Tag Archives: hukum islam

Keluar Flek Saat Puasa, Batal atau Tidak?

Jakarta

Flek saat puasa batal atau tidak ya? Mungkin kamu sering menanyakan hal tersebut. Mari cari tahu penjelasannya.

Puasa merupakan salah satu ibadah wajib bagi umat Islam di bulan Ramadhan. Namun bagi wanita yang haid atau masa nifas tidak boleh berpuasa.

Bagaimana jika seorang wanita mengalami flek atau bercak darah saat sedang berpuasa? Apakah puasanya tetap sah atau harus dibatalkan?


Pertanyaan ini sering kali muncul karena tidak semua bercak darah yang keluar dari tubuh wanita dikategorikan sebagai haid. Oleh karena itu, penting memahami perbedaan antara flek dan darah haid agar tidak salah dalam mengambil keputusan terkait kelangsungan ibadah puasa.

Keluar Flek Saat Puasa, Batal atau Tidak?

Ketahui Batas Telat Haid Tanda Dinyatakan HamilIlustrasi wanita sakit haid. Foto: Getty Images/kyonntra

Dalam hukum Islam, puasa menjadi batal jika seorang wanita mengalami haid atau nifas. Berdasarkan buku Panduan Lengkap Puasa Ramadhan Menurut Al-Quran dan Sunnah, salah satu hadits yang dapat dijadikan landasan berbunyi:

أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلُّ، وَلَمْ تَصُمْ؟ فَذَلِكَ نُقْصَانُ دِينِهَا

Artinya:

“Bukankah wanita jika sedang haid, maka dia tidak salat dan tidak puasa? Itulah bentuk kekurangan agamanya.” (HR. Bukhari no. 304 dan Muslim no. 79)

Meski demikian, perlu dipahami bahwa flek atau bercak darah ringan yang muncul di luar masa haid sering kali menimbulkan kebingungan. Para ulama berpendapat kalau flek yang bukan merupakan bagian dari siklus haid tidak membatalkan puasa.

Jika kamu mengalami bercak darah yang sifatnya tidak berkelanjutan dan tak menyerupai darah haid, maka puasanya tetap sah dan tidak perlu dibatalkan.

Melansir NU Online, flek di luar masa haid atau nifas bisa disebut sebagai istihadhah. Berikut hadis yang diriwayatkan Aisyah RA:

أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ أَبِي حُبَيْشٍ، سَأَلَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ: إِنِّي أُسْتَحَاضُ فَلاَ أَطْهُرُ، أَفَأَدَعُ الصَّلاَةَ، فَقَالَ: «لاَ إِنَّ ذَلِكِ عِرْقٌ، وَلَكِنْ دَعِي الصَّلاَةَ قَدْرَ الأَيَّامِ الَّتِي كُنْتِ تَحِيضِينَ فِيهَا، ثُمَّ اغْتَسِلِي وَصَلِّي»

Artinya:

“Fatimah binti Abi Hubaisy bertanya kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, ia berkata: ‘Aku pernah istihadhah dan belum bersuci, apakah aku mesti meninggalkan salat?’. Nabi pun menjawab: ‘Tidak, itu adalah darah penyakit, namun tinggalkanlah salat sebanyak hari yang biasa engkau haid sebelum darah istihadhah itu, kemudian mandilah dan salatlah’.” (HR Bukhari)

Jadi, perlu diperhatikan bahwa flek saat puasa yang muncul sebelum dan setelah masa haid memiliki hukum berbeda. Jika flek tersebut keluar beberapa hari sebelum datangnya darah haid dan diikuti dengan keluarnya darah secara terus-menerus, maka flek tersebut dianggap sebagai bagian dari haid sehingga puasanya batal.

Sebaliknya, jika flek muncul setelah haid telah benar-benar selesai maka tidak lagi dihitung sebagai masa menstruasi dan tak membatalkan puasa. Oleh sebab itu, wanita yang mengalami flek saat berpuasa disarankan untuk mencermati warna, jumlah, serta pola kemunculannya guna memastikan apakah masih termasuk dalam kategori haid atau bukan.

Dalam beberapa mazhab, seperti mazhab Syafi’i, flek yang muncul sebelum darah haid keluar dalam jumlah cukup banyak bisa dianggap sebagai bagian dari haid. Namun jika hanya berupa bercak ringan tanpa tanda-tanda haid yang jelas maka puasa tetap sah.

Sumber : wolipop.detik.com

Alhamdulillah muslimah sholihah hijab اللهم صل على رسول الله محمد
ilustrasi gambar : unsplash.com / Satria SP

Bolehkah Berjabat Tangan dengan Lawan Jenis? Ini Penjelasan Ulama


Jakarta

Jabat tangan atau bersalaman merupakan bentuk sapaan dan penghormatan yang lazim dilakukan. Dalam Islam, berjabat tangan sesama muslim menjadi bagian dari sunnah yang mengandung pahala dan mempererat ukhuwah. Namun, bagaimana hukumnya jabat tangan yang dilakukan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram?

Mengutip buku Fikih di Medsos: Antara Teks, Konteks, dan Akal Sehat karya M. Nadi el-Madani, berjabat tangan antara sesama laki-laki atau sesama perempuan merupakan sunnah muakkad (sangat dianjurkan) ketika bertemu, sebagaimana dianjurkan memberi salam.


Imam Nawawi dalam al-Adzkar menegaskan, “Ketahuilah! Sesungguhnya berjabat tangan disepakati hukumnya sunnah ketika saling bertemu.”

Imam al-Munawi dalam Faydh al-Qadir menyatakan, “Berjabat Tangan sangat dianjurkan.”

Dalam hadits, Rasulullah SAW bersabda,

“Tidaklah dua orang muslim saling berjabat tangan, melainkan dosa keduanya akan diampuni sebelum keduanya berpisah.” (HR Abu Dawud, At-Tirmidzi)

Namun, bagaimana bila jabat tangan itu terjadi antara pria dan wanita yang bukan mahram?

Dalil tentang Larangan Menyentuh Lawan Jenis

Al-Qur’an tidak menyebutkan secara eksplisit “jabat tangan”, tetapi beberapa ayat menegaskan larangan mendekati zina dan menjaga pandangan serta kehormatan diri.

