Tag Archives: islam

Sosok Asy Syifa binti Abdullah, Muslimah Cerdas yang Dihormati Rasulullah



Jakarta

Asy Syifa binti Abdullah adalah seorang wanita cerdas yang menjadi kebanggaan umat Islam. Bahkan Rasulullah SAW dan para sahabat sangat menghormatinya. Bagaimana kisahnya?

Asy Syifa adalah seorang wanita cerdas di kalangan umat Islam pada zaman Rasulullah SAW. Ia merupakan seorang ulama di antara ulama umat Islam. Pikiran serta jiwanya adalah lahan yang subur bagi ilmu dan iman.

Dikutip dari buku 100 Muslim Paling Berpengaruh dan Terhebat Sepanjang Sejarah karya Teguh Pramono, nama lengkap wanita cerdas ini adalah Asy Syifa binti Abdullah bin Abdi Syams bin Khalaf bin Sadad bin Abdullah bin Qirath bin Razah bin Adi bin Ka’ab Al-Qurasyiyyah Al-Adaqiyah.


Diriwayatkan, Asy Syifa binti Abdullah mengakui keislamannya sebelum Rasulullah SAW hijrah. Sehingga, ia termasuk dalam wanita angkatan pertama yang berbaiat kepada Nabi Muhammad SAW.

Wanita salihah ini kemudian menikah dengan seorang lelaki bernama Abu Hatsmah bin Hudzaifah bin Adi. Keduanya lalu dikarunia anak oleh Allah SWT dan diberi nama Sulaiman bin Abi Hatsmah.

Sebelum datangnya Islam, Asy Syifa binti Abdullah sudah terkenal sebagai wanita yang cerdas. Ia dikenal sebagai guru membaca dan menulis untuk orang-orang di sekitarnya.

Kemudian, ketika masuk Islam, ia tetap memberikan pengajarannya kepada wanita-wanita muslimah dengan mengharapkan ganjaran dan pahala. Oleh karena itu, ia sering disebut sebagai guru pertama dalam Islam.

Rasulullah SAW bahkan meminta Asy Syifa untuk mengajari Hafshah, istri beliau, tentang menulis dan sebagian ruqyah. Asy Syifa berkata, “Suatu ketika Rasulullah SAW masuk, sedangkan saya berada di samping Hafshah. Beliau bersabda, ‘Mengapa tidak engkau ajarkan kepadanya ruqyah sebagaimana engkau ajarkan kepadanya menulis?'” (HR Abu Dawud)

Mengenai keahliannya dalam ruqyah, Asy Syifa binti Abdullah pernah berkata kepada Rasulullah SAW, “Aku adalah ahli ruqyah di masa jahiliah dan aku ingin memperlihatkannya kepada engkau.”

Kemudian Rasulullah SAW bersabda, “Perlihatkanlah kepadaku.”

Asy Syifa pun memperlihatkannya kepada beliau. Saat itu, ia meruqyah penyakit bisul. Rasulullah SAW lalu berkata, “Meruqyahlah dengan cara tersebut dan ajarkanlah hal itu kepada Hafshah.”

Kemudian Rasulullah SAW mengajari Asy Syifa banyak ilmu dan bimbingan sehingga tumbuhlah rasa sayang beliau kepadanya. Sebagaimana kaum mukminin yang lain, Asy Syifa juga turut belajar dari hadits-hadits Rasulullah SAW.

Tak hanya menimba ilmu sebanyak-banyaknya dari Rasulullah SAW, namun Asy Syifa juga turut menyebarkan Islam, memberi nasihat kepada umat, serta terkenal pantang menyerah dalam menjelaskan kesalahan-kesalahan.

Begitu luasnya ilmu Asy Syifa binti Abdullah, sampai-sampai Umar bin Khattab RA lebih dulu mendahulukan pendapatnya saat mencari solusi dari masalah. Umar RA juga menjaganya, mengutamakannya, dan bahkan ia mempercayakan kepadanya urusan mengenai pasar.

Tidak berbeda dari Umar RA, Asy Syifa juga sangat menghormati sahabat nabi itu. Ia menganggap Umar RA sebagai orang yang jujur, dapat menjadi suri teladan yang baik, bertakwa, dan bisa berbuat adil.

Suatu saat, Asy Syifa binti Abdullah melihat ada segerombolan pemuda yang berjalan santai dan bersuara pelan. Lalu ia bertanya, “Apa ini?”

Pemuda itu menjawab, “Begitulah ahli ibadah.”

“Demi Allah, Umar adalah orang yang apabila berbicara suaranya terdengar jelas, bila berjalan melangkah dengan cepat, dan bila memukul mematikan,” puji Asy Syifa terhadap Umar bin Khattab RA.

Setelah Rasulullah SAW wafat, Asy Syifa menjalani hidupnya dengan menghormati dan menghargai pemerintahan Islam. Ia terus mengabdikan dirinya dalam bidang ilmu demi kemajuan umat Islam.

Asy Syifa binti Abdullah wafat pada tahun 20 Hijriah sebagai wanita salihah yang dihormati oleh umat Islam.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Wali yang Mempunyai Pertalian Darah dengan Mempelai Wanita, Siapa Saja?



Jakarta

Wali memiliki peran yang sangat penting dalam upacara pernikahan. Perwalian menjadi ketentuan syariat yang diberlakukan dalam pernikahan.

Merujuk pada buku Pendidikan Agama Islam untuk SMK Kelas II oleh Bachrul Ilmy, wali adalah orang yang menikahkan mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan. Wali merupakan orang yang berhak mengizinkan seorang perempuan dinikahi oleh seorang laki-laki.

Diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Ahmad, dan Baihaqi dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda,


أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ اذْنِ وَلِيْهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ

Artinya: “Barangsiapa di antara perempuan menikah tanpa izin walinya, pernikahannya tidak sah.”

Seorang perempuan boleh dinikahkan oleh walinya baik ayah maupun kerabat lain yang sah menurut syariat Islam. Wali yang mempunyai pertalian darah dengan mempelai wanita yang akan dinikahkan disebut wali nasab. Berikut penjelasannya.

Pengertian Wali Nasab

Wali yang mempunyai pertalian darah dengan mempelai wanita yang akan dinikahkan disebut wali nasab. Merujuk pada sumber sebelumnya, contoh dari wali nasab adalah bapak, kakak laki-laki kandung (seibu dan sebapak), kakak laki-laki sebapak, dan sebagainya.

Urutan Wali Nasab yang Berhak Menjadi Wali

Dirangkum dari buku Fiqh Keluarga Terlengkap oleh Rizem Aizid, Imam Malik berpendapat bahwa perwalian di dasarkan pada ke-‘ashabah (orang yang menguasai harta waris karena ia menjadi ahli waris tunggal).

