Tag Archives: islam

Baiat Ridwan di Bawah Pohon Rindang Usai Utsman Diisukan Wafat



Jakarta

Rasulullah SAW melakukan baiat bersama para sahabat usai tersiar kabar bahwa Utsman bin Affan RA telah dibunuh. Baiat tersebut dikenal dengan Baiat Ridwan, isinya berbeda dengan Baiat Aqabah.

Baiat Ridwan adalah sumpah yang diikrarkan para sahabat di hadapan Rasulullah SAW di bawah pohon rindang, sebagaimana dijelaskan dalam buku The Great Sahaba karya Rizem Aizid. Baiat Ridwan berlangsung sebelum Perjanjian Hudaibiyah.

Diceritakan dalam Kitab Fiqh as-Sirah an-Nabawiyyah karya Said Rahman Al-Buthy, sebelum Perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah SAW mengutus Utsman bin Affan RA untuk menemui orang-orang Quraisy guna merundingkan rencana kedatangan Rasulullah SAW ke Makkah. Dalam sumber lain dikatakan, kedatangan ini dalam rangka menunaikan haji.


Ketika menemui orang-orang Quraisy, mereka justru menawan Utsman bin Affan RA selama beberapa saat. Kabar bahwa Utsman bin Affan RA telah dibunuh pun tersiar setelah itu dan terdengar sampai ke telinga Rasulullah SAW.

“Kita tidak akan pergi dari sini sampai kita memerangi mereka,” sabda Rasulullah SAW kala itu. Kemudian, beliau mengajak para sahabat untuk berbaiat. Baiat itu diikrarkan tepat di bawah sebatang pohon rindang yang kemudian dikenal dengan baiat Ridwan.

Dalam baiat itu, Rasulullah SAW menggamit tangan salah seorang sahabat yang juga menggamit tangan sahabat lainnya secara bersambungan. Rasulullah SAW menumpangkan salah satu tangannya di atas tangan yang lain seraya berkata, “(Tangan) ini untuk Utsman.” Mereka lantas berbaiat untuk tidak akan meninggalkan tempat itu.

Usai baiat dilakukan, terdengar kabar bahwa terbunuhnya Utsman bin Affan RA hanyalah isapan jempol belaka.

Orang yang Hadir dalam Baiat Ridwan

Menurut Sayid Mundzir al-Hakim dkk dalam Al-Imam al-Hasan al-Mujtaba as, dua cucu Rasulullah SAW, Hasan dan Husain menghadiri Baiat Ridwan. Keduanya turut serta bersama Rasulullah SAW.

“Nabi SAW memandang Hasan dan Husain–walaupun usianya masih sangat belia–layak dan siap memikul tanggung jawab besar tersebut,” jelas Sayid Mundzir al-Hakim dkk.

Baiat Ridwan disebut dihadiri oleh ratusan sahabat. Menurut Adz-Dzahabi dalam Tarikh al-Islam Juz II, 700 orang yang hadir dalam Baiat Ridwan mengikuti Perang Jamal di pihak Amirul Mukminin.

(kri/nwk)



Sumber : www.detik.com

Kisah Utsman bin Affan Masuk Islam di Usia 34 Tahun



Jakarta

Utsman bin Affan RA termasuk golongan pertama yang masuk Islam (Assabiqunal Awwalun). Kisah Utsman bin Affan RA masuk Islam diceritakan dalam sejumlah riwayat.

Disebutkan dalam Biografi Utsman bin Affan karya Ali Muhammad Ash-Shalabi, pemilik nama lengkap Utsman bin Affan bin Abu Al-‘Ash bin Umayyah bin Abdi Syams bin Abdi Manaf bin Qushai bin Kilab ini nasabnya bertemu dengan Rasulullah SAW pada Abdi Manaf. Adapun dari jalur ibu, ia adalah cucu bibi Nabi SAW.

Utsman bin Affan RA terlahir dari suku Quraisy dari silsilah Bani Umayyah yang merupakan keluarga kaya dan berpengaruh. Utsman bin Affan RA adalah seorang pedagang, hartawan, dan bangsawan Quraisy yang mengorbankan hartanya dalam jumlah besar untuk Islam.


Dikutip dalam buku Meneladani Kepemimpinan Khalifah karya Abdullah Munib El-Basyiry, Utsman bin Affan RA masuk Islam pada awal-awal Islam tepatnya sebelum Rasulullah SAW memasuki rumah Al-Arqam ibn Abi Al-Arqam, tempat berkumpulnya Rasulullah SAW dan para sahabat.

Utsman bin Affan RA masuk Islam atas ajakan Abu Bakar RA, salah seorang sahabat nabi yang lebih dulu masuk Islam. Syaikh Muhammad Yusuf Al-Kandahlawi mengatakan dalam Mukhtashar Hayatus Shahabah, tidak ada riwayat yang shahih tentang dakwah Nabi SAW kepada Utsman bin Affan RA.

Namun, ada suatu riwayat yang menceritakan tentang kisah Utsman bin Affan RA masuk Islam atas ajakan Abu Bakar RA. Riwayat ini dipaparkan Ibnu Katsir dalam kitab Al-Bidayah dari Al-Hafizh Ibnu Asakir.

Dalam penggalan riwayat itu diceritakan, Utsman bin Affan RA berpapasan dengan Abu Bakar RA. Abu Bakar RA berkata, “Celaka kau wahai Utsman, engkau adalah orang yang dikenal teguh hati, tidak ada kebenaran yang tidak bisa kau bedakan dari kebatilan. Apalah artinya berhala-berhala yang disembah kaum kita, bukankah berhala-berhala itu terbuat dari batu yang bisu, tidak bisa mendengar dan melihat, tidak bisa mendatangkan manfaat dan mudharat?”

“Memang begitulah,” kata Utsman bin Affan RA.