Termaktub dalam surah An-Nur ayat 30-31,

قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ

Artinya:”Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman agar mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya…” (QS An-Nur: 30)

وَقُل لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ

Artinya: “Dan katakanlah kepada perempuan yang beriman agar mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya…” (QS An-Nur: 31)

Menurut Tafsir Al-Qur’an Kementerian Agama RI, ayat tersebut menegaskan agar laki-laki dan perempuan sama-sama menjaga diri dari perbuatan yang bisa menimbulkan syahwat atau mendekati zina, termasuk kontak fisik tanpa kebutuhan syar’i. Bila pandangan tak sengaja terarah ke sesuatu yang diharamkan, segera alihkan untuk menghindari hal-hal yang diharamkan sebagaimana dikatakan dalam hadits,

عَنْ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدِ اللّٰهِ اَلْبَجَلِيِّ قَالَ سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ نَظْرِ الْفُجَأَةِ فَأَمَرَنِى اَنْ أَصْرِفَ بَصَرِى . )رواه مسلم وأحمد وابو داود والترمذى والنسائى(

Artinya: “Dari Jarir bin Abdullah al-Bajalī dia bertanya kepada Rasulullah SAW tentang pandangan/penglihatan (terhadap perempuan) secara tiba-tiba, kemudian beliau memerintahkan untuk memalingkan pandanganku.” (HR Muslim, Abu Daud, Ahmad, at-Tirmizi dan an-Nasā’i)

Hadits tentang Larangan Jabat Tangan dengan Lawan Jenis

Beberapa hadits secara tegas menyebutkan bahwa Rasulullah SAW tidak pernah menyentuh tangan perempuan yang bukan mahram. Dikutip dari buku Fikih Keseharian: Fatwa Soal Pilkada Hingga Hukum Kartu Kredit karya Hafidz Muftisany, terdapat beberapa hadits yang menegaskan larangan berjabat tangan dengan lawan jenis:

Hadits dari Ummul Mukminin ‘Aisyah RA

“Demi Allah, tangan Rasulullah SAW tidak pernah menyentuh tangan seorang wanita (yang bukan mahram). Baiat beliau kepada para wanita hanya dengan ucapan.” (HR Al-Bukhari, Muslim)

Hadits dari Ma’qil bin Yasar RA

“Sesungguhnya kepala seseorang ditusuk dengan jarum dari besi lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (HR Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir, no. 16880; dinilai hasan oleh Al-Albani)

Wallahu a’lam.

(dvs/dvs)



Sumber : www.detik.com

Apa Itu Fasakh? Ini Pengertian dan Penyebabnya dalam Islam


Jakarta

Setiap pasangan suami istri tentu menginginkan pernikahan yang langgeng dan harmonis hingga akhir hayat. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa dalam perjalanan rumah tangga, terkadang muncul masalah dan ketidakcocokan yang dapat berujung pada perceraian.

Dalam fikih Islam, perceraian tidak hanya terjadi melalui talak yang dijatuhkan oleh suami, tetapi juga dapat dilakukan melalui fasakh. Fasakh menjadi salah satu bentuk pembatalan pernikahan yang diakui dalam hukum Islam dengan alasan tertentu yang sah secara syariat.

Lantas, apa itu fasakh sebenarnya?


Pengertian Fasakh

Fasakh merupakan salah satu bentuk pembatalan pernikahan yang diakui dalam fikih Islam. Mengutip buku Panduan Muslim Kaffah Sehari-hari oleh Muh. Hambali, secara bahasa, fasakh berarti “rusak” atau “putus,” yang merujuk pada terhentinya hubungan pernikahan antara suami dan istri.

Secara istilah, fasakh adalah pembatalan nikah berdasarkan dakwaan istri dengan syarat dan sebab yang dibenarkan oleh syariat Islam. Dalam hal ini, keputusan untuk mengakhiri pernikahan bukan berasal dari suami, melainkan dari pihak istri yang mengajukan permohonan kepada pengadilan.

Berbeda dengan talak yang bisa dijatuhkan secara langsung oleh suami secara lisan, fasakh hanya dapat diputuskan oleh hakim atau pengadilan agama. Hal ini menunjukkan proses fasakh memiliki dasar hukum yang kuat dan harus melalui pertimbangan serta bukti yang sah.

Selain itu, perceraian melalui fasakh memiliki konsekuensi hukum yang berbeda dengan talak biasa. Jika pasangan ingin rujuk setelah fasakh, mereka tidak dapat kembali begitu saja, melainkan harus melangsungkan akad nikah baru dengan mahar dan syarat yang sah.

Hukum fasakh dalam Islam bersifat mubah, artinya diperbolehkan, tidak diperintahkan, dan tidak pula dilarang. Namun, pelaksanaannya sangat bergantung pada kondisi rumah tangga dan alasan yang diajukan, sehingga fasakh menjadi solusi bagi istri dalam situasi pernikahan yang sudah tidak dapat dipertahankan.

Penyebab Fasakh dalam Pernikahan

Mengutip buku Kitab Lengkap dan Praktis Fiqh Wanita karya Abdul Syukur al-Azizi, fasakh hanya dapat dijatuhkan apabila terdapat alasan yang dibenarkan oleh syariat Islam.

Berbeda dengan talak yang bisa dilakukan tanpa sebab tertentu, fasakh memerlukan dasar yang kuat dan bukti yang jelas. Adapun beberapa penyebab terjadinya fasakh antara lain sebagai berikut:

1. Tidak Ada Kesetaraan

Fasakh dapat terjadi jika antara suami dan istri tidak memiliki kesetaraan atau kesepadanan (kufu’) dalam pernikahan. Ketidaksepadanan ini dapat mencakup perbedaan dalam hal agama, nasab, status sosial, penghasilan, atau kehormatan, terutama dalam aspek keagamaan yang dikhawatirkan dapat menjauhkan salah satu dari ajaran Islam.

2. Adanya Aib atau Cacat pada Pasangan

Jika salah satu pihak memiliki aib atau cacat yang menghalangi kehidupan rumah tangga yang normal, fasakh dapat diajukan. Misalnya, suami menderita penyakit kronis, gangguan mental, lemah syahwat, atau memiliki kondisi fisik yang tidak wajar sehingga menimbulkan mudarat bagi pasangan.

