritakan maksud para pemuka Quraisy tersebut. Ia mengimbau kepada Nabi Muhammad, “Jagalah aku, begitu juga jagalah dirimu. Jangan aku dibebani hal-hal yang tak dapat kupikul.”

Mendengar ucapan Abu Thalib itu, Nabi Muhammad SAW mengira pamannya tidak bersedia lagi melindunginya. Dengan nada yang santun, Nabi SAW pun berkata kepada pamannya,

“Paman, demi Allah! Kalaupun mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan meletakkan bulan di tangan kiriku, dengan maksud supaya aku meninggalkan tugas ini, sungguh tidak akan kutinggalkan. Biar nanti Allah yang akan membuktikan kemenangan itu di tanganku, atau aku binasa karenanya.”

Setelah mengucapkan pernyataan itu, Nabi Muhammad SAW dengan ekspresi sedih menundukkan wajahnya seraya menangis meneteskan air mata. Ketika membalikkan badan hendak pergi, Abu Thalib memanggilnya, “Menghadaplah kemari, Anakku!”

Nabi Muhammad SAW pun berpaling mengharap ke arah Abu Thalib lalu pamannya berkata, “Pergilah dan lakukanlah apa yang kamu kehendaki. Demi Allah, aku tidak akan menyerahkan kamu kepada mereka karena alasan apapun untuk selama-lamanya.”

Pernyataan Abu Thalib itu sangat membesarkan dan meneguhkan hati Nabi Muhammad SAW untuk melaksanakan gerakan dakwahnya.

Demikianlah sosok Abu Thalib yang senantiasa melindungi dan membela Nabi Muhammad SAW dengan tulus meskipun dirinya tidak memeluk Islam.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

Saat Menikah dengan Putri Nabi SAW, Apa Mahar dari Ali bin Abi Thalib?



Jakarta

Mahar atau maskawin menjadi suatu persyaratan yang wajib ada dalam pernikahan. Mahar menjadi salah satu hak istri yang jadi kewajiban bagi suami.

Mengutip dari buku Fiqh Keluarga Terlengkap karya Rizem Aizid, mahar adalah wadh (ganti) yang wajib diberikan kepada istri sebagai konsekuensi dari perkawinan (menikahi dan menyetubuhinya).

Dalam Islam, besar kecilnya mahar sangat bergantung pada kebiasaan, situasi, serta kondisi. Besar kecilnya mahar dalam Islam berpedoman pada sifat kesederhanaan dan ajaran kemudahan. Hal ini juga dapat dilihat salah satunya pada kisah Ali bin Abi Thalib ketika menikah dengan Fatimah, putri Rasulullah SAW.


Saat menikah dengan putri Nabi Muhammad SAW, Ali bin Abi Thalib adalah pemuda yang belum mapan dalam hal kepemilikan harta. Meski demikian, Rasulullah SAW memintanya untuk memberikan sesuatu terlebih dahulu kepada calon istrinya.

Lantas, apa mahar dari Ali bin Abi Thalib yang diberikan kepada putri Nabi? Berikut kisahnya tatkala Ali memberanikan diri melamar putri Rasulullah.

Ali bin Abi Thalib Melamar Fatimah Putri Rasulullah

Dikisahkan dalam buku Ali bin Abi Thalib RA karya Abdul Syukur al-Azizi, sebelum menikah dengan Fatimah, Sayyidina Ali pernah merasa tidak yakin kalau dirikan akan menjadi menantu yang ditunggu oleh Rasulullah SAW.

Ali bin Abi Thalib menyadari dirinya hanyalah pemuda miskin dan banyak dari kalangan sahabat Rasulullah SAW yang terlihat lebih pantas meminang Fatimah. Ia juga merasa bahwa secara ekonomi tidak ada yang menjanjikan pada dirinya. Hanya ada satu set baju besi ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya.

Namun, Ali bin Abi Thalib tidak bisa meminta Fatimah menantikannya hingga dirinya siap. Akhirnya, Ali bin Abi Thalib pun memberanikan diri untuk menghadap Rasulullah SAW dan menyampaikan keinginannya untuk menikahi Fatimah RA.

