Tag Archives: istri

Saat Sayyidah Aisyah Cemburu pada Para Istri Rasulullah SAW



Jakarta

Salah satu istri Rasulullah SAW, Aisyah RA dikenal memiliki sifat pencemburu. Meskipun ia merupakan istri yang paling dicintai Nabi Muhammad SAW, perasaan cemburu tetap muncul ketika Nabi SAW menunjukkan sikap kasih sayang kepada istri-istri beliau yang lain.

Aisyah RA pernah cemburu pada Khadijah RA, istri pertama Nabi SAW. Dikisahkan dalam buku Amazing Stories Kisah Mulia Wanita Surga Ummul Mukminin Aisyah karya W. Sasmita, tahun wafat Khadijah dikenal sebagai ‘Amul Huzn’ atau ‘Tahun Duka Cita’. Hal ini terjadi karena Rasulullah SAW merasa sangat sedih setelah ditinggal istri tercintanya sepanjang tahun itu.

Rasa cemburu Aisyah RA terhadap Khadijah RA muncul ketika Rasulullah SAW mengenang Khadijah RA di hadapannya. Mendengar itu, Aisyah RA berkata, “Seakan tidak ada wanita lain di dunia ini selain Khadijah.”


Rasulullah SAW menjawab, “Khadijah memiliki banyak keutamaan, dan dari dialah aku mendapatkan keturunan.” (HR Bukhari)

Aisyah RA kemudian menceritakan kecemburuannya, “Setiap kali Rasulullah menyebut Khadijah, beliau selalu memujinya. Suatu ketika, aku cemburu dan berkata, ‘Engkau mengingat wanita tua yang ompong itu, padahal Allah telah memberimu pengganti yang lebih baik’.”

Rasulullah SAW menjawab, “Allah tidak memberiku pengganti yang lebih baik daripada Khadijah. Dia beriman kepadaku ketika semua orang mengingkari. Dia mempercayaiku saat semua orang mendustakanku. Dia memberiku harta ketika semua orang enggan memberi. Dan dari dialah Allah memberiku keturunan, sesuatu yang tidak dianugerahkan kepada istri-istri lain.” (HR Ahmad)

Sayyidah Aisyah RA juga pernah cemburu pada istri Rasulullah SAW yang bernama Hafshah RA. Mengutip kisah pada sumber sebelumnya, dalam suatu perjalanan, Rasulullah SAW mengundi istri-istrinya untuk menentukan siapa yang akan menemaninya. Undian jatuh pada Aisyah RA dan Hafshah RA.

Di tengah perjalanan, Rasulullah SAW memilih untuk duduk di samping unta Aisyah RA agar bisa berbincang dengannya. Melihat itu, Hafshah RA mengusulkan agar mereka bertukar unta, dengan Aisyah RA menaiki untanya dan Hafshah RA menaiki unta Aisyah RA, untuk saling membandingkan.

Aisyah RA setuju, dan malam itu, Rasulullah SAW mendekati unta yang dinaiki Hafshah RA. Beliau memberi salam dan melanjutkan perjalanan di samping unta tersebut. Saat mereka berhenti untuk beristirahat, Aisyah RA merasa kehilangan perhatian Rasulullah SAW.

Dalam keputusasaannya, ia pun berdoa, “Ya Rabb, datangkanlah kalajengking atau ular untuk menggigitku. Dia adalah utusan-Mu, dan aku tidak bisa berkata apa-apa padanya.” (HR Bukhari, Muslim, dan Ibnu Majah).

Doa ini menunjukkan betapa besarnya kecemburuan yang dirasakannya.

Masih menukil kisah pada buku Amazing Stories Kisah Mulia Wanita Surga Ummul Mukminin Aisyah, Aisyah RA juga pernah cemburu pada Shafiyyah RA, istri Rasulullah SAW yang berasal dari keluarga Yahudi di Khaibar. Dia adalah putri Huyay bin Ahtab, pemimpin Yahudi bani Nadhir, yang menolak Piagam Madinah. Ayah, suami, dan saudara Shafiyyah terbunuh dalam Perang Khaibar, dan dia kemudian menikah dengan Rasulullah SAW.

Setelah perang, saat rombongan umat Islam memasuki Madinah, unta Rasulullah SAW tergelincir, dan beliau melindungi Shafiyyah RA. Para wanita menyaksikan kejadian tersebut dengan harapan agar Allah SWT menjauhkan Shafiyyah RA dari Rasulullah SAW. (HR Bukhari dan Muslim)

Sebagai tempat tinggal, Rasulullah SAW memilih rumah Haritsah bin Nu’man. Di tempat inilah kabar tentang kecantikan Shafiyyah RA mulai tersebar, membuat banyak wanita, termasuk Aisyah RA, penasaran.

Suatu hari, Rasulullah SAW bertanya kepada Aisyah RA, “Bagaimana menurutmu tentang Shafiyyah?” Aisyah RA menjawab, “Ia hanyalah seorang wanita Yahudi.”

Rasulullah SAW menyanggah, “Jangan berkata begitu, wahai Aisyah! Dia telah memeluk Islam dan menjalankannya dengan baik.”

Meski Aisyah RA merasa cemburu, terutama karena Shafiyyah RA pandai memasak, ia tidak dapat menyembunyikan perasaannya. Aisyah RA mengaku, “Tidak pernah kurasakan masakan selezat masakan Shafiyyah,” dan ketika Shafiyyah RA mengirimkan makanan dalam sebuah bejana, Aisyah RA tidak bisa menahan diri dan memecahkannya.

Rasulullah SAW menegaskan, “Bejana diganti dengan bejana dan makanan diganti dengan makanan.” (HR an-Nasa’i dan Ahmad)

Kecemburuan Aisyah RA tidak berhenti di situ. Suatu ketika, ia merusak mangkuk yang dibawa oleh seorang pelayan untuk Rasulullah SAW. Beliau kemudian mengumpulkan pecahan mangkuk dan mengaturnya untuk makan, lalu mengganti mangkuk yang pecah.

Dalam riwayat lain, Aisyah RA menunjukkan postur tubuh Shafiyyah RA kepada Rasulullah SAW, dan beliau mengingatkan, “Engkau telah melontarkan sebuah kata yang jika dicampurkan ke dalam air laut, akan membuat lautan menjadi keruh.”

Meskipun beberapa kali Aisyah RA cemburu kepada Shafiyyah RA, namun Shafiyyah RA adalah orang yang selalu berdiri di pihak Aisyah RA dalam personal-persoalan lain.

Aisyah RA juga pernah cemburu pada Ummu Salamah RA. Dalam buku Wanita-Wanita yang Diabadikan dalam Al-Qur’an karya Maryam Kinanthi Nareswari, diceritakan bahwa Ummu Salamah RA adalah istri Rasulullah SAW yang paling tua. Rasulullah SAW menunjukkan sikap baik dan hormat kepadanya, yang memicu kecemburuan Aisyah RA. Suatu ketika, Aisyah RA bertanya kepada Rasulullah SAW, “Ke mana saja engkau seharian?”

“Wahai Humaira, saya bersama Salamah,” jawab Rasulullah SAW. Saat Aisyah RA bertanya apakah ia bahagia di rumah Ummu Salamah RA, Rasulullah SAW hanya tersenyum.

