Tag Archives: HR Tirmidzi

Waktu Mengeluarkan Zakat Fitrah, Jangan Sampai Terlewat Ya!



Jakarta

Zakat fitrah merupakan zakat yang wajib dilakukan oleh setiap muslim sebanyak satu tahun sekali. Dalam pelaksanaannya, ada waktu mengeluarkan zakat fitrah yang dianjurkan.

Mengutip Fikih Madrasah Tsanawiyah oleh Zainal Muttaqin dan Amir Abyan, pelaksanaannya sesuai dengan waktu membayar zakat fitrah yakni, sejak awal bulan Ramadan hingga Hari Raya Idul Fitri sebelum pelaksanaan salat Id. Hal ini disandarkan pada riwayat hadits yang berbunyi,

زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ فَمَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ


Artinya: “Rasulullah SAW telah mewajibkan zakat fitrah untuk membersihkan orang yang berpuasa dan untuk memberi makan orang miskin. Siapa yang membagikan zakat fitrah sebelum salat Id maka zakatnya itu diterima dan siapa yang membagikan zakat fitrah setelah salat Id maka itu termasuk sedekah biasa.” (HR Abu Dawud dan Ibnu Majah)

Sejatinya, waktu yang diutamakan untuk menunaikan zakat fitrah yaitu, setelah salat subuh pada 1 Syawal sebelum salat Idul Fitri. Sementara waktu yang diwajibkan menunaikan zakat fitrah yakni semenjak terbenam matahari malam Idul Fitri.

Hal ini dikuatkan dalam penjelasan dari buku Fikih Sunnah Jilid 2 karya Sayyid Sabiq bahwa para ulama fikih sepakat bahwa zakat fitrah diwajibkan pada akhir bulan Ramadan. Namun, terdapat beberapa perbedaan pendapat di antara mereka mengenai batasan waktu wajib itu.

Waktu Mengeluarkan Zakat Fitrah Menurut Mazhab

Mengutip laman Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) Yogyakarta, menurut jumhur ulama selain Hanafiyah, waktu utama mengeluarkan zakat fitrah yakni saat menyaksikan matahari terbenam di hari terakhir Ramadan. Sedangkan menurut Hanafiyah, zakat fitrah ini wajib dikeluarkan ketika menyaksikan terbitnya fajar pada tanggal 1 Syawal.

Untuk waktu mulai dan akhir pembayaran zakat fitrah, para ulama mazhab juga berbeda pendapat.

1. Hanafi

Tidak ada batas awal dan batas akhir. Boleh dibayarkan sebelum hari raya (1 Syawal), bahkan sebelum masuk Ramadan. Namun, muslim tetap harus membayar zakat fitrah ini meski terlambat sampai lewat tanggal 1 Syawal.

2. Maliki

Sejak dua hari sebelum hari raya sampai paling lambat waktu terbenamnya matahari pada 1 Syawal.

Namun, jika sampai lewat batas akhir belum mengeluarkan zakatnya, ia tetap berkewajiban membayarnya. Dengan catatan, jika ia mampu (karena telah memenuhi syarat wajib) tapi mengakhirkannya sampai lewat hari raya, maka ia berdosa.

3. Syafi’i

Sejak hari pertama Ramadan sampai tenggelamnya matahari 1 Syawal. Namun utamanya adalah sebelum salat Id.

Lebih dari itu, jika memang ia mampu dan tidak ada uzur maka ia berdosa dan tetap harus membayar.

4. Hambali

Awal pembayaran zakat fitrah sama dengan mazhab Maliki, yaitu dua hari sebelum hari Id. Sedangkan waktu terakhirnya sama dengan pendapat Syafi’i, yaitu hingga terbenamnya matahari 1 Syawal.

Sementara, menurut Tsauri, Ahmad, Ishaq, Syafi’i dalam pendapatnya versi baru (Qaulul Jadid) serta menurut satu riwayat dari Malik, bahwa waktu wajib untuk mengeluarkan zakat dimulai ketika terbenamnya matahari pada malam hari raya. Sebab, waktu tersebut merupakan waktu berakhirnya puasa Ramadan.