“Demi Allah memang begitulah,” kata Abu Bakar RA. Ia melanjutkan, “Demi Allah, bibimu telah mengatakan apa adanya kepadamu. Ini dia Rasul Allah, Muhammad bin Abdullah, yang telah diutus Allah kepada makhluk-Nya dan membawa risalah-Nya. Lalu apakah engkau juga akan menemuinya?”

Dalam riwayat tersebut juga dikatakan, setelah pertemuan dengan Abu Bakar RA itu, Utsman bin Affan RA berkumpul di tempat Rasulullah SAW. Beliau bersabda, “Wahai Utsman, penuhilah hak Allah. Sesungguhnya aku adalah rasul Allah yang diutus kepadamu dan kepada semua makhluk-Nya.”

Utsman bin Affan RA berkata, “Demi Allah, aku tidak mampu menahan diri semenjak mendengar perkataan beliau itu, untuk masuk Islam dan mengucapkan syahadatain.”

Dikutip dalam buku Utsman bin Affan RA karya Abdul Syukur al-Azizi bahwa Utsman bin Affan RA masuk Islam saat berusia 34 tahun. Ia mengajak ibu dan saudara-saudaranya untuk memeluk Islam, hanya ayahnya yang menjadi penentang Rasulullah SAW.

Dijelaskan dalam buku Sejarah Peradaban Islam Terlengkap Periode Klasik, Pertengahan, dan Modern karya Rizem Aizid bahwa tidak lama setelah turunnya wahyu Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW, Utsman bin Affan RA menikah dengan Ruqayyah RA, putri Nabi Muhammad SAW.

Namun tidak lama setelah Utsman bin Affan RA dan Ruqayyah RA menikah, Ruqayyah RA sakit keras hingga ajal datang menjemput. Setelah Ruqayyah RA wafat, Nabi Muhammad SAW kembali menikahkan Utsman bin Affan RA dengan putri beliau yang bernama Ummu Kultsum RA.

Maka dari itu, Utsman RA mendapat gelar “Dzun Nurain” yang berarti “yang memiliki dua cahaya”.

Itulah sepenggalan kisah Utsman bin Affan RA ketika masuk Islam.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Kisah Nabi Sulaiman Menggauli 100 Istrinya dalam Semalam


Jakarta

Nabi Sulaiman adalah salah satu nabi yang diberi mukjizat kekayaan dan kekuasaan. Dengan statusnya sebagai raja, tak ada satu pun yang tak bisa ia lakukan termasuk dalam memiliki istri yang banyak.

Mengutip buku Sulaiman Raja Segala Makhluk karya Human Hasan Yusuf Shalom, Nabi Sulaiman disebut memiliki 1.000 istri. Hal ini telah dikaji oleh Ahmad Abdul Wahab dalam kitab-kitab ahlul kitab. (Ta’adud Nisa’ Al-Anbiya, hlm 93)

Sedangkan dalam buku Kisah Para Nabi karya Ibnu Katsir, 1.000 istri Nabi Sulaiman itu terdiri dari 700 wanita merdeka yang dinikahi dengan mahar, sedangkan 300 lainnya adalah hamba sahaya. Namun ada pula yang mengatakan sebaliknya.


Dari sebanyak itu, Nabi Sulaiman pernah menggauli 100 istrinya dalam semalam. Hal ini tercantum dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Ya’la dari Abu Hurairah, Nabi Muhammad SAW bersabda:

‘Sulaiman pernah berkata: ‘Sungguh aku akan menggilir seratus istriku dalam satu malam sehingga masing-masing mereka melahirkan anak laki-laki yang berjihad dengan pedang mereka di jalan Allah.’ Akan tetapi, ia tidak mengucapkan insyaallah. Kemudian ia menggilir seratus istri dalam satu malam, tetapi tidak ada seorang pun di antara para istrinya yang melahirkan anak, kecuali hanya satu istrinya yang melahirkan setengah anak manusia (lahir dalam keadaan cacat).’

Setelah itu Rasulullah bersabda: ‘Kalau saja ia mengucapkan insyaallah, niscaya setiap istrinya akan melahirkan seorang anak laki-laki yang berjuang dengan pedangnya di jalan Allah ‘Azza wa Jalla’.” (HR Abu Ya’la).

Namun pada hadits lain ada perbedaan angka jumlah istri Nabi Sulaiman yang digaulinya dalam semalam. Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda:

“Sulaiman berkata: ‘Sungguh, aku akan menggilir 70 istriku dalam satu malam sehingga nantinya masing-masing mereka akan melahirkan seorang ahli berkuda yang berjihad di jalan Allah SWT.’

Sahabat Nabi Sulaiman (malaikat) berkata: ‘(Ucapkanlah): Insyaallah.’ Akan tetapi, Sulaiman tidak mengucapkannya sehingga tidak seorang pun di antara istrinya yang melahirkan, kecuali hanya satu istrinya yang melahirkan seorang anak yang cacat.”

Kemudian Rasulullah bersabda: “Kalau saja ia melafalkan Insyaallah, niscaya ia akan mempunyai banyak putra yang berjihad di jalan Allah’.” (HR Bukhari)

Bagaimana Nabi Sulaiman Menggauli 100 Istrinya dalam Semalam?

Mungkin pertanyaan seperti ini yang terlintas dipikiran kalian. Bagaimana cara Nabi Sulaiman menggauli 100 istrinya dalam waktu semalam? Apakah waktu dan kekuatannya cukup untuk melakukan hal itu?

Dari hadits yang telah disebutkan di atas, bisa dipahami bahwa hal itu adalah mukjizat yang diberikan Allah SWT kepada Nabi Sulaiman. Sebagaimana kita ketahui, Allah menganugerahkan kekuatan dan kemampuan kepada para nabi lebih besar daripada manusia biasa.