Wali yang paling berhak berdasarkan urutannya menurut Imam Malik yaitu:

  1. Anak laki-laki sampai ke bawah lebih utama
  2. Ayah sampai ke atas
  3. Saudara laki-laki seayah dan seibu
  4. Saudara laki-laki seayah saja
  5. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah saja
  6. Kakek dari pihak ayah sampai ke atas
    Al-Mughni menyatakan bahwa kakek lebih utama daripada saudara laki-laki dan anaknya saudara laki-laki. Alasannya karena kakek adalah asal, kemudian paman-paman dari pihak ayah berdasarkan urutan saudara-saudara laki-laki sampai ke bawah, kemudian bekas tuan (al-maula), kemudian penguasa.

Menurut jumhur ulama, urutan wali nikah nasab yaitu sebagai berikut:

  1. Ayah
  2. Ayahnya ayah (kakek) terus ke atas
  3. Saudara laki-laki seayah dan seibu
  4. Saudara laki-laki seayah saja
  5. Anak laki-laki saudara laki-laki seayah dan seibu
  6. Anak laki-laki saudara laki-laki seayah
  7. Anak laki-laki dari anak laki-laki saudara laki-laki seayah dan seibu
  8. Anak laki-laki dari anak laki-laki saudara laki-laki seayah
  9. Anak laki-laki pada point tujuh
  10. Anak laki-laki pada pont delapan dan seterusnya
  11. Saudara laki-laki ayah, seayah dan seibu
  12. Saudara laki-laki ayah, seayah saja
  13. Anak laki-laki pada point sebelas
  14. Anak laki-laki pada point dua belas
  15. Anak laki-laki pada point 13, dan seterusnya

Jenis Wali Nasab

Merujuk pada sumber sebelumnya, wali nasab terbagi menjadi dua jenis, yaitu wali aqrab (dekat) dan wali ab’ad (jauh). Wali aqrab adalah yang paling utama daripada wali ab’ad.

Wali ab’ad baru boleh menjadi wali jika wali aqrab tidak ada. Atau jika wali aqrab-nya berada dalam kondisi seperti non-muslim, fasik, belum dewasa, gila, dan bisu/tuli. Maka wali ab’an boleh menggantikannya.

Syarat Wali Nikah

Dirangkum dari buku Fiqh Sunnah, syarat orang yang menjadi wali dalam pernikahan adalah baligh, berakal, dan merdeka, baik apabila ia menjadi wali bagi orang muslim ataupun non-muslim. Sementara budak, orang gila, ataupun anak kecil, mereka tidak diperkenankan menjadi wali.

Syarat selanjutnya adalah wali nikah harus beragama Islam jika orang yang di bawah perwaliannya muslim. Sementara walinya orang yang tidak beragama islam, maka tidak diperkenankan menjadi wali seorang muslim.

Sebagai dasarnya pada firman Allah SWT yang termaktub dalam surah At Taubah ayat 71:

وَٱلْمُؤْمِنُونَ وَٱلْمُؤْمِنَٰتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَآءُ بَعْضٍ ۚ يَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ وَيُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤْتُونَ ٱلزَّكَوٰةَ وَيُطِيعُونَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥٓ ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ ٱللَّهُ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

Arab-Latin: Wal-mu`minụna wal-mu`minātu ba’ḍuhum auliyā`u ba’ḍ, ya`murụna bil-ma’rụfi wa yan-hauna ‘anil-mungkari wa yuqīmụnaṣ-ṣalāta wa yu`tụnaz-zakāta wa yuṭī’ụnallāha wa rasụlah, ulā`ika sayar-ḥamuhumullāh, innallāha ‘azīzun ḥakīm

Artinya: Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

Sosok Wanita Pertama yang Masuk Islam dan Dukung Penuh Dakwah Nabi


Jakarta

Banyak sekali kisah inspiratif tentang para sahabat dan keluarga Nabi Muhammad SAW sebagai pelopor pemeluk Islam. Orang yang pertama kali memeluk Islam adalah dari kalangan wanita. Ini sosoknya.

Wanita pertama yang memeluk Islam adalah Sayyidah Khadijah RA. Beliau adalah istri Nabi Muhammad SAW. Berikut sosok dan kisahnya dalam mendukung dakwah Rasulullah SAW.

Sayyidah Khadijah: Wanita Pertama yang Masuk Islam

Mengutip dari buku Wanita-wanita Teladan di Zaman Rasulullah karya Desita Ulla R, Sayyidah Khadijah RA adalah sosok wanita istimewa dalam sejarah Islam. Sayyidah Khadijah RA adalah wanita pertama yang memeluk Islam.


Sayyidah Khadijah RA berasal dari keluarga terhormat, bani Quraish, dengan garis keturunan yang sama dengan Rasulullah SAW, yakni dari keluarga bani Asad dan bani Quraish. Hal ini memberinya kehormatan dan kedudukan sosial yang tinggi di Makkah.

Selain memiliki nasab yang mulia, Sayyidah Khadijah RA juga dikenal sebagai pebisnis sukses. Dalam dunia perdagangan, ia menjalankan usahanya dengan penuh kecerdasan dan kejujuran, yang membuatnya sangat dihormati oleh masyarakat.

Selain kekayaan materi yang ia miliki, Sayyidah Khadijah RA juga dikenal karena sifat jujur dan budi pekerti yang luhur. Ia sangat menjaga kehormatannya, tidak tergoda untuk bergaul bebas dalam lingkungan perdagangan yang didominasi laki-laki, tapi tetap dapat menjalankan bisnisnya dengan sukses.

Kehormatan dan kepribadian Sayyidah Khadijah RA yang menawan membuatnya sangat dihormati, baik dalam keluarga maupun masyarakat luas. Banyak orang Makkah yang menghormatinya. Bahkan para wanita sering mengunjunginya di rumah untuk mendapatkan nasihat atau sekadar berdiskusi.

Peran Sayyidah Khadijah dalam Dakwah Nabi Muhammad

Sayyidah Khadijah memiliki peran penting dalam mendampingi dan mendukung perjuangan dakwah Rasulullah SAW. Bahkan dalam kondisi sulit saat Rasulullah SAW menghadapi cemoohan, tuduhan sihir, dan gangguan dari kaum kafir, Sayyidah Khadijah RA tetap setia berada di sisi beliau.

Mereka yang membenci Rasulullah SAW sering kali melempari beliau dengan batu, menebarkan duri di jalan, dan bahkan menumpahkan kotoran hewan di depan rumah beliau untuk menghina. Di tengah perlakuan kasar dan kejam ini, Sayyidah Khadijah RA berdiri teguh menemani Rasulullah SAW dalam menghadapi ujian berat tersebut dengan sabar dan tabah.

Sayyidah Khadijah RA selalu memberikan dukungan emosional dan spiritual kepada Rasulullah SAW, terutama saat beliau menghadapi masa-masa krisis. Saat Rasulullah SAW pertama kali menerima wahyu dari Allah SWT melalui Malaikat Jibril, beliau sangat ketakutan dan gemetar.