Namun, menurut Abu Hanifah, Laits, Syafi’i dalam versi lama pendapat serta menurut satu riwayat dari Malik, bahwa waktu mengeluarkan zakat fitrah wajibnya adalah ketika terlihatnya terbit fajar pada hari raya.

Perbedaan pendapat ini berpengaruh terkait bayi yang dilahirkan sebelum terbit fajar pada hari raya dan bayi yang dilahirkan sesudah terbenamnya matahari, apakah dia juga diwajibkan mengeluarkan zakat fitrah atau tidak.

Menurut pendapat pertama, hal ini tidak diwajibkan, karena bayi dilahirkan setelah waktu yang diwajibkan. Sedangkan menurut pendapat kedua, diwajibkan mengeluarkan zakat karena dia lahir sebelum waktu diwajibkan.

Dikutip melalui buku Kumpulan Tanya Jawab Keagamaan karya Piss KTB yang mengumpulkan berbagai dalil menyebutkan bahwa kesimpulan waktu untuk mengeluarkan zakat fitrah itu ada lima, antara lain:

1. Waktu jawaz (awal bulan Ramadan)

2. Waktu wajib (terbenamnya matahari di akhir bulan Ramadan, bukan ketika masuk di hari lebaran)

3. Waktu fadilah/ utama/ afdol (mengeluarkan sebelum berangkat melaksanakan salat Id)

4. Waktu makruh (mengeluarkan fitrah setelah melaksanakan salat Id)

5. Waktu hurmah/ haram (mengeluarkan zakat fitrah setelah hari lebaran)

Mengenai hal ini, ada hadits yang pernah menjelaskan tentang waktu untuk mengeluarkan zakat fitrah. Berikut bunyi haditsnya.

حَدَّثَنَا مُسْلِمُ بْنُ عَمْرِو بْنِ مُسْلِمٍ أَبُو عَمْرٍو الْحَذَّاءُ الْمَدَنِيُّ حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ نَافِعٍ الصَّائِغُ عَنْ ابْنِ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ مُوسَى بْنِ عُقْبَةَ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْمُرُ بِإِخْرَاجِ الزَّكَاةِ قَبْلَ الْغُدُوِّ لِلصَّلَاةِ يَوْمَ الْفِطْرِ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ غَرِيبٌ وَهُوَ الَّذِي يَسْتَحِبُّهُ أَهْلُ الْعِلْمِ أَنْ يُخْرِجَ الرَّجُلُ صَدَقَةَ الْفِطْرِ قَبْلَ الْغُدُوِّ إِلَى الصَّلَاةِ

Artinya: “Telah menceritakan kepada kami (Muslim bin Amru bin Muslim Abu Amru Al Khaddza’ Al Madani), yang telah menceritakan kepadaku (Abdullah bin Nafi’ As Sha`igh) dari (Ibnu Abu Zannad) dari (Musa bin Uqbah) dari (Nafi’) dari (Ibnu Umar) bahwasanya Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk membayar zakat fitrah sebelum berangkat (ke tempat salat) pada hari raya Idul fitri. Abu ‘Isa berkata, ini merupakan hadits hasan shahih gharib, atas dasar ini para ulama lebih menganjurkan untuk membayar zakat fitrah sebelum berangkat salat.” (HR Tirmidzi)

(rah/rah)



Sumber : www.detik.com

10 Hikmah Zakat bagi Umat Islam, Salah Satunya Mendatangkan Rahmat


Jakarta

Banyak hikmah yang terkandung dalam zakat. Amalan wajib yang satu ini dikeluarkan dari penghasilan serta harta simpanan yang sudah mencapai nisabnya.

Setidaknya ada dua jenis zakat, yaitu zakat mal dan zakat fitrah. Kewajiban zakat tercantum dalam beberapa dalil, salah satunya surah At Taubah ayat 103,

خُذْ مِنْ أَمْوَٰلِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ ۖ إِنَّ صَلَوٰتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ ۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ


Artinya: “Ambil-lah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

Menukil dari Fiqh As-Sunnah oleh Sayyid Sabiq yang diterjemahkan Khairul Amru Harahap dan Masrukhin, para ulama fikih sepakat bahwa kewajiban zakat fitrah diwajibkan pada akhir Ramadan. Hal ini berbeda dengan zakat mal yang dikeluarkan jika telah mencapai nisabnya.