Aisyah RA kemudian mengungkapkan perasaannya, “Ya Rasulullah, seandainya kau melepaskan dua peliharaan di sebuah lembah, yang satu kau perhatikan dan yang satu lagi tidak, manakah yang akan kau perhatikan?” Rasulullah SAW menjawab, “Aku tidak melalaikan apa yang belum sempat aku perhatikan.”

Aisyah menambahkan, “Sesungguhnya, aku ini bukan seperti istri-istrimu yang lain. Semuanya pernah bersuami kecuali aku.” Mendengar itu, Rasulullah SAW hanya tersenyum.

Demikian kisah kecemburuan Aisyah RA, istri Rasulullah SAW. Kisah-kisah ini menunjukkan sisi manusiawi Aisyah RA sebagai wanita, dan menggambarkan besarnya cinta Aisyah RA kepada Rasulullah SAW.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Kala Siti Khadijah Menghibur Suami yang Dilanda Kekhawatiran


Jakarta

Siti Khadijah RA dikenal sebagai sosok istri yang penuh cinta dan selalu mendukung Nabi Muhammad SAW, terutama saat Nabi dilanda kekhawatiran besar. Ketika wahyu pertama turun, Nabi Muhammad SAW mengalami kegelisahan yang mendalam dan merasa gentar atas pengalaman spiritual tersebut.

Di tengah situasi inilah, Siti Khadijah RA hadir dengan penuh kasih sayang, menenangkan hati suaminya dengan kata-kata yang penuh keyakinan dan dukungan. Melalui kelembutan dan kebijaksanaannya, Khadijah RA membuktikan bahwa ia bukan hanya istri, tetapi juga sahabat sejati.

Sosok Siti Khadijah Istri Rasulullah SAW

Siti Khadijah RA adalah istri pertama Nabi Muhammad SAW. Beliau menikahi Nabi ketika berusia 40 tahun, sedangkan Nabi Muhammad SAW saat itu berusia 25 tahun. Sebelumnya, Khadijah RA sudah pernah menikah dua kali, yaitu dengan suami pertama yang bernama Aby Halah al-Tamimy dan suami kedua bernama Oteaq Almakzomy seperti yang diungkapkan Rizem Aizid dalam bukunya Sejarah Peradaban Islam Terlengkap. Kedua suaminya tersebut meninggal dunia, sehingga menjadikan Khadijah RA sebagai seorang janda.


Selama 15 tahun sejak pernikahannya dengan Nabi Muhammad SAW, Siti Khadijah RA menyaksikan momen penting dalam hidup Rasulullah SAW. Pada usia 40 tahun, Nabi Muhammad SAW diangkat menjadi Nabi dan Rasul. Siti Khadijah RA mendampingi beliau di masa-masa awal kenabian dengan penuh cinta dan pengorbanan. Khadijah RA wafat pada 621 Masehi–sumber lain menyebut 619 Masehi–yang bertepatan dengan tahun peristiwa Isra Mi’raj Rasulullah SAW, dan meninggalkan kesedihan mendalam bagi Nabi.

Begitu besar rasa cinta Nabi Muhammad SAW kepada Khadijah RA, sehingga selama Khadijah RA hidup, beliau tidak menikah dengan wanita lain. Baru setelah kepergian Khadijah RA, Rasulullah SAW memutuskan untuk menikah lagi. Khadijah RA tidak hanya berperan sebagai istri, tetapi juga sebagai pendukung yang setia di masa-masa sulit, yang selalu menguatkan hati Rasulullah SAW dengan kasih dan keikhlasan.

Kesetiaan Siti Khadijah kepada Suaminya

Kesetiaan Siti Khadijah RA kepada Rasulullah SAW adalah salah satu contoh cinta dan pengabdian yang tulus serta tak tergoyahkan. Sebagai istri pertama Nabi, Khadijah RA selalu mendampingi dan menyokongnya dalam segala hal, baik di saat bahagia maupun sulit.

Dikutip dari buku Ajaibnya Sabar dan Doa Istri karya Ustadz Rusdianto, Siti Khadijah RA tidak pernah menunjukkan keluhan, bahkan ketika tekanan dan cobaan semakin berat dalam perjalanan dakwah Rasulullah SAW. Keikhlasannya dalam mendampingi sang suami membuat Allah SWT kagum dan mencintainya.

Selama perjalanan dakwah, Siti Khadijah RA memainkan peran besar dalam membantu Rasulullah SAW menyebarkan ajaran Islam. Setelah menerima wahyu pertama di Gua Hira, Rasulullah SAW bergegas pulang dalam kondisi cemas dan tubuhnya gemetar.

Menyadari ketakutan yang dirasakan sang suami, Khadijah RA langsung menyambutnya dengan penuh ketenangan, menenangkan hatinya dan memberikan keyakinan dengan berkata, “Bergembiralah, wahai Suamiku. Allah tidak akan membiarkanmu selama-lamanya.” Perkataannya yang lembut dan menenangkan ini membawa kedamaian di hati Nabi SAW yang saat itu penuh kegelisahan.

Tidak berhenti di situ, Siti Khadijah RA juga membawa Nabi Muhammad SAW menemui Waraqah bin Naufal, sepupunya yang dikenal sebagai ahli kitab dan memiliki pengetahuan mendalam tentang agama samawi.

Siti Khadijah RA tidak hanya mendukung Nabi SAW secara emosional, tetapi juga mengorbankan hartanya demi keberlangsungan dakwah Islam. Kedermawanan Khadijah RA begitu besar hingga Nabi Muhammad SAW sendiri mengakui dalam sebuah pujiannya, “Siti Khadijah beriman kepadaku saat orang-orang mengingkariku. Ia membenarkanku ketika orang-orang mendustakanku. Dan ia memberikan hartanya untukku saat tidak ada yang peduli.”

Khadijah RA selalu menjadi sosok yang dapat diandalkan dan menjadi “air kesejukan” bagi Rasulullah SAW di setiap masa sulit. Dengan kesetiaan yang tak pernah luntur, Khadijah RA setia berada di sisi Nabi SAW hingga akhir hayatnya. Kesetiaannya tidak hanya ucapan, tetapi diwujudkan dalam setiap tindakan, mulai dari memberikan dukungan emosional hingga pengorbanan materi.

Siti Khadijah RA tidak pernah menunjukkan rasa penyesalan atau keraguan sedikit pun dalam mengorbankan dirinya untuk Islam. Ia tetap tegar, tulus, dan penuh cinta, yang membuat Rasulullah SAW menghormatinya seumur hidupnya.

Siti Khadijah RA tidak hanya dicintai oleh Nabi SAW sebagai seorang istri, tetapi juga dihormati sebagai sosok yang berjasa besar dalam awal perjalanan dakwah Islam. Maka, tidak heran jika Allah SWT dan Rasulullah SAW begitu mencintai dan mengenang Siti Khadijah RA sebagai wanita istimewa dan teladan bagi seluruh umat Islam.

Keistimewaan Siti Khadijah

Siti Khadijah RA adalah wanita yang memiliki tempat istimewa di hati Nabi Muhammad SAW dan di hadapan Allah SWT. Sebagai istri yang setia, ia menjadi pendamping Nabi SAW dalam suka dan duka, memberikan dukungan penuh dalam berbagai ujian dan perjuangan yang dihadapi Rasulullah SAW.

Keteguhan dan keimanan Siti Khadijah RA tercermin dalam segala bentuk dukungannya. Ketika Nabi Muhammad SAW menghadapi situasi sulit atau merasa tertekan, Siti Khadijah RA menjadi sosok yang menenangkan beliau. Ia adalah contoh teladan seorang istri salihah yang mendampingi suami dengan cinta dan penuh keyakinan.