Dalam keadaan bingung dan cemas, Nabi SAW menceritakan pengalaman itu kepada Sayyidah Khadijah RA. Sayyidah Khadijah RA dengan penuh kasih menghibur Rasulullah SAW, memberikan ketenangan, dan memastikan bahwa beliau tidak sendiri.

Keteladanan Sayyidah Khadijah

Sayyidah Khadijah RA adalah sosok perempuan yang akhlaknya layak dijadikan teladan. Sebagai istri Rasulullah SAW, Sayyidah Khadijah RA menunjukkan dedikasi dan penghormatan yang sangat tinggi terhadap suami dan agamanya.

Pengabdian Sayyidah Khadijah RA kepada Allah SWT dan Rasul-Nya tidak bisa ditandingi. Ia selalu mendampingi Rasulullah SAW dalam keadaan sulit maupun senang, menunjukkan sifat kesetiaan yang jarang ditemukan.

Sayyidah Khadijah RA mendapatkan gelar kehormatan “Ath Thahirah” yang berarti perempuan suci, gelar yang sudah disematkan sebelum Islam datang. Gelar ini diberikan masyarakat Makkah sebagai penghargaan atas kemuliaan dan kesucian sifatnya. Selain itu, Sayyidah Khadijah RA juga dikenal sebagai “Sayyidatuna Nisa’ Quraisy,” pemuka wanita Quraisy, karena sikap dan tindakannya yang selalu mencerminkan keagungan.

Sayyidah Khadijah RA dikenal dermawan dan penuh kasih. Rumahnya terbuka bagi siapa saja yang membutuhkan tempat tinggal dan perlindungan, baik untuk perempuan miskin maupun kaum lemah lainnya. Sayyidah Khadijah RA tidak hanya membantu dengan harta, tetapi juga dengan perhatian dan kasih sayang. Kebaikan hatinya membuat penduduk Makkah kagum dan memberikan gelar kehormatan “Sayyidatuna Nisa’ Quraisy.”

Setelah menikah dengan Rasulullah SAW, Sayyidah Khadijah RA mendapatkan gelar “Ummul Mukminin,” yang berarti ibu orang-orang beriman. Gelar ini diberikan karena posisinya sebagai perempuan beriman yang sangat mulia.

Selain itu, Sayyidah Khadijah RA juga dijuluki “Sayyidatuna Nisa’ al Alamin,” yang artinya pemuka wanita di seluruh dunia. Gelar ini sangat istimewa, hanya disematkan pada perempuan agung dalam sejarah Islam, seperti Maryam binti Imran dan Asiyah binti Muzahim.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Niat Mandi Wajib Setelah Haid Beserta Tata Caranya, Muslimah Wajib Tahu!


Jakarta

Mandi wajib setelah haid adalah salah satu kewajiban bagi muslimah untuk menyucikan diri setelah selesai mengalami menstruasi. Hal ini wajib dilakukan oleh semua muslimah.

Bagi seorang muslimah, haid merupakan salah satu proses alami yang pasti terjadi bagi wanita. Saat sedang haid, seorang muslimah tidak melakukan beberapa ibadah ritual, seperti sholat, puasa, dan membaca Al-Qur’an.

Seorang wanita yang sedang mengalami haid dianggap sebagai hadas besar. Dikutip dari buku Ensiklopedia Hadits Ibadah Bersuci dan Sholat Wajib oleh Syamsul Rijal Hamil, bersuci setelah haid adalah sebuah kewajiban.


Hal ini dijelaskan Allah dalam Al-Quran. Allah SWT berfirman:

وَيَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الْمَحِيْضِۗ قُلْ هُوَ اَذًىۙ فَاعْتَزِلُوا النِّسَاۤءَ فِى الْمَحِيْضِۙ وَلَا تَقْرَبُوْهُنَّ حَتّٰى يَطْهُرْنَۚ فَاِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوْهُنَّ مِنْ حَيْثُ اَمَرَكُمُ اللّٰهُۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ التَّوَّابِيْنَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِيْنَ

Artinya: “Mereka bertanya kepadamu (Nabi Muhammad) tentang haid. Katakanlah, “Itu adalah suatu kotoran.” Maka, jauhilah para istri (dari melakukan hubungan intim) pada waktu haid dan jangan kamu dekati mereka (untuk melakukan hubungan intim) hingga mereka suci (habis masa haid). Apabila mereka benar-benar suci (setelah mandi wajib), campurilah mereka sesuai dengan (ketentuan) yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.” (QS. Al-Baqarah ayat 222)

Dikutip dari buku Tuntunan Lengkap Sholat Wajib, Sunah, Doa, dan Zikir oleh Zakaria Rachman, wanita yang berhenti haid nifasnya mengalami hadas besar. Maka dari itu, cara menyucikannya adalah dengan xara mendi sebagaimana dijelaskan dalam hadits berikut:

Dari Aisyah bahwa Fatimah binti Abu Hubaisy bertanya kepada Nabi SAW, katanya, “Aku mengeluarkan darah istihadlah (penyakit) Apakah aku tinggalkan sholat?” Belliau menjawab, “Jangan, karena itu hanyalah darah penyakit seperti keringat. Tinggalkanlah sholat selama masa haidmu, setelah itu mandi dan kerjakan sholat.” (HR. Bukhari)

Setelah masa haid selesai, seorang muslimah diwajibkan untuk mandi wajib. Mandi wajib ini bertujuan untuk menyucikan diri dari hadas besar dan kembali dapat melaksanakan ibadah dengan sah. Mandi wajib setelah haid hukumnya adalah fardhu atau wajib bagi semua muslimah yang sudah baligh dan berakal sehat.

Niat Mandi Wajib Setelah Haid

Niat mandi wajib setelah haid merupakan lanhkah awal untuk menyucikan diri dari hadas besar akibat haid. Sebelum memulai mandi besar, bacalah niat dengan tulus dan ikhlas karena Allah SWT.

Berikut ini adalah niat mandi wajib setelah haid:

نَوَيْتُ الغُسْلَ لِرَفْعِ الْحَدَثِ الأَكْبَرِ فَرْضًا لِلَّهِ تَعَالَى

“Nawaitul ghusla liraf’il hadatsil akbari fardhal lillahi ta’ala.”

Artinya: “Aku niat mandi wajib untuk menghilangkan hadats besar haid karena Allah Ta’ala”

Tata Cara Mandi Besar

Selain niat yang tulus dan sungguh-sungguh, memahami tata cara mandi wajib setelah haid juga sangat penting bagi muslimah. Proses ini melibatkan langkah-langkah untuk memastikan pembersihan tubuh secara menyeluruh dan menyucikan diri agar dapat melakukan ibadah kepada Allah.