Para sahabat pernah berkata bahwa Nabi Muhammad SAW memiliki kekuatan 30 kali dalam bersetubuh (HR. Bukhari, Al-Jami’ Ash-Shahih, No.265)

Imam An-Nawawi berkata, “Ini menjelaskan tentang keistimewaan yang dimiliki para nabi, yaitu kekuatan bersetubuh dalam waktu semalam” (An-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarh An-Nawawi, hlm. 11/120)

Sementara Al-Munawawi menyebut, “Bisa saja malam pada zaman itu waktunya sangat panjang sehingga Nabi Sulaiman mampu menyetubuhi seratus istrinya sekaligus sholat tahajud dan tidur. Bisa saja Allah memberinya hal-hal yang luar biasa sehingga Nabi Sulaiman mampu bersetubuh, bersuci, lalu tidur. Sementara malam itu lebih panjang daripada malam sekarang. Sebagaimana hal-hal luar biasa yang dimiliki ayahnya, Nabi Dawud dalam membaca kitab Zabur. Di mana Nabi Dawud membaca Zabur selama memasang pelana tunggangannya. Sekarang hal ini banyak terjadi pada wali-wali Allah. (Al-Munawi, Faidh Al-Qadir, hlm. 4/305)

wallahualam

(hnh/erd)



Sumber : www.detik.com

Tempat Umar bin Khattab Nyatakan Keislamannya di Hadapan Rasulullah



Jakarta

Umar bin Khattab RA merupakan sahabat Nabi SAW yang menjadi Khulafaur Rasyidin kedua. Dulunya ia sangat menentang nabi, namun kemudian menyatakan keislamannya di hadapan Rasulullah SAW.

Umar bin Khattab RA menyatakan keislamannya di hadapan Rasulullah SAW di rumah Arqam bin Abi al-Arqam. Allah SWT membalikkan hatinya yang semula sangat membenci Islam, menjadi sahabat Nabi SAW yang berjihad melawan kekafiran bersama beliau.

Umar bin Khattab RA tentu pernah melalui masa-masa jahiliah sebelum menjadi orang mukmin. Kisah jahiliahnya diulas dalam buku Jejak Langkah Umar bin Khattab oleh Abdul Rohim.


Masa Jahiliyah Umar bin Khattab RA

Umar bin Khattab RA adalah seorang mantan orang yang jahil (kafir). Masa kecilnya ia habiskan dengan melakukan adat masyarakat Quraisy yang tidak beradab dan penuh kesesatan.

Sejak kecil ia menjadi penggembala kambing dan unta. Hal tersebut memunculkan sikap luhur yang dimilikinya, seperti bertanggung jawab, tegar, dan berani menghadapi sesuatu.

Masa mudanya ia juga terkenal terampil dalam berbagai olahraga seperti gulat dan berkuda. Ia juga merupakan seseorang yang cerdas yang ahli dalam menciptakan syair dan mendendangkannya.

Ketika dewasa, dirinya menjadi orang yang penting bagi masyarakat Quraisy. Ia sangat mencintai masyarakatnya dan siapa pun yang mengganggu mereka, dia akan menjadi tokoh terdepan dalam membela dan mempertahankan masyarakatnya. Termasuk dakwah Nabi Muhammad SAW.

Ia sangat membenci Rasulullah SAW dan ajarannya karena ia menganggap hal ini memecah belah masyarakat Quraisy yang menurutnya sudah baik.

Umar bin Khattab RA sering menyiksa para pengikut Nabi Muhammad SAW dengan kejam. Ia tak segan-segan untuk memukul wanita, hamba sahaya, dan bahkan membuat rencana pembunuhan untuk Rasulullah SAW.

Bagi umat Islam, Umar bin Khattab RA adalah sebuah ancaman yang besar dan sangat menakutkan. Sehingga Nabi Muhammad SAW pun berdoa kepada Allah SWT untuk mengokohkan Islam dengan melunakkan hati salah satu dari dua ancaman besar untuk kaum muslim, Abu Jahal dan Umar bin Khattab RA.

Awal Mula Benih Islam Masuk ke Hati Umar bin Khattab RA

Dikisahkan dalam buku Sejarah Keteladanan Nabi Muhammad SAW: Memahami Kemuliaan Rasulullah Berdasarkan Tafsir Mukjizat Al-Qur’an oleh Yoli, suatu malam, Umar bin Khattab RA keluar rumah dan pergi menuju Ka’bah. Saat itu Nabi SAW tengah salat dan membaca surah al-Haqqah.

Peristiwa ini menjadi awal mula bergetarnya hati Umar bin Khattab RA karena prasangka buruknya langsung dijawab dengan ayat-ayat yang tengah dibaca oleh Nabi SAW.

Umar RA berkata, “Demi Allah! Ini (benar) adalah (ucapan) tukang syair sebagaimana yang dikatakan oleh orang-orang Quraisy!”

Rasulullah SAW membaca surah Al-Haqqah ayat 40-41 dalam salatnya,

اِنَّهٗ لَقَوْلُ رَسُوْلٍ كَرِيْمٍۙ ٤٠ وَّمَا هُوَ بِقَوْلِ شَاعِرٍۗ قَلِيْلًا مَّا تُؤْمِنُوْنَۙ ٤١

Artinya: “Sesungguhnya ia (Al-Qur’an) itu benar-benar wahyu (yang diturunkan kepada) Rasul yang mulia. Ia (Al-Qur’an) bukanlah perkataan seorang penyair. Sedikit sekali kamu beriman (kepadanya).”

Umar RA lalu berkata pada dirinya, “Ini adalah (ucapan) tukang tenung.”

Lalu Nabi SAW meneruskan bacaannya pada surah Al-Haqqah ayat 42-43,

وَلَا بِقَوْلِ كَاهِنٍۗ قَلِيْلًا مَّا تَذَكَّرُوْنَۗ ٤٢ تَنْزِيْلٌ مِّنْ رَّبِّ الْعٰلَمِيْنَ ٤٣

Artinya: “(Al-Qur’an) bukan pula perkataan tukang tenung. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran (darinya). (Al-Qur’an itu) diturunkan dari Tuhan semesta alam.”