3. Tidak Diberi Nafkah oleh Suami

Seorang istri berhak mengajukan fasakh jika suami tidak memenuhi kewajibannya dalam memberikan nafkah, baik nafkah lahir maupun batin. Termasuk juga ketika suami menolak melunasi mahar atau bersikap lalai terhadap tanggung jawabnya, padahal Allah SWT memerintahkan agar suami istri saling menjaga dan memenuhi hak satu sama lain.

4. Salah Satu Pihak Pindah Agama

Apabila salah satu pasangan keluar dari Islam (murtad) sementara yang lain tetap beriman, maka pernikahan mereka dapat difasakh. Hal ini karena perbedaan akidah menjadi penghalang utama dalam ikatan pernikahan menurut hukum Islam.

5. Adanya Hak Khiyar (Pilihan untuk Membatalkan)

Khiyar memberi hak kepada salah satu pihak untuk memilih melanjutkan atau membatalkan pernikahan apabila ditemukan hal-hal yang dapat membahayakan kelangsungan rumah tangga. Jika situasi tersebut menimbulkan mudarat yang berat, istri atau suami berhak memutuskan hubungan melalui fasakh.

6. Cacat pada Akad Nikah

Fasakh juga wajib dilakukan bila ditemukan adanya cacat atau ketidaksahan dalam akad nikah. Misalnya, akad dilakukan tanpa saksi yang sah atau tidak memenuhi rukun dan syarat pernikahan sebagaimana ditetapkan oleh syariat.

7. Terbukti Bersaudara Sepersusuan

Dalam Islam, menikah dengan saudara sepersusuan termasuk pernikahan yang haram karena memiliki hubungan mahram. Apabila setelah menikah diketahui bahwa pasangan adalah saudara sepersusuan, maka pernikahan tersebut wajib dibatalkan melalui fasakh.

Wallahu a’lam.

(hnh/kri)



Sumber : www.detik.com

Minum Khamr, Benarkah Salatnya Tidak Diterima 40 Hari?



Jakarta

Ada beberapa jenis hidangan yang diharamkan untuk dikonsumsi umat Islam, salah satunya khamr atau minuman beralkohol. Minuman ini dapat sebabkan mabuk dan bagi siapa yang meminumnya akan mendapatkan dosa.

Khamr atau minuman keras juga memiliki banyak dampak negatif. Tidak hanya untuk kesehatan tetapi juga dapat meningkatkan angka kriminalitas.

Allah SWT telah mengingatkan kita tentang bahaya minuman keras. Salah satu ayat yang populer adalah dalam Surat Al-Baqarah, ayat 219:


۞ يَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِۗ قُلْ فِيْهِمَآ اِثْمٌ كَبِيْرٌ وَّمَنَافِعُ لِلنَّاسِۖ وَاِثْمُهُمَآ اَكْبَرُ مِنْ نَّفْعِهِمَاۗ

Artinya: “Mereka bertanya kepadamu (Nabi Muhammad) tentang khamar dan judi. Katakanlah, ‘Pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia. (Akan tetapi,) dosa keduanya lebih besar daripada manfaatnya.”

Karena mudharatnya itu, meminum minuman keras dalam ajaran Islam jelas diharamkan. Pengharamannya tertuang dalam Surat Al-Maidah, ayat 90:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْاَنْصَابُ وَالْاَزْلَامُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطٰنِ فَاجْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji (dan) termasuk perbuatan setan. Maka, jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung.”

Peminum Khamr Salatnya Tidak Diterima 40 Hari

Dikutip dalam laman MUI, dijelaskan dalam sebuah hadist bahwa seseorang yang meminum khamr, salatnya tidak mendapatkan pahala selama 40 hari.

مَنْ شَرِبَ الْخَمْرَ لَمْ تُقْبَلْ صَلَاتُهُ أَرْبَعِينَ يَوْمًا، إِنْ تَابَ تَابَ اللَّهُ عَلَيْهِ، وَإِنْ عَادَ عَادَ اللَّهُ عَلَيْهِ

Artinya: “Barangsiapa yang meminum khamar, maka shalatnya tidak akan diterima selama empat puluh hari. Jika ia mengulanginya lagi, maka Allah akan menyiksanya dengan siksaan yang lebih berat.” (HR Ahmad dan al-Mundzir).

Makna tidak diterimanya shalat tersebut bukan berarti shalatnya tidak sah, atau dia meninggalkan shalat, tetapi lebih kepada tidak mendapatkan pahala.

Manfaat salat tersebut adalah untuk menghapus kesalahannya, dan dia tidak dihukum karena meninggalkannya.

Sementara itu, dalam kitabnya Ta’dhim Qadr as-Shalah, Abdur Razaq al-Badr, mengutip pernyataan Abu Abdullah Ibnu Mandah sebagai berikut:

قوله “لا تقبل له صلاة” أي: لا يثاب على صلاته أربعين يوماً عقوبة لشربه الخمر، كما قالوا في المتكلم يوم الجمعة والإمام يخطب إنه يصلي الجمعة ولا جمعة له، يعنون أنه لا يعطى ثواب الجمعة عقوبة لذنبه.” “

“Ucapan ‘tidak ada shalat yang diterima baginya’ berarti tidak ada pahala selama empat puluh hari sebagai hukuman bagi peminum arak, sebagaimana ucapan mereka tentang orang yang berbicara di hari Jumat ketika imam berkhutbah, bahwa ia shalat di hari Jumat, padahal tidak ada hari Jumat baginya, artinya tidak ada pahala hari Jumat sebagai hukuman bagi dosa-dosanya.”

Dikutip dari Syarah Sahih Muslim, Imam an-Nawawi menulis sebagai berikut:

وَأَمَّا عَدَم قَبُول صَلاته فَمَعْنَاهُ أَنَّهُ لا ثَوَاب لَهُ فِيهَا وَإِنْ كَانَتْ مُجْزِئَة فِي سُقُوط الْفَرْض عَنْهُ , وَلا يَحْتَاج مَعَهَا إِلَى إِعَادَة

“Adapun tidak diterimanya shalatnya, berarti tidak ada pahala baginya di dalamnya, meskipun hal itu sudah cukup untuk menggugurkan kewajibannya dan tidak perlu mengulanginya.”