Berikut ini adalah tata cara mandi wajib setelah haid:

  1. Melafalkan niat dengan tulus.
  2. Sebelum memulai mandi, langkah pertama adalah mencuci tangan sebanyak tiga kali.
  3. Membersihkan kemaluan dan menghilangkan kotoran menggunakan tangan kiri.
  4. Setelah membersihkan kemaluan, langkah selanjutnya adalah mencuci tangan dengan sabun atau bahan pembersih.
  5. Berwudhu, seperti ketika akan sholat.
  6. Menyiramkan air ke atas kepala sebanyak tiga kali.
  7. Mengguyurkan air ke kepala sebanyak tiga kali sampai ke pangkal rambut dengan cara menggosok-gosoknya.
  8. Mengguyur air ke seluruh badan dimulai dari sisi kanan, dilanjutkan ke sisi kiri. Tujuan dari langkah ini adalah memastikan seluruh tubuh terkena air dengan merata.

Setelah menjalankan mandi wajib setelah haid, seorang muslimah dapat kembali menjalankan ritual ibadah kepada Allah, seperti sholat dan puasa.

(hnh/lus)



Sumber : www.detik.com

Kapan Istri Boleh Minta Cerai Menurut Islam?


Jakarta

Perceraian dalam Islam tergolong sebagai hal yang dihalalkan namun dibenci oleh Allah SWT. Istri boleh meminta cerai kepada suami apabila ia melakukan hal-hal ini. Apa saja?

Dikutip dari buku Bulughul Maram & Dalil-Dalil Hukum: Panduan Hidup Sesuai Tuntunan Rasulullah SAW dalam Ibadah, Muamalah, dan Akhlak oleh Ibnu Hajar, dijelaskan bahwa perceraian memang sebuah perkara yang halal, namun Allah SWT sangat membencinya.

Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah SAW,


عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ أَبْغَضُ الْحَلَالِ عِنْدَ اللَّهِ الطَّلَاقُ. رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَابْنُ مَاجَهِ وَصَحَّحَهُ الْحَاكِمُ وَرَبَّحَ أَبُو حَاتِمٍ إِرْسَالَهُ

1098. Dari Ibnu Umar radhiyallaahu ‘anhuma bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Perbuatan halal yang paling dibenci Allah ialah cerai.” (HR Abu Dawud dan Ibnu Majah. Hadits ini shahih menurut al-Hakim. Abu Hatim menilainya hadits mursal)

Cerai merupakan jalan keluar terakhir dan yang paling baik dihindari apabila terjadi sebuah kerusuhan dalam rumah tangga. Cara ini boleh ditempuh ketika semua bentuk pendekatan dan percobaan penyelesaian masalah sudah dilakukan.

Namun, tentu saja semua orang menginginkan rumah tangga yang baik dan bahagia. Tak jarang, di dalam rumah tangga seorang istri tidak merasa bahagia dan malah mendapat kekerasan.

Oleh karena itu, perceraian dalam Islam tidak hanya bisa dilakukan oleh suami. Namun, istri juga mendapat hak yang sama untuk meminta perceraian ketika terjadi sesuatu pada diri dan rumah tangganya.

Terdapat beberapa alasan yang membolehkan istri untuk meminta perceraian suami. Dengan catatan dirinya tidak meminta cerai karena alasan-alasan yang tidak jelas atau dibenarkan agama.

Masykur Arif Rahman dalam Dosa-Dosa Istri yang Paling Dibenci Allah Sejak Malam Pertama menyebutkan bahwa istri yang tidak memiliki alasan yang sah secara syariat, akan mendapat dosa bila ia mengajak bercerai.

Rasulullah SAW bersabda, “Siapa saja wanita yang minta diceraikan oleh suaminya tanpa alasan yang sah maka haram baginya wangi surga.” (HR Ahmad)

Adapun alasan-alasan yang membolehkan perceraian dalam Islam dari sisi istri adalah sebagaimana berikut ini.

5 Alasan Istri Halal Minta Cerai

1. Tidak Mendapat Nafkah dari Suami

Alasan istri boleh minta perceraian dalam Islam yang pertama adalah karena suami tidak menafkahi istri dan ia tidak merelakannya. Namun, jika istri mengerti kondisi suami yang memang tidak bisa menafkahi dan rela berkorban kepadanya, maka tidak perlu bercerai.

2. Tidak Mampu Menahan Syahwat

Alasan istri boleh minta perceraian dalam Islam yang kedua adalah karena ia tidak kuat menahan syahwat, sedangkan suaminya tidak bisa memenuhi hasrat tersebut. Sehingga, daripada memilih berzina, lebih baik bercerai.

Namun, apabila istri rela tidak mendapat kebutuhan biologis itu, maka terhapuslah alasan baginya untuk minta cerai.

Istri boleh minta cerai suami apabila ia tidak dapat memenuhi kewajiban-kewajiban suami karena benci atau lain-lain. Daripada selalu bertengkar, lebih baik bercerai sebab berpotensi menambah keburukan.

4. Suami Berakhlak Buruk

Keempat, alasan istri halal meminta perceraian dalam Islam yakni ketika suami mempunyai kepribadian dan akhlak yang buruk, yang tidak sesuai dengan ajaran agama.

Misalnya ketika istri merupakan seorang yang salihah, sedangkan suaminya sering meninggalkan salat, tidak berpuasa, sering berbohong, durhaka kepada orang tua, mabuk, berjudi, dan melakukan perbuatan tercela lainnya, maka istri boleh meminta cerai kepada suami.

Sebab, pada dasarnya, wanita salihah adalah untuk suami yang salihah juga. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT dalam surah An-Nur ayat 26 yang berbunyi,

اَلْخَبِيْثٰتُ لِلْخَبِيْثِيْنَ وَالْخَبِيْثُوْنَ لِلْخَبِيْثٰتِۚ وَالطَّيِّبٰتُ لِلطَّيِّبِيْنَ وَالطَّيِّبُوْنَ لِلطَّيِّبٰتِۚ اُولٰۤىِٕكَ مُبَرَّءُوْنَ مِمَّا يَقُوْلُوْنَۗ لَهُمْ مَّغْفِرَةٌ وَّرِزْقٌ كَرِيْمٌ ࣖ ٢٦

Artinya: “Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji dan laki-laki yang keji untuk perempuan-perempuan yang keji (pula), sedangkan perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik (pula). Mereka (yang baik) itu bersih dari apa yang dituduhkan orang. Bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia.”

5. Suami Berlaku Kasar

Alasan istri halal minta perceraian dalam Islam yang terakhir adalah karena suami berlaku buruk, kasar, dan keras terhadap istri.

Contohnya adalah suami selalu memukul, memaki, main tangan, tidak mau memuaskan istri dalam berhubungan badan, menyuruh kerja berat, dan lain sebagainya.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

Kenapa Islam Sangat Memuliakan Wanita?


Jakarta

Allah SWT menciptakan berbagai makhluk untuk taat kepada-Nya. Salah satu ciptaan-Nya adalah wanita.

Dalam pandangan Islam, wanita merupakan makhluk mulia yang sangat dimuliakan keberadaannya. Bahkan Allah SWT memuliakan wanita dengan turunnya surah An Nisa.

