Tag Archives: Imam Syafii

Doa Menerima Zakat Fitrah, Mustahik Jangan Lupa Baca Ini Ya!



Jakarta

Zakat fitrah diberikan kepada orang-orang yang ditetapkan syariat berhak mendapatkannya, atau yang disebut mustahik zakat. Apabila telah menerimanya, mustahik dianjurkan untuk mendoakan para pemberi zakat.

Melalui Surat At-Taubah ayat 103, Allah SWT mensyariatkan para hamba untuk berdoa apabila menerima zakat.

خُذْ مِنْ اَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيْهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْۗ اِنَّ صَلٰوتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْۗ وَاللّٰهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ – ١٠٣


Artinya: “Ambillah zakat dari harta mereka (guna) menyucikan dan membersihkan mereka, dan doakanlah mereka karena sesungguhnya doamu adalah ketenteraman bagi mereka. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

Imam Nawawi dalam kitab Al-Adzkar menjelaskan makna “shalli ‘alaihim” dalam firman di atas, yang mana berarti mendoakan mereka (pemberi zakat atau muzakki).

Imam Syafi’i dalam kitab Al-Umm turut mengemukakan arti lafaz, menurutnya, “Yang dimaksud dengan ‘shalli ‘alaihim’ adalah ‘berdoalah untuk mereka’ ketika mengambil sedekah atau zakat dari mereka.”

Menukil buku Al-Wasiith fil Fiqhi Al-‘Ibaadaat, Syaikh Abdul Aziz Muhammad Azzam & Syaikh Abdul Wahhab Sayyed Hawwas berpandangan hukumnya sunnah bagi mustahik untuk mendoakan muzakki saat dirinya memperoleh zakat dari mereka, sebagaimana mengacu kalam Allah SWT Surat At-Taubah ayat 103.

“Disunnahkan bagi mustahik untuk mendoakan orang yang telah memberinya zakat, sebab orang yang tidak berterima kasih kepada manusia berarti tidak bersyukur kepada Allah SWT. Jika ada orang yang berbuat baik kepadamu maka balaslah ia dengan kebaikan serupa, dan bila tidak mampu maka doakanlah saja ia.” ungkap Syaikh Azzam & Syaikh Hawwas.

Siapa Orang yang Berhak Menerima Zakat Fitrah?

Dalam buku Al-Jami’ fii Fiqhi An-Nisa’ yang diterjemahkan M. Abdul Ghoffar E.M., Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah menerangkan golongan penerima zakat fitrah, yakni mereka yang berhak pula mendapat zakat pada umumnya sebagaimana tercantum pada Surat At-Taubah ayat 60.

Terdapat 8 golongan yang disebut dalam ayat itu, yaitu; orang fakir, orang miskin, amil zakat, mualaf, orang yang memerdekakan para hamba sahaya (riqab), orang yang berutang (gharim), untuk jalan Allah SWT (fi sabilillah), dan untuk orang sedang dalam perjalanan yang memerlukan pertolongan (ibnu sabil).

Namun Syaikh Uwaidah dalam bukunya, berpandangan bahwa kaum fakir dan miskin lebih utama untuk didahulukan menerima zakat dibanding beberapa kalangan lainnya. Ia bersandar pada sabda Nabi SAW sebagai dalilnya. Di mana Rasulullah SAW berkata, “Selamatkanlah mereka (kaum fakir miskin) dari meminta-minta pada hari ini.” (HR Baihaqi & Daruquthni)

Doa Menerima Zakat Fitrah: Arab, Latin dan Arti

Untuk lafaz doa yang dibaca mustahik zakat pernah Nabi SAW ajarkan melalui hadits shahih yang diriwayatkan Abdullah bin Abu Aufa. Berikut bacaan doanya yang dikutip dari kitab Sunan An-Nasa’i:
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى آلِ فُلَانِ

Latin: Allaahumma shalli ‘ala aai fulaan

Artinya: “Ya Allah, berkahilah keluarga si fulan.”