Selanjutnya kisah Umar bin Khattab menyatakan keislamannya di rumah Arqam>>>

Umar bin Khattab RA Menyatakan Keislamannya di Rumah Arqam

Umar bin Khattab RA merasa sangat marah atas kehadiran Nabi Muhammad SAW yang menurutnya memecah belah kaum Quraisy. Ia lantas memutuskan untuk membunuh Nabi SAW agar keadaan Makkah kembali seperti semula dalam kejahilan.

Umar RA sudah siap dengan pedangnya hendak menuju rumah Arqam bin Abi al-Arqam untuk membunuh Rasulullah SAW. Namun dalam perjalanannya ia berpapasan dengan Nu’aim bin Abdullah an-Nahham al-‘Adawiy.

Orang tersebut bertanya tujuan perginya. Ia pun menyatakan kepada Umar RA bahwa saudara perempuan dan suaminya telah memeluk Islam. Umar RA pun langsung mendatangi keduanya.

Ternyata di dalam rumah itu, keduanya sedang dibacakan shahifah (lembaran Al-Qur’an) oleh Khabbab bin al-Arat.

Umar RA berkata, “Tampaknya kalian berdua sudah menjadi penganut ash-Shabiah (Islam).”

Iparnya berkata, “Wahai Umar! Bagaimana pendapatmu jika kebenaran itu berada pada selain agamamu?”

Umar RA langsung marah dan menginjak-injak iparnya itu. Tak cukup sampai di situ, ketika adiknya mencoba membela agamanya, Umar RA pun tega untuk memukul adiknya hingga memar/berdarah.

Adiknya berkata, “Wahai Umar! Jika kebenaran ada padaselain agamamu, maka bersaksilah bahwa tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Allah dan bersaksilah bahwa Muhammad adalah Rasulullah.”

Umar RA merasa bersalah dan malu setelah menampar adiknya tersebut. Lantas ia meminta untuk diberikan shahifah (lembaran-lembaran Al-Qur’an) tersebut, namun ditolak oleh adiknya karena Umar RA masih najis.

Setelah mandi, ia kembali memegang shahifah tersebut dan membaca surah Thaha ayat 14,

اِنَّنِيْٓ اَنَا اللّٰهُ لَآ اِلٰهَ اِلَّآ اَنَا۠ فَاعْبُدْنِيْۙ وَاَقِمِ الصَّلٰوةَ لِذِكْرِيْ

Artinya: “Sesungguhnya Aku adalah Allah, tidak ada tuhan selain Aku. Maka, sembahlah Aku dan tegakkanlah salat untuk mengingat-Ku.”

Maka hati Umar bin Khattab RA pun bergetar. Ia lalu meminta untuk diantar ke hadapan Nabi SAW.

Setelah tiba di rumah Arqam bin Abi al-Arqam, ia mengetuk pintu dan dari celah-celah pintu itu ada seorang penjaga yang mengintip dan melihat dirinya menghunus pedang.

Rasulullah SAW mendapat laporan tersebut dan langsung menghadapi Umar RA sendiri. Beliau lantas membuka pintu itu dan langsung memegang gagang pedang Umar bin Khattab RA dan menariknya dengan keras.

Rasulullah SAW berkata, “Tidakkah engkau akan berhenti dari tindakanmu, wahai Umar, hingga Allah menghinakanmu dan menimpakan bencana sebagaimana yang terjadi terhadap al-Walid bin al-Mughairah?”

Umar RA tak menjawab pertanyaan Nabi SAW, melainkan ia menjawab dengan, “Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan (Yang berhak disembah) selain Allah dan engkau adalah Rasulullah.”

Pernyataan Umar bin Khattab RA ketika masuk Islam ini membawa kebahagiaan dan disambut dengan pekikan takbir oleh penghuni rumah sehingga terdengar sampai luar.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Kisah Nabi Ibrahim Sunat Menggunakan Kampak di Usia 80 Tahun


Jakarta

Nabi Ibrahim adalah salah satu nabi yang memiliki peran yang sangat penting dalam sejarah Islam. Ia dikenal sebagai “Khalilullah,” yang berarti “Sahabat Allah” atau “Temannya Allah”.

Tak hanya itu, Nabi Ibrahim juga dianggap sebagai salah satu nabi ulul azmi, yaitu kelompok nabi pilihan yang memiliki keteguhan dan keberanian luar biasa dalam menyampaikan ajaran Allah. Pengajaran dan contoh kehidupan Nabi Ibrahim sangat dihormati dalam agama Islam dan menjadi inspirasi bagi umat Muslim dalam menjalani kehidupan yang taat kepada Allah dan penuh kesabaran serta keimanan.

Selain kurban, Nabi Ibrahim juga mengajarkan umat Islam untuk melaksanakan khitan atau sunat. Hal ini tercantum dalam sebuah hadits yang diceritakan oleh Abu Hurairah, beliau berkata:


“Nabi Ibrahim adalah orang yang pertama kali memakai celana panjang, membersihkan rambut yang kotor, mencukur bulu kemaluan, dan orang yang pertama kali melakukan khitan dengan qadum saat beliau berusia 80 tahun. Beliau dikenal sebagai orang yang pertama kali menjamu tamu dan orang yang pertama kali rambutnya beruban.” (HR Ibnu Hibban).

Mengutip buku Kisah Para Nabi oleh Imam Ibnu Katsir, beberapa pendapat mengatakan bahwa qadum ini adalah sebuah alat yang digunakan oleh tukang kayu berupa kampak. Ada juga yang menyebut bahwa qadum adalah nama sebuah tempat (yakni, ia disunat di daerah Qadum).

Namun tidak menutup kemungkinan bahwa keterangan dari ahli kitab itu semuanya benar. Meskipun sedikit berbeda dari hadits nabi, namun bisa saja keduanya digabungkan.

Lantas, mengapa menggunakan kampak? bisa saja pada saat itu perintah Allah SWT datang kepada Nabi Ibrahim secara mendadak. Ibrahim yang tidak ingin menundanya akhirnya mengambil kampak yang ada di sekitarnya dan langsung berkhitan.