Sikap untuk menghargai dan memuliakan wanita dijelaskan dalam surah An Nisa ayat 19,


يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا يَحِلُّ لَكُمْ اَنْ تَرِثُوا النِّسَاۤءَ كَرْهًا ۗ وَلَا تَعْضُلُوْهُنَّ لِتَذْهَبُوْا بِبَعْضِ مَآ اٰتَيْتُمُوْهُنَّ اِلَّآ اَنْ يَّأْتِيْنَ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ ۚ وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ ۚ فَاِنْ كَرِهْتُمُوْهُنَّ فَعَسٰٓى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـًٔا وَّيَجْعَلَ اللّٰهُ فِيْهِ خَيْرًا كَثِيْرًا ١٩

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mewarisi perempuan dengan jalan paksa. Janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, kecuali apabila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Pergaulilah mereka dengan cara yang patut. Jika kamu tidak menyukai mereka, (bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak di dalamnya.”

Maka dari itulah, memuliakan wanita merupakan salah satu kewajiban bagi kaum laki-laki. Berikut penjelasan tentang memuliakan wanita dalam Islam.

Memuliakan Wanita dalam Islam

Dirangkum dari buku Kamu Cantik jika Taat Allah oleh Sahabat Muslimah dan buku Membangun Keluarga Sakinah, Tanya Jawab Seputar Keluarga, Islam sangat memuliakan wanita. Wanita harus dijaga, dilindungi, dan dimuliakan kaum laki-laki.

Islam telah mengajak umatnya agar memuliakan wanita sejak ia masih kecil. Wanita harus diberikan pendidikan yang bagus agar kelak mereka menjadi wanita yang salihah dan dapat menjaga diri.

Namun, sebelum datangnya Rasulullah SAW, banyak wanita yang tidak dihormati dan diperlakukan seperti budak. Bahkan pada zaman tersebut kelahiran wanita sangat tidak diinginkan. Jika ada seorang wanita yang lahir, maka ia akan dikubur hidup-hidup.

Hal tersebut dibuktikan dengan firman Allah SWT dalam surah An Nahl ayat 59-59,

وَاِذَا بُشِّرَ اَحَدُهُمْ بِالْاُنْثٰى ظَلَّ وَجْهُهٗ مُسْوَدًّا وَّهُوَ كَظِيْمٌۚ ٥٨ يَتَوٰرٰى مِنَ الْقَوْمِ مِنْ سُوْۤءِ مَا بُشِّرَ بِهٖۗ اَيُمْسِكُهٗ عَلٰى هُوْنٍ اَمْ يَدُسُّهٗ فِى التُّرَابِۗ اَلَا سَاۤءَ مَا يَحْكُمُوْنَ ٥٩

Artinya: “(Padahal,) apabila salah seorang dari mereka diberi kabar tentang (kelahiran) anak perempuan, wajahnya menjadi hitam (merah padam) dan dia sangat marah (sedih dan malu). Dia bersembunyi dari orang banyak karena kabar buruk yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan (menanggung) kehinaan atau akan membenamkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ingatlah, alangkah buruk (putusan) yang mereka tetapkan itu!”

Islam mencela perilaku jahiliah yang mengubur bayi wanita hidup-hidup. Bahkan, Allah SWT telah menyiapkan pahala yang berupa surga bagi yang sabar dalam mengurusi anak perempuan.

Wanita Dimuliakan oleh Islam Setiap Saat

Dirangkum dari buku Akhlak Wanita Muslimah oleh Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar As-Sidawi, Islam memuliakan wanita setiap saat, yaitu:

Memuliakan Wanita Sejak Kecil

Islam mengajak umatnya agar memuliakan wanita sejak mereka masih kecil agar kelak menjadi wanita yang salihah. Islam juga mencela perilaku jahiliah yang mengubur anak wanita mereka hidup-hidup.

Haram Berbuat Durhaka kepada Ibu, Mencegah dan Meminta, serta Mengubur Anak Wanita Hidup-hidup

Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang mempunyai tiga orang anak wanita, dia melindungi, mencukupi dan menyayanginya, maka wajib baginya surga. Ada yang bertanya, ‘Bagaimana kalau dua orang anak wanita wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Dua anak wanita juga termasuk’.” (HR Bukhari)

Memuliakan Seorang Ibu

Islam memerintahkan kaumnya agar selalu berbuat baik kepada ibu serta menjaga dari segala gangguan. Abu Hurairah RA berkata,

“Ada seseorang datang menemui Nabi dan bertanya, “Wahai Rasulullah kepada siapakah aku selayaknya berbuat baik? Beliau menjawab, ‘Kepada Ibumu!’ Orang tadi bertanya kembali, ‘Lalu kepada siapa lagi?’ Rasulullah menjawab, ‘Ibumu’, kemudian ia mengulangi pertanyaan, dan Rasulullah tetap menjawab, ‘Kepada Ibumu!’ ia bertanya kembali, ‘Setelah itu kepada siapa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Kepada ibumu!’.” (HR Bukhari)

Memuliakan Seorang Istri

Islam telah memberikan hak yang agung bagi istri yang harus dilaksanakan oleh suami, sebagaimana suami juga memiliki hak yang agung. Salah satu ayat yang menyebutkan hak istri termaktub dalam potongan surah An Nisa ayat 19,

… وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ …

Artinya: “… Pergaulilah mereka dengan cara yang patut…”

Memuliakan Wanita secara Umum

Meskipun tidak ada hubungan keluarga, wanita harus dimuliakan jika mereka membutuhkan pertolongan. Rasulullah SAW bersabda,

“Orang yang mengusahakan bantuan bagi para janda dan orang-orang miskin seolah-olah dia adalah orang yang berjihad di jalan Allah. Rowi berkata: dan aku mengira beliau juga berkata; dan seperti orang yang salat tidak pernah lemah dan seperti orang yang puasa tidak pernah berbuka.” (HR Bukhari)

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

Peran Perempuan dalam Islam, Sosok Mulia Ciptaan Allah SWT


Jakarta

Islam datang sebagai agama yang membawa kasih sayang. Dalam ajaran Islam, perempuan termasuk sosok yang dimuliakan. Bahkan Al-Qur’an mencatat bahwa kedudukan perempuan dan laki-laki adalah sama.

Ada banyak dalil yang membahas tentang peran dan kedudukan perempuan dalam pandangan Islam. Sebelum datangnya Islam, perempuan dianggap dan diperlakukan sebagai kalangan rendahan serta jauh dari kata dihormati.

Siti Musdah Mulia dalam buku Kemuliaan Perempuan dalam Islam menjelaskan, fakta-fakta sejarah mengungkapkan bahwa beribu tahun sebelum Islam datang, khususnya di zaman Jahiliah, perempuan dipandang tidak memiliki kemanusiaan yang utuh. Pada masa itu, perempuan tidak berhak bersuara, tidak berhak berkarya, dan tidak berhak memiliki harta.


