Tag Archives: influenza d

Heboh Varian Baru Virus Flu Muncul di China, Picu Kekhawatiran Pandemi


Jakarta

Varian baru virus flu yang disebut Influenza D Virus (IDV) terdeteksi di China dan menimbulkan kekhawatiran para ahli akan potensi pandemi baru. Para ilmuwan khawatir virus ini telah mengembangkan kemampuan untuk menular dari hewan ke manusia, bahkan mungkin antarmanusia.

Peneliti yang dipimpin Hongbo Bao dari Changchun Veterinary Research Institute menemukan varian baru IDV menunjukkan tingkat paparan yang mengkhawatirkan dan kemungkinan telah menyebar secara ‘diam-diam’ ke berbagai negara.

Virus IDV pertama kali terdeteksi pada tahun 2011 di seekor babi dengan gejala mirip influenza di Oklahoma, Amerika Serikat. Sejak itu, sapi diketahui menjadi inang utama virus ini, yang kemudian menimbulkan risiko penularan ke para pekerja peternakan.


“Dalam beberapa tahun terakhir, IDV sering kali muncul secara diam-diam di negara atau benua baru dan tidak menunjukkan gejala,” ucap penulis studi tersebut, dikutip dari laman The Sun.

Peneliti mengatakan, virus ini telah dilaporkan di Eropa, Amerika Utara dan Selatan, Asia, serta Afrika, dan juga ditemukan pada kambing, domba, kuda, unta, hingga anjing.

“Hal ini menimbulkan kekhawatiran mengenai apakah IDV telah memperoleh peningkatan daya infeksi dan penularan,” kata peneliti.

Tim peneliti kemudian mengamati varian IDV D/HY11 yang muncul pada sapi di Timur Laut China pada tahun 2023. Mereka menguji kemampuan virus ini untuk bereplikasi serta menular. Hasilnya, D/HY11 terbukti bisa menular melalui udara maupun kontak langsung antarhewan.

Para penulis juga menilai risiko penularan manusia dan seberapa efektif obat flu umum dalam memerangi IDV. Uji laboratorium menunjukkan virus ini mampu berkembang biak di sel saluran pernapasan manusia dan jaringan hewan, yang berarti penularan ke manusia mungkin sudah terjadi.

Analisis sampel darah yang diarsipkan mengungkapkan 74 persen orang di China Timur Laut telah terpapar virus, yang menunjukkan jenis virus tersebut telah berpindah dari hewan ke manusia.

Angkanya meningkat hingga 97 persen pada orang dengan gejala pernapasan; tetapi masih belum diketahui apakah IDV dapat menyebar di antara manusia atau apakah ini semua merupakan infeksi yang terisolasi dari hewan.

“Singkatnya, kemungkinan besar wabah IDV telah berkembang menjadi masalah berkelanjutan bagi ternak dan manusia. Infeksi subklinis yang tidak teramati dapat berperan penting dalam penularan, dan secara diam-diam mempertahankan epidemi di tingkat populasi,” ucap peneliti.

“Kemungkinan rantai penularan yang tak terlihat dapat menyebar secara diam-diam melalui ternak, hewan ternak lainnya, dan manusia,” lanjutnya.

Dalam pengujian lanjutan, peneliti menumbuhkan virus dalam sel anjing dan manusia, alat standar untuk mempelajari jenis flu. Mereka juga mengujinya pada sel yang dirancang khusus untuk meniru lapisan saluran napas manusia, sapi, babi, dan anjing.

Hasilnya, virus tersebut secara efisien menginfeksi dan berkembang biak di semua sel yang tumbuh di laboratorium.

Selanjutnya, para peneliti menginfeksi tikus dengan varian D/HY11 untuk mempelajari kemampuan virus tersebut dalam menyebabkan penyakit dan menyebar ke berbagai organ, termasuk otak.

Mereka juga menginfeksi anjing, yang gejalanya dipantau untuk mengetahui seberapa banyak virus yang dikeluarkan, indikasi potensi penularannya, serta musang, yang digunakan sebagai model standar untuk meneliti penularan flu pada manusia.

Hewan-hewan tersebut ditempatkan di kandang khusus guna menguji apakah virus dapat menyebar melalui udara dari hewan yang terinfeksi ke hewan yang sehat. Hasilnya, virus D/HY11 terbukti dapat menyebar melalui udara tanpa kontak langsung, dari musang yang terinfeksi ke musang sehat.

Temuan ini penting, karena menunjukkan karakteristik virus yang berpotensi mudah menular di antara manusia, menurut penulis studi. Tim peneliti kemudian meneliti efektivitas berbagai obat antivirus terhadap D/HY11. Hasilnya, obat antivirus generasi baru seperti baloxavir, yang menargetkan kompleks polimerase atau mesin replikasi virus, terbukti lebih efektif melawan varian tersebut. Namun, virus ini menunjukkan resistensi terhadap sebagian besar obat flu konvensional.