Adapun Imam Syafi’i dalam kitabnya Al-Umm juga pernah menyebutkan doa yang bisa dilafalkan ketika mustahik menerima zakat dari muzakki. Ini doanya:

أَجَرَكَ اللهُ فِيْمَا أَعْطَيْتَ وَجَعَلَهَا لَكَ طَهُورًا وَ بَارَكَ لَكَ فِيْمَا أَبْقَيْتَ

Latin: Ajarakallaahu fiimaa a’thaita wa ja’alahaa laka thahuuran wa baaraka laka fiimaa abqaita

Artinya: “Semoga Allah memberi pahala kepadamu pada apa yang engkau berikan, dan menjadikannya sebagai penyucian bagimu, serta memberkahi untukmu pada apa yang masih ada padamu.”

Itulah bacaan doa ketika mustahik menerima zakat. Jangan lupa diamalkan ya!

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

Posisi Wanita saat Jadi Imam Salat Berjamaah



Jakarta

Wanita boleh menjadi imam salat untuk sesama wanita. Namun, posisi imam wanita berbeda dengan imam laki-laki.

Disebutkan dalam Kitab Lengkap Shalat, Shalawat, Zikir, dan Doa oleh Ibnu Watiniyah, wanita boleh menjadi imam apabila dalam salat tersebut hanya diikuti oleh wanita saja. Apabila ada laki-laki, maka yang berhak menjadi imam adalah laki-laki tersebut.

Ada dua hukum mengenai wanita yang menjadi imam salat sebagaimana disebutkan dalam fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang ditetapkan dalam Musyawarah Nasional (Munas) MUI VII pada 26-29 Juli 2005 silam.


Pertama, wanita yang menjadi imam salat berjamaah yang di antara makmumnya terdapat orang laki-laki maka hukumnya haram dan tidak sah. Kedua, wanita menjadi imam salat berjamaah yang makmumnya wanita, hukumnya mubah.

Kebolehan wanita mengimami jamaah wanita, baik di rumah maupun di masjid ini didasarkan bahwa tidak ada nash yang melarang tentang hal itu. Bahkan, menurut Muhammad Utsman Al-Khasyt dalam Kitab Fiqh an-Nisa, imamah seorang wanita terhadap jamaah wanita ini masuk dalam keumuman hadits Nabi SAW,

صَلاَةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلاَةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً

Artinya: “Salat berjamaah lebih utama dibandingkan salat sendirian dengan dua puluh tujuh derajat.” (HR Bukhari dan Muslim)

Di sisi lain, ada sebuah hadits yang menyebut bahwa wanita boleh mengimami anggota keluarganya. Hadits ini diriwayatkan Abu Dawud dan imam lainnya dari Ummu Waraqah binti Abdullah bin Harits. Dikatakan,

“Bahwasanya Rasulullah SAW telah mengangkat seorang muazin untuknya (Ummu Waraqah) dan memerintahkan kepadanya (Ummu Waraqah) untuk menjadi imam bagi anggota keluarganya.”

Posisi Imam Wanita saat Mengimami Salat

Masih dalam kitab yang sama, posisi wanita jika mengimami jamaah yang semuanya terdiri dari wanita maka tempat berdirinya adalah di tengah-tengah shaf mereka. Sebab, kata Utsman Al-Khasyt, sangat dianjurkan bagi wanita agar terlindung dari pandangan laki-laki, sementara keberadaannya di tengah-tengah shaf membuatnya aman.

Sementara itu, jika makmumnya hanya satu orang, maka posisi imam wanita adalah di sebelah kiri makmumnya. Dalam kata lain, makmum berada di sebelah kanan imam.

Apabila dalam salat berjamaah tersebut terdapat kesalahan dari imam wanita, seperti lupa, maka cara mengingatkannya dengan bertepuk tangan. Ini merupakan pendapat Imam Syafi’i sebagaimana dijelaskan Ibnu Rusyd dalam Kitab Bidayah Al-Mujtahid wa Nihayah Al-Muqtashid.