Dosen hukum pidana Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Nurul Irfan mengatakan, itu bukan berarti lugas, hanya sebagai gambaran mengenai betapa besar efek negatif dari pengaruh kejahatan khamr atau kejahatan narkoba.

“Itu sebabnya sampai diibaratkan 40 hari sholatnya tidak akan diterima itu artinya saking besarnya efek kejahatan yang mungkin timbul akibat orang tidak sadarkan diri karena konsumsi khamr. Bukan berarti kemudian karena sudah ditutup tidak akan diterima salatnya lalu dia malah benar-benar nggak salat, itu berarti dia salah kaprah memahami hadist itu. dan dia malah jangan-jangan salah paham yang akhirnya sudah dosa karena mabuk maka dosa yang ditumpuk akibat mabuk itu meninggalkan salat itu murakkab (double) dosa. satu karena mabuk dan satu lagi karena meninggalkan salat,” jelas Nurul Irfan kepada 20 detik.

(lus/erd)



Sumber : www.detik.com

Tentang Wakif, Sebutan Orang yang Mewakafkan Harta



Jakarta

Orang yang mewakafkan harta disebut dengan wakif. Selain itu terdapat juga sebutan mengenai hal yang terlibat dalam wakaf, berikut ini adalah pembahasannya.

Dikutip dari buku Hukum dan Wakaf Dialektika Fikih, Undang-undang, dan Maqashid Syariah oleh Akmal Bashori, wakif adalah pihak yang melakukan wakaf dengan menyediakan harta benda yang akan dialihkan kepemilikannya untuk kepentingan wakaf.

Mengenai syarat, diketahui bahwa tidak ada syarat khusus yang harus dipenuhi oleh wakif dalam hukum perwakafan. Siapapun, baik individu, organisasi, maupun badan hukum, dapat menjadi wakif dengan asumsi mereka memiliki kepemilikan atas harta benda yang akan diwakafkan.


Menurut Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, Pasal 7, wakif dapat berupa perseorangan, organisasi, atau badan hukum. Hal ini menandakan perluasan jangkauan wakif yang sebelumnya hanya terbatas pada individu, individu tertentu, atau badan hukum yang memiliki tanah hak milik, seperti yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977.

Dengan undang-undang yang lebih baru, wakif dapat berupa individu, organisasi, atau badan hukum yang memiliki kepemilikan atas harta benda yang akan diwakafkan.

Meskipun tidak terdapat syarat khusus bagi orang yang ingin berwakaf, akan tetapi terdapat catatan dari Kemenag RI kepada wakif perorangan agar memiliki kecakapan hukum dalam membelanjakan harta. Adapun kecakapannya dalam bertindak seperti yang dijelaskan dalam Fiqh Wakaf terbitan Kementerian Agama (Kemenag) adalah sebagai berikut.

4 Kriteria Orang yang Mewakafkan Harta

1. Merdeka

Seorang wakif harus memiliki kebebasan dalam memiliki harta dan memiliki kemampuan untuk secara sukarela menyerahkan hak miliknya tanpa pertimbangan materiil. Oleh karena itu, hamba sahaya tidak dapat melakukan wakaf kecuali jika mereka mendapat izin dari pemiliknya.

2. Berakal Sehat

Wakaf hanya diperbolehkan bagi mereka yang memiliki akal sehat dan kemampuan untuk melakukan perjanjian wakaf. Orang dengan keterbatasan mental atau intelektual tidak dianggap sah melakukan wakaf.

3. Dewasa (Baligh)

Seorang wakif harus sudah dewasa atau baligh, sehingga dianggap mampu melakukan perjanjian wakaf dan menyerahkan hak miliknya.

4. Tidak Boros atau Lalai

Orang yang berada di bawah pengampuan, seperti orang yang boros atau tidak cakap mengelola harta, dianggap tidak mampu untuk melakukan penyerahan hak milik secara sukarela. Namun, wakaf orang yang berada di bawah pengampuan terhadap dirinya sendiri selama hidupnya dianggap sah berdasarkan prinsip istihsan.

Tujuan pengampuan adalah untuk menjaga agar harta wakaf tidak habis digunakan secara tidak benar dan menjaga agar wakif tidak menjadi beban bagi orang lain.

Syarat Melakukan Wakaf

Menurut mayoritas ulama fikih klasik, seperti Malikiyah, Shafi’iyah, dan Hanabilah, wakaf dianggap sah jika memenuhi beberapa persyaratan yang terdiri dari empat macam, sebagaimana dijelaskan berikut ini,

  • Orang yang melakukan wakaf disebut wakif. Ini adalah pihak yang menyediakan harta atau properti yang akan diwakafkan.
  • Pihak yang bertanggung jawab mengelola dan mengurus wakaf disebut nādzir. Nādzir adalah orang atau lembaga yang ditunjuk untuk menjaga dan memanfaatkan harta wakaf sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan.
  • Harta atau properti yang diwakafkan disebut Mal Mauquf. Ini adalah harta yang secara sah dialihkan kepemilikannya untuk kepentingan wakaf dan tidak dapat ditarik kembali oleh waqif atau pihak lain.
  • Pernyataan atau ikrar dari wakif yang menyatakan niat dan keinginan untuk melakukan wakaf disebut sighat. Sighat ini merupakan bentuk tindakan hukum yang menunjukkan keseriusan wakif dalam melakukan wakaf.

Itulah sekilas pembahasan mengenai orang yang mewakafkan harta atau yang disebut sebagai wakif hingga kriterianya. Semoga bermanfaat dan kita termasuk orang yang bisa berwakaf. Aamiin yaa Rabbalalamiin.

(rah/rah)



Sumber : www.detik.com

Bolehkah Memperlihatkan Sedekah? Ini Hukumnya dalam Islam


Jakarta

Tak sedikit dijumpai di media sosial orang-orang tampak memperlihatkan sedekahnya. Menurut Islam, bolehkah memperlihatkan sedekah?

