Tag Archives: hikmah

Kisah Jusuf Hamka Naik Haji, Kelaparan di Pesawat



Jakarta

Tiga tahun setelah mengucap syahadat sebagai tanda menjadi muslim, Jusuf Hamka alias Babah Alun menunaikan ibadah haji pada 1984. Ia menuangkan pengetahuan dan pengalamannya hampir 40 tahun lalu itu ke dalam buku bertajuk, “Babah Alun Naik Haji”.

Membaca buku setebal 136 halaman yang diterbitkan Gramedia pada 2020 ini kita akan mendapat gambaran apa dan bagaimana perubahan ibadah haji ke Tanah Suci sejak 1984.

Babah Alun Naik Haji karya HM Jusuf Hamka, terbitan Gramedia, 2020Babah Alun Naik Haji karya HM Jusuf Hamka, terbitan Gramedia, 2020 Foto: Sudrajat / detikcom

Dalam hal layanan selama penerbangan di pesawat, misalnya. Dalam buku ini Jusuf Hamka menyebut menumpang pesawat Boeing 747 berkapasitas 500 orang. Dengan jumlah penumpang sebanyak itu ditambah pemahaman yang terbatas terkait penggunaan toilet membuat ‘kekacauan’ tersendiri. Belum lagi kebiasaan membuang sampah sembarangan di dalam kabin membuat kesibukan para pramugara dan pramugari bertambah. Akibatnya, tugas mereka untuk membagikan jatah makan siang untuk para penumpang terlambat.


“Sudah terlambat dari waktunya, eh kotak-kotak yang disajikan ternyata cuma berisi kue-kue ringan,” keluh Jusuf Hamka.

Tak cuma dia yang mengeluh, banyak penumpang lain pun demikian. Beberapa di antaranya malah ada yang mengecam pelayanan Garuda seolah tega menyengsarakan perut penumpang.

“Maklum, perut orang Indonesia walau dijejali kue segerobak, kalau belum terisi nasi namanya belum makan,” imbuhnya.

Ada seorang ibu yang menyesalkan kenapa suguhan beberapa potong lemper yang disajikan saat di Asrama Haji Pondok Gede tak dibawa serta. Tapi si suami buru-buru mengingatkan bahwa apa yang terjadi boleh jadi merupakan bagian dari ujian ibadah haji.

Beruntung ketika petang tiba, jatah makan siang akhirnya tiba. Menunya, sejumput nasi berikut lauk-pauk, sayuran, sambal, kerpuk, dan buah. “Kami pun sigap menyantap. Suasana suram di pesawat selama berjam-jam berubah menjadi cerah. Alhamdulillah,” tulis Jusuf Hamka.

Selepas makan siang di petang itu, azan magrib berkumandang di dalam kabin pesawat. Mereka semua bertayamum. “Ini pengalaman baru, mendengarkan suara azan dengan khusuk dan tawakal di pesawat. “Jiwa relijus saya terasa bangkit. Kami menjamak salat magrib dan isya,” imbuhnya.

Dibandingkan dengan peristiwa 40 tahun lalu, Jusuf Hamka menilai pelayanan ibadah haji saat ini pasti jauh lebih baik. “Saya pribadi cuma sekali haji kala itu saja. Selebihnya saya beberapa kali umrah,” kata Jusuf Hamka kepada detikhikmah.

(dvs/jat)



Sumber : www.detik.com

Kisah Rumah Pertama Rasulullah di Madinah yang Dipilih oleh Unta



Jakarta

Perjalanan hijrah Nabi Muhammad SAW ke Madinah dilakukan secara sembunyi-sembunyi bersama salah seorang sahabat Abu Bakar ash-Shiddiq. Beliau memilih jalur yang berlawanan agar tidak diketahui oleh kafir Quraisy.

Setibanya di Madinah, Nabi Muhammad SAW mendapat sambutan suka cita dari penduduk setempat yang telah menantikan kedatangannya. Bahkan para penduduk saling berebut menawarkan tempat tinggal untuk beliau.

Setiap kali unta Rasulullah SAW bernama Qashwa melewati rumah kaum Anshar, penghuninya selalu memegang tali kekangnya seraya berkata, “Mari singgah di rumah kami, wahai Rasulullah, sudah dipersiapkan dan sudah disiapkan, juga ada perlindungan dan kekuatan.”


Sementara Rasulullah SAW hanya bersabda kepada mereka, “Biarkan unta itu berjalan, sesungguhnya ia sudah diperintahkan,” sebagaimana dikutip dari buku Negeri Iman, Orang beriman dan Kemenangan yang Nyata karya Hamid Ahmad Ath-Thahir.

Banyak di antara sahabat Anshar yang menawarkan tempat tinggal, tetapi Rasulullah SAW selalu sama menjawabnya. Lantas, rumah siapa yang pertama kali dijadikan sebagai tempat tinggal Nabi SAW?

Kisah Berdirinya Rumah Pertama Nabi Muhammad di Madinah

Dikisahkan dalam buku Sirah Nabawiyah karya Ibnu Hisyam, unta milik Rasulullah SAW terus berjalan menyusuri jalan-jalan di Madinah.

Saat tiba di perkampungan Bani Malik bin Najjar, unta tersebut menderum di sebuah tempat pengeringan kurma. Pemiliknya adalah dua anak yatim dari Bani Najjar yang berada dalam pengasuhan Mu’adz bin Afra, yaitu bernama Sahal dan Suhail bin Amru.

Namun, tak lama kemudian unta Rasulullah SAW menderum sehingga beliau tidak turun dari punggungnya. Ternyata si unta masih berjalan lagi tak jauh dari tempat semula. Beliau pun tetap membiarkan tali kekangnya dan tidak membelokkannya

Unta tersebut akhirnya berhenti dan berlutut di depan rumah milik Abu Ayyub al Anshari. Rumah ini kemudian dikenal sebagai tempat tinggal pertama Rasulullah SAW di Madinah.

Ketika tinggal di rumah Abu Ayyub, Rasulullah SAW kemudian bertanya tentang tempat pengeringan kurma sebelumnya, “Milik siapakah itu?”

Mu’adz bin Afra menjawab, “Wahai Rasulullah, tempat itu milik Sahal dan Suhail bin Amru. Keduanya anak yatim yang berada dalam pengasuhanku. Aku akan meminta kepada keduanya untuk merelakannya agar engkau bisa menggunakannya sebagai lokasi masjid.”

Abul Hasan al-Ali Hasan an-Nadwi dalam bukunya Sirah Nabawiyah turut menceritakan bahwa kala itu Rasulullah SAW memanggil kedua anak yatim pemilik tempat pengeringan kurma.

