Tag Archives: jembrana

Bali Genjot 3 Destinasi Wisata Baru



Denpasar

Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali membeberkan tiga destinasi wisata baru yang dibangun untuk pemerataan ekonomi.

Tiga destinasi tersebut adalah kawasan Turyapada Tower di Buleleng, Pusat Kebudayaan Bali (PKB) di Klungkung, dan Taman Wisata KBS Park di Jembrana.

Kepala Dinas Pariwisata Bali I Wayan Sumarajaya menjelaskan perekonomian di Bali saat ini lebih banyak terpusat di wilayah selatan. Ia berharap pembangunan destinasi wisata baru itu bisa menggeliatkan pariwisata di wilayah Bali lainnya.


“Untuk menyeimbangkan perekonomian wilayah Bali utara, timur, dan barat,” kata Sumarajaya saat memimpin rapat bersama Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Pariwisata, dan Asian Development Bank di kantor Gubernur Bali, Denpasar, Jumat (29/8/2025).

Sumarajaya juga menyampaikan arah kebijakan dan program pembangunan kepariwisataan Bali. Menurutnya, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali akan mengendalikan pembangunan hotel di wilayah Denpasar, Badung, dan Gianyar.

Selain itu, dia berujar, Pemprov Bali juga berupaya mengembangkan sistem transportasi berkualitas untuk meningkatkan daya saing pariwisata.

Ia mengklaim arah kebijakan tersebut bertujuan untuk menjaga kualitas ekosistem alam dan lingkungan. Ia juga memaparkan penguatan tata kelola kepariwisataan Bali untuk mengatur orang asing di Pulau Dewata.

Hal itu dilakukan sebagai respons atas banyaknya turis asing yang melakukan pelanggaran terhadap norma hukum dan budaya Bali.

Kemudian, menjadikan pariwisata sebagai penggerak utama perekonomian lokal Bali dengan meningkatkan penggunaan produk lokal Bali,” imbuh Sumarajaya.

Asisten Deputi Pengembangan Pariwisata Kemenko Perekonomian, Herfan Brilianto Mursabdo, mengungkapkan Bali menjadi wajah pariwisata Indonesia.

Menurutnya, kepala daerah perlu memiliki visi yang jelas terkait pengembangan pariwisata di daerahnya.

“Menjadi contoh bagi pengembangan di daerah-daerah lain, khususnya dalam hal keterbukaan masyarakatnya, kebudayaan masyarakatnya, serta bagaimana pemdanya memiliki visi yang jelas terhadap pengembangan pariwisata di daerah,” ujar Herfan.

(ddn/ddn)



Sumber : travel.detik.com

Bali Butuh Bandara Baru! Pakar UI Sebut Denpasar Sudah Over Capacity



Jakarta

Pembangunan Bandara Bali Utara dinilai cukup penting. Pakar perencanaan lingkungan Universitas Indonesia Dr. Rudy Parluhutan Tambunan M. Si. mengatakan sejumlah alasannya.

Pemerintah memasukkan Bandara Bali Utara dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029. Desain arsitektur bandara itu juga sudah dirilis pada akhir September di Buleleng. Namun, lokasi belum bisa dipastikan.

Pemerintah Provinsi Bali sempat mengusulkan lokasi bandara baru itu di Desa Kubutambahan, Kabupaten Buleleng, tetapi kemudian membatalkan dan mengajukan lokasi baru di Desa Sumberklampok. Sumberklampok berada di perbatasan Kabupaten Buleleng di sisi timur dan Kabupaten Jembrana di sisi barat.


Desa Sumberklampok dilewati jalan raya provinsi antara Gilimanuk dan Singaraja. Gilimanuk adalah pintu masuk Bali dari Jawa sedangkan Singaraja bekas ibu kota Provinsi Sunda Kecil yang dulunya meliputi Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT).

“Kalau dilihat urgensinya sangat urgen. Bali itu jadi Origin and Destination, Bali bisa jadi tempat awal perjalanan dan juga tujuan utama wisata. Bali bukan hanya tempat tujuan wisata utama, tapi juga bisa jadi tempat awal perjalanan wisatawan. Kalau wisatawan mau ke Bali atau dari Bali lewat jalur darat, mereka bisa naik kapal menyeberang ke timur menuju NTB. Untuk perjalanan udara, semua penerbangan utama bertumpu di Bandara Ngurah Rai, Denpasar,” kata Rudy dalam perbincangan dengan detikTravel, Kamis (9/10.2025).