Menurut buku Fikih Zakat Indonesia oleh Nur Fatoni, zakat mal adalah zakat yang dikeluarkan berkenaan dengan kepemilikan harta tertentu dan memenuhi syarat. Zakat mal wajib bagi seluruh jenis harta yang diperoleh secara halal dan tidak bertentangan dengan ajaran agama, seperti uang, emas, surat berharga, pendapatan profesi, aset perdagangan, hasil barnag tambang, dan lain sebagainya.

Lantas, apa saja hikmah zakat yang diwajibkan bagi seluruh umat Islam?

Hikmah Zakat bagi Kaum Muslimin

Mengutip buku Manajemen Pengelolaan Zakat tulisan Dr Nurfiah Anwar dan Fiqih Islam wa Adilatuhu susunan Prof Wahbah Az Zuhaili terjemahan Abdul Hayyie al-Kattani dkk, berikut beberapa hikmah zakat bagi umat Islam yang penting dipahami.

1. Menegakkan Ibadah yang Disyariatkan Islam

Dengan berzakat, muslim telah menegakkan ibadah yang menjadi bagian pokok agama. Sebab, hukum pemberian zakat adalah wajib.

2. Menyempurnakan Keislaman Seseorang

Muslim yang berzakat berarti menyempurnakan keislamannya karena zakat termasuk ke dalam rukun Islam. Dari Ibnu Umar RA, Rasulullah SAW bersabda,

“Islam dibangun di atas lima pondasi; syahadat bahwa tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah dan Muhammad Rasul Allah, menegakkan salat, mengeluarkan zakat, haji, dan puasa Ramadan.” (HR Bukhari dan Muslim)

3. Bentuk Syukur atas Nikmat

Hikmah zakat lainnya adalah termasuk bentuk rasa syukur terhadap nikmat harta yang Allah SWT berikan. Terlebih, Sang Khalik memuji hamba-Nya yang senantiasa bersyukur seperti tercantum dalam surah Ibrahim ayat 7,

وَاِذْ تَاَذَّنَ رَبُّكُمْ لَىِٕنْ شَكَرْتُمْ لَاَزِيْدَنَّكُمْ وَلَىِٕنْ كَفَرْتُمْ اِنَّ عَذَابِيْ لَشَدِيْدٌ ٧

Artinya: “(Ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), sesungguhnya azab-Ku benar-benar sangat keras.”

5. Menyucikan Jiwa

Zakat dapat menyucikan jiwa seorang muslim dan mencegah penyakit hati atau akhlak yang tercela. Dengan mengeluarkan zakat, niscaya muslim terhindar dari sifat kikir dan tamak. Selain itu, harta zakat juga diberikan kepada orang yang lebih membutuhkan.

6. Keberkahan Harta

Hikmah zakat yang lain adalah menambah rezeki dan keberkahan harta. Ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surah Saba’ ayat 39.

قُلْ اِنَّ رَبِّيْ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَّشَاۤءُ مِنْ عِبَادِهٖ وَيَقْدِرُ لَهٗ ۗوَمَآ اَنْفَقْتُمْ مِّنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهٗ ۚوَهُوَ خَيْرُ الرّٰزِقِيْنَ ٣٩

Artinya: “Katakanlah (Nabi Muhammad), Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya dan menyempitkannya.” Suatu apa pun yang kamu infakkan pasti Dia akan menggantinya. Dialah sebaik-baik pemberi rezeki.”

7. Menggugurkan Dosa

Muslim yang menunaikan kewajiban zakat akan dihapuskan dosanya. Sebab, zakat sama halnya seperti sedekah.