Dalam Islam, sedekah adalah bagian penting dari ibadah dan diperintahkan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an. Allah SWT berfirman dalam surah An Nisa ayat 5,

وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاۤءَ اَمْوَالَكُمُ الَّتِيْ جَعَلَ اللّٰهُ لَكُمْ قِيٰمًا وَّارْزُقُوْهُمْ فِيْهَا وَاكْسُوْهُمْ وَقُوْلُوْا لَهُمْ قَوْلًا مَّعْرُوْفًا ٥


Artinya: “Janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya harta (mereka yang ada dalam kekuasaan)-mu yang Allah jadikan sebagai pokok kehidupanmu. Berilah mereka belanja dan pakaian dari (hasil harta) itu dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.”

Rasulullah SAW bersabda, “Setiap jiwa diwajibkan bersedekah pada setiap hari yang pada hari itu matahari masih terbit. Di antaranya, berbuat adil di antara dua orang adalah sedekah, menolong orang lain menumpang di atas kendaraannya adalah sedekah, mengangkat barang-barangnya untuk dibawakan di atas kendaraannya adalah sedekah, membuang sesuatu yang ada di jalan adalah sedekah, perkataan yang baik adalah sedekah, dan setiap langkah untuk menunaikan sholat adalah sedekah.” (HR Ahmad dan lainnya)

Sedekah bisa berupa sumbangan uang, makanan, pakaian, atau bantuan kepada yang membutuhkan. Namun, apakah boleh jika seorang muslim memperlihatkan sedekahnya? Berikut hukum memperlihatkan sedekah.

Hukum Memperlihatkan Sedekah

Hukum memperlihatkan sedekah adalah boleh, namun lebih utama dan mulia jika merahasiakan atau menyembunyikan sedekah, seperti dijelaskan dalam Buku Pintar Hukum Islam #1: Cara Mudah Memahami Kaidah Usul Fikih dan Fikih karya Ahmad Mufid A. R.

Hal tersebut didasarkan pada surah Al Baqarah ayat 271, Allah SWT berfirman,

اِنْ تُبْدُوا الصَّدَقٰتِ فَنِعِمَّا هِيَۚ وَاِنْ تُخْفُوْهَا وَتُؤْتُوْهَا الْفُقَرَاۤءَ فَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۗ وَيُكَفِّرُ عَنْكُمْ مِّنْ سَيِّاٰتِكُمْ ۗ وَاللّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ ٢٧١

Artinya: “Jika kamu menampakkan sedekahmu, itu baik. (Akan tetapi,) jika kamu menyembunyikannya dan memberikannya kepada orang-orang fakir, itu lebih baik bagimu. Allah akan menghapus sebagian kesalahanmu. Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.”

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda,

“Ada tujuh golongan manusia yang akan mendapat naungan Allah pada hari yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya …(dan disebutkan salah satu dari mereka)… dan laki-laki yang bersedekah kemudian menyembunyikan sedekahnya, hingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya” (Muttafaq ‘alaih)

Hukum Memperlihatkan Sedekah karena Riya

Sayyid Sabid dalam kitab Fiqh Sunnah menyatakan bahwa orang yang bersedekah dilarang menyebut-nyebut sedekah yang telah diberikan karena akan menyakiti hati orang yang menerima sedekah. Hal tersebut juga akan menimbulkan sifat riya atas sedekah yang telah diberikan kepada orang lain.

Allah SWT berfirman dalam surah Al Baqarah ayat 264,

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تُبْطِلُوْا صَدَقٰتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْاَذٰىۙ كَالَّذِيْ يُنْفِقُ مَالَهٗ رِئَاۤءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ فَمَثَلُهٗ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَاَصَابَهٗ وَابِلٌ فَتَرَكَهٗ صَلْدًا ۗ لَا يَقْدِرُوْنَ عَلٰى شَيْءٍ مِّمَّا كَسَبُوْا ۗ وَاللّٰهُ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الْكٰفِرِيْنَ ٢٦٤

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, jangan membatalkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima), seperti orang yang menginfakkan hartanya karena riya (pamer) kepada manusia, sedangkan dia tidak beriman kepada Allah dan hari Akhir. Perumpamaannya (orang itu) seperti batu licin yang di atasnya ada debu, lalu batu itu diguyur hujan lebat sehingga tinggallah (batu) itu licin kembali. Mereka tidak menguasai sesuatu pun dari apa yang mereka usahakan. Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum kafir.”

Orang riya termasuk salah satu golongan yang tidak diajak bicara Allah SWT pada hari kiamat. Rasulullah SAW bersabda,

“Ada tiga golongan orang yang tidak akan diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat, tidak akan diperhatikan, tidak akan disucikan, dan bagi mereka siksa yang pedih.” Abu Dzarr berkata, sungguh malang dan merugi mereka. Siapakah mereka itu, wahai Rasulullah? Beliau bersabda, “Orang yang memanjangkan pakaiannya (karena sombong), orang yang mengungkit-ungkit pemberiannya, dan orang yang menawarkan barang perniagaannya dengan sumpah palsu.” (HR Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah, dan Ahmad)

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Hukum Sedekah, Amalan Sederhana dengan Manfaat Luar Biasa


Jakarta

Sedekah merupakan amalan yang sering digaungkan dalam ajaran Islam. Tak hanya membawa kebaikan bagi penerimanya, tapi juga bagi sang pemberi.

Lebih dari sekadar berbagi harta. Sedekah menumbuhkan rasa peduli dan kasih sayang terhadap sesama.

Sedekah juga memiliki banyak manfaat bagi kehidupan. Sedekah dapat membersihkan hati dari sifat kikir dan tamak, serta menumbuhkan rasa syukur dan empati terhadap orang lain.


Lalu, bagaimana hukum sedekah dalam Islam?

Hukum Sedekah dalam Islam

Dikutip dari buku Sedekah: Hidup Berkah Rezeki Melimpah oleh Candra Himawan dan Neti Suriana, para ahli fikih sepakat bahwa hukum sedekah pada dasarnya adalah sunah. Jika dilakukan maka seseorang akan mendapat pahala dan jika tidak dilakukan tidak akan mendapat dosa.