Beliau menanyakan harganya kepada mereka untuk dibelinya dan menjadikannya sebagai masjid. Kedua anak yatim itu berkata, “Justru kami telah menghibahkannya untukmu, wahai Rasulullah.”

Akan tetapi, Rasulullah SAW menolak untuk menerima sebagai hibah mereka. Beliau memutuskan untuk membelinya dari mereka lalu membangun masjid di tanah tersebut. Selama masa pembangunan, Nabi Muhammad SAW tetap tinggal di rumah milik Abu Ayyub selama tujuh bulan.

Dalam riwayat lain, dikatakan bahwa Nabi Muhammad SAW membeli tanah tempat pengeringan kurma tersebut seharga 10 dinar emas yang beliau bayarkan dari harta milik Abu Bakar.

Di tempat itulah Rasulullah SAW membangun masjid yang kini dikenal sebagai Masjid Nabawi. Pada sebagian tanahnya, Nabi SAW membangun rumah pertama milik beliau serta membangun bilik untuk istri-istrinya di samping masjid.

Demikianlah kisah berdirinya rumah pertama Nabi Muhammad SAW di Madinah yang dipilih oleh unta Qashwa miliknya.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

Kisah Jusuf Hamka Naik Haji, Ada Razia Ajaran Sesat di Buku Manasik



Jakarta

Situasi di Bandara King Abdul Aziz, Jeddah, pada pukul 20.00 benar-benar hiruk-pikuk. Ribuan Jemaah yang akan menunaikan ibadah haji dari berbagai negara tumplek-blek di sana. Jusuf Hamka dan sekitar 500 jemaah asal Indonesia termasuk di antaranya, dan harus menunggu masuk pintu imigrasi sejam kemudian.

Rasa lelah mereka harus menghadapi ujian tambahan oleh sikap petugas keimigrasian yang bertele-tele. Mereka tak cuma kurang sigap tapi juga terkadang malah asyik ngobrol kanan-kiri, seolah mengabaikan antrean ribuan Jemaah.

“Sungguh menjengkelkan. Tapi apakah ini termasuk ujian kesabaran, hanya Allah yang tahu,” tulis Jusuf Hamka dalam bukunya, “Babah Alun Naik Haji” yang diterbitkan Gramedia, 2020.


Jusuf Hamka alias Babah Alun bersama rekan-rekan saat berhaji, 1982Jusuf Hamka alias Babah Alun bersama rekan-rekan saat berhaji, 1982 Foto: Repro buku “Babah Alun Naik Haji”

Persoalan selanjutnya, ia melanjutkan, tak kalah berat. Mereka harus mencari koper dan barang-barang jinjingan yang ternyata ditumpuk seperti gunung.

Kala itu, 1984, belum ada sistem ban berjalan yang memudahkan dan membuat koper lebih aman dari potensi rusak. Setelah koper ditemukan, bea cukai akan memeriksa dengan cara yang seolah mengacak-acak seenaknya. Tak cuma pakaian, buku manasik haji pun diteliti isinya.

“Mereka khawatir kalau ajaran sesat masuk ke Saudi melalui buku,” tulis Jusuf Hamka yang berhaji didampingi Mochtar Sum, aktor dan pengurus Himpunan Seni Budaya Indonesia.

Di bandara yang megah dan luas tersebut, kata Jusuf Hamka, terdapat keistimewaan bagi Jemaah haji Indonesia. Mereka bisa antre dengan tertib untuk mendapatkan satu boks makanan dari catering khusus.

Jusuf Hamka alias Babah Alun tak melulu berkisah tentang kualitas manajemen pelayanan haji yang belum baik. Dalam buku setebal 136 halaman ini juga memaparkan kondisi dari tempat-tempat yang dikunjunginya. Dia melengkapinya dengan sejarah tempat-tempat tersebut, seperti soal pengalamannya beribadah di Masjid Nabawi di Madinah dan mengunjungi Makam Nabi.

Tak hanya menguraikan pengalaman spiritualnya, Babah Alun juga menjelaskan tentang sejarah Masjid Nabawi yang didirikan oleh Nabi Muhammad.

Idealnya, buku ini dibaca sebelum berangkat haji atau umrah. Dengan pengetahuan tentang tempat-tempat yang dikunjungi dan sejarahnya, niscaya ibadah akan menjadi lebih khusyuk.

(dvs/jat)



Sumber : www.detik.com

Bermata Sipit, Askar Izinkan Jusuf Hamka Jenguk Makam Nabi dan Sahabat



Jakarta

“Hanya mereka yang tidak berperasaan bersusah payah menunaikan ibadah haji ke Mekah tapi tega tidak berziarah ke makam kekasihnya di Madinah.” Kalimat Buya Hamka itu terus terngiang di telinga Babah Alun alias Jusuf Hamka saat berhaji pada 1984. Atau tiga tahun setelah dia mengucap syahadat.

Kekasih yang dimaksud Buya Hamka adalah Rasulullah Muhammad SAW. Hal itu tertuang dalam buku “Babah Alun Naik Haji” terbitan Gramedia, 2020.

Begitu tiba di Madinah, dia pun bergegas menuju Masjid Nabawi. Sahabatnya, Mochtar Sum (aktor dan pengurus Himpunan Seni Budaya Indonesia), menjadi pembimbing pribadinya.


Masjid ini didirikan Nabi Muhammad SAW di atas lahan yang sebagian milik dua anak yatim, Sahal dan Suhail putra Amr bin Amarah. Keduanya sejak kecil diasuh oleh Mu’adz bin Afra. Sebagian lahan merupakan area pekuburan yang telah rusak dan terbengkalai yang diwakafkan oleh Asád bin Zurarah.

Nabi berpatungan dengan sahabatnya, Abu Bakar Ash-Shiddiq membeli lahan seharga sepuluh dinar. Saat pembangunan, turut meletakan batu pertama masjid adalah Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib.

Masjid terbuat dari batu tanah setinggi setengah meter. Tiang-tiangnya dari batang pohon kurma, atapnya dari pelepah daun kurma. Lantainya ditutup dengan batu-batu halus. Dengan luas 70×60 meter, masjid yang semula menghadap Baitul Maqdis di Yerusalem itu diberi tiga pintu. Satu di belakang, dan dua di samping.

Di bagian sisi masjid itulah dibangun kediaman Nabi Muhammad, yang kemudian di sana pula dimakamkan.
Kompleks pemakaman Nabi disebut Maqshurah, berada di sebelah timur. Di sana juga ada dua makam sahabat Nabi, yakni Abu Bakar Ashiddiq dan Umar bin Khattab.