Selain itu, enzim polimerase D/HY11 menunjukkan aktivitas yang meningkat, yang sebelumnya telah dikaitkan dengan penyebaran lebih efisien antar-mamalia.

Terakhir, para peneliti menganalisis 612 sampel darah dari relawan di China Timur Laut, yang dikumpulkan antara tahun 2020 hingga 2024, untuk mendeteksi antibodi terhadap D/HY11.

Hasilnya, hampir tiga perempat responden dari wilayah perkotaan dan pedesaan memiliki kadar antibodi tinggi terhadap virus ini, yang artinya menunjukkan paparan yang luas di populasi. Angka tersebut bahkan lebih tinggi pada individu yang pernah menjalani perawatan medis akibat gejala pernapasan.

“Hal ini meningkatkan kemungkinan penularan samar pada manusia dengan infeksi ringan atau tanpa gejala melalui virus mirip D/HY11 yang sedang berkembang,” kata para peneliti.

“Analisis serum retrospektif kami menunjukkan IDV mungkin telah beredar di China timur laut setidaknya sejak tahun 2020),” kata peneliti.

“Saat ini, belum ada pengujian IDV rutin yang dilakukan di mana pun di dunia, sehingga menimbulkan kekhawatiran tentang penyebaran diam-diam virus panzootik ini dan potensi munculnya varietas baru.”

(suc/suc)



Sumber : health.detik.com

Epidemiolog Soroti Varian Baru Virus Flu yang Picu Kekhawatiran di China


Jakarta

Kekhawatiran akan pandemi baru kembali merebak di China. Para ilmuwan telah mendeteksi varian baru virus flu yang menunjukkan tanda-tanda dapat menginfeksi manusia, menurut sebuah laporan. Virus ini yang dikenal sebagai Influenza D (IDV), sebagian besar ditemukan pada sapi, tetapi para peneliti kini yakin virus tersebut mungkin beradaptasi untuk menyebar di antara manusia.

Tim peneliti dari Changchun Veterinary Research Institute di China mengidentifikasi strain baru yang disebut D/HY11, yang pertama kali muncul pada sapi di China timur laut pada tahun 2023, menurut laporan tersebut. Studi mereka menemukan strain tersebut dapat bereplikasi di sel saluran pernapasan manusia dan jaringan hewan, sehingga menimbulkan kekhawatiran bahwa strain tersebut mungkin sudah menyebar di antara manusia.

Epidemiolog Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman, menjelaskan pada dasarnya virus Influenza D (IDV) sudah dikenal sejak tahun 2011, sehingga bukan merupakan virus baru. Temuan yang tergolong baru adalah isolasi strain tertentu, yakni D/HY11, serta bukti eksperimental yang menunjukkan kemampuan virus ini untuk bereplikasi di sel manusia.


“Inilah aspek kebaruan yang membuat para ahli meningkatkan kewaspadaan,” ucapnya saat dihubungi detikcom, Senin (20/10/2025).

Dicky menjelaskan, IDV untuk bereplikasi dan menular pada hewan percobaan seperti ferret menjadi sinyal penting yang perlu diawasi. Menurutnya, hal ini menunjukkan adanya potensi risiko adaptasi virus terhadap manusia.

Meski begitu, ia menegaskan hingga saat ini belum ada bukti kuat yang menunjukkan bahwa IDV dapat menyebabkan penyakit berat pada manusia secara luas. Bukti yang tersedia sejauh ini justru lebih banyak mengindikasikan bahwa sapi merupakan reservoir utamanya, sementara paparan pada manusia hanya ditemukan pada kelompok yang memiliki kontak erat dengan hewan ternak.

“Sehingga IDV adalah zoonosis potensial yang perlu diawasi. Jadi dia seperti halnya misalnya avian flu atau bahkan mungkin seperti potensi nipah misalnya atau hendra virus,” kata Dicky.

Pada hewan, virus IDV diketahui dapat menyebabkan bovine respiratory disease complex atau kompleks penyakit pernapasan pada sapi.

Sementara itu, pada manusia, lanjut Dicky, genom dan antibodi terhadap virus ini memang pernah dilaporkan, namun hingga kini belum ada bukti kuat mengenai munculnya penyakit klinis akibat IDV pada manusia.

“Jadi ada potensi menjadi wabah di manusia tapi saat ini sejauh ini belum ya. Sehingga belum ada bukti epidemi atau potensi epidemi besar pada manusia yang serupa influenza A pandemik dulu 100 tahun lebih lalu,” ucapnya lagi.