Tak hanya Ibrahim, Allah SWT juga memerintahkannya untuk mengkhitan Ismail dan juga semua hamba sahayanya. Begitu pun setiap laki-laki yang ada pada keluarganya. Kala itu Nabi Ismail dikhitan pada usia 13 tahun.

Nabi Ibrahim Sunat Usia 80 Tahun

Dalam riwayat lain, usia Nabi Ibrahim AS saat disunat juga disebutkan sama. Ia khitan di umur 80 tahun.

اختتن إبراهيم عليه السلام وهو ابن ثمانين سنة بالقدوم

“Rasulullah SAW bersabda, “Ibrahim al Khalil berkhitan setelah mencapai usia 80 tahun dan beliau berkhitan menggunakan kampak.” (HR Bukhari dan Muslim).

Sedangkan dalam riwayat Abu Hurairah, Nabi Muhammad SAW bersabda,

“Usia Ibrahim ketika dikhitan telah mencapai 120 tahun. Kemudian setelah itu Ibrahim masih menjalani kehidupannya selama 80 tahun.” (HR. Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya)

Dalam kedua hadits di atas dapat disimpulkan bahwa tidak menutup kemungkinan jika Nabi Ibrahim dikhitan pada usia lebih dari 80 tahun. Wallahu a’lam.

(hnh/erd)



Sumber : www.detik.com

Kisah Masuk Islamnya Abu Bakar Ash-Shiddiq di Hadapan Rasulullah SAW



Jakarta

Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah salah satu sahabat Rasulullah SAW yang kerap mendampingi beliau semasa hidupnya. Bahkan, sepeninggalan Nabi Muhammad SAW, Abu Bakar ditunjuk menjadi Khalifah pertama untuk memimpin kaum muslim.

Dijelaskan dalam buku Abu Bakar Ash-Shiddiq: Syakhshiyatu Wa ‘Ashruhu karya Ali Muhammad Ash-Shalabi nama asli Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah Abdullah bin Utsman bin Amir bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taim bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ai bin Ghalib Al-Qurasyi At-Taimi.

Sementara itu, nama Abu Bakar ia dapatkan setelah memeluk agama Islam. Setelah menyatakan keislamannya, Rasulullah SAW mengubah nama Abu Bakar menjadi Abdullah bin Abu Quhafah yang artinya hamba Allah putra Quhafah Utsman, demikian dikutip dari Tarikh Khulafa: Sejarah Para Khalifah oleh Imam As-Suyuthi.


Abu Bakar Ash Shiddiq memiliki nasab langsung dari Rasulullah SAW. Disebutkan dalam Sirah wa Hayah Ash-Shiddiq karya Majdi Fathi As-Sayyid, nasab Abu Bakar Ash Shiddiq bertemu dengan nasab Rasulullah SAW pada kakek keenam, yaitu Murrah bin Ka’ab.

Melansir dari Tarikh Khulafa oleh Ibrahim Al-Quraibi, Abu Bakar disebut sebagai orang pertama yang memeluk Islam, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad dari Asma’ binti Abu Bakar yang berkata,

“Ayahku masuk Islam, sebagai muslim pertama. Dan demi Allah aku tidak mengingat tentang ayahku kecuali ia telah memeluk agama ini.”

Dalam pendapat lainnya disebutkan bahwa Khadijah-lah yang pertama kali memeluk Islam. Ada juga yang mengatakan Ali bin Abi Thalib, wallahu alam.

Terkait kisah keislaman Abu Bakar ini diceritakan dalam riwayat Abu Hasan Al-Athrabulusi melalui Al-Bidayah yang dikutip oleh Suparnno dalam buku Sahabat Rasululloh Abu Bakar Ash-Shiddiq.

Sebagai kawan Rasulullah SAW sejak zaman Jahiliyah, Abu Bakar suatu hari menemui beliau dan bertanya,

“Wahai Abul Qosim (panggilan Nabi), ada apa denganmu, sehingga engkau tidak terlihat di majelis kaummu dan orang-orang yang menuduh bahwa engkau telah berkata buruk tentang nenek moyangmu dan lain-lain lagi?”

Nabi Muhammad SAW bersabda, “Sesungguhnya aku adalah utusan Allah SWT dan aku mengajak kamu kepada Allah SWT.”

Setelah Rasulullah SAW selesai berbicara, Abu Bakar langsung memeluk Islam. Setelahnya, beliau menjadi seorang sahabat yang memperjuangkan Islam bersama Rasulullah SAW. Saat masuk Islam, Abu Bakar menginfakkan 40.000 dirham hartanya di jalan Allah SWT.

(aeb/erd)



Sumber : www.detik.com

Kisah Wafatnya Nabi Yahya AS yang Dibunuh saat Ibadah


Jakarta

Nabi Yahya AS termasuk 25 nabi dan rasul yang wajib diimani umat Islam. Beberapa kisahnya semasa hidup turut diceritakan dalam Al-Qur’an dan buku-buku kisah nabi, salah satunya kisah wafatnya Nabi Yahya AS.

Nabi Yahya AS adalah putra satu-satunya Nabi Zakaria AS dan merupakan mukjizat yang diberikan Allah SWT kepadanya. Bagaimana tidak? Nabi Zakaria AS memiliki anak ketika usianya sangat lanjut dan bahkan istrinya adalah seorang wanita mandul. Hal ini dijelaskan dalam buku Riwayat 25 Nabi dan Rasul oleh Gamal Komandoko.

Diceritakan dalam buku tersebut, jetika Nabi Yahya AS dilahirkan, keadaan Bani Israil sedang berada di bawah penjajahan bangsa Romawi. Saat itu Raja Herodes menjabat sebagai wakil kekaisaran Romawi yang berkedudukan di Palestina. Ia merupakan pemimpin yang amat kejam, bengis, dan tidak mengenal perikemanusiaan.