Haji Jusuf Hamka, 28 Oktober 1982Haji Jusuf Hamka, 28 Oktober 1982 Foto: Repro buku “Babah Alun Naik Haji”

Butuh perjuangan tersendiri untuk bisa mendekati makam. Ribuan orang berdesakan, beberapa di antaranya bersikap berlebihan. Penjagaan oleh Askar (tentara) sangat ketat, dan akan langsung mengusir mereka yang meratap-ratap di muka makam. Toh begitu ada saja Jemaah yang mencuri-curi kesempatan untuk sekedar mencium pagar atau menggosokan sorban ke dinding makam.

Selesai berdoa, Jusuf memohon kepada Askar agar diizinkan lebih dekat ke makam. Tapi si Askar malah menanggapinya dengan bertanya, “Shin (maksudnya, kamu orang Cina)?” Jusuf tegas menggeleng. Ketika menyebut dirinya orang Indonesia, si Askar yang tak percaya. “Your eyes man, your eyes, like Chinese or Japanese,” ujarnya dengan kedua tangan menarik pelipis sehingga matanya yang liar menjadi sipit.

Jusuf dan Mochtar Sum pun tertawa melihat tingkah si Askar. “Terserah Anda saja, mau bilang Cina atau Jepang. Kami datang sebagai muslim, tamu Allah. Tak ada yang berbeda di antara kita,” balas Jusuf disambut pelukan erat si Askar.

“Mabrur ya akhir! Mabrur, insya Allah,” ujarnya kemudian dan membolehkan Jusuf menjenguk ketiga makam dengan leluasa. “Tapi jangan lama-lama,” ujarnya mengingatkan.

Dari tahun ke tahun, zaman ke zaman, Masjid Nabawi diperbaiki, diperluas, diperindah. Sekarang luas keseluruhan sekitar 16.326 m2. Tiangnya berjumlah 232 buah dengan tinggi lima meter. Pintunya terbuat dari kayu dengan ukiran tembaga kuning model Arab. Di keempat sudut bangunan tegak menjulang empat menara dan sebuah kubah hijau yang menambah cantiknya masjid ini.

(dvs/dvs)



Sumber : www.detik.com

Kisah Sakaratul Maut Rasulullah SAW yang Tetap Ingat Umatnya



Jakarta

Tiap makhluk yang bernyawa juga akan melewati sakaratul maut. Peristiwa ini juga dialami oleh Rasulullah SAW saat didatangi oleh malaikat maut yang mengabarkan hendak mencabut nyawa Beliau.

Menurut buku Makna Kematian Menuju Kehidupan Abadi karya KH. Muhammad Sholikhin, Imam Ghazali pernah mengatakan bahwa sakaratul maut adalah ungkapan rasa sakit yang menyerang inti jiwa dan menjalar ke seluruh bagian jiwa sehingga tiada satu pun bagian jiwa yang terbebas dari rasa sakit tersebut.

Kisah Sakaratul Maut Nabi Muhammad SAW

Ada sejumlah riwayat yang mengisahkan tentang kebiasaan Malaikat Maut meminta izin masuk rumah untuk menemui para nabi sebelum mencabut nyawanya. Salah satunya kepada Nabi Muhammad SAW.


Kisah perjumpaan Malaikat Maut dengan Rasulullah SAW ini diceritakan oleh Guru Besar Universitas Al-Azhar Kairo, Mustofa Murod, dalam buku Dialog Malaikat Maut dengan Para Nabi AS yang bersandar pada hadits riwayat dari Aisyah RA. Ada yang menyebut, Rasulullah SAW sedang bersama Aisyah, ada pula yang menyebut Beliau bersama Ali bin Abi Thalib di ujung ajalnya.

Malaikat Maut meminta izin masuk di depan pintu. Lalu, Malaikat Jibril berkata, “Wahai Muhammad, itu Malaikat Maut. Ia meminta izin masuk menemuimu. Ia tidak pernah meminta izin masuk kepada manusia sebelumnya. Dan, ia tidak akan meminta izin masuk kepada seorang manusia pun setelah ini.”

Beliau bersabda, “Izinkanlah ia masuk.”

Maka, Malaikat Maut pun masuk dan duduk di hadapan Nabi Muhammad SAW, lalu berkata, “Sesungguhnya, Allah mengutusku untuk menemuimu dan memerintahkanku untuk mematuhimu. Jika engkau memerintahkanku mencabut nyawamu maka akan kucabut. Jika engkau tidak suka maka akan kutinggalkan.”

Beliau bertanya, “Engkau akan melakukannya, wahai Malaikat Maut?”

Malaikat Maut menjawab, “Ya, itulah yang diperintahkan kepadaku.”

Jibril kemudian mengatakan kepada Nabi Muhammad SAW, “Sesungguhnya, Allah telah rindu bertemu denganmu.”

Rasulullah SAW pun bersabda, “Segera lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu.”

Sementara itu, dalam kisah lainnya, dikutip dari buku Kisah-kisah Islami Inspiratif for Kids tulisan A. Septiyani, kisah ini dapat diketahui saat ada yang bertamu ke kediaman Rasulullah SAW tapi Fatimah, putri nabi, tidak mengetahui siapa dia.

“Aku mohon maaf, tapi aku tidak bisa membiarkanmu masuk karena ayahku sedang demam,” kata Fatimah sambil menutup pintu.

Fatimah segera mendekati ayahnya, dan Rasulullah SAW bertanya, “Wahai anakku, siapa tamu itu?”

Fatimah menjawab dengan lembut, “Aku tidak tahu, Ayah. Tapi sepertinya ini pertama kalinya aku bertemu dengannya.”

Rasulullah SAW menatap putri tercintanya dengan tatapan yang menggetarkan. Beliau berkata, “Wahai anakku, ketahuilah bahwa orang yang kamu lihat adalah yang mengakhiri kenikmatan sesaat. Dia yang memisahkan pertemuan di dunia. Dia adalah Malaikat Maut.” Mendengar itu, Fatimah tidak bisa menahan tangisnya.

Kemudian, Malaikat Maut mendekati Rasulullah SAW. Karena Rasulullah SAW menanyakan keberadaan Malaikat Jibril, Malaikat Maut memanggil Malaikat Jibril untuk menemani Rasulullah SAW.

Rasulullah SAW bertanya, “Wahai Jibril, katakan padaku apa hakku di hadapan Allah Subhanahu Wa Ta’ala?”

Malaikat Jibril menjawab, “Wahai Rasulullah, pintu-pintu langit akan terbuka dan para malaikat sudah menantikanmu di sana. Semua pintu surga telah terbuka lebar menantikan kedatanganmu.”