Rasulullah SAW bersabda, “Sedekah itu dapat memadamkan dosa sebagaimana air memadamkan api.” (HR Tirmidzi)

8. Menenangkan Hati dan Melapangkan Jiwa

Hikmah zakat yang akan diperoleh muslim adalah memperoleh ketenangan hati dan kelapangan jiwa. Mengeluarkan zakat oleh seseorang karena kerelaan hati menjadi bentuk penyerahan diri dan lambang keislaman sebagaimana bunyi firman Allah SWT dalam surah Az Zumar ayat 22,

اَفَمَنْ شَرَحَ اللّٰهُ صَدْرَهٗ لِلْاِسْلَامِ فَهُوَ عَلٰى نُوْرٍ مِّنْ رَّبِّهٖ ۗفَوَيْلٌ لِّلْقٰسِيَةِ قُلُوْبُهُمْ مِّنْ ذِكْرِ اللّٰهِ ۗ اُولٰۤىِٕكَ فِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍ ٢٢

Artinya: “Maka, apakah orang yang Allah bukakan hatinya untuk (menerima) agama Islam, lalu mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang hatinya membatu)? Maka, celakalah mereka yang hatinya membatu dari mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata.”

9. Mendatangkan Rahmat

Menunaikan kewajiban zakat dapat mendatangkan rahmat dari Allah SWT. Terkait hal ini turut dijelaskan dalam surah Al A’raf ayat 156,

۞ وَاكْتُبْ لَنَا فِيْ هٰذِهِ الدُّنْيَا حَسَنَةً وَّفِى الْاٰخِرَةِ اِنَّا هُدْنَآ اِلَيْكَۗ قَالَ عَذَابِيْٓ اُصِيْبُ بِهٖ مَنْ اَشَاۤءُۚ وَرَحْمَتِيْ وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍۗ فَسَاَكْتُبُهَا لِلَّذِيْنَ يَتَّقُوْنَ وَيُؤْتُوْنَ الزَّكٰوةَ وَالَّذِيْنَ هُمْ بِاٰيٰتِنَا يُؤْمِنُوْنَۚ ١٥٦

Artinya: “Tetapkanlah untuk kami kebaikan di dunia ini dan di akhirat. Sesungguhnya kami kembali (bertobat) kepada Engkau. (Allah) berfirman, “Siksa-Ku akan Aku timpakan kepada siapa yang Aku kehendaki dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Akan Aku tetapkan rahmat-Ku bagi orang-orang yang bertakwa dan menunaikan zakat serta bagi orang-orang yang beriman pada ayat-ayat Kami.”

10. Sebab Turunnya Pertolongan Allah SWT

Zakat termasuk ke dalam sebab turunnya pertolongan Allah SWT kepada hamba-Nya. Sebagaimana firman-Nya dalam surah Al Hajj ayat 40-41,

الَّذِيْنَ اُخْرِجُوْا مِنْ دِيَارِهِمْ بِغَيْرِ حَقٍّ اِلَّآ اَنْ يَّقُوْلُوْا رَبُّنَا اللّٰهُ ۗوَلَوْلَا دَفْعُ اللّٰهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَّهُدِّمَتْ صَوَامِعُ وَبِيَعٌ وَّصَلَوٰتٌ وَّمَسٰجِدُ يُذْكَرُ فِيْهَا اسْمُ اللّٰهِ كَثِيْرًاۗ وَلَيَنْصُرَنَّ اللّٰهُ مَنْ يَّنْصُرُهٗۗ اِنَّ اللّٰهَ لَقَوِيٌّ عَزِيْزٌ ٤٠ اَلَّذِيْنَ اِنْ مَّكَّنّٰهُمْ فِى الْاَرْضِ اَقَامُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتَوُا الزَّكٰوةَ وَاَمَرُوْا بِالْمَعْرُوْفِ وَنَهَوْا عَنِ الْمُنْكَرِۗ وَلِلّٰهِ عَاقِبَةُ الْاُمُوْرِ ٤١

Artinya: “40. (Yaitu) orang-orang yang diusir dari kampung halamannya, tanpa alasan yang benar hanya karena mereka berkata, “Tuhan kami adalah Allah.” Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentu telah dirobohkan biara-biara, gereja-gereja, sinagoge-sinagoge, dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sungguh, Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa. 41. (Yaitu) orang-orang yang jika Kami beri kemantapan (hidup) di bumi, mereka menegakkan salat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Hanya kepada Allah kesudahan segala urusan.”