Allah SWT berfirman dalam Surat Al-Baqarah ayat 274:

اَلَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ اَمْوَالَهُمْ بِالَّيْلِ وَالنَّهَارِ سِرًّا وَّعَلَانِيَةً فَلَهُمْ اَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْۚ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُوْنَ

Terjemahan: “Orang-orang yang menginfakkan hartanya malam dan siang hari (secara) sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.”

Selain itu, adakalanya hukum sedekah menjadi haram. Jika seseorang yang bersedekah mengetahui pasti bahwa orang yang akan menerima sedekah tersebut akan menggunakan harta itu untuk kemaksiatan atau hal yang dilarang Allah SWT.

Hukum sedekah juga bisa menjadi wajib apabila seseorang bertemu dengan orang lain yang sedang kelaparan hingga dapat mengancam keselamatan jiwanya. Sementara ia memiliki makanan lebih dari yang ia perlukan pada saat itu.

Hukum sedekah juga bisa menjadi wajib ketika seseorang bernazar untuk bersedekah kepada seseorang atau lembaga tertentu.

Sedekah sebaiknya diberikan kepada kerabat atau saudara terdekat sebelum diberikan kepada orang lain. Karena hal itu lebih utama menurut ajaran Islam.

Selanjutnya, sedekah tersebut sebaiknya diberikan kepada orang yang benar-benar membutuhkan uluran tangan atau bantuan dari kita sebagai pemberi sedekah.

Manfaat Sedekah

Sedekah memiliki banyak manfaat, baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Memberikan sebagian harta untuk membantu mereka yang membutuhkan tidak hanya meringankan beban mereka, tetapi juga membawa kebahagiaan dan keberkahan bagi pemberi sedekah.

Dikutip dari buku Fiqih kelas VIII Madrasah Tsanawiyah oleh M. Aliyul Wafa, Didin Sirojudin, dan Siti Latifatul Maulidiah, berikut ini adalah manfaat sedekah:

  • Menumbuhkan rasa kasih sayang
  • Mempererat hubungan antar sesama
  • Sebagai pelindung dari musibah dan keburukan
  • Sebagai obat dan penyembuh dari penyakit
  • Melunakkah hati yang keras
  • Menambah umur
  • Mencegah wafat su’ul khatimah
  • Menghilangkan sifat berbangga diri dan sombong
  • Menambah keberkahan harta benda
  • Membantu meringankan beban orang lain dan meningkatkan perekonomian masyarakat
  • Sebagai naungan di hari kiamat

(hnh/lus)



Sumber : www.detik.com

Hukum Memakai Gelang Kaki bagi Wanita Menurut Islam



Jakarta

Gelang kaki menjadi aksesori yang umum dipakai baik pria maupun wanita. Dalam pandangan Islam, bagaimana hukum wanita memakai gelang kaki?

Ketentuan memakai aksesori atau perhiasan bagi wanita telah diatur dalam syariat. Secara umum, seorang wanita boleh memakainya asalkan tidak berlebihan.

Kebolehan memakai aksesori ini karena hal itu merupakan rezeki dari Allah SWT, sebagaimana dikatakan Muhammad Masykur dalam buku Wanita-wanita yang Dimurkai Nabi.


Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW mengatakan bahwa Allah SWT menyukai keindahan. Beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan.” (HR Muslim)

Walaupun demikian, lanjut Muhammad Masykur, kaum wanita tidak boleh memakai aksesori secara berlebihan atau melampaui batas sebagaimana yang sudah ditetapkan dalam Islam karena dikhawatirkan menjadi tabarruj.

Qomaruddin Awwam dalam buku Fiqih Wanita menjelaskan, kata tabarruj mempunyai dua makna dasar, di antaranya buruj wa zhuhur yang artinya nampak atau muncul. Kata tersebut digunakan untuk menunjukkan bola mata indah setiap wanita.

Makna kedua, lanjutnya, adalah sengaja menampakkan kecantikan dan perhiasannya kepada laki-laki. Makna kedua inilah yang dimaksud dalam surah al-Ahzab ayat 33,

وَقَرْنَ فِيْ بُيُوْتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْاُوْلٰى وَاَقِمْنَ الصَّلٰوةَ وَاٰتِيْنَ الزَّكٰوةَ وَاَطِعْنَ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ ۗاِنَّمَا يُرِيْدُ اللّٰهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ اَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيْرًاۚ ٣٣

Artinya: “Tetaplah (tinggal) di rumah-rumahmu dan janganlah berhias (dan bertingkah laku) seperti orang-orang jahiliah dahulu. Tegakkanlah salat, tunaikanlah zakat, serta taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah hanya hendak menghilangkan dosa darimu, wahai ahlulbait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.”

Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan bahwa ayat tersebut berisi etika-etika yang dianjurkan oleh Allah SWT kepada istri-istri Nabi SAW, sedangkan kaum wanita umatnya mengikuti mereka dalam hal ini (berlaku umum bagi wanita muslimah).

Ibnu Abbas RA juga mengatakan bahwa tabarruj merupakan ajang pertemuan pria dan wanita yang mengumbar aurat dan syahwat untuk menarik lawan jenis.

Dari makna yang didefinisikan oleh para ulama maka Qomarrudin Awwam menyimpulkan hukum tentang bentuk tabarruj yang haram antara lain:

1. Berhias diri untuk laki-laki yang bukan mahram dengan tujuan memamerkan kecantikannya.

2. Menampakkan perhiasan seperti kalung, anting-anting, gelang kaki, atau gelang tangan kepada khalayak.

3. Berkumpul dan membaur bersama laki-laki yang bukan mahram di suatu hajat atau pesta yang mengumbar syahwat.

4. Memakai pakaian yang tidak syar’i.

Fuad bin Abdul Aziz Asy-Syalhub dalam Ringkasan Kitab Adab menjelaskan bahwa wanita yang hendak ke masjid tidak boleh memakai gelang kaki. Begitu juga dengan parfum atau pakaian yang mengundang perhatian.