Meskipun mendengar kabar gembira dari Malaikat Jibril, Rasulullah SAW masih terlihat cemas.

Melihat kecemasan Rasulullah SAW, Malaikat Jibril bertanya, “Mengapa engkau masih cemas seperti itu? Apakah engkau tidak bahagia mendengar kabar ini, ya Rasulullah?”

Rasulullah SAW kembali bertanya, “Beritahukanlah kepadaku, bagaimana nasib umatku kelak?”

Malaikat Jibril menjawab, “Jangan khawatirkan nasib umatmu, ya Rasulullah. Aku mendengar Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman kepadaku: ‘Aku telah mengharamkan surga bagi selain umat Muhammad, hanya umatmu yang berhak memasukinya.'”

Rasulullah SAW merasa sedikit tenang. Tak terasa, saat-saat kepergian sang rasul semakin dekat. Malaikat Izrail terlihat sedang menjalankan tugasnya. Perlahan-lahan, ruh Nabi Muhammad SAW diambil. Tubuh Rasulullah SAW basah karena keringat.

Urat-uratnya tampak tegang. Sambil merasakan rasa sakit, Rasulullah SAW berkata, “Wahai Jibril, betapa sakitnya sakaratul maut ini.”

Melihat Rasulullah SAW dalam kesakitan, Malaikat Jibril hanya bisa memalingkan wajahnya. Ia tidak tega melihat Rasulullah SAW dalam penderitaan seperti itu.

“Wahai Malaikat Jibril, apakah engkau merasa jijik melihatku sehingga kau memalingkan wajahmu?” tanya Rasulullah SAW.

Malaikat Jibril menjawab, “Siapakah yang akan tega melihat kekasih Allah menghadapi ajalnya?”

Dikutip dari Kitab Maraqi Al-‘Ubudiyyah karya Syekh Nawawi Al-Bantani, hingga di saat menjelang akhir hayatnya, sang penghulu rasul itu tetap memikirkan nasib umatnya.

Bahkan ketika merasakan dahsyatnya rasa sakit sakaratul maut, Rasulullah masih sempat berdoa untuk keselamatan umatnya. “Ya Allah, dahsyat sekali maut ini. Timpakan saja semua siksa maut ini kepadaku. Jangan (timpakan) kepada umatku,” doa Nabi Muhammad SAW.

Tubuh Rasulullah SAW semakin dingin. Bibirnya bergetar seolah ingin mengucapkan sesuatu. Ali bin Abi Thalib mendekati beliau, dan Rasulullah SAW berbisik, “Jagalah salat dan peliharalah orang-orang lemah di antara kalian.”

Tangisan terdengar di sekeliling dan Fatimah menutup wajahnya dengan tangannya. Ali bin Abi Thalib mendekatkan telinganya ke bibir Rasulullah SAW, dan Beliau berbisik, “Ummatii, ummatii, ummatii… (Umatku, umatku, umatku…).”

Rasulullah SAW pun wafat pada Senin, 12 Rabiul Awal tahun 11 Hijriah. Duka itu menyelimuti umat Islam di Madinah hingga kesedihan mendalam bagi para sahabat seperti Umar bin Khattab dan Abu Bakar Ash Shiddiq.

(rah/rah)



Sumber : www.detik.com

Kuasai Bangsa Jin-Mampu Menaiki Angin



Jakarta

Nabi Sulaiman AS adalah satu dari 25 nabi dan rasul yang disebutkan dalam Al-Qur’an. Sebagai utusan Allah SWT, tentu Nabi Sulaiman dikaruniai mukjizat.

Salah satu mukjizat Nabi Sulaiman yang umum dikenal ialah dapat berbicara kepada hewan dan memahami bahasanya. Dikisahkan oleh Muhammad Gufron Hidayat melalui Rahasia Kekayaan Nabi Sulaiman: Amalan-amalan Pelimpah Rezeki Nabi Sulaiman, dalam sebuah hadits Abu Hurairah meriwayatkan ia pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda,

“Nabi Sulaiman keluar menemui orang-orang dan melihat mereka sedang meminta diturunkan hujan. Di antara mereka ada seekor semut yang menengadahkan tangannya ke langit. Lantas Nabi Sulaiman berkata, ‘Pulanglah! Doa kalian telah dikabulkan karena seekor semut,”


Kemampuan Nabi Sulaiman memahami bahasa semut tercantum dalam surat An Naml ayat 18-19,

حَتَّىٰ إِذَا أَتَوْا عَلَىٰ وَادِ النَّمْلِ قَالَتْ نَمْلَةٌ يَا أَيُّهَا النَّمْلُ ادْخُلُوا مَسَاكِنَكُمْ لَا يَحْطِمَنَّكُمْ سُلَيْمَانُ وَجُنُودُهُ وَهُمْ لَا يَشْعُرُونَ
فَتَبَسَّمَ ضَاحِكًا مِّنْ قَوْلِهَا

Artinya: “Hingga ketika mereka sampai di lembah semut, berkatalah seekor semut, “Wahai semut-semut! Masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan bala tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari.

Maka dia (Sulaiman) tersenyum lalu tertawa karena (mendengar) perkataan semut itu…”

Nabi Sulaiman merupakan putra dari Nabi Daud sehingga dia mewarisi kekuasaan sekaligus kenabian dari sang ayah. Selain itu, Nabi Sulaiman juga dipandang sebagai nabi terbesar setelah Nabi Musa dan Nabi Daud.

Selain berbicara dengan semut, Nabi Sulaiman juga dapat berkomunikasi dengan burung. Hal ini dilakukannya ketika sang ayah wafat, Nabi Sulaiman memanggil para burung untuk melindungi orang-orang yang mengantarkan jenazah Nabi Daud dari panasnya cahaya Matahari.

Dalam surat An Naml ayat 16, Allah SWT berfirman,

وَوَرِثَ سُلَيْمَانُ دَاوُودَ ۖ وَقَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ عُلِّمْنَا مَنْطِقَ الطَّيْرِ وَأُوتِينَا مِنْ كُلِّ شَيْءٍ ۖ إِنَّ هَٰذَا لَهُوَ الْفَضْلُ الْمُبِينُ

Artinya: “Dan Sulaiman telah mewarisi Dawud, dan dia (Sulaiman) berkata, “Wahai manusia! Kami telah diajari bahasa burung dan kami diberi segala sesuatu. Sungguh, (semua) ini benar-benar karunia yang nyata,”

Mukjizat lainnya yang dimiliki Nabi Sulaiman ialah mampu menundukkan jin sehingga mereka bekerja di bawah perintahnya dan menjadi bala tentara. Selain itu, para jin juga bekerja membantu Nabi Sulaiman membangun gedung-gedung tinggi serta pekerjaan berat lainnya.