Hal tersebut bersandar pada sabda Rasulullah SAW dalam hadits shahih yang berbunyi,

“Mengapa aku melihat kalian sering bertepuk tangan. Barang siapa mengingatkan imam yang lupa dalam salatnya, hendaklah mengucapkan kalimat tasbih, karena hal itu imam menjadi teringat. Sesungguhnya bertepuk tangan itu untuk wanita.” (HR Bukhari dan Muslim)

Ibnu Rusyd menjelaskan lebih lanjut, ulama-ulama yang memahami kalimat “Sesungguhnya bertepuk tangan itu untuk wanita” apa adanya, berpendapat bahwa bertepuk tangan merupakan cara mengingatkan imam wanita yang lupa. Mereka mengatakan bahwa untuk mengingatkan imam wanita memang menggunakan tepuk tangan, bukan mengucapkan kalimat tasbih seperti halnya laki-laki.

(kri/erd)



Sumber : www.detik.com

Wanita Mengeraskan ‘Aamiin’ saat Sholat Jamaah, Boleh atau Tidak?



Jakarta

Dalam sholat berjamaah, makmum pria akan mengeraskan suara amin usai imam selesai membaca surat Al-Fatihah. Bagaimana hukumnya dengan wanita?

Sholat berjamaah adalah ibadah yang lebih diutamakan daripada sholat munfarid atau dilakukan sendiri. Pahala sholat berjamaah 27 kali lipat lebih besar. Oleh karenanya, banyak umat muslim berbondong-bondong ke masjid untuk melaksanakan sholat berjamaah demi mengharap ridha Allah.

Apabila imam telah membaca surat Al-Fatihah dengan mengeraskan suara, maka makmum akan mengucap ‘aamiin’ dengan suara yang keras pula. Hal tersebut lazim dilakukan utamanya makmum laki-laki.


Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda, “Apabila imam membaca amin, maka aminilah oleh kalian.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Lantas bagaimana hukumnya bagi makmum wanita?

Mengeraskan Suara Aamiin saat Sholat

Dalam Al-Umm: Kitab Induk Fiqih Islam, Imam Syafi’i berkata, “Jika imam sudah selesai membaca surah Al Fatihah lalu mengucapkan aamiin, dengan melantangkan suaranya agar diikuti oleh orang-orang di belakangnya, hendaklah mereka (makmum) mengucapkan aamiin juga sampai terdengar oleh diri mereka masing-masing.”

Imam Syafi’i juga menegaskan bahwa ucapan aamiin menunjukkan bahwa dibolehkan bagi hamba untuk memohon kepada Allah dalam shalat menyangkut urusan akhirat dan dunia, sebagaimana yang ditunjukkan oleh sunnah-sunnah mengenai hal itu.

Bahkan, dalam hadits berikut ini apabila seseorang mengucapkan aamiin tatkala sholat maka malaikat akan ikut meng-aamiin-kan dan Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا قَالَ الْإِمَامُ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ فَقُولُوا آمِينَ فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ تَقُولُ آمِينَ وَإِنَّ الْإِمَامَ يَقُولُ آمِينَ فَمَنْ وَافَقَ تَأْمِينُهُ تَأْمِينَ الْمَلَائِكَةِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Artinya: “Jika imam membaca ‘ghairil maghdubi ‘alaihim wa laaddhoolliin’, maka ucapkanlah ‘aamiin’ karena malaikat akan mengucapkan pula ‘aamiin’ tatkala imam mengucapkan aamiin. Siapa saja yang ucapan aamiin-nya berbarengan dengan ucapan ‘aamiin’ malaikat, maka akan diampuni dosanya yang telah lalu.” (HR. An Nasa’i, no. 928; Ibnu Majah, no. 852. Al Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Adapun ulama besar mazhab Syafi’i, Imam Nawawi, menguatkan Imam Syafi’i bahwa membaca aamiin bagi semua kalangan hukumnya adalah sunnah.