Sesampainya di rumah Rasulullah SAW, Ali RA hanya duduk di samping beliau dan tertunduk diam. Rasulullah SAW pun bertanya, “Wahai putra Abu Thalib, apa yang kamu inginkan?”

Sejenak Ali bin Abi Thalib RA terdiam dan tubuhnya penuh keringat. Dengan suara bergetar ia menjawab, “Ya Rasulullah, aku hendak meminang Fatimah.”

Seluruh beban yang selama ini menghimpit batinnya terasa lepas setelah mengutarakan perasaannya itu. Mendengar pernyataan Ali bin Abi Thalib, Rasulullah SAW tidak terkejut karena beliau mengetahui Ali mencintai putrinya.

Sebagai ayah yang bijak, Rasulullah SAW tidak langsung menerima lamaran Ali bin Abi Thalib. Beliau menanyakan dahulu kepada putri tercintanya atas ketersedian menerima lamaran tersebut.

Setelah Fatimah menyetujui, kemudian Rasulullah SAW bertanya kepada Ali bin Abi Thalib RA, apakah ia memiliki sesuatu yang bisa dijadikan mahar?

Ali bin Abi Thalib merasa malu kepada Rasulullah SAW karena ia tidak memiliki apapun yang dapat dijadikan mahar. Apalagi sejak kecil ia dihidupi oleh beliau. Peristiwa tersebut turut dikisahkan dalam sebuah riwayat dari Ummu Salamah RA.

Mahar dari Ali bin Abi Thalib Saat Menikahi Putri Nabi

Dikisahkan bahwa pada saat itu, wajah Rasulullah SAW tampak berseri-seri. Seraya tersenyum, beliau bertanya kepada Ali bin Abi Thalib.

“Wahai Ali, apakah kamu mempunyai sesuatu yang bisa dijadikan sebagai mas kawin?”

“Demi Allah, Anda sendiri mengetahui keadaanku, tak ada sesuatu tentang diriku yang tidak Anda ketahui. Aku tidak mempunyai apa-apa selain sebuah baju besi, sebilah pedang, dan seekor unta,” Jawab Ali bin Abi Thalib.

“Tentang pedangmu itu, kamu tetap memerlukannya untuk meneruskan perjuangan di jalan Allah SWT. Dan, untamu itu kamu perlukan untuk mengambil air bagi keluargamu dan kamu memerlukannya dalam perjalanan jauh.

Oleh karena itu, aku hendak menikahkan kamu dengan maskawin sebuah baju besi saja. Aku puas menerima barang itu dari tanganmu. Wahai Ali, kamu wajib bergembira karena Allah SWT sebenarnya sudah lebih dahulu menikahkanmu di langit sebelum aku menikahkan kamu di bumi.”

Akhirnya, Ali bin Abi Thalib menikah dengan Fatimah dengan mahar baju besi yang dijualnya seharga 500 dirham dan menyerahkan uang tersebut kepada Rasulullah SAW.

Kemudian, Rasulullah SAW membagi uang tersebut menjadi 3 bagian. Satu bagian untuk kebutuhan rumah tangga, satu bagian untuk wewangian, dan satu bagian lagi dikembalikan kepada Ali RA sebagai biaya untuk jamuan makan bagi para tamu yang menghadiri pernikahan.

Ali bin Abi Thalib menikahi Fatimah pada bulan Dzulhijjah tahun kedua Hijriyah. Pernikahan mereka melahirkan dua orang putra dan dua orang putri. Putranya bernama Hasan dan Husein, sedangkan putrinya bernama Zainab dan Ummu Kultsum.

Dengan demikian, dapat diketahui bahwa Islam tidak menetapkan jumlah baku mahar yang harus dibayar, melainkan menyesuaikan dengan kemampuan calon suami dan kesepakatan dengan calon istri.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

Sejarah Munculnya Air Zamzam yang Keluar dari Tanah Gersang



Jakarta

Air zamzam yang hingga kini masih berlimpah ruah dulunya keluar dari tanah yang gersang. Sejarah munculnya air zamzam tidak lepas dari kisah Nabi Ismail AS.