“Karena semua bertumpu di Denpasar, implikasinya banyak, mulai over destination, over capacity, hingga mengakibatkan perubahan land use sekitar kabupaten Karangasem, Badung, dan Gianyar. Akhirnya, lokasi-lokasi pertanian yang selama ini menjadi destinasi andalan Bali justru hilang,” ujar Rudy.

Rudy, yang juga menjadi dosen di Sekolah Ilmu Lingkungan UI itu, membandingkan kondisi Bali selatan dan bali utara. Dia menilai bahwa Bali selatan lebih unggul soal pertanian ketimbang Bali utara. Soal lain adalah kapasitas transportasi Bali selatan.

“Subak di Bali utara berfungsi sebagai sistem tata air tradisional. Namun, di daerah utara curah hujannya lebih sedikit dibandingkan bagian selatan, jadi kalau mau mengembangkan pertanian sawah di sana kurang ideal,” kata dia.

“Pada aspek transportasi, arus transportasi menuju Denpasar sudah melebihi kapasitas, baik untuk kedatangan maupun keberangkatan wisatawan. Karena itu, perlu ada pengaturan supaya aktivitas di kota tidak terlalu menumpuk hanya di bagian selatan, timur, atau barat. Jadi, aktivitas perkotaan harus dibagi lebih merata antara bagian selatan, timur, barat, dan tengah Bali. Dengan begitu, transportasi juga bisa diselaraskan agar lebih seimbang dan tidak terlalu padat di satu titik saja,” dia menjelaskan.

Rudy mengingatkan kendati diperlukan, pembangunan Bandara Bali Utara diminta untuk memperhatikan aspek lingkungan dan sosial, tidak hanya ekonomi. Apalagi, berkaca kepada peristiwa saat Bali terendam banjir setelah hujan dua hari beruntun.

Ya, salah satu alasan utama Bandara Bali utara dibangun adalah dengan tujuan mendorong pemerataan perkembangan ekonomi dan pariwisata di Bali Utara yang selama ini dinilai kurang berkembang. Dengan adanya bandara baru, akses ke wilayah utara digadang-gadang menjadi lebih mudah dan berdampak membuka peluang investasi dan lapangan kerja baru, serta meningkatkan daya saing Bali sebagai destinasi wisata dan pusat bisnis di Indonesia.

“Nah, ini perlu dipertimbangkan beberapa kejadian akibat perubahan iklim dan cuaca, musim pun tidak lagi sesuai dengan garis khayal musiman. Pemilihan site lokasinya harus benar-benar cermat dari aspek topografi, iklim dan cuaca, dan kegiatan sekitarnya, karena kalau kita memilih bandara itu terkait keselamatan penerbangan, selamat mendarat dan selamat berangkat,” kata Rudy.

(fem/ddn)



Sumber : travel.detik.com

Bandara Bali Utara Belum Pastikan Lokasi, Ini Evaluasi dan Saran dari Pakar UI



Jakarta

Bandara Bali Utara masuk Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029, desain juga sudah diluncurkan, namun lokasi resmi belum jelas hingga kini. Pakar perencanaan lingkungan dari Universitas Indonesia, Dr. Rudy Parluhutan Tambunan, M.Si., membeberkan evaluasi dan saran agar rencana itu segera terealisasi.

Desain Bandara Bali utara diluncurkan pda 24 September. Desain bandara Bali utara yang dibuat oleh firma arsitektur Alien Design Consultant (DC) diluncurkan di kantor PT BIBU Panji Sakti, Kubutambahan, Kabupaten Buleleng.

Dalam peluncuran itu, disebutkan lokasi bandara Bali utara ada di Kubutambahan, Buleleng. Namun beberapa hari kemudian Plt. Kepala Dinas Perhubungan Bali, Nusakti Yasa Weda, menyatakan lokasi bandara belum ditentukan.


Awalnya, Pemprov Bali mengajukan usulan lokasi bandara Bali utara di Desa Kubutambahan, namun kemudian membatalkan dan mengajukan lokasi baru di Desa Adat Sumberklampok. Perubahan itu tercantum dalam Surat Gubernur Bali tertanggal 19 November 2020.

Rudy menilai belum adanya kepastian lokasi bandara Bali utara saat desain sudah diluncurkan itu menjadi gambaran lemahnya koordinasi antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten. Persoalan itu pun menjadi kendala utama yang bisa menghambat realisasi proyek strategis itu.