Jika hal ini ada pada dirinya, maka wanita tersebut dilarang untuk pergi ke masjid. Adapun parfum, hal itu telah dijelaskan dalam sebuah hadits, Zainab istri Abdullah bin Masud RA mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda,

إِذَا شَهِدَتْ إِحْدَاكُنَّ الْمَسْجِدَ فَلا تَمَسَّ طيبا

Artinya: “Jika salah seorang dari kalian–para wanita Muslimah–datang ke masjid, janganlah memakai wewangian.” (HR Muslim, Ahmad, dan An-Nasa’i)

Dan dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, dia berkata, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

أيُّمَا امْرَأَةِ أَصَابَتْ بَحُورًا فَلا تَشْهَدْ مَعَنَا الْعِشَاء الآخرة

“Wanita manapun yang memakai minyak wangi, maka janganlah dia shalat isya bersama kami.” (Diriwayatkan Muslim, Ahmad, dan An- Nasa’i)

Adapun hiasan lainnya, jika seorang wanita berdandan dengan dandanan yang mengundang syahwat dan menimbulkan fitnah. Maka ia tidak boleh pergi ke masjid untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan dan untuk menutup pintu kejahatan.

Dijelaskan pula bahwa seorang wanita diharamkan memperlihatkan perhiasannya, kecuali di hadapan orang-orang yang dikecualikan oleh Allah SWT. Perhiasan wanita ada dua, yaitu perhiasan lahir dan perhiasan batin. Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam surah an-Nur ayat 31,

وَقُلْ لِّلْمُؤْمِنٰتِ يَغْضُضْنَ مِنْ اَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوْجَهُنَّ وَلَا يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ اِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلٰى جُيُوْبِهِنَّۖ وَلَا يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ اِلَّا لِبُعُوْلَتِهِنَّ اَوْ اٰبَاۤىِٕهِنَّ اَوْ اٰبَاۤءِ بُعُوْلَتِهِنَّ اَوْ اَبْنَاۤىِٕهِنَّ اَوْ اَبْنَاۤءِ بُعُوْلَتِهِنَّ اَوْ اِخْوَانِهِنَّ اَوْ بَنِيْٓ اِخْوَانِهِنَّ اَوْ بَنِيْٓ اَخَوٰتِهِنَّ اَوْ نِسَاۤىِٕهِنَّ اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُهُنَّ اَوِ التّٰبِعِيْنَ غَيْرِ اُولِى الْاِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ اَوِ الطِّفْلِ الَّذِيْنَ لَمْ يَظْهَرُوْا عَلٰى عَوْرٰتِ النِّسَاۤءِ ۖوَلَا يَضْرِبْنَ بِاَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِيْنَ مِنْ زِيْنَتِهِنَّۗ وَتُوْبُوْٓا اِلَى اللّٰهِ جَمِيْعًا اَيُّهَ الْمُؤْمِنُوْنَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ ٣١

Artinya: “Katakanlah kepada para perempuan yang beriman hendaklah mereka menjaga pandangannya, memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (bagian tubuhnya), kecuali yang (biasa) terlihat. Hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya. Hendaklah pula mereka tidak menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali kepada suami mereka, ayah mereka, ayah suami mereka, putra-putra mereka, putra-putra suami mereka, saudara-saudara laki-laki mereka, putra-putra saudara laki-laki mereka, putra-putra saudara perempuan mereka, para perempuan (sesama muslim), hamba sahaya yang mereka miliki, para pelayan laki-laki (tua) yang tidak mempunyai keinginan (terhadap perempuan), atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan. Hendaklah pula mereka tidak mengentakkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Bertobatlah kamu semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kamu beruntung.”

(kri/kri)

Sumber : www.detik.com

Image : unsplash.com/ Imad Alassiry

Hukum Sulam Alis dalam Islam, Bolehkah?


Jakarta

Merias wajah dan mempercantik diri telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan kaum hawa. Tak heran, salon dan tempat-tempat kecantikan selalu ramai dikunjungi oleh mereka yang ingin tampil lebih menarik.

Namun, di balik berbagai tren perawatan kecantikan yang ditawarkan, beberapa di antaranya tidak sejalan dengan syariat Islam, sehingga penting bagi kita untuk memahami mana yang sesuai dan mana yang sebaiknya dihindari.

Beberapa di antara prosedur kecantikan yang populer saat ini yaitu sulam alis. Lantas bagaimana hukumnya dalam Islam? Simak penjelasannya berikut ini.


Hukum Sulam Alis dalam Islam

Sulam alis adalah salah satu tren kecantikan yang banyak diminati oleh kaum wanita di era modern. Prosedur ini melibatkan penanaman pigmen warna pada lapisan kulit di area alis untuk memberikan efek alis yang lebih tebal, rapi, dan terbentuk sempurna. Namun, dari sudut pandang syariat Islam, tindakan ini perlu ditinjau lebih lanjut terkait hukumnya.

Dilansir dari laman Halal MUI, mengubah ciptaan Allah dibolehkan hanya untuk kepentingan kemaslahatan yang sangat dibutuhkan, seperti memperbaiki bibir sumbing agar dapat berbicara dengan jelas atau gigi rusak yang diperbaiki dengan gigi palsu untuk mempermudah makan dan berbicara.

Namun, jika perubahan dilakukan hanya karena ketidakpuasan terhadap penampilan, seperti bentuk alis, hal itu bisa dianggap sebagai perbuatan kurang bersyukur atas karunia Allah yang Maha Sempurna, sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran,

لَقَدْ خَلَقْنَا الْاِنْسَانَ فِيْٓ اَحْسَنِ تَقْوِيْمٍۖ

Arab latin: Laqad khalaqnal-insāna fī aḥsani taqwīm(in).

Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (QS. At-Tin ayat 4)

Menurut para ulama, mencukur alis termasuk dalam larangan Nabi SAW jika tanpa kepentingan. Begitu pula dengan menyulam alis yang melibatkan melukai diri dan penggunaan tinta, yang bisa mengandung bahan najis.

Selain berisiko bagi kesehatan, hal ini bertentangan dengan larangan Allah, seperti dalam firman-Nya,

“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.” (QS. Al-Baqarah ayat 195)

Hukum Mencukur Alis dalam Islam

Di samping sulam alis, ada pula prosedur mencukur alis yang kerap ditawarkan di salon-salon kecantikan. Mencukur alis kadang dilakukan dalam rangkaian prosedur sulam alis.

Mencukur alis sering dilakukan oleh sebagian wanita untuk merapikan dan mempercantik penampilan. Merangkum dari arsip detikcom, mencukur alis tanpa alasan yang dibenarkan juga masuk dalam kategori yang diharamkan.