Nabi Ismail AS adalah putra dari Nabi Ibrahim AS dan Siti Hajar. Ia memiliki sejumlah mukjizat sejak bayi.

Sejarah Munculnya Air Zamzam

Dikutip dari buku Sejarah Terlengkap 25 Nabi karya Rizem Aizid, dikisahkan bahwa awal mula sejarah munculnya air zamzam adalah ketika Siti Hajar dan Ismail AS kecil masih tinggal di Makkah yang masih begitu gersang seperti gurun. Saat itu, Siti Hajar memiliki keinginan kuat untuk tetap hidup bersama dengan putra yang disayanginya yaitu Ismail AS.


Akan tetapi, dengan keadaan hidup yang sangat sulit, di situlah dimulai beban hidup yang ditanggung oleh Siti Hajar semenjak karena Nabi Ibrahim AS kembali Palestina. Meskipun sudah terdapat bekal dan makanan, namun tidak cukup lantaran kondisi Hajar yang masih harus menyusui Ismail AS.

Nabi Ibrahim AS diketahui meninggalkan istri dan anaknya lantaran perintah dari Allah SWT. Kurang lebih kejadian saat Nabi Ibrahim AS meninggalkan keluarga mereka adalah seperti ini,

Siti Hajar bertanya, “Wahai suamiku, apakah engkau bersungguh-sungguh hendak meninggalkan kami di tempat ini?”

“Maaf istriku, aku hanya menjalankan perintah Allah. Bertakwalah kepada Allah. Insya Allah Dia akan selalu melindungi kalian,” jawab Nabi Ibrahim AS.

Melanjutkan di saat kondisi Siti Hajar dan Ismail AS serba kekurangan, kemudian Ismail AS menangis karena air susu dari Siti Hajar mengering lantaran kekurangan makanan. Tangisan Ismail AS yang tidak kunjung berhenti ini membuat Siti Hajar cemas, bingung sekaligus panik.

Siti Hajar menoleh dan mencari ke kanan dan kiri, ke sana kemari, demi mencari sesuap makanan atau seteguk air yang dapat meringankan rasa lapar dan haus, sekaligus meredakan tangisan anaknya. Akan tetapi, usaha yang dilakukannya tidak membuahkan hasil.

Menurut keterangan Ibnu Hisyam, saat Siti Hajar putus asa lantaran tidak mendapatkan air, ia pun berlari-lari kecil dari Bukit Shafa ke Marwah sebanyak tujuh kali (yang kini diabadikan menjadi salah satu rukun ibadah haji, yang disebut sa’i) sembari memohon kepada Allah SWT agar menolongnya dan putranya yang sedang mengalami krisis persediaan makanan dan air.

Allah SWT pun mengutus Malaikat Jibril untuk melakukan misi penyelamatan bagi keduanya, sehingga kaki Ismail terlihat menginjak-injak tanah dan kemudian muncullah air.

Sedangkan, Siti Hajar saat itu mendengarkan suara air seperti binatang buas, yang membuatnya ketakutan. Air tersebut mengalir dengan sangat deras, hingga tangannya menggapai air yang mengalir dari tempat Ismail AS. Kemudian air inilah yang akhirnya diketahui dengan nama air zamzam.

Dijelaskan lebih lanjut dalam buku ini bahwa para ulama sepakat bahwa zamzam adalah air untuk minum Ismail AS dan ibunya, Hajar. Tetapi terdapat beberapa perbedaan mengenai sebab alasan munculnya air tersebut.

Secara singkat, dalam pendapat ulama yang lain, penyebab munculnya air zamzam adalah berdasarkan dari hentakan kaki Malaikat Jibril. Wallahu a’lam.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Kisah Abu Nawas Mencari Neraka di Siang Hari



Jakarta

Abu Nawas adalah seorang penyair Arab klasik dan terkenal. Meski populer dan kerap disapa dengan Abu Nawas, sebetulnya panggilan tersebut bukanlah nama aslinya.