(suc/up)



Sumber : health.detik.com

Muncul Varian Baru Virus Flu di China, Berpotensi Jadi Pandemi? Ini Kata Epidemiolog


Jakarta

Baru-baru ini peneliti yang dipimpin oleh Hongbo Bao di China mendeteksi varian baru virus flu yang dikenal sebagai Influenza D virus (IDV) jenis virus yang umumnya ditemukan pada sapi. Tim dari Changchun Veterinary Research Institute mengidentifikasi strain baru bernama D/HY11, yang ditemukan pada sapi di wilayah timur laut China pada tahun 2023.

Hasil studi menunjukkan strain D/HY11 mampu bereplikasi di sel saluran pernapasan manusia serta jaringan hewan. Temuan ini memunculkan kekhawatiran bahwa virus tersebut berpotensi menyebar antar manusia.

“Strain IDV yang beredar saat ini sudah menimbulkan potensi ancaman panzootik [padanan hewan dari pandemi manusia],” tulis peneliti.


Terkait hal tersebut, epidemiolog Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman, menjelaskan Influenza D Virus atau IDV biasanya beredar pada sapi dan beberapa hewan ternak. Virus ini pertama kali diidentifikasi pada 2011, artinya sudah lebih dari 10 tahun yang lalu sehingga bukan dianggap virus baru.

“Dan yang baru adalah isolasi strain tertentunya yaitu D/HY11 dan bukti eksperimen yang menunjukkan kemampuan replikasi di sel manusia dan ini yang menjadi kebaruannya,” ucap Dicky saat dihubungi detikcom, Senin (20/10/2025).

Berpotensi Picu Pandemi?

Sampai saat ini belum ada bukti yang menunjukkan IDV atau influenza D menyebabkan penyakit berat dalam populasi manusia secara luas. Bukti yang ada lebih kuat mengenai reservoir hewan seperti sapi dan paparan pada kelompok kontak hewan.

Meskipun demikian, Dicky menilai potensi terjadinya wabah atau bahkan pandemi tetap ada secara ilmiah. Hal ini dikarenakan setiap virus yang mengalami perubahan genetik hingga mampu menular secara efisien antar manusia, memiliki peluang untuk memicu terjadinya wabah berskala besar.

“Tetapi kemungkinan aktualnya kejadiannya bergantung pada bagaimana dia adaptasi genetik untuk replikasi dan transmisibilitas pada manusia. Ini yang masih jadi pertanyaan. Kemudian juga virulensi klinis pada manusia, juga kondisi ekologi, ekonomi yang mendorong spillover, kontak manusia hewan,” ucapnya lagi.

“Jadi saat ini bukti adaptasi manusianya terbatas, jadi risiko nyatanya belum dapat dikatakan tinggi, tapi kewaspadaan One Health wajib ditingkatkan,” sambungnya.

Apa Itu Influenza D Virus?

Dicky menjelaskan virus ini termasuk dalam genus Delta Influenza Virus dan merupakan bagian dari family Orthomyxoviridae, keluarga virus yang juga dikenal serius karena mencakup berbagai virus penyebab penyakit menular pada manusia.

Menurutnya, keluarga virus ini memiliki kesamaan karakter dengan keluarga coronavirus, yakni sama-sama berpotensi menimbulkan wabah. Pada hewan, IDV diketahui menyebabkan bovine respiratory disease complex, yaitu gangguan pernapasan yang cukup umum di sektor peternakan.

Sementara pada manusia, hingga kini baru ditemukan jejak genom dan antibodi terhadap virus ini, namun belum ada bukti kuat bahwa IDV menimbulkan penyakit klinis secara luas.

“WHO sendiri mengakui keberadaan empat jenis influenza, influenza A yang sekarang bersirkulasi dominan dan menyebabkan kasus-kasus, kemudian influenza B, influenza C, dan D,” kata Dicky.

Di antara keempatnya, influenza A merupakan tipe yang paling dominan bersirkulasi dan paling sering menyebabkan kasus pada manusia, diikuti oleh influenza B.

Dicky menjelaskan, selama ini, fokus pemantauan dan rekomendasi WHO difokuskan pada influenza A dan B karena bukti penyakitnya pada manusia sudah jelas dan telah memicu berbagai epidemi maupun pandemi sebelumnya. Sementara itu, untuk influenza D (IDV), WHO belum mengeluarkan pernyataan darurat global maupun status kewaspadaan khusus.

“Dan dokumen teknis WHO masih memusatkan komposisi vaksin pada A, B, dan pemantauan global influenza surveillance (GILS) untuk influenza A vaksin dan juga influenza B vaksin,” lanjutnya.

baca juga

(suc/suc)



Sumber : health.detik.com