Keistimewaan Siti Khadijah RA juga tampak dalam penghormatan yang diberikan Allah SWT kepadanya. Dalam sebuah riwayat dari Anas RA, ketika Malaikat Jibril mendatangi Nabi yang sedang bersama Siti Khadijah RA, Jibril menyampaikan salam dari Allah SWT untuk Siti Khadijah RA.

Jibril berkata, “Sesungguhnya Allah SWT menyampaikan salam kepada Siti Khadijah.” Mendengar itu, Siti Khadijah RA menjawab dengan penuh rasa syukur, “Sesungguhnya, Allah-lah As-Salaam (Maha Pemberi Kesejahteraan). Sebaliknya, kuucapkan salam kepadamu. Semoga Allah SWT melimpahkan kesejahteraan, rahmat, dan berkah-Nya kepadamu.”

Salam dari Allah SWT ini menandakan betapa tinggi derajat Siti Khadijah RA di hadapan-Nya. Rasulullah SAW pernah bersabda bahwa Siti Khadijah RA adalah salah satu dari empat wanita penghuni surga yang paling mulia. Ia merupakan wanita yang teramat istimewa dan dijamin sebagai penghuni surga, sebuah kehormatan yang hanya diberikan kepada hamba-hamba pilihan Allah SWT.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Begini Menjadi Istri Idaman Suami Menurut Islam



Jakarta

Peran istri dalam rumah tangga memang sangat penting. Salah satu yang tak kalah penting adalah melahirkan anak-anak yang berkualitas, saleh dan salehah. Jika seorang istri sudah dapat mendidik anaknya dalam hal agama dan perilaku tentunya ia juga mampu menuntun suaminya sukses dalam kehidupan pribadi ataupun karier.

Rasulullah SAW bersabda, “Perempuan (istri) adalah penanggung jawab dalam rumah tangga suaminya dan anak-anaknya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Atiqah Hamid dalam buku Ragam Tips dan Amalan Istri Disenangi dan Dihargai Suami adalah perempuan yang bertakwa di mata Allah SWT. Maksud dari bertakwa di sini adalah mengerjakan apa yang diperintahkan oleh Allah SWT dengan sepenuh hati dan meninggalkan segala yang dilarang oleh Allah SWT. Oleh karena itu, istri harus mampu menjalankan perannya secara baik dengan melaksanakan kewajibannya sebagai istri sesuai dengan ajaran agama Islam.


Kehadiran istri juga harus bisa membuat suasana rumah layaknya surga, aman dan nyaman. “Istri yang ideal adalah istri yang benar dalam akidah, sederhana, sabar, setia, menjaga kehormatannya, mempertahankan rumah tangganya dalam waktu susah dan senang serta mengajak keluarganya memuji Allah SWT.

Allah SWT berfirman dalam surah An-Nisa ayat 32:

وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللّٰهُ بِهٖ بَعْضَكُمْ عَلٰى بَعْضٍ ۗ لِلرِّجَالِ نَصِيْبٌ مِّمَّا اكْتَسَبُوْا ۗ وَلِلنِّسَاۤءِ نَصِيْبٌ مِّمَّا اكْتَسَبْنَ ۗوَسْـَٔلُوا اللّٰهَ مِنْ فَضْلِهٖ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمًا ٣٢

Artinya: “Janganlah kamu berangan-angan (iri hati) terhadap apa yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain. Bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

Ciri-ciri Istri Salehah dalam Islam

Rizem Aizid dalam buku Ajak Aku ke Surga Ibu disebutkan ciri-ciri istri salehah dalam Islam, disebutkan.

1. Taat dan Bertakwa kepada Allah SWT

Allah SWT memerintahkan para istri yaitu dengan menaati perintah suaminya dan menjaga anak dari api neraka.

2. Rajin Mengaji dan Mengkaji Al-Qur’an

Istri salehah yang taat dan bertakwa kepada Allah SWT, tentunya senantiasa membaca Al-Qur’an, mengkaji, dan mengamalkan isi kandungannya. Dengan bekal kemampuan ini, istri salehah akan mampu menjaga anaknya dari api neraka.

3. Selalu Menjaga Aib Suami

Menjaga aib suami dijelaskan dalam sebuah riwayat dari Asma binti Yazid RA, ia pernah berada di sisi Rasulullah SAW ketika kaum lelaki dan wanita juga sedang duduk. Rasulullah SAW kemudian bertanya, “Barangkali ada seorang suami yang menceritakan apa yang diperbuatnya dengan istrinya (saat berhubungan intim), dan barangkali ada seorang istri yang mengabarkan apa yang diperbuatnya bersama suaminya?” Maka semua orang yang ada di sana diam, tidak menjawab.

Kemudian Asma binti Yazid RA menjawab, “Demi Allah! Wahai Rasulullah, sesungguhnya mereka (para istri) benar-benar melakukannya, demikian pula mereka (para suami). Rasulullah SAW lalu bersabda, “Jangan lagi kalian lakukan, karena yang demikian itu seperti setan jantan yang bertemu dengan setan betina di jalan, kemudian digaulinya sementara manusia menontonnya.” (HR. Ahmad)

4. Sabar dan Mampu Meredam Amarah

Istri salehah mampu meredam dan menahan amarahnya. Seberat apapun cobaan yang datang menerjang selalu diterimanya dengan sabar. Seberapa besar masalah yang menimpa rumah tangganya, ia akan menerimanya dengan penuh kesabaran.

Sebab, istri seperti inilah yang mampu menjaga dan menjauhkan anak dari api neraka. Melalui Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 153, Allah SWT berfirman:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱسْتَعِينُوا۟ بِٱلصَّبْرِ وَٱلصَّلَوٰةِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلصَّٰبِرِينَ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan sholat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah SWT beserta orang-orang yang sabar.” (QS Al-Baqarah: 153).

5. Hanya Berdandan untuk Suami

Wanita salehah hanya berdandan untuk suaminya saja, sebab perbuatan berdandan tidak untuk suami termasuk tabarruj dan warisan orang-orang jahiliyah. Dalam sebuah riwayat, Rasulullah SAW bersabda:

“Maukah aku beritakan kepadamu tentang sebaik-baik perbendaharaan seorang lelaki, yaitu istri salehah yang bisa dipandang akan menyenangkannya, bila diperintah akan mentaatinya dan bila ia pergi akan menjaga dirinya.” (HR Abu Dawud).

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

Kapan Istri Boleh Minta Cerai Menurut Islam?


Jakarta

Perceraian dalam Islam tergolong sebagai hal yang dihalalkan namun dibenci oleh Allah SWT. Istri boleh meminta cerai kepada suami apabila ia melakukan hal-hal ini. Apa saja?

Dikutip dari buku Bulughul Maram & Dalil-Dalil Hukum: Panduan Hidup Sesuai Tuntunan Rasulullah SAW dalam Ibadah, Muamalah, dan Akhlak oleh Ibnu Hajar, dijelaskan bahwa perceraian memang sebuah perkara yang halal, namun Allah SWT sangat membencinya.

Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah SAW,


عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ أَبْغَضُ الْحَلَالِ عِنْدَ اللَّهِ الطَّلَاقُ. رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَابْنُ مَاجَهِ وَصَحَّحَهُ الْحَاكِمُ وَرَبَّحَ أَبُو حَاتِمٍ إِرْسَالَهُ

1098. Dari Ibnu Umar radhiyallaahu ‘anhuma bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Perbuatan halal yang paling dibenci Allah ialah cerai.” (HR Abu Dawud dan Ibnu Majah. Hadits ini shahih menurut al-Hakim. Abu Hatim menilainya hadits mursal)

Cerai merupakan jalan keluar terakhir dan yang paling baik dihindari apabila terjadi sebuah kerusuhan dalam rumah tangga. Cara ini boleh ditempuh ketika semua bentuk pendekatan dan percobaan penyelesaian masalah sudah dilakukan.

Namun, tentu saja semua orang menginginkan rumah tangga yang baik dan bahagia. Tak jarang, di dalam rumah tangga seorang istri tidak merasa bahagia dan malah mendapat kekerasan.

Oleh karena itu, perceraian dalam Islam tidak hanya bisa dilakukan oleh suami. Namun, istri juga mendapat hak yang sama untuk meminta perceraian ketika terjadi sesuatu pada diri dan rumah tangganya.

Terdapat beberapa alasan yang membolehkan istri untuk meminta perceraian suami. Dengan catatan dirinya tidak meminta cerai karena alasan-alasan yang tidak jelas atau dibenarkan agama.

Masykur Arif Rahman dalam Dosa-Dosa Istri yang Paling Dibenci Allah Sejak Malam Pertama menyebutkan bahwa istri yang tidak memiliki alasan yang sah secara syariat, akan mendapat dosa bila ia mengajak bercerai.

Rasulullah SAW bersabda, “Siapa saja wanita yang minta diceraikan oleh suaminya tanpa alasan yang sah maka haram baginya wangi surga.” (HR Ahmad)

Adapun alasan-alasan yang membolehkan perceraian dalam Islam dari sisi istri adalah sebagaimana berikut ini.

5 Alasan Istri Halal Minta Cerai

1. Tidak Mendapat Nafkah dari Suami

Alasan istri boleh minta perceraian dalam Islam yang pertama adalah karena suami tidak menafkahi istri dan ia tidak merelakannya. Namun, jika istri mengerti kondisi suami yang memang tidak bisa menafkahi dan rela berkorban kepadanya, maka tidak perlu bercerai.

2. Tidak Mampu Menahan Syahwat

Alasan istri boleh minta perceraian dalam Islam yang kedua adalah karena ia tidak kuat menahan syahwat, sedangkan suaminya tidak bisa memenuhi hasrat tersebut. Sehingga, daripada memilih berzina, lebih baik bercerai.

Namun, apabila istri rela tidak mendapat kebutuhan biologis itu, maka terhapuslah alasan baginya untuk minta cerai.

Istri boleh minta cerai suami apabila ia tidak dapat memenuhi kewajiban-kewajiban suami karena benci atau lain-lain. Daripada selalu bertengkar, lebih baik bercerai sebab berpotensi menambah keburukan.

4. Suami Berakhlak Buruk

Keempat, alasan istri halal meminta perceraian dalam Islam yakni ketika suami mempunyai kepribadian dan akhlak yang buruk, yang tidak sesuai dengan ajaran agama.

Misalnya ketika istri merupakan seorang yang salihah, sedangkan suaminya sering meninggalkan salat, tidak berpuasa, sering berbohong, durhaka kepada orang tua, mabuk, berjudi, dan melakukan perbuatan tercela lainnya, maka istri boleh meminta cerai kepada suami.

Sebab, pada dasarnya, wanita salihah adalah untuk suami yang salihah juga. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT dalam surah An-Nur ayat 26 yang berbunyi,

اَلْخَبِيْثٰتُ لِلْخَبِيْثِيْنَ وَالْخَبِيْثُوْنَ لِلْخَبِيْثٰتِۚ وَالطَّيِّبٰتُ لِلطَّيِّبِيْنَ وَالطَّيِّبُوْنَ لِلطَّيِّبٰتِۚ اُولٰۤىِٕكَ مُبَرَّءُوْنَ مِمَّا يَقُوْلُوْنَۗ لَهُمْ مَّغْفِرَةٌ وَّرِزْقٌ كَرِيْمٌ ࣖ ٢٦

Artinya: “Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji dan laki-laki yang keji untuk perempuan-perempuan yang keji (pula), sedangkan perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik (pula). Mereka (yang baik) itu bersih dari apa yang dituduhkan orang. Bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia.”

5. Suami Berlaku Kasar

Alasan istri halal minta perceraian dalam Islam yang terakhir adalah karena suami berlaku buruk, kasar, dan keras terhadap istri.

Contohnya adalah suami selalu memukul, memaki, main tangan, tidak mau memuaskan istri dalam berhubungan badan, menyuruh kerja berat, dan lain sebagainya.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

Ada Satu Kesalahan Suami Kepada Istri yang Tidak Bisa Dimaafkan dalam Islam



Jakarta

Dalam berumah tangga, di antara pasangan tentu banyak terjadi masalah, ketidakcocokan, dan tantangan. Namun terdapat sebuah kesalahan suami yang tidak bisa dimaafkan dalam Islam. Apakah kesalahan fatal itu?

Manusia adalah tempatnya salah dan dosa. Kita sering membuat kesalahan kepada orang lain, baik disengaja maupun tidak sengaja. Oleh karena itu, Allah SWT memerintahkan kita untuk saling maaf memaafkan.

Begitu pula di dalam kehidupan rumah tangga. Tak jarang suami dan istri mengalami pertengkaran karena kesalahan-kesalahan kecil yang dilakukan satu sama lain.


Jika kesalahan kecil seperti lupa menaruh handuk, tidak merapikan sepatu, atau pergi tanpa berpamitan mungkin bisa dimaafkan oleh istri. Ternyata ada sebuah kesalahan suami yang tidak bisa dimaafkan dalam Islam. Apa itu?

Kesalahan Suami yang Tidak Bisa Dimaafkan dalam Islam

Kesalahan suami yang tidak bisa dimaafkan dalam Islam adalah menuduh istri melakukan perbuatan zina dengan laki-laki lain. Akibat dari kesalahan ini bisa saja hukuman rajam bagi istri atau cerai untuk selama-lamanya.

Dikutip dari buku Fiqh Keluarga Terlengkap oleh Rizem Aizid, menuduh istri berzina dengan lelaki lain tanpa adanya bukti yang jelas hukumnya haram dan dosa besar. Perkara ini termasuk dalam kesalahan suami yang tidak bisa dimaafkan dalam Islam.