Mengutip dari buku Abu Nawas Sufi dan Penyair Ulung yang Jenaka susunan Muhammad Ali Fakih, julukan Abu Nuwas ia peroleh karena rambutnya yang ikal dan panjang sebahu. Nama lengkapnya ialah Abu Ali al-Hasan bin Hani’ al-Hakami.

Abu Nawas lahir di provinsi Ahwaz sekitar Khuzistan, barat daya Persia tahun 757 M. Walau begitu, banyak perbedaan pendapat terkait tahun lahir Abu Nawas.


Disebutkan dalam buku Kisah Lucu Kecerdasan Abu Nawas yang ditulis oleh Sukma Hadi Wiyanto, ketika beranjak dewasa Abu Nawas membantu sang paman bekerja sebagai pembuat minyak wangi. Seusai bekerja, ia sering pergi ke masjid untuk belajar berbagai ilmu agama dan pengetahuan lain, seperti syair, fikih, dan ilmu hadits. Abu Nawas terkenal sebagai murid yang cerdik dan antusias dalam mempelajari berbagai ilmu pengetahuan.

Suatu hari, Abu Nawas bertemu dengan Abu Usamah yang merupakan ahli sastra sekaligus pujangga terkenal. Ia sangat terkesima dengan kemampuan Abu Nawas membuat syair hingga diajarkan berbagai ilmu mengenai syair.

Dikenal sebagai sosok yang jenaka dan cerdas, banyak kisah menarik mengenai Abu Nawas, salah satunya ketika ia bersikeras mencari neraka. Kala itu, Abu Nawas merupakan seorang staf ahli dari Khalifah Harun Al-Rasyid.

Pada suatu siang, Abu Nawas membawa lampu minyak dan menggoyangkannya sembari berhenti pada setiap sudut rumah. Setelahnya, ia kembali berjalan dengan lampu yang masih dipegangnya.

Tingkah Abu Nawas menggegerkan penghuni Baghdad. Mereka heran, bagaimana bisa orang secerdas Abu Nawas berjalan di siang hari ketika sinar Matahari menyorot sambil membawa lampu?

“Abu Nawas mulai gila,” kata salah seorang warga Baghdad yang tengah memperhatikan Abu Nawas.

Walau begitu, Abu Nawas tidak peduli. Keesokan harinya ia melakukan hal yang sama, hanya saja kali ini lebih pagi sambil tetap membawa lampu minyak. Tanpa bersuara, Abu Nawas menoleh ke kanan dan kiri.

Beberapa orang yang menyaksikan tingkah Abu Nawas lantas bertanya kepada Abu Nawas. Apa yang sebenarnya ia cari di siang hari dengan lampu di tangannya?

Abu Nawas lalu menjawab, “Saya sedang mencari neraka,”

Dari situlah, para warga mulai berpikiran bahwa Abu Nawas gila. Bahkan di hari ketiga ia masih melakukan hal yang sama dan membawa lampu minyak yang digoyang-goyangkan.

Warga Baghdad yang tidak sabar akan perilaku Abu Nawas, lantas menangkapnya. Di Baghdad, ada sebuah undang-undang yang melarang orang gila berkeliaran.

Sejumlah musuh politik Harun Al-Rasyid justru gembira melihat Abu Nawas ditangkap. Mereka menganggap ketidakwarasan Abu Nawas bisa dijadikan sebagai senjata untuk menyudutkan wibawa sang khalifah.

Malu bukan main atas perilaku Abu Nawas, Khalifah Harun Al-Rasyid bertanya dengan nada tinggi,

“Abu Nawas, apa yang kamu lakukan dengan lampu minyak itu siang-siang?”

“Hamba mencari neraka, paduka yang mulia,” jawab Abu Nawas lancar, tidak ada tanda-tanda bahwa dirinya gila.

“Kamu gila, Abu Nawas. Kamu gila!”

“Tidak paduka, merekalah yang gila,”

“Siapa mereka?”

Abu Nawas kemudian meminta orang-orang yang tadi menangkap dan menggiringnya menuju istana untuk dikumpulkan. Setelah berkumpul di depan istana, Abu Nawas didampingi khalifah Harun mendatangi mereka.