Pada saat itu juga, Bani Israil terpecah menjadi dua kelompok. Kelompok mayoritas adalah kaum Bani Israil yang tidak lagi menjadikan Allah SWT sebagai Tuhan dan sesembahan, sedangkan kelompok minoritas tetap berpegang teguh pada ajaran Taurat dan Zabur.

Nabi Yahya AS dikenal sebagai pemuda yang saleh. Ia sering berjuang bersama ayahnya untuk mengemban risalah Allah SWT yakni dengan menyadarkan kaum Bani Israil kepada jalan yang benar.

Nabi Yahya AS muda benar-benar bisa merasakan permusuhan dan pertentangan yang dilakukan kaumnya kepadanya dan ayahnya. Terlebih lagi ketika tokoh-tokoh Bani Israil bersekutu dengan Raja Herodes untuk menentang dakwah mereka.

Allah SWT lalu mengangkat Yahya AS menjadi seorang nabi yang mengajarkan ajaran kitab Taurat kepada kaumnya. Beberapa dari kaum tersebut tersadar atas perbuatan dosa mereka, sehingga Nabi Yahya AS melakukan pertobatan atas mereka.

Nabi Yahya AS memercikkan air dari sungai Yordan di atas kepala orang yang hendak bertobat. Kegiatan yang disebut dengan pembaptisan ini memiliki maksud sebagai tanda pertobatan dan bukan pencucian dosa-dosa. Oleh karena itu, Nabi Yahya AS dikenal sebagai Yahya Sang Pembaptis.

Kisah Wafatnya Nabi Yahya AS

Kisah wafatnya Nabi Yahya AS berawal dari berita menggemparkan dari Raja Herodes yang hendak menikahi anak tirinya sendiri yang bernama Herodia.

Pernikahan antara Raja Herodes dan putrinya, Herodia sudah mendapatkan persetujuan dari istri Herodes yang juga merupakan ibu Herodia. Oleh sebab itu, tidak ada lagi orang yang berani untuk mengungkapkan ketidaksetujuannya.

Berbeda dari semua orang, Nabi Yahya AS justru sangat menentang pernikahan antar keluarga ini. Pernikahan ini merupakan perbuatan yang terlarang dalam kitab Taurat dan tentu saja Nabi Yahya AS harus meluruskannya.

Nabi Yahya AS tidak gentar untuk menentang pernikahan Raja Herodes tersebut. Ia menyatakan dengan lantang apa yang akan diperbuat oleh Raja Herodes adalah sebuah kesalahan.

Raja Herodes pun sangat murka dengan Nabi Yahya AS. Ia berniat untuk menangkap dan menjatuhkan hukuman terberatnya karena keberanian Nabi Yahya AS menentang kehendaknya.

Berbeda dari ayahnya, Herodia berusaha membujuk Nabi Yahya AS dengan cara yang berbeda. Ia memanfaatkan kecantikan dan tubuhnya yang bagus untuk merayu Nabi Yahya AS dan hendak melakukan hal yang tidak pantas.

Nabi Yahya AS pun menolak dengan tegas ajakan Herodia tersebut. Hal ini berujung pada kemarahan Herodia dan fitnah yang menyebar berkaitan dengan Nabi Yahya AS. Ia dituduh ingin menikahi Herodia sehingga ia membuat peraturan bahwa pernikahan dengan ayahnya sendiri dilarang di dalam Taurat.

Mendengar aduan dari anaknya dan calon istrinya tersebut, Raja Herodes lantas marah besar. Ia memerintahkan para prajuritnya untuk menangkap dan membunuh Nabi Yahya AS.

Para prajurit pun menemukan Nabi Yahya AS. Ia sedang beribadah kepada Allah SWT. Tanpa basa basi, prajurit itu pun langsung menebaskan pedangnya ke arah kepala Nabi Yahya AS.

Nabi Yahya AS wafat seketika karena terpenggal kepalanya. Ia wafat sebagai seorang syuhada yang selalu membela agama Allah SWT.

Kisah wafatnya Nabi Yahya AS tersebut tidak diceritakan dalam Al-Qur’an maupun hadits nabi, melainkan dari israiliyat–sebuah riwayat Bani Israil yang bersumber dari orang Yahudi dan Nasrani. Wallahu a’lam.

(hnh/kri)



Sumber : www.detik.com

Kisah Seorang Penggembala Jujur yang Digoda Ibnu Umar



Jakarta

Dalam kitab ‘Uyunul Hikayat karya Imam Ibnu Jauzi, terdapat kisah menarik antara Abdullah bin Umar dengan seorang penggembala kambing. Di mana, Ibnu Umar menggoda penggembala tersebut yang sedang melintas di depannya.

Kisah ini disampaikan oleh Abdul Aziz, yang diperolehnya dari Nafi’. Mengutip buku berjudul 500 Kisah Orang Saleh Penuh Hikmah yang ditulis oleh Imam Ibnul Jauzi, begini ceritanya.

Pada suatu hari, Abdullah bin Umar dan sahabat-sahabatnya pergi ke pinggiran kota Madinah. Saat beristirahat dan makan, mereka bertemu dengan seorang penggembala yang sedang melintas.


Ketika berjumpa dengan penggembala tersebut, Ibnu Umar mengundangnya untuk bergabung dan makan bersama.

“Silakan bergabung, mari makan bersama kami,” ajak Ibnu Umar kepada penggembala yang tengah melintas.

“Terima kasih, tapi saya sedang puasa,” jawab si penggembala singkat.

Ibnu Umar kagum melihat penggembala tersebut. Bisa-bisanya ia tetap menjalankan ibadah puasa di tengah terik matahari.

“Di hari yang begitu panas seperti ini, di tengah perbukitan sambil menggembala kambing, engkau masih tetap berpuasa?” tanya Ibnu Umar.

“Waktu berlalu dengan cepat, saya tidak ingin menyia-nyiakannya,” kata penggembala itu.

Ibnu Umar kemudian menawarkan kepada penggembala untuk menjual salah satu kambingnya. Nantinya, sebagian dari daging tersebut akan ia bagikan untuk si penggembala sebagai bekal berbuka puasa.