Rasulullah SAW bersabda, “Telah dilaknat wanita yang menyambung rambut dan yang minta disambung rambutnya, wanita yang mencabut alis dan yang minta untuk dicabut alisnya, wanita yang mentato dan yang minta untuk ditato, tanpa ada penyakit.” (HR Abu Dawud)

Hadits ini menunjukkan bahwa mencukur alis secara sengaja, hanya demi memenuhi tuntutan penampilan atau estetika semata, dapat dianggap sebagai perbuatan yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.

Namun, terdapat pengecualian jika seseorang memiliki masalah medis atau kondisi tertentu yang mengharuskan perawatan pada alis, seperti adanya rambut yang tumbuh tidak teratur atau masalah lainnya yang mengganggu. Dalam hal ini, perubahan bentuk alis dilakukan untuk tujuan kesehatan dan kenyamanan, bukan semata-mata untuk mempercantik diri.

(inf/kri)



Sumber : www.detik.com

Hukum Membaca Al-Qur’an di HP saat Haid



Jakarta

Hukum membaca Al-Qur’an di HP saat haid barangkali masih menjadi pertanyaan para muslimah. Mengingat, ada pendapat yang menyebut wanita haid diharamkan menyentuh Al-Qur’an.

Diharamkannya wanita haid menyentuh Al-Qur’an ini dikatakan Muhammad Jawad Mughniyah dalam kitab Al-Fiqh ‘ala al-madzahib al-khamsah. Ia mengatakan, semua yang diharamkan pada orang junub juga diharamkan bagi wanita haid.

Ulama Syafi’iyyah, Sayyid Sabiq, dalam kitab Fiqh Sunnah-nya turut menyebut bahwa dilarang membaca Al-Qur’an meskipun sedikit. Syaikh Sulaiman Ahmad Yahya Al-Faifi dalam kitab Al-Wajiz fi Fiqh As-Sunnah Sayyid Sabiq menjelaskan, mungkin yang dimaksud Sayyid Sabiq tersebut adalah membaca Al-Qur’an sambil memegang mushaf Al-Qur’an.


Syaikh Sulaiman Ahmad Yahya Al-Faifi menjelaskan, orang-orang yang hafal Al-Qur’an tidak diharamkan membaca hafalannya (tanpa menyentuh mushaf), seperti halnya wanita-wanita penghafal Al-Qur’an yang mengalami haid. Mereka bisa membaca hafalannya tanpa harus memegang mushaf Al-Qur’an.

Sayyid Sabiq turut menyebutkan pendapat dari Al-Bukhari, Ath-Thabrani, Abu Dawud, dan Ibnu Hazm yang memperbolehkan wanita haid membaca Al-Qur’an. Al-Bukhari mengatakan dari Ibrahim, “Tidak apa-apa bagi orang yang haid membaca ayat Al-Qur’an.'”

Ibnu Hajar mengomentari pendapat ini, “Menurut Bukhari, tidak ada satu pun hadits shahih yang membahas masalah ini, yakni larangan membaca Al-Qur’an bagi orang yang junub dan wanita yang sedang haid.”

Ia melanjutkan, meskipun semua hadits yang menerangkan masalah ini dijadikan dalil oleh sebagian orang, tapi pada dasarnya, kata Ibnu Hajar, mayoritas dari hadits tersebut masih mengandung berbagai penafsiran.

Boleh Membaca Al-Qur’an di HP saat Haid

Wanita haid juga boleh membaca Al-Qur’an di HP, seperti dikatakan Syaikh Khalid Al-Musyaiqih dalam kitab Fiqh An-Nawazil fil ‘Ibadah seperti dikutip Ninih Muthmainnah dalam buku Selalu Ada Jalan: 6 Solusi Hidup Orang Beriman.

Syaikh Khalid Al-Musyaiqih berpendapat bahwa HP yang memiliki aplikasi Al-Qur’an atau berupa soft file, tidak dihukumi seperti mushaf Al-Qur’an yang mensyaratkan harus suci saat menyentuhnya. Oleh karenanya, wanita haid tetap bisa membaca Al-Qur’an lewat HP.

“Handphone seperti ini boleh disentuh meskipun tidak dalam keadaan bersuci. Namun, agar lebih aman, aplikasi Al-Qur’an dalam HP tersebut tidak disentuh dalam keadaan tidak suci, cukup menyentuh bagian pinggir HP-nya saja,” jelasnya.

Dalam buku Fiqih Muslimah Praktis karya Hafidz Muftisany turut disebutkan kebolehan membaca Al-Qur’an tanpa menyentuh mushaf dengan bersandar pada hadits tentang haji dan umrah. Diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah, Rasulullah SAW bersabda,

“Kemudian berhajilah, dan lakukan apa yang dilakukan oleh orang yang berhaji kecuali thawaf dan salat.” (HR Bukhari dan Muslim)

Dikatakan, ketika Rasulullah SAW menyebutkan hadits ini kepada Aisyah RA, beliau SAW menyadari bahwa pelaksanaan haji akan banyak membaca ayat-ayat Al-Qur’an. Namun, perkara yang dilarang hanya thawaf dan salat.

Di sisi lain, ada ulama yang menghukumi Al-Qur’an digital sama seperti mushaf Al-Qur’an. Menurut pendapat ini, hukum membaca Al-Qur’an di HP saat haid tetap haram. Salah satu ulama yang berpendapat demikian adalah Buya Yahya. Menurutnya, keharaman ini berlaku jika sengaja membuka Al-Qur’an di HP.

“Ada dua pembahasan tentang wanita. Bagi wanita yang dalam keadaan haid mutlak ia tidak boleh menyentuh mushaf. Mushaf adalah Al-Qur’annya ada lembarannya dan juga termasuk dihukumi mushaf adalah HP yang disengaja oleh yang megang HP untuk mengeluarkan program yang itu ada Al-Qur’an dan itu terlihat bacaannya, itu seperti orang membuka lembarannya,” kata Buya Yahya dalam salah satu ceramahnya yang diunggah di YouTube Al-Bahjah TV.

(kri/erd)



Sumber : www.detik.com