Dalam surat As Saba’ ayat 13 dijelaskan terkait para jin yang membantu Nabi Sulaiman AS,

يَعْمَلُونَ لَهُ مَا يَشَاءُ مِنْ مَحَارِيبَ وَتَمَاثِيلَ وَجِفَانٍ كَالْجَوَابِ وَقُدُورٍ رَاسِيَاتٍ ۚ اعْمَلُوا آلَ دَاوُودَ شُكْرًا ۚ وَقَلِيلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ

Artinya: “Mereka (para jin itu) bekerja untuk Sulaiman sesuai dengan apa yang dikehendakinya di antaranya (membuat) gedung-gedung yang tinggi, patung-patung, piring-piring yang (besarnya) seperti kolam dan periuk-periuk yang tetap (berada di atas tungku). Bekerjalah wahai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah). Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur,”

Tak sampai di situ, Nabi Sulaiman AS bahkan mampu memerintah angin agar tunduk dan menaikinya bersama bala tentaranya. Hal ini dijelaskan dalam surat Shad ayat 36,

فَسَخَّرْنَا لَهُ ٱلرِّيحَ تَجْرِى بِأَمْرِهِۦ رُخَآءً حَيْثُ أَصَابَ

Arab latin: Fa sakhkharnā lahur-rīḥa tajrī bi`amrihī rukhā`an ḥaiṡu aṣāb

Artinya: “Kemudian Kami tundukkan kepadanya angin yang berhembus dengan baik menurut ke mana saja yang dikehendakinya,”

Wafatnya Nabi Sulaiman terjadi ketika beliau mendatangi sebuah pohon yang tumbuh di Baitul Maqdis. Atas kuasa Allah, Nabi Sulaiman berbicara dengan pohon tersebut, seperti dinukil dari buku Kisah Para Nabi susunan Ibnu Katsir.

Pohon yang dikenal sebagai Kharubah itu mengatakan dirinya tumbuh untuk meruntuhkan masjid tempatnya berdiri. Nabi Sulaiman lantas berkata,

“Allah tidak mungkin meruntuhkan masjid ini selama aku masih hidup. Itu artinya, kamu tumbuh untuk mengabarkan kematianku,”

Nabi Sulaiman kemudian mencabut pohon tersebut serta menanamnya di pagar miliknya. Setelah itu, beliau masuk ke dalam mihrab dan mengerjakan salat dengan bersandar pada tongkatnya.

Pada sejumlah sumber dikatakan bahwa tongkat tersebut dibuat Nabi Sulaiman dengan bahan dasar pohon Kharubah yang sempat ia cabut. Kemudian, Nabi Sulaiman wafat tanpa diketahui oleh jin yang bekerja untuknya.

Kisah wafatnya Nabi Sulaiman AS diabadikan pada surat Saba ayat 14,

فَلَمَّا قَضَيْنَا عَلَيْهِ الْمَوْتَ مَا دَلَّهُمْ عَلَىٰ مَوْتِهِ إِلَّا دَابَّةُ الْأَرْضِ تَأْكُلُ مِنْسَأَتَهُ ۖ فَلَمَّا خَرَّ تَبَيَّنَتِ الْجِنُّ أَنْ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ الْغَيْبَ مَا لَبِثُوا فِي الْعَذَابِ الْمُهِينِ

Artinya: “Maka ketika Kami telah menetapkan kematian atasnya (Sulaiman), tidak ada yang menunjukkan kepada mereka kematiannya itu kecuali rayap yang memakan tongkatnya. Maka ketika dia telah tersungkur, tahulah jin itu bahwa sekiranya mereka mengetahui yang gaib tentu mereka tidak tetap dalam siksa yang menghinakan,”

(aeb/nwk)



Sumber : www.detik.com

Kisah Perang Sawiq Bulan Zulhijah di Pinggiran Kota Madinah



Jakarta

Salah satu perang yang pernah dialami oleh Rasulullah SAW adalah Perang Sawiq. Perang ini terjadi pada bulan Zulhijah di pinggiran Kota Madinah.

Menurut Ibnu Ishaq, dinamakan Perang Sawiq (Tepung) karena mayoritas perbekalan yang dibuang orang-orang Quraisy pada saat itu adalah tepung. Kemudian, kaum muslimin mengambil tepung yang banyak itu. Oleh karena itu, perang ini dinamakan Sawiq atau As-Sawiq, sebagaimana dijelaskan dalam Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam.

Merangkum dari Sirah Nabawiyah karya Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri bahwa terjadi persekongkolan dan konspirasi dengan orang-orang Yahudi serta munafik. Hal tersebut juga dilakukan oleh Abu Sufyan dari golongan Yahudi, dan kaum munafikin secara intensif menggalang konspirasi.


Abu Sufyan mulai merancang suatu tindakan yang berisiko kecil tetapi berdampak nyata. Bahkan, ia sudah bernadzar untuk tidak membasahi rambutnya dengan air sekalipun junub. Hingga. ia dapat menyerang Rasulullah SAW.

Lalu, ia bersama dengan 200 orang pergi untuk melaksanakan sumpahnya, hingga ia tiba di suatu jalan terusan di sebuah gunung yang bernama Naib. Jaraknya dari Madinah kira-kira 12 mil. Namun, mereka tidak berani datang secara langsung melainkan mengendap-endap masuk Madinah pada malam hari yang gelap dan mendatangi rumah Huyay bin Akhtab.

Ia lalu meminta izin untuk masuk rumah, namun Huyay menolaknya karena ia merasa takut. Maka, dia beranjak pergi dan mendatangi rumah Sallam bin Misykam, pemimpin Bani Nadhir.

Abu Sufyan meminta agar kedatangannya ini dirahasiakan dari siapa pun setelah dijamu dan disuguhi arak. Pada akhir malam, Abu Sufyan lalu keluar rumah dan kembali lagi menemui rekan-rekannya.

Ia lalu mengutus beberapa orang pilihan di antara tentaranya agar pergi ke arah Madinah dan berhenti di Al-Uraidh. Di sana mereka membabati pohon dan membakar pagar-pagar kebun kurma.

Mereka menemukan seorang Anshar dan rekannya di kebun itu, lalu mereka membunuh keduanya. Setelah itu mereka semua kembali lagi ke Makkah.

Rasulullah SAW yang mendengar kabar ini segera pergi untuk mengejar Abu Sufyan dan rekan-rekannya. Namun, mereka terburu-buru pergi dan meninggalkan tepung makanan yang mereka bawa sebagai bekal dan bahan-bahan makanan lainnya, agar tidak terlalu memberatkan.