Namun si penggembala enggan untuk menjualnya. Sebab kambing tersebut bukanlah miliknya.

“Mereka bukanlah milikku, melainkan milik majikanku,” jawab si penggembala menolak tawaran Ibnu Umar.

Kemudian Ibnu Umar mencoba untuk menggoda penggembala tersebut. Ia mengajarkan si penggembala untuk berbohong jika ditanya oleh majikannya ke mana satu ekor kambingnya yang hilang.

“Mudah, katakan saja pada majikanmu bahwa salah satu kambingnya dimakan oleh serigala,” kata Ibnu Umar.

Jawaban si penggembala cukup mencengangkan. Ia sama sekali tidak tergoda oleh rayuan Ibnu Umar.

“Namun, di mana Allah berada?” jawab penggembala dengan tegas meyakinkan Ibnu Umar bahwa Allah selalu mengawasi hamba-Nya.

Tak lama kemudian, penggembala itu melanjutkan perjalanannya. Ia meninggalkan Ibnu Umar yang sedang beristirahat bersama kawan-kawannya.

Setelah kembali ke Madinah, Umar menemui majikan penggembala yang ternyata adalah seorang hamba sahaya. Ibnu Umar lalu membeli kambing-kambingnya.

Namun, tak hanya itu, Ibnu Umar juga memerdekakan penggembala tersebut dan memberikannya kambing-kambing yang baru saja dibelinya.

Berkat sebuah kejujuran, si penggembala akhirnya memperoleh kambing yang berlimpah dan mendapatkan kemerdekaan. Seandainya penggembala itu mau menjual kambingnya saat pertama kali bertemu dengan Ibnu Umar, ia mungkin akan tetap menjadi budak dan hanya menerima bayaran seharga satu kambing beserta sepotong daging.

Wallahu a’lam.

(hnh/lus)



Sumber : www.detik.com

Kisah Ibrahim bin Adham dan Syaqiq Al-Balkhi dengan Seekor Burung



Jakarta

Cerita ini tentang dua sufi terkemuka yang bernama Ibrahim bin Adham dan Syaqiq Al-Balkhi. Saat bertemu di Makkah, Ibrahim bin Adham mampu mengubah pandangan Syaqiq Al-Balkhi tentang konsep perjalanan spiritual.

Kisah ini tercatat di kitab ‘Uyunul Hikayat karya Imam Ibnu Jauzi. Ia mendapatkan cerita tersebut dari Khalaf bin Buhaim.

Pada suatu hari, Ibrahim bin Adham memulai obrolannya pada Syaqiq dengan mengajukan sebuah pertanyaan. Ia penasaran dengan kisal awal perjalanan spriritual Syaqiq.


“Bagaimana kisah awal perjalanan spiritualmu?” tanya Ibrahim kepada Syaqiq.

Syaqiq segera berbagi pengalaman pribadinya kepada Ibrahim. Seekor burunglah yang menjadi titik awal perjalanan spiritualnya.

Syaqiq menceritakan bahwa suatu hari ia sedang melakukan perjalanan di sebuah gurun. Merasa kelelahan, ia memutuskan untuk beristirahat untuk mengembalikan energi yang telah terkuras oleh teriknya matahari.

Ketika sedang istirahat, tiba-tiba Syaqiq terkejut karena melihat seekor burung jatuh tak jauh dari tempat ia duduk. Setelah diperhatikan, ternyata sayap burung tersebut patah, sehingga burung itu tak mampu terbang dan mencari makanan.

“Kita perhatikan dari mana burung ini bisa mendapatkan makanan,” gumam Syaqiq di dalam hati.

Sambil mendekati, Syaqiq terus memperhatikan burung itu. Ibrahim bin Adham pun fokus mendengarkan kisah Syaqiq Al-Balkhi hingga tak berkomentar.

Tiba-tiba, kata Syaqiq, datanglah seekor burung sehat dan normal mendekati burung yang sakit dan terjatuh itu. Burung yang sehat ini membawa belalang di paruhnya, kemudian menyodorkan belalang tersebut ke paruh burung yang sayapnya patah.

Syaqiq terkesima oleh peristiwa tersebut. Ia memuji kekuasaan Allah yang memberikan rezeki kepada burung tak berdaya di tengah gurun.

Dengan penuh keyakinan, Syaqiq percaya hal yang sama juga bisa terjadi padanya. Sejak saat itu, Syaqiq akhirnya memutuskan diri untuk fokus ibadah dan tidak bekerja.

Ia percaya bahwa Allah akan tetap memberikan rezeki kepada Syaqiq, seperti yang dialami oleh burung yang sayapnya patah itu.

“Saya yakin, Allah juga akan memberikan rezeki kepada saya di mana pun saya berada,” ujar Syaqiq.

Setelah cerita Syaqiq selesai, Ibrahim bin Adham memberikan tanggapan yang membuat Syaqiq tercengang. Ia melontarkan sebuah pertanyaan dan pernyataan yang tidak terpikirkan oleh Syaqiq.

“Ya Syaqiq, mengapa kamu memilih menjadi seperti burung yang sayapnya patah? Mengapa tidak memilih menjadi burung yang sehat dan memberi makan burung yang sakit itu?” ucap Ibrahim bin Adham.

Ibrahim kemudian mengeluarkan dalil yang bersumber dari hadis Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasallam.

“Tidakkah kamu pernah mendengar bahwa Rasulullah SAW bersabda: ‘Tangan yang memberi lebih baik daripada tangan yang menerima?'” imbuh Ibrahim.

“Dan bukankah di antara tanda seorang mukmin yang sejati adalah keinginannya untuk mendapatkan salah satu dari dua derajat yang lebih tinggi dalam berbagai hal, sehingga ia mencapai tingkatan Al-Abrar?” lanjutnya.