Imam Nawawi rahimahullah dalam Al-Majmu’ berkata,

التَّأْمِينُ سُنَّةٌ لِكُلِّ مُصَلٍّ فَرَغَ مِنْ الْفَاتِحَةِ سَوَاءٌ الإِمَامُ وَالْمَأْمُومُ , وَالْمُنْفَرِدُ , وَالرَّجُلُ وَالْمَرْأَةُ وَالصَّبِيُّ , وَالْقَائِمُ وَالْقَاعِدُ وَالْمُضْطَجِعُ

أي لعذر) وَالْمُفْتَرِضُ وَالْمُتَنَفِّلُ فِي الصَّلاةِ السِّرِّيَّةِ وَالْجَهْرِيَّةِ وَلا خِلافَ فِي شَيْءٍ مِنْ هَذَا عِنْدَ أَصْحَابِنَا اهـ . (

Artinya: “Membaca aamiin disunnahkan bagi setiap orang yang shalat setelah membaca Al-Fatihah. Ini berlaku bagi imam, makmum, orang yang shalat sendirian, berlaku pula bagi laki-laki, perempuan dan anak-anak. Sama halnya pula berlaku bagi orang yang shalat sambil berdiri, sambil duduk, atau sambil berbaring karena adanya uzur. Membaca aamiin juga berlaku bagi orang yang melaksanakan shalat wajib dan shalat sunnah baik shalatnya sirr (bacaannya lirih) maupun shalat jaher (bacaannya keras). Yang disebutkan tadi tetap berlaku sama menurut ulama madzhab Syafi’i.” (Al-Majmu’, 3: 371)

Pendapat Ulama yang Melarang Wanita Mengeraskan Aamiin

Adapun hal-hal yang telah dijelaskan di atas sedikit bertentangan dengan hadits berikut ini yang menjelaskan tentang beberapa pengecualian.

Ibnu Hajar berkata,

وكان منع النساء من التسبيح لأنها مأمورة بخفض صوتها في الصلاة مطلقا لما يخشى من الافتتان ومنع الرجال من التصفيق لأنه من شأن النساء اهـ

Artinya: “Wanita tidak diperkenankan mengucapkan ‘subhanallah’ ketika ingin mengingatkan imam, wanita diperintahkan untuk memelankan suaranya dalam shalat. Hal ini dikarenakan takut menimbulkan godaan. Sedangkan laki-laki dilarang menepuk punggung telapak tangan karena yang diperintahkan adalah perempuan.” (Fath Al-Bari, 3: 77)

Sementara itu, terdapat sumber lain yang lebih rinci dalam menjelaskan pengecualian-pengecualian tersebut.

Imam An-Nawawi dalam Kitab Al-Majmu’ mengatakan:

وأما المرأة فقال أكثر أصحابنا إن كانت تصلى خالية أو بحضرة نساء أو رجال محارم جهرت بالقراءة سواء صلت بنسوة أو منفردة وإن صلت بحضرة اجنبي أسرت وممن صرح بهذا التفصيل المصنف والشيخ أبو حامد والبندنيجي وأبو الطيب في تعليقهما والمحاملى في المجموع والتجريد وآخرون وهو المذهب

Artinya: “Adapun perempuan, maka mayoritas ulama mazhab Syafi’i berpendapat, bila perempuan shalat di tempat sepi, di hadapan perempuan; atau di hadapan lelaki mahram, maka ia sunah mengeraskan suara bacaan Al-Qur’an (dan semisalnya), baik ia shalat dengan mengimami jamaah perempuan atau shalat sendiri. Namun bila perempuan itu shalat di hadapan lelaki nonmahram, maka ia sunnah melirihkan bacaannya.

Di antara ulama yang secara terang-terangan menjabarkan hukum seperti ini adalah penulis Kitab Al-Muhadzdzab yaitu Abu Ishaq As-Syirazi, Syekh Abu Hamid Al-Ghazali, Al-Bandaniji dan Abut Thayyib dalam Kitab Ta’liq mereka berdua, Imam Al-Mahamili dalam Kitab Al-Majmu’ dan Kitab At-Tajrid, dan ulama lainnya. Inilah pendapat Al-Mazhab” (An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul Muhaddzab, juz III, halaman 390).

Hukum Wanita Mengeraskan ‘Amin’ Saat Sholat Jamaah

Dalam buku Panduan beribadah Khusus Wanita Mejalankan Ibadah Sesuai Tuntunan Al-Qur’an dan As-Sunnah oleh Abu Malik Kamal Salim, dikatakan bahwa bagi makmum perempuan, maka hukumnya mubah atau boleh mengeraskan suaranya ketika mengucapkan aamiin jika tidak dikhawatirkan menimbulkan fitnah.