“Wahai kalian orang yang mengaku waras, apakah kalian selama ini menganggap orang lain yang berbeda pikiran dan berbeda pilihan dengan kalian adalah munafik?” tanya Abu Nawas.

“Benar!” jawab orang-orang itu yang berjumlah ribuan.

“Apakah kalian juga yang menyatakan para munafik itu sesat?”

“Betul, dasar sesat!”

“Jika mereka munafik dan sesat, apa konsekuensinya?”

“Orang munafik pasti mereka masuk neraka! Dasar munafik, kamu!”

Mendengar itu, Abu Nawas kembali menimpali, “Baik, jika saya munafik, sesat, dan masuk neraka, di mana neraka yang kalian maksud? Punya siapa neraka itu?”

Saat berucap demikian, Abu Nawas mengangkat tinggi-tinggi lampu di tangannya. Ini dilakukan seakan-akan dirinya sedang mencari sesuatu.

Jawaban Abu Nawas membuat orang-orang yang berada di depan khalifah Harun habis kesabaran. Mereka merasa diledek dengan mimik Abu Nawas.

“Hai Abu Nawas, tentu saja neraka ada di akhirat dan itu milik Allah. Kenapa kamu tanya?”

“Paduka mohon maaf. Tolong sampaikan pada mereka, jika neraka ada di akhirat dan yang punya neraka adalah Allah, kenapa mereka di dunia ini gemar sekali menentukan orang lain masuk neraka?” tanya Abu Nawas.

“Apakah mereka asisten Allah yang tahu bocoran catatan Allah? Atau jangan-jangan merekalah yang gila?” lanjutnya.

Ucapan Abu Nawas membuat khalifah Harun Al-Rasyid tertawa. Sungguh jenaka sosok Abu Nawas di mata khalifah Harun, ia lalu berkata sambil masih tergelak, “Abu Nawas, besok siang lanjutkan mencari neraka. Jika sudah ketemu, jebloskan orang-orang ini ke dalamnya,”

(aeb/erd)



Sumber : www.detik.com

Kisah Haji Pertama Rasulullah Sekaligus yang Terakhir



Jakarta

Rasulullah SAW melaksanakan haji sekali seumur hidup. Beliau menunaikan haji pertama sekaligus terakhirnya pada 10 H.

Sebelum itu, belum diwajibkan dan Nabi Muhammad SAW juga tidak pernah melaksanakan haji setelah Haji Wada. Hal itu sebagaimana dijelaskan Said Ramadhan al-Buthy dalam Fiqh as-Sirah an-Nabawiyyah Ma’a Mujaz Litarikh al-Khilafah ar-Rasyidah.

Sementara itu, dalam Jawami as-Sirah an-Nabawiyah karya Ibnu Hazm al-Andalusi dikatakan, Rasulullah SAW berhaji dan berumrah berkali-kali sebelum kenabian dan setelahnya, tetapi sebelum hijrah. Setelah hijrah ke Madinah, beliau hanya berhaji satu kali.


Para sahabat menyebut haji yang dilaksanakan Rasulullah SAW sebagai Hajjatul Islam (haji pertama dalam Islam) atau Hajjatu Rasulillah (haji wajib yang dilaksanakan Rasulullah SAW).

Kisah haji pertama dan terakhir Rasulullah SAW yang juga disebut dengan Haji Wada ini juga dijelaskan dalam Ar-Rahiq al-Makhtum-Sirah Nabawiyah karya Shafiyurrahman al-Mubarakfuri dan Sirah Nabawiyah karya Ibnu Hisyam.

Diceritakan, memasuki bulan Zulkaidah, Rasulullah SAW bersiap-siap untuk melaksanakan ibadah haji dan memerintahkan kaum Muslimin untuk mempersiapkan perbekalan.

Ibnu Ishaq mendengar dari Abdurrahman bin Qasim, dari ayahnya, Qasim bin Muhammad, dari Aisyah, istri Nabi yang mengatakan, “Rasulullah berangkat untuk menunaikan ibadah haji pada tanggal 25 Zulkaidah.”