Setelah mendengar penjelasan dari Ibrahim bin Adham, Syaqiq Al-Balkhi langsung memegang dan mencium tangan Ibrahim bin Adham seraya berkata, “Anda adalah guru kami, wahai Abu Ishaq.”

Dari kisah ini, dapat diambil hikmah bahwa menempuh perjalanan spiritual tidak selalu berarti meninggalkan aspek kehidupan ekonomi dan sosial. Lebih dari itu, perjalanan spiritual dapat ditingkatkan dengan selalu menyebarkan kebaikan dan terus memberikan manfaat kepada orang lain.

(hnh/erd)



Sumber : www.detik.com

Kisah Rabiah Al Adawiyah, Wanita Cantik Bersuara Merdu yang Cinta kepada Allah



Jakarta

Kisah Rabiah Al Adawiyah tidak bisa dilewatkan ketika kita membahas tentang wanita solehah. Ceritanya begitu menarik dan inspiratif sebab ia tidak tertarik pada kehidupan duniawi.

Rabiah Al Adawiyah adalah seorang wanita yang terkenal di dunia tasawuf. Dirinya banyak diketahui karena ia memilih untuk tidak menikah hingga akhir hayatnya demi beribadah dan mendekat kepada Allah SWT.

Diambil dari arsip detikHikmah, Rabiah Al Adawiyah adalah seorang wanita yang lahir pada tahun 713 Hijriah di Basrah, Irak. Ia sudah menjadi sebatang kara setelah ditinggal orang tuanya wafat dan ketiga kakaknya yang juga wafat karena wabah kelaparan.


Oleh sebab itu, Rabiah Al Adawiyah sudah harus hidup sendiri dan jauh dari masyarakat. Dirinya menghidupi diri sendiri dengan bekerja menjadi budak.

Ketika ia punya waktu luang atau tidak sedang bekerja, maka ia memilih untuk menghabiskan waktunya untuk bermeditasi.

Rabiah Al Adawiyah hidup dalam kemiskinan. Harta yang ia punya hanyalah sebuah tikar lusuh, sebuah periuk tanah, dan sebuah batu bata.

Meski demikian, hidup Rabiah Al Adawiyah penuh dengan kemuliaan. Setiap hari, dia senantiasa berdzikir dan berdoa kepada Allah SWT tanpa mempedulikan urusan dunianya. Tujuannya hanya satu, yaitu surga-Nya yang amat dirindukan.

Besarnya Cinta Rabiah Al Adawiyah kepada Allah SWT

Rabiah Al Adawiyah begitu beriman dan bertakwa kepada Allah SWT. Takwanya bahkan sudah mencapai tahap cinta yang besar kepada Sang Khalik. Dirinya memilih dalam kesederhanaan, meskipun bisa hidup mewah mengandalkan parasnya yang cantik dan suaranya yang merdu.

Dalam sebuah buku yang berjudul Rabiah Al Adawiyah karya Makrum Gharib disebutkan pernyataannya mengenai cintanya yang besar kepada Allah SWT bisa mengalahkan rasa takutnya kepada Dia.

“Aku tidak menyembah Allah karena takut akan neraka, tidak juga karena mengharap surga. Jika aku menyembah-Nya karena takut neraka atau mengharap surga maka aku seperti buruh yang buruk yang bekerja karena rasa takut. Aku menyembah-Nya karena cinta dan rindu kepada-Nya.”

Kecintaan Rabiah Al Adawiyah yang besar kepada Allah SWT ini biasa dikenal dengan istilah “mahabbah,” jelas Abrar M. Daud Faza dalam bukunya yang berjudul Moderasi Beragama Para Sufi.

Bagi Rabiah Al Adawiyah, mahabbah adalah cinta yang besar yang dilandasi rasa iman yang sangat tulus dan ikhlas, sehingga mampu mengangkat harkat dan martabat manusia menuju Allah SWT.

Mahabbah yang dimiliki Rabiah Al Adawiyah sudah memenuhi aspek makhluk dan Khalik. Ketika itu, dirinya bermunajat kepada Allah SWT dengan berbicara, “Tuhanku, akankah kau bakar kalbu yang mencintai mu oleh api neraka?”

Tiba-tiba saja, ada sebuah suara yang menjawabnya dengan berkata, “Kami tidak akan melakukan itu. Janganlah engkau berburuk sangka kepada Kami.” Hal ini sebagaimana dinukil dari buku Risalah Al-Qusyairiyah.

Mahabbah yang diajarkan oleh Rabiah Al Adawiyah menunjukkan betapa besarnya cintanya kepada Allah SWT sampai-sampai tidak ada perasaan benci sedikitpun kepada yang lainnya, baik alam maupun manusia.

Semua hal yang berkaitan dengan Rabiah Al Adawiyah dipenuhi dengan cinta dan kasih atau mahabbah. Konsep mahabbahnya juga sangat berkaitan erat dengan konsep aulawiyah atau mendahulukan yang prioritas.

Rabiah Al Adawiyah pasti mendahulukan sesuatu yang menjadi prioritas atau yang lebih penting. Salah satu contohnya adalah ketika ada dua pemuka agama yang kelaparan hendak bertamu ke rumah Rabiah Al Adawiyah.

Di sana, keduanya sudah mendapati dua buah roti di atas meja. Mereka sudah senang akan segera mendapat roti tersebut. Namun, ternyata ada seorang pengemis datang untuk meminta makanan.

Maka, Rabiah Al Adawiyah pun memberikan kedua roti tadi kepada si pengemis. Dua orang pemuka agama tadi kecewa karena tentunya mereka tidak jadi mendapat makanan.

Lalu, ternyata ada seorang pelayan datang ke rumah Rabiah Al Adawiyah dengan membawa dua buah roti yang baru saja matang. Maka ia langsung memberikan roti itu kepada kedua tamunya.

Tentunya, Rabiah Al Adawiyah memberikan roti kepada pengemis tadi bukan karena ingin mengecewakan tamunya. Namun, ia tahu mana yang lebih menjadi prioritas.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com