Namun, jika dikhawatirkan menimbulkan fitnah, maka tidak boleh mengeraskan suaranya. Hal ini karena hukum asal bagi perempuan adalah mengecilkan suaranya dalam shalat, terutama jika dikhawatirkan menimbulkan fitnah.

Jadi, hukum yang berlaku dikembalikan lagi pada keadaan dimana seorang muslimah melangsungkan sholat, dapat disesuaikan tergantung kondisi di kehidupan nyata.

Demikian penjelasan hukum wanita yang mengeraskan ‘Amin’ saat sholat. Semoga dapat memberi manfaat bagi kita semua.

(dvs/dvs)



Sumber : www.detik.com

Urutan Wali Nikah untuk Perempuan, Siapa Saja?



Jakarta

Wali nikah dalam akad nilah Islam dikatakan jumhur ulama sebagai rukun yang tak bisa dilewatkan, lantaran mempengaruhi keabsahan pernikahan tersebut.

Muhammad Bagir dalam buku Fiqih Praktis 2 menjelaskan maksud perwalian nikah, yakni hak yang diberikan oleh syariat kepada seseorang wali untuk melakukan akad pernikahan atas orang yang diwakilkan.

Senada dengan pendapat tersebut, Ahmad Sarwat dalam Ensiklopedi Fikih Indonesia: Pernikahan menyebut wali nikah adalah orang yang memiliki wilayah atau hak untuk melaksanakan akad atas orang lain dengan seizinnya.


Adapun dalam akad nikah Islam, bukanlah seorang perempuan yang melakukan ijab qabul melainkan oleh wali dari perempuan tersebut. Sehingga lafaz ijab diucapkan oleh si wali dan qabul dilafalkan oleh suami

Posisi Wali dalam Pernikahan

Para ulama berbeda pendapat mengenai posisi wali dalam akad nikah. Masih dari Ensiklopedi Fikih Indonesia: Pernikahan, jumhur ulama seperti Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah menyepakati wali sebagai rukun pernikahan. Dan tanpa adanya wali, maka akad nikah tidak sah.

Mereka bersandar pada Surat Al-Baqarah ayat 221, “Janganlah kamu menikahi perempuan musyrik hingga mereka beriman!” Juga Surat An-Nur ayat 32, “Nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu.”

Selain itu, Nabi SAW melalui sabdanya menegaskan bahwa menikah tanpa izin dari wali adalah perbuatan mungkar. Dari Aisyah, Rasul SAW berkata, “Siapa pun wanita yang menikah tanpa izin walinya maka nikahnya itu batal, nikahnya itu batal dan nikahnya itu batal.

Jika (si lelaki) menggaulinya maka harus membayar mahar buat kehormatan yang telah dihalalkannya. Dan bila mereka bertengkar, maka sultan adalah wali bagi mereka yang tidak punya wali.” (HR Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi & Ibnu Majah)

Sementara ulama yang berpandangan wali tidak termasuk rukun nikah melainkan syarat, yakni Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan ulama lain yang berpaham demikian.

Mereka juga berpendapat bahwa seorang perempuan gadis maupun janda yang sudah baligh, berakal sehat, mampu menguasai dirinya, boleh melakukan akad nikah bagi dirinya sendiri dan tanpa wali. Meski pernikahan diwakilkan oleh wali lebih baik dan sangat dianjurkan.

Mereka mengambil Surat Al-Baqarah ayat 234 sebagai dalil, “Orang-orang yang mati di antara kamu dan meninggalkan istri-istri hendaklah mereka (istri-istri) menunggu dirinya (beridah) empat bulan sepuluh hari.

Kemudian, apabila telah sampai (akhir) idah mereka, tidak ada dosa bagimu (wali) mengenai apa yang mereka lakukan terhadap diri mereka71) menurut cara yang patut. Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Juga dari hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Rasul SAW bersabda, “Para janda lebih berhak atas diri mereka. ” (HR Tirmidzi)

Rizem Aizid dalam bukunya Fiqh Keluarga Terlengkap mengemukakan pendapatnya terkait perbedaan paham ini, “Berdasarkan semua pendapat tersebut, tentunya kita lebih condong kepada pandangan Imam Syafi’i dan Maliki, yang menyebut wali adalah rukun dan syarat sahnya nikah. Dan pendapat inilah yang dipegang kuat oleh perkawinan di Indonesia.”