Tetapi mereka tidak terkejar lagi, sehingga Rasulullah SAW mengejar mereka hingga tiba di Qarqaratul Kadar. Setibanya di sana beliau kembali lagi dan orang-orang muslim membawa Sawiq (tepung gandum) yang ditinggalkan Abu Sufyan dan pasukannya, sehingga peperangan ini disebut perang as-Sawiq.

Perang ini terjadi pada bulan Zulhijah tepatnya dua bulan setelah Perang Badar. Urusan Madinah selanjutnya diserahkan oleh Rasulullah SAW ke tangan Abu Lubabah bin Abdul Mundzir.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Muadzin Terbaik di Zaman Rasulullah yang Dijamin Masuk Surga



Jakarta

Muadzin terbaik di zaman Rasulullah SAW adalah Bilal Bin Rabah, seorang budak berkulit hitam. Ia menjadi muadzin pertama yang diperintahkan untuk mengumandangkan adzan sebagai seruan sholat.

Dikisahkan dalam buku Sejarah Ibadah karya Syahruddin El-Fikri, Bilal bin Rabah termasuk salah seorang yang pertama kali masuk Islam sehingga dijuluki sebagai as-sabiqun al-Awwalun.

Awalnya, Bilal merupakan budak milik keluarga bani Abduddar yang diwariskan kepada Umayyah bin Khalaf, seorang tokoh penting kaum kafir. Ketika keislamannya diketahui oleh sang majikan, Bilal mendapat siksaan yang sangat berat.


Ia pernah dicambuk, dijemur di bawah terik matahari, bahkan tubuhnya ditindih dengan batu agar meninggalkan agama Islam. Meskipun demikkian, Bilal tetap tak goyah dan teguh menyatakan keimanannya kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW.

Penderitaan yang dialami Bilal baru berakhir setelah Abu Bakar As-Shiddiq RA membelinya dan memerdekakannya. Ia kemudian menjadi muslim yang taat dan ikut dalam rombongan hijrah ke Madinah.

Turunnya Perintah Adzan dan Ditunjuknya Bilal Sebagai Muadzin

Melansir dari buku Sirah Nabawiyah karya Ibnu Hisyam, pada awal-awal Rasulullah SAW tinggal di Madinah, kaum muslimin mengerjakan sholat lima waktu bersama beliau tanpa adanya panggilan atau seruan.

Nabi SAW pernah bermaksud membuat terompet besar seperti terompet orang Yahudi untuk memanggil para sahabat menunaikan sholat, tetapi beliau tidak menyukainya.

Abdullah bin Zaid bin Tas’alabah menjadi orang yang mendengar seruan adzan dalam mimpinya, lantas bergegas mendatangi Rasulullah SAW dan berkata,

“Wahai Rasulullah, tadi malam aku bermimpi didatangi oleh seseorang. lalu seorang lelaki yang mengenakan dua potong baju berwarna hijau melintasiku dengan membawa lonceng. Aku bertanya kepadanya, ‘Wahai hamba Allah, apakah engkau menjual lonceng ini?’

Orang itu bertanya, ‘Untuk apa lonceng ini?’ Aku menjawab, ‘Untuk memanggil orang supaya sholat.’ Kemudian orang itu berkata, ‘Maukah kutunjukkan kepadamu sesuatu yang lebih baik daripada lonceng ini?’ Aku balik bertanya, ‘Apa itu?’ Orang itu kembali menjawab, ‘Ucapkanlah:

Allahu Akbar, Allahu Akbar.

Allahu Akbar, Allâhu Akbar.

Asyhadu an lâ ilâha illallah. Asyhadu an lâ ilâha illallâh. Asyhadu anna Muhammadan Rasûlullah. Asyhadu anna Muhammadan Rasûlullah.

Hayya ‘alash shalah, hayya ‘alash shalâh.

Hayya ‘alal falah, hayya ‘alal falah.

Allahu Akbar, Allâhu Akbar, Lâ ilâha illallâh.'”

Mengetahui hal itu, Rasulullah SAW bersabda, “Insya Allah ini mimpi yang benar. Temui Bilal dan sampaikan kepadanya seruan itu, lalu suruh ia mengumandangkannya. Sesungguhnya, suaranya lebih merdu darimu.”

Berdasarkan riwayat tersebut, Bilal menjadi muadzin terbaik di zaman Rasulullah SAW sebab ia memiliki suara merdu dibandingkan dengan sahabat lainnya.

Bilal bin Rabbah Muadzin Terbaik Rasulullah SAW

Disebutkan dalam buku The Great Sahaba karya Rizem Aizid, Bilal bin Rabah dikenal sebagai muadzin pertama umat islam yang diberi gelar Muadzin ar-Rasul. Sebagai muadzin Rasulullah SAW, nama Bilal diabadikan untuk selama-lamanya.

Hingga saat ini, muadzin di masjid-masjid juga dipanggil dengan julukan ‘bilal’. Sosok Bilal bin Rabah memang seorang berkulit hitam, tetapi ia memiliki suara yang sangat nyaring dan jernih hingga mampu menjangkau seluruh negeri Madinah.

Saat Bilal mengumandangkan adzan, kaum muslimin yang tinggal di Madinah langsung datang ke Masjid. Rizem Aizid dalam bukunya menyebutkan, tidak ada satupun sahabat yang memiliki kemampuan dalam mengumandangkan adzan melebihi Bilal bin Rabbah.

Salah satu keistimewaan Bilal bin Rabah, yaitu derap langkahnya telah terdengar di surga sehingga ia termasuk orang yang dijamin masuk surga oleh Allah SWT.

Hal ini sebagaimana diterangkan dalam sebuah riwayat, dari Abu Hurairah RA, ia bercerita bahwa Rasulullah SAW bersabda kepada Bilal bin Rabah setelah menunaikan sholat Subuh:

“Wahai Billa, beritahukanlah kepadaku tentang perbuatan-perbuatanmu yang paling engkau harapkan manfaatnya dalam islam. Sebab, sesungguhnya tadi malam aku mendengar suara terompahmu di depanku di surga.”

Bilal menjawab, “Tidak ada satu perbuatan pun yang pernah aku lakukan, yang lebih kuharapkan manfaatnya dalam Islam dibandingkan dengan (harapanku terhadap) perbuatanku yang senantiasa melakukan sholat (sunnah) yang mampu aku lakukan setiap selesai bersuci (wudhu) dengan sempurna pada waktu siang ataupun malam.” (HR Muslim).

Itulah sepenggal kisah Bilal bin Rabbah, seorang sahabat yang menjadi muadzin terbaik di zaman Rasulullah SAW. Semoga dapat menjadi teladan dan menambah wawasan ya, detikers!