Saking rendahnya kedudukan perempuan, pernah terjadi satu masa, di mana bayi dan anak-anak perempuan dikubur hidup-hidup. Orang-orang di zaman Jahiliah menganggap bahwa memiliki anak perempuan adalah sebuah aib.

Hal ini berubah setelah kedatangan ajaran Islam yang dibawa Rasulullah SAW. Perempuan menjadi sosok mulia yang derajatnya sama dengan laki-laki. Bahkan dalam kondisi tertentu, kedudukan perempuan lebih mulia dibandingkan laki-laki.

Banyak dalil Al-Qur’an yang menerangkan tentang keutamaan perempuan. Seperti yang termaktub dalam surah An Nisa ayat 1,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱتَّقُوا۟ رَبَّكُمُ ٱلَّذِى خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَٰحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَآءً ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ٱلَّذِى تَسَآءَلُونَ بِهِۦ وَٱلْأَرْحَامَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

Artinya: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan istrinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.”

Kemudian dalam surah Al Ahzab ayat 35, Allah SWT berfirman,

إِنَّ ٱلْمُسْلِمِينَ وَٱلْمُسْلِمَٰتِ وَٱلْمُؤْمِنِينَ وَٱلْمُؤْمِنَٰتِ وَٱلْقَٰنِتِينَ وَٱلْقَٰنِتَٰتِ وَٱلصَّٰدِقِينَ وَٱلصَّٰدِقَٰتِ وَٱلصَّٰبِرِينَ وَٱلصَّٰبِرَٰتِ وَٱلْخَٰشِعِينَ وَٱلْخَٰشِعَٰتِ وَٱلْمُتَصَدِّقِينَ وَٱلْمُتَصَدِّقَٰتِ وَٱلصَّٰٓئِمِينَ وَٱلصَّٰٓئِمَٰتِ وَٱلْحَٰفِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَٱلْحَٰفِظَٰتِ وَٱلذَّٰكِرِينَ ٱللَّهَ كَثِيرًا وَٱلذَّٰكِرَٰتِ أَعَدَّ ٱللَّهُ لَهُم مَّغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا

Artinya: “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.”

Ketika seorang perempuan mengalami hamil, melahirkan dan menjadi seorang ibu, sosoknya menjadi lebih mulia. Seorang anak diwajibkan berbakti kepada orangtuanya namun ibundanya lebih mulia.

Diceritakan Abu Hurairah RA,

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ :يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي؟ قَالَ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ، قَالَ أَبُوْكَ

Artinya: “Seseorang datang kepada Rasulullah SAW dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?’ Nabi SAW menjawab, ‘Ibumu!’ Dan orang tersebut kembali bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’ Nabi SAW menjawab, ‘Ibumu!’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu.’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi?’ Nabi SAW menjawab, ‘Kemudian ayahmu’.” (HR Bukhari dan Muslim)

Keistimewaan Perempuan dalam Islam

Merangkum buku Muslimah Itu Spesial oleh Aini Zakiyya Hatsi, ada beberapa keistimewaan perempuan yang dijelaskan melalui Al-Qur’an dan hadits. Berikut di antaranya:

1. Perempuan Makhluk Mulia

Allah SWT berfirman dalam surah An Nisa ayat 34,

اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاۤءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ وَّبِمَآ اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِمْ ۗ فَالصّٰلِحٰتُ قٰنِتٰتٌ حٰفِظٰتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللّٰهُ ۗوَالّٰتِيْ تَخَافُوْنَ نُشُوْزَهُنَّ فَعِظُوْهُنَّ وَاهْجُرُوْهُنَّ فِى الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّ ۚ فَاِنْ اَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوْا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلًا ۗاِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيْرًا

Artinya: “Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya…”

2. Perempuan Adalah Karunia

Hal ini dijelaskan melalui Al-Qur’an surah An Nahl ayat 72. Allah SWT berfirman,

وَاللّٰهُ جَعَلَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا وَّجَعَلَ لَكُمْ مِّنْ اَزْوَاجِكُمْ بَنِيْنَ وَحَفَدَةً وَّرَزَقَكُمْ مِّنَ الطَّيِّبٰتِۗ اَفَبِالْبَاطِلِ يُؤْمِنُوْنَ وَبِنِعْمَتِ اللّٰهِ هُمْ يَكْفُرُوْنَۙ

Artinya: “Dan Allah menjadikan bagimu pasangan (suami atau istri) dari jenis kamu sendiri dan menjadikan anak dan cucu bagimu dari pasanganmu, serta memberimu rezeki dari yang baik. Mengapa mereka beriman kepada yang batil dan mengingkari nikmat Allah?”

3. Larangan Durhaka kepada Ibu

Rasulullah SAW bersabda,

إِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ عَلَيْكُمْ عُقُوْقَ الأُمَّهَاتِ، وَمَنْع وَهَاتِ، وَوَأْدَ اَلْبَنَاتِ

Artinya: “Sesungguhnya, Allah mengharamkan atas kalian berbuat durhaka kepada ibu-ibu kalian, mencegah dan meminta, serta mengubur anak perempuan hidup-hidup.”

4. Keutamaan Mengasuh Anak Perempuan

Rasulullah SAW bersabda,

من كان له ثلاث بنات يؤويهن ويكفيهن ويرحمهن فقد وجبت له الجنة البتة فقال رجل من بعض القوم وثنتين يا رسول الله قال وثنتين

Artinya: Barang siapa yang mempunyai tiga orang anak perempuan, dia melindungi, mencukupi, dan menyayanginya, maka wajib baginya surga. Ada yang bertanya; bagaimana kalau dua orang anak wanita wahai Rasululloh? Beliau menjawab; dua anak wanita juga termasuk.” (HR Bukhari)

(dvs/rah)



Sumber : www.detik.com

Apakah Boleh Wanita Bekerja untuk Cari Nafkah?


Jakarta

Kewajiban mencari nafkah untuk keluarga merupakan tanggung jawab suami atau ayah dari anak-anaknya. Lalu, bagaimana jika wanita yang bekerja untuk mencari nafkah?

Mengenai ayah atau laki-laki yang wajib mencari nafkah bagi keluarganya telah diterangkan dalam Al Qur’an. Allah SWT berfirman dalam surah Al Baqarah ayat 233,

…وَعَلَى الْمَوْلُوْدِ لَهٗ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِۗ


Artinya: “…Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut…”

Menurut Tafsir Al-Qur’an Kementerian Agama RI, ayat tersebut menjelaskan setiap ayah berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan para ibu (dari anak-anaknya) baik sandang maupun pangan sesuai kebutuhannya.

Hukum Islam menetapkan nafkah keluarga (istri dan anak) dijamin oleh suami. Meskipun demikian, Islam tidak melarang untuk wanita bekerja untuk mendapatkan harta atau uang.