Pada saat itu, Rasulullah SAW mengangkat Abu Dujanah as-Saidi sebagai pemimpin sementara di Madinah. Pendapat lain mengatakan bahwa yang ditunjuk adalah Siba bin Urfuthah al Ghifari.

Allah SWT menghendaki Rasulullah SAW bisa menyaksikan buah dakwah yang beliau perjuangkan melawan beragam kesulitan selama lebih dari dua puluh tahun. Maka beliau mengumpulkan berbagai kabilah Arab di pinggiran Kota Makkah untuk ditanyai tentang syariat dan hukum-hukum agama.

Beliau minta persaksian mereka bahwa beliau telah menunaikan amanah, menyampaikan risalah, dan menasihati umat. Nabi mengumumkan niatnya untuk melaksanakan Haji Wada yang mabrur.

Mendengar pengumuman itu, orang-orang berdatangan ke Madinah Mereka semua ingin ikut bersama Rasulullah SAW. Pada hari Sabtu, lima hari sebelum berakhirnya bulan Zulkaidah, Nabi berkemas siap untuk berangkat. Beliau menyisir rambut, memakai jubah, dan memakai minyak wangi. Beliau membawa unta dan berangkat selepas zuhur

Setelah fajar menyingsing, beliau bersabda kepada para sahabatnya, “Malam ini aku didatangi oleh utusan Tuhanku. la berkata, ‘Salatlah di lembah yang diberkahi ini dan katakan, umrah beserta haji.'” (HR Bukhari dari Umar)

Sebelum salat Zuhur, beliau mandi untuk berihram. Aisyah RA lalu memercikkan minyak dzariyah dan minyak yang bercampur kesturi di tubuh dan kepala Nabi Muhammad SAW hingga kilaunya terlihat di kening dan jenggot beliau.

Wewangian itu dibiarkan saja dan tidak dibasuh. Setelah itu, beliau memakai jubah dan selendang. Perjalanan Rasulullah sampai di dekat Makkah. Beliau bermalam di Dzu Thuwa lalu memasuki Makkah setelah shalat subuh dan mandi pada hari Ahad 4 Zulhijah 10 H.

Perjalanan ini ditempuh selama delapan hari, setelah memasuki Masjidil Haram, beliau tawaf di Baitullah dan melakukan sa’i antara Shafa dan Marwah.

Beliau tidak bertahallul karena yang dilakukan adalah haji qiran. Dalam rombongan itu digiring pula hewan-hewan kurban. Selanjutnya beliau beristirahat di Hajun dan tidak lagi melakukan thawaf kecuali thawaf untuk haji.

Para sahabat yang tidak membawa hewan kurban diperintahkan agar menjadikan ihramnya sebagai umrah. Lalu mereka melakukan tawaf berkeliling Ka’bah, disusul melakukan sa’i antara Shafa dan Marwah kemudian bertahallul dengan sempurna.

Setelah itu, Rasulullah SAW melanjutkan ibadah hajinya, memperlihatkan kepada mereka tata cara ibadahnya, mengajari mereka sunnah-sunnah haji, dan berpidato di depan orang banyak untuk menjelaskan segala sesuatu yang perlu dijelaskan.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Kisah Nuaiman dan Hadiah Madu untuk Rasulullah SAW



Jakarta

Nabi Muhammad SAW memiliki sahabat yang terkenal jahil dan sering membuat orang lain tertawa. Nu’aiman bin Ibnu Amr bin Raf’ah namanya, ia merupakan sahabat Rasulullah yang berasal dari kalangan Anshar.

Dalam beberapa catatan sejarah, dijelaskan bahwa Nabi Muhammad kerap tertawa dan gembira bila berada di dekat Nu’aiman saking jenakanya pria tersebut. Berkaitan dengan itu, ada sebuah kisah lucu mengenai Nu’aiman memberikan hadiah madu untuk Rasulullah.