Rudy menyatakan kendati sempat menuai pro dan kontra, rencana pembangunan Bandara Bali Utara memiliki urgensi yang tak bisa diabaikan. Saat ini, Bali hanya memiliki satu pintu masuk udara utama, yakni Bandara I Gusti Ngurah Rai di selatan. Kawasan itu sudah lama menanggung beban operasional tinggi akibat konsentrasi pariwisata, penduduk, dan pembangunan yang terkonsentrasi di kawasan tersebut.

Nah, bandara baru di wilayah utara bukan hanya alternatif logistik dan transportasi, tapi juga digadang-gadang sebagai solusi strategis untuk pemerataan pembangunan pulau. Wilayah utara Bali seperti Buleleng, Jembrana, dan Bangli selama ini belum mendapat porsi pertumbuhan ekonomi yang seimbang dibanding selatan.

Kehadiran bandara itu diharapkan membuka akses langsung ke potensi wisata alam dan budaya juga memperkuat ketahanan transportasi Bali, khususnya dalam menghadapi situasi darurat seperti bencana alam atau gangguan operasional di selatan

“Yang saya tangkap, antara pemerintah pusat dan pemerintah provinsi ada perbedaan perspektif. Seharusnya, bandara dan transportasi udara adalah urusan konkuren pemerintahan, urusan bersama antara pusat, provinsi, dan kabupaten,” kata Rudy dalam perbincangan dengan detiktravel, Kamis (/10/2025).

Dr. Rudy Parluhutan Tambunan, M.Sc., pakar perencanaan lingkungan, SIL UIDr. Rudy Parluhutan Tambunan, M.Sc., pakar perencanaan lingkungan, SIL UI (dok. pribadi)

“Pusat mengatur hal strategis nasional, provinsi merinci, dan kabupaten harus memastikan implementasi benar-benar cocok di lapangan. Bagaimanapun kabupaten yang harus menangani kecamatan dan desa-desa sebagai pemilik lokasi,” Rudy menambahkan.

Rudy, yang juga dosen Sekolah Ilmu Lingkungan UI itu, mengatakan polemik lokasi bandara Bali utara itu bisa diselesaikan melalui KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Strategis) yang memang sudah diwajibkan pada pasal 16-18 UU No. 32 Tahun 2009 dan PP No. 46 Tahun 2016.

“KLHS wajib dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota pada tahapan penyusunan kebijakan, rencana, dan program pembangunan. KLHS itu dilakukan untuk menilai kebijakan, rencana, dan program sektor yang berpotensi menimbulkan dampak dan risiko lingkungan,” ujar Rudy.

“Jika pemerintah melakukan KLHS untuk pembangunan Bandara Bali Utara maka kajian tersebut harus mengacu pada arahan dan pesan yang tercantum dalam RPJMN 2025-2029. Selanjutnya, perlu melihat pembagian kewenangan antara pemerintah provinsi dan kabupaten/kota,” dia menjelaskan.

Rudy menilai dengan kebutuhan mendesak pembangunan Bandara Bali Utara itu, pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten harus segera mencapai kesepakatan. Dia mengingatkan bahwa kesepakatan antara pemerintah pusat dan daerah itu harus segera dicapai agar proses pengambilan keputusan tidak hanya berdasarkan logika strategis nasional semata, tetapi juga memperhatikan keberlanjutan lingkungan dan struktur sosial dan ekonomi lokal.

“Pemerintah pusat mengatur hal-hal yang bersifat umum dan strategis secara nasional, sementara provinsi mengatur secara lebih rinci. Di tingkat kabupaten, pelaksanaan kebijakan harus didasarkan pada justifikasi land use atau penggunaan lahan yang jelas. KLHS tidak sekadar menakar dampak lingkungan, tapi juga melihat kesesuaian rencana dengan tata ruang, daya dukung lahan, hingga potensi risiko sosial,” kata Rudy.

“Buleleng memiliki kawasan pertanian produktif dan zona lindung yang vital. Tanpa kajian yang matang, proyek ini justru bisa merusak ekosistem dan mengganggu keseimbangan wilayah,” dia menambahkan.

“Jangan sampai bandara dibangun di lahan yang seharusnya dilindungi, atau malah mengorbankan sumber penghidupan utama masyarakat,” Rudy menegaskan.

(fem/ddn)



Sumber : travel.detik.com