Tuduhan zina itu sangat fatal jika sang istri ternyata tidak melakukannya dan merupakan wanita salihah baik-baik. Allah SWT berfirman dalam surah An-Nur ayat 4-5 yang berbunyi,

وَالَّذِيْنَ يَرْمُوْنَ الْمُحْصَنٰتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوْا بِاَرْبَعَةِ شُهَدَاۤءَ فَاجْلِدُوْهُمْ ثَمٰنِيْنَ جَلْدَةً وَّلَا تَقْبَلُوْا لَهُمْ شَهَادَةً اَبَدًاۚ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْفٰسِقُوْنَ ۙ(4) اِلَّا الَّذِيْنَ تَابُوْا مِنْۢ بَعْدِ ذٰلِكَ وَاَصْلَحُوْاۚ فَاِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ (5)

Artinya: Orang-orang yang menuduh (berzina terhadap) perempuan yang baik-baik dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (para penuduh itu) delapan puluh kali dan janganlah kamu menerima kesaksian mereka untuk selama-lamanya. Mereka itulah orang-orang yang fasik, kecuali mereka yang bertobat setelah itu dan memperbaiki (dirinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Rasulullah SAW menggolongkan suami yang menuduh istrinya berbuat zina, padahal tidak demikian, ke dalam hal-hal yang membinasakan. Beliau bersabda,

“Hindarilah oleh kalian tujuh hal yang membinasakan. Ada yang bertanya, ‘Apakah tujuh hal itu wahai Rasulullah SAW?’ beliau menjawab, ‘Menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah SWT, kecuali dengan alasan yang benar, memakan riba, memakan harta anak yatim, kabur dari medan perang, dan menuduh zina terhadap wanita suci yang sudah menikah dan lengah.'” (HR Bukhari dan Muslim)

Ada dua kemungkinan yang terjadi atas tuduhan suami terhadap istri yang berzina. Pertama, apabila memang terbukti istri melakukan perbuatan keji tersebut, maka istri harus menerima had (hukuman) berupa rajam.

Sementara itu, apabila tuduhan zina kepada istri tersebut tidak benar, maka kedua pasangan dijatuhi hukuman li’an atau perceraian yang tidak boleh rujuk kembali selama-lamanya.

Maulana Muhammad Ali dalam Islamologi: Panduan Lengkap Memahami Sumber Ajaran Islam, Rukun Iman, Hukum, & Syariat Islam menjelaskan bahwa li’an adalah bentuk perceraian antara suami dan istri yang disebabkan karena suami menuduh istri berbuat zina, sedangkan ia tidak memiliki bukti, dan istri menolak tuduhan tersebut.

Akibat dari li’an sudah dijelaskan dalam buku Hukum Keluarga Islam di Indonesia oleh Ansari. Akibatnya adalah perceraian antara suami istri. Bagi suami, istrinya menjadi haram untuk selamanya.

Ia tidak boleh rujuk ataupun menikah lagi dengan akad baru. Bila istrinya melahirkan, anak yang dikandungnya tidak bisa diakui dalam keturunan suaminya.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

Surat An Nisa Ayat 3 Jelaskan Soal Tanggung Jawab dalam Berpoligami


Jakarta

Surah An Nisa adalah salah satu surah yang termaktub dalam Al-Qur’an. Surah An Nisa merupakan surah keempat.

Surah An Nisa memiliki arti “Wanita”. Surah ini terdiri dari 176 ayat dan tergolong dalan surah Madaniyah.

Surah An Nisa ayat 3 menceritakan tentang hak dan keadilan untuk perempuan. Berikut bacaan lengkap surah An Nisa ayat 3 beserta tafsir dan asbabun nuzulnya.


Surah An Nisa Ayat 3: Arab, Latin, dan Artinya

وَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تُقْسِطُوْا فِى الْيَتٰمٰى فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِّنَ النِّسَاۤءِ مَثْنٰى وَثُلٰثَ وَرُبٰعَ ۚ فَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تَعْدِلُوْا فَوَاحِدَةً اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ ۗ ذٰلِكَ اَدْنٰٓى اَلَّا تَعُوْلُوْاۗ ٣

Bacaan latin: Wa in khiftum allaa tuqsituu fil yataamaa fankihuu maa taaba lakum minan nisaaa’i masnaa wa sulaasa wa rubaa’a fa’in khiftum allaa ta’diluu fawaahidatan aw maa malakat aimaanukum; zaalika adnaaa allaa ta’uuluu

Artinya: “Jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Akan tetapi, jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, (nikahilah) seorang saja atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat untuk tidak berbuat zalim.”

Tafsir Surah An Nisa Ayat 3

Dirangkum dari kitab Tafsir Ibnu Katsir oleh Abdullah bin Muhammad bin Abdurahman bin Ishaq Al-Sheikh, perempuan yatim yang dimaksud adalah perempuan yatim yang berada pada pemeliharaan walinya yang bergabung dalam hartanya. Sedangkan walinya menyukai harta dan kecantikan perempuan yatim tersebut.

Lalu, walinya ingin menikahinya tanpa berbuat adil dalam maharnya, hingga memberikan mahar yang sama dengan mahar yang diberikan orang lain. Maka, mereka dilarang menikah kecuali mereka berbuat adil kepada wanita tersebut da memberikan mahar terbaik untuk mereka.

Mereka juga diperintahkan untuk menikahi perempuan-perempuan yang mereka sukai selain perempuan yatim itu. Jika mereka suka silahkan dua, jika suka silahkan tiga, dan jika suka silahkan empat.

Namun jika takut memiliki banyak istri dan tidak mampu berbuat adil kepada mereka, maka cukup memiliki satu istri saja atau budak-budak perempuan. Sebab, tidak wajib pembagian giliran pada budak-budak perempuan, namun hal tersebut di anjurkan. Maka tidak mengapa jika dilakukan atau tidak dilakukan.

Asbabun Nuzul Surah An Nisa Ayat 3

Merujuk pada buku Al-Lu’lu’ wa Al-Marjan: Kompilasi Tesaurus Al-Qur’an oleh Brilly El-Rasheed, berdasarkan hadits riwayat Al Bukhari, dari Aisyah RA, surah An Nisa ayat 3 turun karena kasus seorang pria yang menikahi perempuan yatim yang sejak kecil diasuhnya. Namun saat menikahi perempuan yatim tersebut, pria itu tidak memberikan apa-apa, bahkan dia malah menguasai seluruh harta hasil kerjasama dagang dengan perempuan yatim tersebut.

Pelajaran dari Surah An Nisa Ayat 3

Dirangkum dari buku Al-Lubab: Makna, Tujuan, dan Pelajaran dari Surah-surah Al-Qur’an oleh M. Quraish Shihab, berikut beberapa pelajaran yang dapat dipetik dari surah An Nisa ayat 3:

Kewajiban memberi perhatian kepada anak-anak dan kaum lemah. Izin berpoligami tercetus dari kekhawatiran memperlakukan anak-anak yatim secara aniaya dan izin tersebut bukannya tanpa syarat. Poligami bukanlah anjuran, namun hanya jalan keluar dalam menghadapi hal-hal yang sulit.

Harus memperhatikan kemampuan ekonomi serta mengatur jarak kelahiran anak sebelum menikah.

Menikahi “apa yang disenangi”, bukan “siapa yang disenangi” memberikan isyarat bahwa perhatian mencari jodoh hendaknya tertuju kepada sifat-sifat pasangan, bukan kepada keturunan, kecantikan, atau hartanya.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

Larangan Menyakiti Hati Perempuan, Termasuk Istri dan Ibu


Jakarta

Hukum menyakiti hati perempuan adalah dosa dalam Islam. Islam sangat menjunjung tinggi kemuliaan seorang perempuan.

Perempuan adalah sosok istimewa yang diibaratkan layaknya perhiasan. Saking istimewanya seorang perempuan, hingga Allah SWT mengabadikannya dalam sebuah surat An-Nisa yang artinya perempuan.

Islam tidak pernah mengajarkan umatnya untuk berbuat kasar terhadap perempuan. Sebab perempuan memiliki hati yang lembut dan mudah tersentuh.


Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda,

“Berbuat baiklah kepada wanita, karena sesungguhnya mereka diciptakan dari tulang rusuk, dan tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atas. Maka, perlakukanlah para wanita dengan baik. (HR al-Bukhari)

Mengutip Kemuliaan Perempuan dalam Islam oleh Prof. Dr. Musdah Mulia, M.Ag., Islam menentang budaya jahiliyah yang merendahkan perempuan. Secara mendasar, Islam memperkenalkan kepada masyarakat dunia tentang pentingnya mengangkat harkat dan martabat perempuan sebagai manusia yang posisinya setara dengan laki-laki.

Selain itu kedudukan perempuan dan laki-laki dihadapan Allah SWT sama. Sama-sama hamba Allah SWT. Hal yang membedakan keduanya hanya ketakwaan mereka, sebagaimana yang dijelaskan dalam surat Al-Hujurat ayat 13:

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ

Artinya: “Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan. Kemudian Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahateliti.”

Dalil Larangan Menyakiti Hati Perempuan

Dalam Al-Qur’an banyak dijelaskan mengenai larangan menyakiti hati perempuan. Artinya, jika masih ada orang yang menyakiti hati perempuan, ia bukanlah orang yang beriman.

1. Dalil Larangan Menyakiti Hati Ibu

Di surat Al-Isra’ ayat 23, secara jelas adanya larangan menyakiti hati seorang ibu. Ayat tersebut tertulis sebagai berikut:

وَقَضٰى رَبُّكَ اَلَّا تَعْبُدُوْٓا اِلَّآ اِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسٰنًاۗ اِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ اَحَدُهُمَآ اَوْ كِلٰهُمَا فَلَا تَقُلْ لَّهُمَآ اُفٍّ وَّلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيْمًا

Artinya : Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya mencapai usia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya. Ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik. (QS. Al-Isra : 23)

2. Dalil Larangan Menyakiti Hati Istri

Dalam Al-Qur’an juga membahas mengenai larangan menyakiti hati seorang istri. Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 34 yang berbunyi sebagai berikut:

اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاۤءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ وَّبِمَآ اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِمْ ۗ فَالصّٰلِحٰتُ قٰنِتٰتٌ حٰفِظٰتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللّٰهُ ۗ وَالّٰتِيْ تَخَافُوْنَ نُشُوْزَهُنَّ فَعِظُوْهُنَّ وَاهْجُرُوْهُنَّ فِى الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّ ۚ فَاِنْ اَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوْا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلًا ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيْرًا

Artinya : Laki-laki (suami) adalah pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) memberikan nafkah dari hartanya. Maka, perempuan-perempuan yang saleh adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika suaminya tidak ada, karena Allah telah menjaga mereka. Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, pisahkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Mahatinggi, Mahabesar (QS. An-Nisa : 34)

3. Dalil Larangan Menyakiti Hati Wanita Secara Umum

Yang terakhir adalah dalil menyakiti hati wanita secara umum. Larangan tersebut tertulis dalam surat Al-Baqarah ayat 83 yang berbunyi:

وَاِذْ اَخَذْنَا مِيْثَاقَ بَنِيْٓ اِسْرَاۤءِيْلَ لَا تَعْبُدُوْنَ اِلَّا اللّٰهَ وَبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسَانًا وَّذِى الْقُرْبٰى وَالْيَتٰمٰى وَالْمَسٰكِيْنِ وَقُوْلُوْا لِلنَّاسِ حُسْنًا وَّاَقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتُوا الزَّكٰوةَۗ ثُمَّ تَوَلَّيْتُمْ اِلَّا قَلِيْلًا مِّنْكُمْ وَاَنْتُمْ مُّعْرِضُوْنَ

Artinya : DDan (ingatlah) ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil, “Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin. Bertuturkatalah yang baik kepada manusia, laksanakanlah salat, dan tunaikanlah zakat.” Tetapi kemudian kamu berpaling (mengingkari), kecuali sebagian kecil dari kamu, dan kamu masih tetap menjadi pembangkang. (QS. Al-Baqarah : 83)

(hnh/lus)



Sumber : www.detik.com

Saat Keturunan Pemimpin Yahudi Jadi Istri Rasulullah SAW


Jakarta

Rasulullah SAW memiliki sejumlah istri usai Sayyidah Khadijah wafat. Beliau pernah menikahi wanita keturunan Yahudi bernama Shafiyah binti Huyay Al-Akhthab.

Shafiyah adalah putri pemimpin Yahudi yang tewas dalam Perang Khaibar, Huyay Al-Akhtab. Al-Akhthab adalah musuh Nabi SAW.

Pernikahan Rasulullah dengan Shafiyah binti Huyay

Kisah pernikahan Rasulullah SAW dengan Shafiyah binti Huyay bermula dari Perang Khaibar. Diceritakan dalam Sirah Nabawiyah karya Ali Muhammad Ash-Shallabi yang diterjemahkan Faesal Saleh dkk, saat kaum muslimin menaklukkan Qamus, benteng milik bani Abu Haqiq, salah seorang wanita yang menjadi tawanan mereka adalah Shafiyah binti Huyay.


Shafiyah binti Huyay kemudian diberikan kepada Duhaiyah Al-Kalbi. Salah seorang sahabat mendatangi Rasulullah SAW dan berkata, “Wahai Rasulullah, Shafiyah binti Huyay, pemimpin kaum itu diberikan kepada Duhaiyah, ia tidak pantas untuk siapa pun selain engkau.”

Nabi SAW menilai isyarat sahabat tersebut bagus. Beliau kemudian meminta Duhaiyah untuk mengambil budak yang lain kemudian Rasulullah SAW mengambil Shafiyah dan memerdekakannya.

Kemerdekaan atas Shafiyah binti Huyay itulah yang menjadi mahar Rasulullah SAW. Setelah itu, beliau menikahinya. Pernikahan ini dilakukan usai Shafiyah binti Huyay suci dari haid dan telah masuk Islam.

Menurut Ibnu Qayyim Jauziyah dalam Jami’us Shirah yang diterjemahkan Abdul Rosyad Shiddiq dan Muhammad Muchson Anasy, pernikahan Rasulullah SAW dengan Shafiyah binti Huyay terjadi pada 7 H.

Keutamaan Shafiyah binti Huyay

Mengutip buku Jejak Wakaf Sahabat: Dari Sedekah Jariyah Menuju Wakaf karya Ali Iskandar, Shafiyah binti Huyay tertarik pada hal-hal baru, terutama dalam konteks agama dan Islam.

Ketika ia menjadi istri Nabi, ia dengan antusias mengikuti pengajian dan aktif bertanya tentang ajaran baru yang dianutnya.

Selain itu, Sayyidah Shafiyah juga suka bersedekah. Hal ini dibuktikan ketika dia meyakini sedekah dapat kembali kepada siapa pun yang memanfaatkannya.

Dalam kitab Ahkamul Auquf, Sayyidah Shafiyah mempunyai sebuah rumah, lalu dia mengizinkan rumahnya ditempati oleh bani Abdan. Mereka adalah para tawanan perang untuk sekadar berteduh sesudah bekerja. Padahal sudah menjadi tradisi para tawanan akan bekerja untuk tuannya dan mendapatkan upah seadanya.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Tugas Istri Menurut Islam, Tak Harus Kerjakan Semua Urusan Rumah Tangga?


Jakarta

Tugas istri kadang dikaitkan melakukan semua pekerjaan rumah tangga. Padahal menurut Islam, tugas istri bukanlah seperti itu.