Dijelaskan dalam buku Istri-Istri Pembawa Rezeki karya Aulia Fadhli, wanita pun dibolehkan untuk berusaha mengembangkan hartanya agar semakin bertambah. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam surah An Nisa ayat 32. Allah SWT berfirman yang artinya,

“… Bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan dan bagi wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan”

Lebih lanjut dijelaskan, sebenarnya wanita tidaklah dituntut atau wajib memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri karena itu sudah merupakan kewajiban ayah atau suaminya. Apalagi seorang wanita memiliki kodrat untuk mengatur urusan rumah tangga.

Hal tersebut turut dijelaskan dalam al-Mawst’at al-Fighiyyah al-Kuwaitiyyah, bahwa tugas mendasar seorang perempuan adalah mengatur urusan rumah, merawat keluarga, mendidik anak, dan berbakti kepada suami.

Nabi SAW bersabda, “Perempuan itu mengatur dan bertanggung jawab atas urusan rumah suaminya.”(HR Bukhari)

Menurut penjelasan dalam Buku Pintar Fikih Wanita karya Abdul Qadir Manshur, pekerjaannya mengurus rumah pahalanya menyamai seorang mujahidin yang berjuang di jalan Allah SWT.

Intinya, Islam membolehkan seorang wanita untuk mencari nafkah. Bahkan setiap apa yang didapatkan oleh wanita dari hasil keringatnya adalah hak perempuan sepenuhnya, dan dia berhak membelanjakannya sesuai dengan keinginannya.

Hanya saja setiap wanita yang bekerja di luar rumah tentu ada kewajiban yang harus dipenuhi seperti tetap bisa menjaga diri dan kehormatannya serta menghindarkan hal-hal yang bisa menjatuhkan dirinya ke dalam fitnah.

Hal-hal yang Harus Diperhatikan Wanita ketika Mencari Nafkah

Aini Aryani dalam bukunya berjudul 32 Hak Finansial Istri dalam Fikih Muslimah, menguraikan hal-hal yang perlu diperhatikan wanita ketika hendak bekerja atau mencari nafkah. Berikut di antaranya:

1. Mendapat Izin Suami

Seorang istri ketika ingin bekerja untuk mencari nafkah, ia harus mendapat izin meminta izin suaminya terlebih dahulu. Apabila suami tidak mengizinkan, istri tidak boleh membantah atau melakukannya.

Hal ini sebagaimana yang diterangkan pada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA, pernah ditanyakan kepada Rasulullah SAW, “Siapakah wanita yang paling baik?” Beliau menjawab, “yang paling menyenangkan jika dilihat suaminya, menaati suami jika diperintah, dan tidak menyelisihi suami pada diri dan hartanya sehingga membuat suami benci.” (HR An-Nasa’i)

2. Tidak Mengabaikan Urusan di Rumah

Seorang istri yang bekerja mencari nafkah, baik dilakukan di rumah maupun yang keluar rumah, harus memastikan bahwa ia telah melaksanakan kewajibannya sebagai seorang istri, terlebih jika telah menjadi ibu.

Meski bekerja, istri tetap harus ingat pada perannya dalam keluarga, jangan lantas mengabaikan kewajiban dan tanggung jawabnya di rumah. Istri harus memastikan suami dan anak-anak tetap terurus, urusan di rumah tetap dijalankan. Sebuah kekeliruan besar ketika istri mementingkan pekerjaan, sementara suami, anak-anak, dan rumahnya terabaikan, karena hal itu dapat mempengaruhi keharmonisan rumah tangga.

3. Menjaga Kehormatan Diri saat Bekerja di Luar Rumah

Seorang wanita wajib untuk menutup aurat, berperilaku sopan, tidak berlebihan dalam berhias dan berpenampilan, serta menjaga diri dari pergaulan yang buruk ketika harus mencari nafkah.

Selesai bekerja, istri hendaknya langsung pulang ke rumah agar bisa segera berkumpul dengan suami dan anak-anak. Hindari berduaan dengan rekan kerja apalagi dengan rekan kerja laki-laki yang bukan mahramnya.

Semua ini untuk menjaga kehormatan diri istri, menghindarkan diri dari godaan fitnah perselingkuhan, dan menjaga kepercayaan suami. Dalam sebuah hadits Nabi SAW bersabda,

“Jika seorang wanita selalu menjaga salat lima waktu, juga berpuasa sebulan (pada bulan Ramadan), serta betul-betul menjaga kehormatan dirinya dan benar-benar taat pada suaminya, dikatakan pada wanita yang memiliki sifat mulia ini, masuklah ke dalam surga melalui pintu mana saja yang engkau suka.” (HR Ahmad)

4. Tidak Menzalimi Siapa Pun

Seorang istri yang bekerja di rumah apalagi keluar rumah, harus memastikan tidak menzalimi seorang pun ketika sedang bekerja. Jika ia punya anak kecil dan dititipkan ke orang tua yang sudah lanjut usia, hendaknya ia tahu bahwa mengurus anak kecil itu menyita waktu dan menguras energi. Maka, sebaiknya seorang istri tidak terlalu lama meninggalkan anak-anak dengan nenek-kakek yang sudah tua.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Mahar Terbaik untuk Pernikahan dalam Islam, Apakah Harus Emas dan Uang?


Jakarta

Mahar atau maskawin merupakan syarat sah nikah yang harus dipenuhi. Lantas, apa mahar paling ideal menurut pandangan Islam?

Menurut Abdul Rahman Ghazaly dalam buku Fiqh Munakahat, mahar secara terminologi ialah “pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon suaminya”.

Islam sangat memuliakan kedudukan seorang wanita dengan memberikan hak untuk menerima mahar. Sebagaimana yang termaktub dalam surah An-Nisa ayat 4 yang berbunyi,


وَاٰتُوا النِّسَاۤءَ صَدُقٰتِهِنَّ نِحْلَةً ۗ فَاِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِّنْهُ نَفْسًا فَكُلُوْهُ هَنِيْۤـًٔا مَّرِيْۤـًٔا ٤

Artinya: “Berikanlah mahar kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari (mahar) itu dengan senang hati, terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati.”

Mengutip buku Hukum Perkawinan karya Tinuk Dwi Cahyani, dijelaskan bahwa pemberian mahar kepada istri ini hukumnya wajib. Apabila seorang suami tidak memberikan mahar kepada istrinya maka tentunya suami berdosa.

Mahar Paling Ideal dalam Pandangan Islam

Dijelaskan dalam buku Panduan Pernikahan Islami karya Yusuf Hidayat, menurut syariat Islam, mahar yang paling ideal ialah yang tidak menyulitkan pernikahan. Artinya, mahar yang diberikan paling ringan dan mudah maharnya dalam pemberiannya.

Bahkan Rasulullah SAW tidak menyukai mahar yang terlalu mewah atau berlebihan. Sebagaimana pesan Nabi SAW yang diriwayatkan dari sahabat Uqbah bin ‘Amir , Rasulullah SAW bersabda :

خيْرُ الصَّدَاقِ أَيْسَرُهَا.