Orang yang Berhak Menjadi Wali Nikah Perempuan

Yang boleh menjadi wali nikah wanita mesti memenuhi syaratnya seperti yang dilansir Fiqih Praktis 2, yakni laki-laki merdeka, berakal, baligh, dan juga beragama Islam.

Adapun menukil buku Fiqh Keluarga Terlengkap, terdapat empat jenis wali dalam Islam; wali nasab, wali hakim, wali tahkim dan wali maula.

1.Wali Nasab

Merupakan wali yang diambil berdasarkan keturunan, atau yang punya hubungan nasab dengan pengantin perempuan. Mayoritas ulama mengurutkan wali nasab dari paling berhak dan masih hidup, karena yang terdekat adalah amat utama.
1) ayah kandung,
2) ayahnya ayah (kakek) terus ke atas,
3) saudara lelaki seayah-seibu,
4) saudara lelaki seayah saja,
5) anak lelaki saudara laki-laki seayah-seibu,
6) anak lelaki saudara laki-laki seayah,
7) anak lelaki dari anak laki-laki saudara laki-laki seayah-seibu,
8) anak lelaki dari anak laki-laki saudara laki-laki seayah,
9) anak lelaki dari no. 7 di atas,
10) anak lelaki dari no. 8 dan seterusnya,
11) saudara lelaki ayah, seayah-seibu,
12) saudara lelaki ayah, seayah saja,
13) anak lelaki dari no. 11,
14) anak lelaki no. 12, dan
15) anak lelaki no. 13 dan seterusnya.

Bila diringkas, wali nasab terdiri tiga kelompok; ayah kandung seterusnya ke atas, saudara laki-laki ke bawah, dan saudara lelaki ayah ke bawah. Dan urutan di atas harus berurutan, tidak boleh melangkahi satu dengan yang lainnya.

2. Wali Hakim

Sesuai namanya, ialah wali yang berasal dari hakim (qadhi), seperti kepala pemerintah, pemimpin, atau orang yang diberi kewenangan oleh kepala negara untuk menikahkan perempuan yang berwali hakim.

Seorang wanita baru boleh diwakilkan wali hakim apabila; tidak adanya wali nasab seperti yang disebutkan di atas seluruhnya, serta tidak mencukupinya syarat bagi wali nikah di atas jika masih hidup.

Ketentuan wali hakim sendiri adalah tidak menikahkan; perempuan yang belum baligh, pasangan dari kedua pihak keluarga yang tidak sekufu (sepadan), orang yang tanpa mendapat izin dari wanita yang akan menikah, dan orang yang berada di luar wilayah kekuasaannya. Dalam kondisi tersebut, wali hakim dilarang menikahkan.

3. Wali Tahkim

Yaitu wali nikah yang diangkat sendiri oleh calon suami atau calon istri. Syarat akada nikah bisa diwakilkan wali satu ini, jika; wali nasab pada urutan di atas tidak ada seluruhnya atau tidak memenuhi syarat, serta tak adanya wali hakim. Sehingga wali hakim baru boleh menikahkan, apabila tak terdapatnya wali nasab dan wali hakim.

4. Wali Maula

Adalah majikan dari seorang hamba sahaya yang ingin menikah. Maka jika ada wanita yang berada di bawah kuasanya (yakni sebagai budak), maka majikan laki-lakinya boleh menjadi wali akad nikah bagi hamba sahaya perempuannya itu.

Rizem Aizid dalm bukunya menyimpulkan, “Dari keempat jenis, maka urutan yang berhak menjadi wali nikah perempuan adalah wali nasab (paling utama). Kemudian boleh digantikan wali hakim, bila wali nasab tidak ada seluruhnya.”

“Jika wali hakim tidak ada maka boleh diwakilkan oleh wali tahkim. Sementara untuk seorang hamba sahaya wanita yang tidak punya wali nasab, maka bisa dinikahkan oleh wali maula.” tambahnya.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com