(dvs/dvs)



Sumber : www.detik.com

Kisah Dakwah Rasulullah SAW di Thaif, Alami Penolakan hingga Dilempari Batu



Jakarta

Sebagai seorang nabi dan rasul, Nabi Muhammad SAW berdakwah untuk menyebarluaskan ajaran Islam. Selain di Madinah dan Makkah, Rasulullah SAW juga sempat berdakwah di Kota Thaif.

Letak Kota Thaif ini berada di sebelah Makkah dan berjarak sekitar 75 mil atau sekitar 120,7 kilometer. Nama Thaif diambil dari adanya pagar atau tembok yang mengelilingi kota tersebut, seperti dijelaskan dalam Sirah Nabawiyah susunan Abul Hasan Ali al-Hasani an-Nadwi.

Kala itu, Rasulullah berdakwah di Thaif selama 10 hari. Banyak ujian dan cobaan yang beliau dapatkan saat di Thaif.


Mengutip dari buku Saat-saat Rasulullah Bersedih oleh Majdi Muhammad Asy-Syahawi, dikisahkan mengenai dakwah Nabi Muhammad di Thaif. Kisah ini diriwayatkan dari Muhammad bin Jubair bin Muth’im.

Seusai wafatnya Abu Thalib, orang-orang Quraisy tak segan menyakiti Rasulullah. Karenanya, beliau memutuskan pergi ke Thaif untuk berdakwah dengan ditemani Zaid bin Haritsah RA.

Ketika di Thaif, Rasulullah SAW mendatangi para pemuka dan menyampaikan dakwahnya. Sayangnya, tak seorang pun dari mereka yang memenuhi dakwah beliau.

Selain berdakwah, kedatangan Nabi Muhammad SAW di Thaif juga bertujuan memohon perlindungan kepada suku Tsaqif dari tekanan yang ia peroleh di Makkah sepeninggal Abu Thalib. Menurut buku 113 Al-Qur’an Stories susunan Vanda Arie, datangnya Nabi Muhammad di kota tersebut karena Thaif menjadi pusat kekuatan serta kepemimpinan kedua setelah Makkah. Selain itu, bisa paman-paman beliau juga berasal dari Bani Tsaqif.

Rasulullah SAW ditolak keras oleh suku Tsaqif. Mereka bahkan tega menghina beliau, membujuk orang-orang bodoh dan budak-budaknya untuk meneriaki serta melempari Nabi Muhammad dengan batu.

Zaid bin Haritsah yang menemani Rasulullah bahkan berusaha melindungi beliau dari lemparan batu tersebut. Sayangnya, batu-batu itu tetap mengenai tubuh sang rasul hingga berdarah-darah.

Bersama Zaid, Nabi Muhammad kemudian beristirahat di bawah pohon kurma. Apa yang dirinya alami di Thaif justru lebih berat ketimbang di Makkah.

Lalu, keduanya kembali ke Makkah. Peristiwa tersebut menjadi awal pergerakan hijrah Rasulullah bersama sahabat dan penduduk muslim Makkah lainnya menuju Madinah.

Rasulullah merasa sangat sedih sepulang dari Thaif. Di perjalanan pulang, beliau memanjatkan doa. Dinukil oleh Imam at-Thabrani dalam al-Mujam al-Kabir, al-Baghdadi dalam al-Jami’ li Akhlaq ar-Rawi, berikut bunyinya,

اللّهُمّ إلَيْك أَشْكُو ضَعْفَ قُوّتِي ، وَقِلّةَ حِيلَتِي ، وَهَوَانِي عَلَى النّاسِ، يَا أَرْحَمَ الرّاحِمِينَ ! أَنْتَ رَبّ الْمُسْتَضْعَفِينَ وَأَنْتَ رَبّي ، إلَى مَنْ تَكِلُنِي ؟ إلَى بَعِيدٍ يَتَجَهّمُنِي ؟ أَمْ إلَى عَدُوّ مَلّكْتَهُ أَمْرِي ؟ إنْ لَمْ يَكُنْ بِك عَلَيّ غَضَبٌ فَلَا أُبَالِي ، وَلَكِنّ عَافِيَتَك هِيَ أَوْسَعُ لِي ، أَعُوذُ بِنُورِ وَجْهِك الّذِي أَشْرَقَتْ لَهُ الظّلُمَاتُ وَصَلُحَ عَلَيْهِ أَمْرُ الدّنْيَا وَالْآخِرَةِ مِنْ أَنْ تُنْزِلَ بِي غَضَبَك أَوْ يَحِلّ عَلَيّ سُخْطُكَ، لَك الْعُتْبَى حَتّى تَرْضَى وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوّةَ إلّا بِك

Arab latin: Allahumma ilaika asykuu dho’fa quwwatii, wa qillata hiilatii wa hawaani ‘alan naas yaa arhamar raahimiin. Anta rabbal mustadh’afiina wa anta rabbii ilaa man takilunii ilaa ba’iidin yatajahhamunii am ilaa ‘aduwwu mallaktuhu amrii in lam yakun bika ‘alayya ghadhabun falaa ubaalii wa lakinna ‘aafiyatika hiya auw sa’ulii a’uudzu binuuri wajhikal ladzii asyraqat lahudh dhulumaatu wa sholuha ‘alaihi amrud dunyaa wal aakhiroti mn an tunzila bii ghadhabika ‘alayya sukhtuka lakal ‘utbaa hattaa tardhoo walaa haula walaa quwwata illa bika

Artinya: “Ya Allah, kepada-Mu aku mengadukan kelemahanku, kekurangan daya upayaku di hadapan manusia. Wahai Tuhan Yang Maharahim, Engkaulah Tuhan orang-orang yang lemah dan Tuhan pelindungku. Kepada siapa hendak Engkau serahkan nasibku? Kepada orang jauhkah yang berwajah muram kepadaku atau kepada musuh yang akan menguasai diriku? Asalkan Engkau tidak murka kepadaku, aku tidak peduli sebab sungguh luas kenikmatan yang Engkau limpahkan kepadaku. Aku berlindung kepada nur wajah-Mu yang menyinari kegelapan dan karena itu yang membawa kebaikan di dunia dan akhirat dari kemurkaan-Mu dan yang akan Engkau timpakan kepadaku. Kepada Engkaulah aku adukan halku sehingga Engkau ridha kepadaku. Dan, tiada daya upaya melainkan dengan kehendak-Mu,”

Menyaksikan hal itu, Malaikat Jibril merasa terluka. Ia lalu berkata kepada Nabi Muhammad, “Allah mengetahui apa yang terjadi padamu dan orang-orang ini. Allah telah memerintahkan malaikat-malaikat di gunung-gunung untuk menaati perintahmu,”

Alih-alih memberi penduduk Thaif pelajaran, Nabi Muhammad justru menjawab dengan lembut, “Tidak. Aku mohon mereka diberi tangguh waktu. Ke depannya, mudah-mudahan Allah berkenan melahirkan dari mereka generasi yang akan menyembah-Nya tanpa mempersekutukan dengan sesuatu apa pun,” seperti dikutip dari buku Kelengkapan Tarikh Rasulullah susunan Ibnu Qayyim Al-Jauziyah.