Artinya: “Sebaik-baik mahar adalah yang paling ringan.” (HR Abu Dawud)

Dalam hadits lain, Nabi SAW bersabda :

إِنَّ أَعْظَمَ النِّكَاحِ بَرَكَةً أَيْسَرُهُ مُؤْنَةٌ.

Artinya: “Pernikahan yang paling besar keberkahannya ialah yang paling mudah maharnya” (HR Ahmad)

Mengenai bentuk mahar yang harus diberikan dijelaskan dalam buku Fiqih Munakahat: Hukum Pernikahan Dalam Islam karya Sakban Lubis dkk, sang calon suami dapat memberikan mahar berupa harta benda yang dicintainya serta dapat membahagiakan calon istrinya.

Ada satu kisah ketika Rasulullah SAW ketika menikahkan putrinya Fatimah dengan Ali RA. Diriwayatkan Ibnu Abbas, Rasulullah SAW, berkata kepada Ali. “Berikanlah sesuatu kepada Fatimah.”

Ali menjawab, “Aku tidak mempunyai sesuatu pun, Baginda Rasul.”

Maka Rasulullah bersabda. “Di mana baju besimu? Berikanlah baju besimu itu kepadanya.

Maka Ali pun memberikan baju besi miliknya kepada Fatimah sebagai maharnya. (HR. Abu Dawud dan Nasa’i)

Meski umumnya mahar itu dalam bentuk materi, baik berupa uang atau barang berharga lainnya. Namun syari’at Islam membolehkan memberikan mahar dalam bentuk jasa melakukan sesuatu.

Bahkan pada zaman Rasulullah SAW, hafalan Al-Qur’an dapat dijadikan sebuah mahar. Seperti yang diriwayatkan dari Sahal bin Sa’ad al-Sa’adiy dalam bentuk muttafaq alaih, ujung dari hadits panjang yang dikutip di atas :

Rasulullah SAW bersabda, “Apakah kamu memiliki hafalan ayat-ayat Al-Qur’an?

Lalu, la menjawab : Ya, surat ini dan surat ini, sambil menghitungnya.

Nabi SAW kembali bertanya, “Kamu hafal surat-surat itu di luar kepala?”

Dia menjawab, Ya. Nabi SAW berkata : “Pergilah, saya kawinkan engkau dengan perempuan itu dengan mahar mengajarkan Al-Qur’an”.

Untuk bentuk mahar apa yang ingin diberikan, harus disepakati oleh calon suami dan calon istri. Ini tertuang dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang mengatur mahar, pada pasal 30 dijelaskan bahwa “Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada mempelai wanita yang jumlah, bentuk, dan jenisnya disepakati kedua belah pihak.”

Lalu, untuk mengenai jumlah atau kadar mahar, para ulama berselisih pendapat. Mengutip Jurnal Tahqiqa: Mahar Secara Berhutang dalam Perspektif Hukum Islam, Vol. 16 No. 1, tahun 2022 karya Fajarwati, para fuqaha telah sepakat bahwa bagi mahar itu tidak ada batas tertinggi.

Selisih pendapat terjadi dalam menentukan batas terendahnya. Imam Syafi’i, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur dan fuqaha Madinah dari kalangan tabi’in berpendapat bahwa bagi mahar tidak ada batas terendahnya.

Sementara itu, Imam Malik mengatakan bahwa paling sedikit ialah seperempat dinar emas murni, atau perak seberat tiga dirham dan Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa paling sedikit mahar itu adalah sepuluh dirham.

Wallahua’lam.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

Hukum Dandan Berlebihan Bagi Wanita



Jakarta

Wanita dilarang dalam Islam untuk dandan berlebihan. Karena sejatinya, wanita muslimah tidak boleh memperlihatkan kecantikan mereka.

Bahkan Allah SWT menyuruh para wanita untuk berdiam diri di rumah agar tidak menjadi fitnah. Hal ini sebagaimana yang tercantum dalam surah Al Ahzab ayat 33, Allah SWT berfirman:

وَقَرْنَ فِى بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ ٱلْجَٰهِلِيَّةِ ٱلْأُولَىٰ ۖ وَأَقِمْنَ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتِينَ ٱلزَّكَوٰةَ وَأَطِعْنَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥٓ ۚ إِنَّمَا يُرِيدُ ٱللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ ٱلرِّجْسَ أَهْلَ ٱلْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا


Bacaan latin: Wa qarna fi buyụtikunna wa la tabarrajna tabarrujal-jahiliyyatil-ula wa aqimnaṣ-ṣalata wa atinaz-zakata wa aṭi’nallaha wa rasụlah, innama yuridullahu liyuz-hiba ‘angkumur-rijsa ahlal-baiti wa yuṭahhirakum tat-hira

Artinya: Dan hendaklah kau tetap di rumahmu dan janganlah kau berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud ingin menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.

Ustazah Mamah Dedeh dalam tayangan Assalamualaikum Mamah Dedeh Trans 7 mengatakan, boleh saja bagi seorang wanita keluar rumah asalkan memperhatikan beberapa hal. Salah satunya adalah mereka tidak boleh tabarruj atau memperlihatkan keindahannya kepada laki-laki.

“Perempuan lebih baik tinggal di dalam rumah. Kalau keluar rumah boleh tapi jangan tabarruj. Tabarruj itu dandan berlebihan,” ujar Mamah dedeh.

Selain itu, wanita juga tidak boleh merubah bentuk wajahnya. Contohnya seperti menato alis, memakai bulu mata palsu hingga menyambung rambut.

“Haram hukumnya,” tegas Mamah Dedeh.

Beda halnya dengan perawatan, Islam memperbolehkan wanita melakukan hal tersebut. Selagi tidak merubah sesuatu, Allah masih meridhoinya.

“Kalau perawatan boleh, yang haram yang rubah. Memakai pensil alis boleh asal dipakai sewajarnya,” ungkap Mamah Dedeh.

“Allah berfirman dalam Alquran, merubah yang ada itu haram karena merupakan perbuatan setan. Tapi jika memperbaiki yang rusak diperbolehkan. Misalnya, orang kecelakaan mukanya hancur, dioperasi, itu boleh,” sambungnya.

Begitupun dalam menggunakan perhiasan. Allah SWT tidak menyukai hambanya yang berlebih-lebihan dalam melakukan sesuatu.

Allah SWT berfirman dalam surah Al A’raf ayat 31:

يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

Bacaan latin: yaa banii aadama khudzuu ziinatakum ‘inda kulli masjidin wakuluu waisyrabuu walaa tusrifuu innahu laa yuhibbu almusrifiina

Artinya: Wahai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.

“Rasul juga mengajarkan sebaik-baik urusan adalah yang sedang-sedang saja,” tukas Mamah Dedeh.

(hnh/erd)



Sumber : www.detik.com