Para ulama dalam sejumlah kitab fikih telah mengulas tugas seorang istri sesuai syariat Islam. Pendapat mereka umumnya menyatakan para wanita tidak diwajibkan untuk melakukan semua pekerjaan rumah tangga.

Mengutip buku Istri Bukan Pembantu karya Ahmad Sarwat, salah satu rujukan yang sering digunakan Mazhab Asy-Syafi’iah adalah Kitab Al-Muhadzdzab karya Asy-Syirazi. Dalam kitab tersebut menyebutkan tentang tidak wajibnya seorang istri khidmat terhadap suaminya dengan lafaz sebagai berikut:


“Tidak wajib atas istri berkhidmat untuk membuat roti, memasak, mencuci dan bentuk khidmat lainnya karena yang ditetapkan (dalam pernikahan) adalah kewajiban untuk memberi pelayanan seksual, sedangkan pelayanan lainnya tidak termasuk kewajiban.”

Mazhab lainnya seperti Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah, Al-Hanabilah dan ditambah Mazhab Adz-Dzahihiri, sepakat mengatakan para istri pada hakikatnya tidak berkewajiban untuk berkhidmat kepada suaminya. Jumhur ulama cenderung sepakat bahwa tugas seorang istri bukan mengerjakan urusan rumah tangga, kalau pun ingin dikerjakan menjadi sebuah ibadah sunnah yang akan menambah nilai pahala baginya.

Lantas apa tugas istri sebenarnya yang dalam Islam? Berikut penjelasan lengkapnya!

Tugas istri dalam Islam tidak semata hanya mengerjakan urusan rumah tangga tapi lebih dari itu. Mengutip buku Jadilah Istri Shalihah oleh Nur Zaim, berikut adalah tugas istri menurut Islam.

1. Jadi Pemimpin di Rumah

Istri memiliki peran sebagai penyeimbang seorang suami yang mungkin tidak sempat mengerjakan urusan rumah tangga karena bekerja. Penting kiranya sebagai suami istri membuat kesepakatan yang bertujuan untuk saling melengkapi kekurangan dan kelebihan masing-masing.

Rasulullah SAW bersabda,

“Suami adalah pimpinan bagi keluarganya, dan ia pasti dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Dan, istri adalah pemimpin rumah tangga suaminya, dan pasti ia dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (HR Bukhari)

Mengamati hadits tersebut, seharusnya pasangan suami istri sadar bahwa setiap orang yang sudah berkeluarga memiliki tugas dalam membangun keluarga yang bahagia. Salah satunya ialah dengan bertanggung jawab menjadi suami atau menjadi istri yang baik sesuai syariat Islam.

2. Mengatur Kebutuhan Rumah Tangga

Bisa dikatakan, mengurus perekonomian keluarga menjadi prioritas utama bagi seorang istri. Dalam hal ini, istri dituntut menjadi pemeran yang baik dan teliti dari skenario kehidupan rumah tangga. Sebab ia harus membahagiakan suaminya dengan cara mengatur kebutuhan rumah tangga dengan baik.

Dalam membangun keluarga yang bahagia dari segi kebutuhan rumah tangga, ada beberapa langkah yang dapat dilakukan sebagai seorang istri. Langkah yang dimaksud adalah dengan merencanakan belanja bulanan dan menghemat pengeluaran untuk beberapa aktivitas.

3. Menghiasi Rumah dengan Penuh Keindahan

Selain untuk berteduh, rumah juga menjadi tempat untuk memadu kasih bagi suami istri. Selain itu, rumah juga menjadi tempat untuk menghilangkan penat seharian beraktivitas.

Hal mendasar yang mesti dilakukan istri untuk menghiasi rumahnya adalah rutin membersihkannya. Rasulullah SAW bersabda,

“Sebagian dari kebahagiaan anak Adam adalah istri shalilah, rumah yang rapih dan kendaraan yang baik.” (HR Dialami)

Adapun cara lain menghiasi rumah dengan melantunkan ayat suci Al-Qur’an. Seperti yang difirmankan Allah, seseorang diharuskan senantiasa membaca Al-Qur’an di dalam rumah agar rumahnya memperoleh syafaat.

Rasulullah SAW bersabda,

“Rumah yang di dalamnya dihiasi alunan bacaan Al-Qur’an akan memancarkan cahaya hingga tidak terlihat oleh para penduduk langit, sebagaimana bintang-bintang memancarkan cahaya yang terlihat oleh penduduk bumi.” (HR. Baihaqi)

4. Ciptakanlah Rumah Tangga Berdasarkan Agama

Dengan menempatkan agama sebagai prioritas utama dalam membangun keluarga bahagia, maka akan diperoleh kebahagian dalam setiap langkah hidup yang dijalani. Sebab, dengan mengutamakan agama, berarti seseorang sudah mengingat Allah SWT, dan barang siapa yang selalu mengingat Allah SWT maka hidupnya akan tenang.

Sebagaimana firman Allah dalam surat Ar-Ra’d ayat 28 sebagai berikut:

الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَتَطْمَىِٕنُّ قُلُوْبُهُمْ بِذِكْرِ اللّٰهِۗ اَلَا بِذِكْرِ اللّٰهِ تَطْمَىِٕنُّ الْقُلُوْبُۗ

Artinya: (Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, bahwa hanya dengan mengingat Allah hati akan selalu tenteram.

5. Rumahmu adalah Surga Terindahmu

Di dalam rumah, suami istri seakan berada di dalam kerajaan kecil yang penuh kebahagiaan bila rumah itu dipenuhi dengan cinta dan kasih sayang. Sebab, mengedepankan kebahagian pasangan, menunjukkan keseriusan dalam membangun keluarga yang bahagia.

Di lain sisi, dengan sikap lembut seorang istri bisa menjadikan rumah layaknya surga untuk suami dan anak-anaknya. Allah SWT berfirman,

“Dan, di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ar-Rum: 21)

(hnh/kri)



Sumber : www.detik.com

Kisah Aisyah Istri Rasulullah SAW dari Lahir hingga Wafat


Jakarta

Aisyah RA adalah istri Rasulullah SAW. Usianya saat menikah dengan nabi cukup terbilang muda.

Menurut sebuah hadits, Aisyah RA dinikahi Rasulullah SAW saat berusia 6 tahun. Diriwayatkan dari Hisyam bin Urwah dari Aisyah RA berkata:

“Nabi SAW menikahiku ketika aku masih berusia enam tahun. Kami berangkat ke Madinah. Kami tinggal di tempat bani Haris bin Khajraj. Kemudian aku terserang penyakit demam panas yang membuat rambutku banyak yang rontok.


Kemudian ibuku, Ummu Ruman, datang ketika aku sedang bermain-main dengan beberapa orang temanku. Dia memanggilku, dan aku memenuhi panggilannya, sementara aku belum tahu apa maksudnya memanggilku.

Dia menggandeng tanganku hingga sampai ke pintu sebuah rumah. Aku merasa bingung dan hatiku berdebar-debar. Setelah perasaanku agak tenang, ibuku mengambil sedikit air, lalu menyeka muka dan kepalaku dengan air tersebut, kemudian ibuku membawaku masuk ke dalam rumah itu. Ternyata di dalam rumah itu sudah menunggu beberapa orang wanita Anshar. Mereka menyambutku seraya berkata: ‘Selamat, semoga kamu mendapat berkah dan keberuntungan besar:’

Lalu ibuku menyerahkanku kepada mereka. Mereka lantas merapikan dan mendandani diriku. Tidak ada yang membuatku kaget selain kedatangan Rasulullah SAW. Ibuku langsung menyerahkanku kepada beliau, sedangkan aku ketika itu baru berusia sembilan tahun.” (HR Bukhari)

Sirah Aisyah RA

Dijelaskan dalam Sirah Aisyah Ummil Mukminin karya Sulaiman An-Nadawi yang diterjemahkan Iman Firdaus, Aisyah mempunyai gelar Ash-Shiddiqah sering dipanggil Ummul Mukminin, dan nama keluarganya adalah Ummu Abdullah, Rasulullah suka memanggilnya Humairah, atau binti Ash-Shiddiq.