Itulah beberapa hikmah zakat yang dapat dipahami kaum muslimin. Jangan lupa ditunaikan, ya!

(aeb/kri)



Sumber : www.detik.com

Urutan Wali Nikah untuk Perempuan, Siapa Saja?



Jakarta

Wali nikah dalam akad nilah Islam dikatakan jumhur ulama sebagai rukun yang tak bisa dilewatkan, lantaran mempengaruhi keabsahan pernikahan tersebut.

Muhammad Bagir dalam buku Fiqih Praktis 2 menjelaskan maksud perwalian nikah, yakni hak yang diberikan oleh syariat kepada seseorang wali untuk melakukan akad pernikahan atas orang yang diwakilkan.

Senada dengan pendapat tersebut, Ahmad Sarwat dalam Ensiklopedi Fikih Indonesia: Pernikahan menyebut wali nikah adalah orang yang memiliki wilayah atau hak untuk melaksanakan akad atas orang lain dengan seizinnya.


Adapun dalam akad nikah Islam, bukanlah seorang perempuan yang melakukan ijab qabul melainkan oleh wali dari perempuan tersebut. Sehingga lafaz ijab diucapkan oleh si wali dan qabul dilafalkan oleh suami

Posisi Wali dalam Pernikahan

Para ulama berbeda pendapat mengenai posisi wali dalam akad nikah. Masih dari Ensiklopedi Fikih Indonesia: Pernikahan, jumhur ulama seperti Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah menyepakati wali sebagai rukun pernikahan. Dan tanpa adanya wali, maka akad nikah tidak sah.

Mereka bersandar pada Surat Al-Baqarah ayat 221, “Janganlah kamu menikahi perempuan musyrik hingga mereka beriman!” Juga Surat An-Nur ayat 32, “Nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu.”

Selain itu, Nabi SAW melalui sabdanya menegaskan bahwa menikah tanpa izin dari wali adalah perbuatan mungkar. Dari Aisyah, Rasul SAW berkata, “Siapa pun wanita yang menikah tanpa izin walinya maka nikahnya itu batal, nikahnya itu batal dan nikahnya itu batal.

Jika (si lelaki) menggaulinya maka harus membayar mahar buat kehormatan yang telah dihalalkannya. Dan bila mereka bertengkar, maka sultan adalah wali bagi mereka yang tidak punya wali.” (HR Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi & Ibnu Majah)

Sementara ulama yang berpandangan wali tidak termasuk rukun nikah melainkan syarat, yakni Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan ulama lain yang berpaham demikian.

Mereka juga berpendapat bahwa seorang perempuan gadis maupun janda yang sudah baligh, berakal sehat, mampu menguasai dirinya, boleh melakukan akad nikah bagi dirinya sendiri dan tanpa wali. Meski pernikahan diwakilkan oleh wali lebih baik dan sangat dianjurkan.

Mereka mengambil Surat Al-Baqarah ayat 234 sebagai dalil, “Orang-orang yang mati di antara kamu dan meninggalkan istri-istri hendaklah mereka (istri-istri) menunggu dirinya (beridah) empat bulan sepuluh hari.

Kemudian, apabila telah sampai (akhir) idah mereka, tidak ada dosa bagimu (wali) mengenai apa yang mereka lakukan terhadap diri mereka71) menurut cara yang patut. Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Juga dari hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Rasul SAW bersabda, “Para janda lebih berhak atas diri mereka. ” (HR Tirmidzi)

Rizem Aizid dalam bukunya Fiqh Keluarga Terlengkap mengemukakan pendapatnya terkait perbedaan paham ini, “Berdasarkan semua pendapat tersebut, tentunya kita lebih condong kepada pandangan Imam Syafi’i dan Maliki, yang menyebut wali adalah rukun dan syarat sahnya nikah. Dan pendapat inilah yang dipegang kuat oleh perkawinan di Indonesia.”