Alasan pemilihan Thaif sebagai tempat tujuan dakwah Rasulullah disebabkan wilayah tersebut sangat strategis bagi masyarakat Quraisy. Bahkan, kaum Quraisy sangat ingin menguasai Thaif.

Thaif memiliki sumber daya pertanian yang sangat kaya. Tak sedikit orang-orang kaya di Makkah yang memiliki simpanan harta di Thaif.

Selain itu, untuk mengisi waktu-waktu rehat di musim panas kaum Quraisy mengunjungi Thaif. Karenanya, jika Rasulullah berhasil dakwah di sana maka bisa membuat kaum Quraisy terancam.

Prof Dr M Yunan Yusuf melalui bukunya yang berjudul Dakwah Rasulullah menyebut Thaif mulai mengalami islamisasi sesudah Fathu Makkah, yaitu berakhirnya perang Hunain pada tahun kedelapan Hijriah. Sejak saat itu, Thaif dan penduduknya suku Tsaqif menjadi kaum yang beriman.

(aeb/rah)



Sumber : www.detik.com

Kisah Wafatnya Khalifah Ali bin Abi Thalib, Ditikam pada Waktu Subuh



Jakarta

Ali bin Abi Thalib RA merupakan salah satu sahabat Rasulullah SAW yang juga termasuk ke dalam Assabiqunal Awwalun, yaitu orang-orang yang pertama memeluk Islam. Ali lahir di Makkah pada 13 Rajab, tepatnya tahun ke-32 dari kelahiran Nabi Muhammad. Ada juga yang menyebut Ali lahir pada 21 tahun sebelum hijriah.

Ayah Ali merupakan paman dari Rasulullah SAW, yaitu Abu Thalib bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdi Manaf bin Qushay. Sementara ibunya bernama Fathimah binti Asad bin Hasyim bin Abdi Manaf.

Mengutip dari buku Akidah Akhlak susunan Drs H Masan AF M Pd, sejak umur Ali menginjak 6 tahun dia sudah tinggal bersama Nabi Muhammad. Karenanya, sifat-sifat yang ada pada Ali ia teladani dari Rasulullah SAW.


Selain itu, Ali juga dikenal sebagai orang yang sangat cerdas. Saking cerdasnya, Khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar, dan Khalifah Utsman kerap mendatanginya untuk membantu memecahkan permasalahan yang sulit.

Ali bin Abi Thalib sendiri baru menjadi khalifah usai wafatnya Khalifah Utsman bin Affan. Ali terpilih menjadi pengganti Utsman sehingga pada tahun 35 Hijriah dia dinobatkan sebagai khalifah keempat, seperti dinukil dari buku Sejarah Peradaban Islam tulisan Akhmad Saufi dan Hasmi Fadhilah.

Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah selama 5 tahun, mulai dari 35 Hijriah sampai beliau wafat pada 40 Hijriah. Kisah wafatnya Ali cukup tragis.

Diceritakan dalam buku Kisah 10 Pahlawan Surga oleh Abu Zaein, usai Khalifah Utsman bin Affan wafat banyak terjadi fitnah di kalangan umat Islam. Karenanya, masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib tergolong sebagai waktu-waktu yang sulit.

Banyak pemberontak menyebarkan berita bohong bahwa seharusnya yang menjadi khalifah ialah Mu’awiyah, bukan Ali bin Abi Thalib. Penyebar fitnah itu ialah Abdurrahman Amru atau Ibnu Muljam, Alburak bin Abdullah Attamimi, dan Ambru bin Bakar Attamimi.

Ibnu Muljam kala itu pergi menuju Kufah untuk menjalankan rencana kejinya. Dengan pedang yang ia bawa, ia melukai Ali bin Abi Thalib yang kala itu hendak pergi ke masjid untuk sholat Subuh.

Dalam buku 150 Kisah Ali bin Abi Thalib yang ditulis oleh Ahmad Abdul ‘Al Al-Thahthawi, Muhammad ibn Al Hanafiyyah menuturkan,

“Tiba-tiba aku melihat kilatan cahaya dan mendengar seseorang berkata, ‘Hukum hanya milik Allah, bukan milikmu, wahai Ali, bukan pula milik sahabat-sahabatmu!’ Aku melihat pedang, lalu disusul pedang kedua. Aku mendengar Ali berteriak, ‘Tangkap orang itu!’ Orang-orang pun mengepungnya dari segala penjuru,”

Setelah Ibnu Muljam diringkus, orang-orang datang menemui Hasan dengan panik. Mereka membawa Ibnu Muljam dengan tangan yang diborgol.

Tiba-tiba Ummu Kultsum binti Ali berteriak sambil menangis seraya berkata, “Wahai musuh Allah, ayahku pasti akan baik-baik saja dan Allah akan menghinakanmu,”

Ibnu Muljam lalu menyahut, “Lalu, untuk siapa kau menangis?! Demi Allah, aku membeli pedang itu seharga seribu, lalu aku bubuhi racun seharga seribu juga. Seandainya tebasan itu mengenai seluruh penduduk kota ini, niscaya mereka akan mati semua!”

Usai peristiwa tragis itu, Abdullah ibn Malik mengatakan para tabib dikumpulkan untuk mengobati luka Ali. Ketika itu, Atsir ibn ‘Amr Al-Sukuni sebagai tabib yang paling hebat dan berasal dari Kirsi, memeriksa kondisi Ali bin Abi Thalib.

Atsir meminta paru-paru kambing yang masih hangat untuk diambil uratnya, lalu diletakkan pada luka yang diderita Ali. Atsir kemudian meniup urat itu dan mengeluarkannya dari luka Ali.

Atsir menemukan bahwa ternyata luka Ali telah sampai pada bagian otak. Dengan demikian, nyawa Ali tidak dapat tertolong.

Ali bin Abi Thalib meninggal dunia pada Jumat, 17 Ramadhan tahun 40 Hijriah. Ali meninggalkan 33 anak, 15 laki-laki dan 18 perempuan.

(aeb/nwk)



Sumber : www.detik.com