Mengutip dari buku Janibal Ma’rifat tulisan Dafiq Rohman, suatu hari Nu’aiman membeli madu dari seorang Badui. Tanpa membayarnya, dia mengajak orang tersebut menghadap Rasulullah SAW dan menyerahkan madu tersebut kepada beliau sebagai tanda hadiah.


Tanpa sepengetahuan Rasulullah dan orang lain yang hadir, Nu’aiman berkata kepada orang Badui tersebut, “Mintalah bayarannya di sini,”

Setelah menerima hadiah itu, Nabi Muhammad pun merasa senang. Terlebih madu merupakan makanan kesukaan beliau.

Hadiah dari Nu’aiman itu kemudian dibagikan kepada orang yang hadir sampai habis. Sementara orang Badui yang menjual madu menunggu pembayaran madu yang dibeli Nu’aiman, tetapi hal itu tak kunjung ia terima hingga akhirnya bertanyalah dia kepada Rasulullah,

“Apa maduku tidak akan dibayar?”

Mendengar pertanyaan orang Badui tersebut, Rasulullah tersadar bahwa tidak ada yang berani melakukan hal ini kecuali sahabatnya yang usil, yaitu Nu’aiman. Beliau lalu menghampiri Nu’aiman dan bertanya mengapa dia melakukan hal tersebut.

“Aku ingin berbuat baik kepadamu, tetapi aku tidak memiliki apa-apa,” jawab Nu’aiman.

Alih-alih marah, Nabi Muhammad justru tertawa mendengar jawaban sahabatnya yang jahil itu. Beliau lalu segera membayar madu yang telah habis dibagikan itu.

Di kesempatan yang lain, ada juga kisah mengenai Nu’aiman yang menyembelih unta milik tamu Nabi Muhammad SAW. Menurut kisah yang diceritakan oleh Abu as-Syaikh al-Ashbahani dalam Akhlaq an-Nabi wa Adalubuhu, suatu ketika ada ada orang Arab pedalaman yang datang mengendarai untanya dan berhenti di depan pintu Masjid Nabawi.

Setelahnya, orang tersebut masuk menemui Rasulullah. Sementara Hamzah ibn Abdul Muthalib tengah duduk bersama beberapa Muhajirin dan Anshar, Nu’aiman menjadi salah satunya.

Kemudian, mereka berkata kepada Nu’aiman, “Hebat, untanya itu gemuk. Maukah kamu menyembelihnya karena kita benar-benar ingin makan daging? Andaikan kamu melakukannya, pastilah Rasulullah SAW akan berutang untuk membayarnya, dan kita pun bisa makan daging,”

Mendengar itu, Nu’aiman berkata, “Tapi jika aku melakukannya dan kalian memberitahukan perbuatanku kepada Rasulullah SAW, pastilah beliau memarahiku,”

“Kamu (kami anggap) tidak melakukan apa-apa!” jawab mereka.

Tanpa pikir panjang, Nu’aiman segera menyembelih unta tersebut lalu pergi buru-buru. Dia melewati Miqdad bin Amru yang baru selesai menggali sebuah lubang, ia berkata

“Wahai Miqdad, sembunyikan aku di dalam lubang ini. Tutupilah aku dan jangan tunjukkan tempatku kepada siapa pun karena aku telah melakukan sesuatu,”

Miqdad menuruti Nu’aiman, ketika orang Arab itu keluar, betapa terkejutnya ia mendapati untanya sudah mati. Rasulullah lalu keluar dari rumahnya dan bertanya siapa yang melakukan hal tersebut.

Para sahabat lantas menjawab bahwa itu perbuatan Nu’aiman. Kemudian Rasulullah dan para sahabat mencari Nu’aiman, setelah ditemukan ia lantas berkata,

“Demi Dia yang mengutusmu membawa kebenaran yang telah menyuruhku melakukannya adalah Hamzah dan teman-temannya. Mereka mengatakan begini dan begitu,”

Nabi Muhammad lalu meminta orang Arab pedalaman itu agar merelakan untanya, ia juga bersabda:

“Unta ini menjadi urusan kalian (harus kalian bayar), dan mereka pun memakannya,”

(aeb/nwk)



Sumber : www.detik.com