Orang yang Berhak Menjadi Wali Nikah Perempuan

Yang boleh menjadi wali nikah wanita mesti memenuhi syaratnya seperti yang dilansir Fiqih Praktis 2, yakni laki-laki merdeka, berakal, baligh, dan juga beragama Islam.

Adapun menukil buku Fiqh Keluarga Terlengkap, terdapat empat jenis wali dalam Islam; wali nasab, wali hakim, wali tahkim dan wali maula.

1.Wali Nasab

Merupakan wali yang diambil berdasarkan keturunan, atau yang punya hubungan nasab dengan pengantin perempuan. Mayoritas ulama mengurutkan wali nasab dari paling berhak dan masih hidup, karena yang terdekat adalah amat utama.
1) ayah kandung,
2) ayahnya ayah (kakek) terus ke atas,
3) saudara lelaki seayah-seibu,
4) saudara lelaki seayah saja,
5) anak lelaki saudara laki-laki seayah-seibu,
6) anak lelaki saudara laki-laki seayah,
7) anak lelaki dari anak laki-laki saudara laki-laki seayah-seibu,
8) anak lelaki dari anak laki-laki saudara laki-laki seayah,
9) anak lelaki dari no. 7 di atas,
10) anak lelaki dari no. 8 dan seterusnya,
11) saudara lelaki ayah, seayah-seibu,
12) saudara lelaki ayah, seayah saja,
13) anak lelaki dari no. 11,
14) anak lelaki no. 12, dan
15) anak lelaki no. 13 dan seterusnya.

Bila diringkas, wali nasab terdiri tiga kelompok; ayah kandung seterusnya ke atas, saudara laki-laki ke bawah, dan saudara lelaki ayah ke bawah. Dan urutan di atas harus berurutan, tidak boleh melangkahi satu dengan yang lainnya.

2. Wali Hakim

Sesuai namanya, ialah wali yang berasal dari hakim (qadhi), seperti kepala pemerintah, pemimpin, atau orang yang diberi kewenangan oleh kepala negara untuk menikahkan perempuan yang berwali hakim.

Seorang wanita baru boleh diwakilkan wali hakim apabila; tidak adanya wali nasab seperti yang disebutkan di atas seluruhnya, serta tidak mencukupinya syarat bagi wali nikah di atas jika masih hidup.

Ketentuan wali hakim sendiri adalah tidak menikahkan; perempuan yang belum baligh, pasangan dari kedua pihak keluarga yang tidak sekufu (sepadan), orang yang tanpa mendapat izin dari wanita yang akan menikah, dan orang yang berada di luar wilayah kekuasaannya. Dalam kondisi tersebut, wali hakim dilarang menikahkan.

3. Wali Tahkim

Yaitu wali nikah yang diangkat sendiri oleh calon suami atau calon istri. Syarat akada nikah bisa diwakilkan wali satu ini, jika; wali nasab pada urutan di atas tidak ada seluruhnya atau tidak memenuhi syarat, serta tak adanya wali hakim. Sehingga wali hakim baru boleh menikahkan, apabila tak terdapatnya wali nasab dan wali hakim.

4. Wali Maula

Adalah majikan dari seorang hamba sahaya yang ingin menikah. Maka jika ada wanita yang berada di bawah kuasanya (yakni sebagai budak), maka majikan laki-lakinya boleh menjadi wali akad nikah bagi hamba sahaya perempuannya itu.

Rizem Aizid dalm bukunya menyimpulkan, “Dari keempat jenis, maka urutan yang berhak menjadi wali nikah perempuan adalah wali nasab (paling utama). Kemudian boleh digantikan wali hakim, bila wali nasab tidak ada seluruhnya.”

“Jika wali hakim tidak ada maka boleh diwakilkan oleh wali tahkim. Sementara untuk seorang hamba sahaya wanita yang tidak punya wali nasab, maka bisa dinikahkan oleh wali maula.” tambahnya.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com