Ayah Aisyah bernama Abdullah, dijuluki Abu Bakar yang memiliki gelar Ash-Shiddiq, sedangkan ibunya bernama Ummu Ruman yang berasal dari suku Quraisy kabilah Taimi.

Menurut buku ini, moyang Aisyah bertemu dengan moyang Rasulullah SAW di kakek ketujuh, sedangkan moyang kakek dari pihak ibunya dari kakek kesebelas atau dua belas.

Kelahiran Aisyah

Sebelum menikah dengan Abu Bakar, Ummu Ruman merupakan istri Abdullah bin al-Harits al-Azadi, setelah Abdullah bin Al-Harits meninggal barulah Ummu Ruman menikah dengan Abu Bakar.

Pernikahan mereka berdua dikaruniai dua anak, yakni Abdullah dan Aisyah. Beberapa pengarang kitab sirah dan mengutip pendapat Ibnu Sa’ad dalam bukunya, Thabaqat menyatakan, “Kelahiran Aisyah terjadi pada awal tahun ke-4 kenabian. Pada tahun kesepuluh kenabian, Rasulullah menikahinya saat ia berumur enam tahun.”

Pernikahan Aisyah RA dengan Rasulullah SAW

Kisah pernikahan Aisyah RA dengan Rasulullah SAW diceritakan dalam Aisyah Ummul Mu’minin, Ayyamuha Wa Siratuha Al-Kamilah Fi Shafahat karya Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi yang diterjemahkan Masturi Irham dan Arif Khoiruddin.

Awal mula Nabi Muhammad SAW melamar Aisyah RA karena sebuah wahyu yang diturunkan kepada beliau. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dalam kitab Shahih-nya dari Aisyah RA, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda,

أُرِيتُكِ فِي الْمَنَامِ ثَلَاثَ لَيَالٍ، جَاءَنِي بِكِ الْمَلَكُ فِي سَرَقَةٍ مِنْ حَرِيرٍ، فَيَقُولُ : هَذِهِ امْرَأَتُكَ، فَأَكْشِفُ عَنْ وَجْهِكَ فَإِذَا أَنْتِ هِيَ، فَأَقُولُ : إِنْ يَكُ هَذَا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ يُمْضِهِ

Artinya: “Aku diperlihatkan dirimu dalam mimpi selama tiga malam. Malaikat datang kepadaku membawamu dengan mengenakan pakaian sutera terbaik. Malaikat itu berkata, “Ini adalah istrimu.” Lalu aku singkap penutup wajahmu, ternyata itu adalah dirimu. Lalu aku bergumam, “Seandainya mimpi ini datangnya dari Allah, pasti Dia akan menjadikannya nyata.”

Khaulan binti Hakim mendatangi Rasulullah SAW sesudah Khadijah RA wafat dan berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah SAW, tidakkah engkau ingin menikah lagi?”

Beliau bersabda, “Dengan siapa?” ia menjawab, “Jika engkau mau dengan seorang gadis, dan jika engkau mau dengan seorang janda.”

Lalu beliau bersabda, “Siapa yang gadis dan siapa yang janda?” Ia kembali menjawab, “Adapun yang gadis adalah putri dari makhluk Allah Subhanahu wa Ta’ala yang paling engkau cintai, yaitu Aisyah Radhiyallahu Anha. Adapun yang janda adalah Saudah binti Zam’ah RA; ia telah beriman kepadamu dan menjadi pengikutmu.”

Beliau bersabda, “Pergilah dan ceritakanlah keduanya kepadaku.” Kemudian Khaulah pergi dan masuk ke rumah Abu Bakar RA.

Di situ ia menemui Ummu Ruman, dan berkata, “Kebaikan dan keberkahan apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala masukkan kepada kalian?”

Ummu Ruman bertanya, “Apa maksudnya?” la menjawab, “Rasulullah SAW mengutusku untuk meminangkan Aisyah.” Ummu Ruman berkata, “Aku lebih suka jika kamu menunggu Abu Bakar RAdatang.”

Lalu Abu Bakar RA pun datang, dan Khaulah menceritakan hal tersebut kepadanya, lalu Abu Bakar RA berkata, “Apakah ia (Aisyah) boleh untuk beliau, karena ia adalah putri saudaranya?”

Kemudian Khaulah kembali dan menceritakan hal itu kepada Rasulullah SAW, lalu beliau bersabda, “Katakan padanya, “Aku dan kamu adalah saudara dalam Islam, dan putrimu halal (boleh) untukku.”

Lalu Abu Bakar RA datang dan menikahkan Aisyah RA dengan beliau, yang saat itu Aisyah RA berusia enam tahun.

Pernikahan Nabi Muhammad SAW dengan Aisyah RA hanyalah sebatas kihtbah/ akad saja. Rasulullah SAW belum menggauli dan membina rumah tangga dengannya, hingga hijrah ke Madinah.

Wafatnya Aisyah RA

Menurut Siiratus Sayyidah Aisyah Ummul Mu’miniina RA karya Sayyid Sulaiman an-Nadwi yang diterjemahkan Abu Vihraza, Aisyah RA wafat pada usia 67 tahun. Saat itu beliau mengalami sakit di bulan Ramadan pada 58 Hijriah, bertepatan dengan akhir pemerintahan Muawiyah RA.

Keutamaan Aisyah RA

Aisyah RA adalah wanita mulia yang memiliki sejumlah keutamaan. Mengutip buku The Golden Stories of Ummahatul Mukminin karya Ukasyah Habibu Ahmad, berikut tiga di antaranya.

1. Memiliki Derajat yang Tinggi di Mata Allah SWT

Aisyah RA istri Rasulullah SAW adalah wanita yang memiliki derajat tinggi di mata Allah SWT. Dalam hadits dikatakan, “Keutamaan Aisyah atas wanita-wanita lain adalah seperti keutamaan tsarid atas makanan-makanan yang lain.” (HR Bukhari)

Menurut kitab Al-Lu’lu wal Marjan karya Muhammad Faud Abdul Baqi, maksud tsarid adalah makanan utama masyarakat Arab saat itu, berbentuk seperti bubur daging yang mempunyai gizi lengkap, lezat, dan mudah dikonsumsi.

2. Wanita Cantik dan Cerdas

Aisyah RA juga dikenal dengan parasnya yang cantik. Selain cantik, ia juga dikenal cerdas dan berwawasan luas karena belajar langsung kepada Rasulullah SAW.

3. Aisyah Tempat Bertanya Umat Islam

Sesudah wafatnya Nabi Muhammad SAW, para sahabat sering meminta pendapat kepada Aisyah RA, ketika mereka menemui permasalahan yang sulit diselesaikan.

Demikianlah pembahasan mengenai Aisyah istri Rasulullah SAW mulai dari kelahirannya hingga wafat. Semoga Allah SWT senantiasa merahmatinya.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com