Tag Archives: jerapah

Museum di Jepang Bolehkan Pengunjung Pegang-pegang… Koleksi



Morioka

Sebuah museum kecil di Kota Morioka, Prefektur Iwate, Jepang, menawarkan pengalaman tak biasa. Pengunjung diperbolehkan untuk menyentuh koleksi di sana.

Berbeda dari museum pada umumnya yang melarang menyentuh koleksi, museum tersebut justru mendorong para tamu. Khususnya penyandang tunanetra untuk menjelajahi semua pameran lewat sentuhan.

Dilansir dari Kyodo, Kamis (2/10/2025) museum yang dikelola secara pribadi tersebut menjadi tujuan istimewa bagi penyandang tunanetra dari berbagai penjuru Jepang. Di sana, imajinasi tidak hanya dibangun lewat cerita, tetapi diwujudkan melalui pengalaman langsung.


“Tujuan saya adalah menciptakan tempat di mana pengunjung tunanetra dapat menemukan hal-hal baru, tidak peduli seberapa sering mereka datang,” ujar Direktur Museum, Wakana Kawamata.

Museum unik itu menempati ruang seluas 165 meter persegi di lantai dua rumah keluarga Kawamata. Di dalamnya, terdapat berbagai koleksi patung hewan seperti singa, hiu, hingga burung merak yang tampak begitu realistis.

Semua koleksi tersebut dapat disentuh bebas oleh para pengunjung. Kawamata secara pribadi memilih objek-objek yang dipamerkan sesuai dengan minat setiap tamu dan memberikan penjelasan secara langsung.

Meski kunjungan hanya bisa dilakukan dengan reservasi dan maksimal dua kelompok per hari, museum tersebut tetap dikunjungi sekitar 450 orang setiap tahunnya. Pendekatan personal inilah yang menjadi nilai jual utamanya.

Misalnya, pecinta sejarah bisa meraba shuriken dan alat tulis dari Zaman Edo, sementara penyuka arsitektur dapat mengeksplorasi miniatur bangunan warisan dunia.

Museum ini pertama kali didirikan pada tahun 1981 oleh almarhum Masataro Sakurai, seorang guru tunanetra di sekolah luar biasa setempat. Ia membangunnya dengan dana pribadi sebagai bentuk dukungan terhadap keinginan belajar para penyandang tunanetra.

Selama bertahun-tahun, Sakurai mengumpulkan dan bahkan membuat sendiri berbagai spesimen. Koleksinya kini mencapai sekitar 3.000 item. Namun pada 2010, museum sempat tutup karena kondisi kesehatannya yang menurun.

Kala itu, Kawamata tengah bekerja di Tokyo. Namun setelah berkunjung ke museum, ia merasa terdorong untuk melanjutkan perjuangan Sakurai.

“Tidak mungkin saya bisa meninggalkan tempat ini,” ungkap Kawamata.

Ia pun memutuskan untuk mengambil alih dan kembali membuka museum pada 2011 di lokasi yang sekarang.

Mayoritas pengunjung museum saat ini berusia antara 60 hingga 80 tahun. Kawamata menyadari bahwa meskipun banyak dari mereka memiliki pengetahuan luas, pengalaman langsung mereka terhadap benda-benda nyata sangat terbatas.

Salah satu momen yang membekas adalah saat seorang pengunjung menyentuh berang-berang laut yang diawetkan dan berkata, ‘Saya selalu mengira itu ikan. Saya tidak percaya ia punya kaki’.

Ada pula yang menganggap posisi ikan di kemasan supermarket mencerminkan cara berenangnya di alam.

“Saat-saat seperti itu membuat saya menyadari bahwa mungkin ada lebih banyak orang dengan gangguan penglihatan yang telah menjalani hidup dengan menelan keraguan mereka daripada yang saya duga sebelumnya,” tutur Kawamata.

Untuk memperkaya pengalaman tersebut, museum kini menata objek secara berdampingan seperti anjing rakun di sebelah rubah atau model gajah disandingkan dengan jerapah. Tujuannya agar pengunjung dapat membandingkan dan membentuk gambaran yang lebih akurat.

“Saya ingin mereka memahami apa yang mereka pelajari di sini dengan sangat jelas, sehingga mereka bisa menjelaskannya kepada orang lain dengan kata-kata mereka sendiri,” tambahnya.

Tak hanya soal koleksi, museum itu juga menjadi ruang yang aman untuk berdiskusi. Setiap kunjungan dimulai dengan percakapan ringan, termasuk menanyakan tingkat disabilitas pengunjung. Meski awalnya ragu, Kawamata kini melihat pendekatan ini justru disambut baik.

“Saya diberi tahu bahwa tidak masalah untuk bertanya apa pun, selama saya berusaha memahami,” pungkasnya.

(upd/wsw)



Sumber : travel.detik.com

Royal Safari Garden, The Leading Thematic Resort di Indonesia



Jakarta

Royal Safari Garden dikenal sebagai the leading thematic resort di Indonesia yang berada di tengah alam, puncak Bogor. Dengan keunikan konsep yang menggabungkan kenyamanan menginap, edukasi satwa, rekreasi, hingga wisata kuliner, resort ini menjadi destinasi favorit keluarga yang mencari pengalaman liburan berbeda di kawasan puncak Bogor.

Berdiri di atas lahan seluas 14 hektare, Royal Safari Garden menyediakan total 379 room hotel & bungalow bertema satwa seperti Hotel Cendrawasih, Hotel Giraffe, Hotel Leopard, dan Hotel Panda. Tidak hanya kamar hotel, di Royal Safari Garden juga memiliki akomodasi dengan konsep bungalow seperti bungalow Dolphin, bungalow Zebra, bungalow Lion, dan bungalow Elephant. Konsep ini memberikan pengalaman menginap yang unik dan penuh nuansa petualangan, dikelilingi udara sejuk pegunungan Puncak.

“Royal Safari Garden bukan sekadar tempat menginap, tetapi destinasi lengkap yang menghadirkan pengalaman edukatif, rekreatif, dan kuliner dalam satu kawasan. Kami ingin setiap tamu pulang membawa kenangan berharga, baik bersama keluarga maupun rekan. Inilah komitmen kami sebagai thematic resort terdepan di Indonesia,” ujar Hotel Manager Royal Safari Garden, Dody Saputro dalam keterangan tertulis, Selasa (30/9/2025).


Royal Safari GardenPanda Executive Room Foto: Royal Safari Garden

Tamu yang menginap dapat menikmati berbagai fasilitas gratis seperti bermain ke Splash Water Park dengan foam party-nya yang seru, menonton edukasi satwa di Animal Show, mengunjungi Bird Park, hingga berkunjung ke Reptile Island. Tidak hanya fasilitas gratis yang dapat dinikmati, Royal Safari Garden juga menyediakan banyak aktivitas edukasi satwa, salah satunya memberi makan berbagai jenis satwa seperti jerapah, zebra, melihat edukasi dan memberi makan gajah.

Salah satu yang menjadi daya tarik utama adalah Dine with Giraffe, pengalaman bersantap unik yang hanya bisa Anda temukan di Royal Safari Garden. Tamu dapat menikmati hidangan lezat sambil ditemani jerapah yang mendekat langsung ke meja makan. Keistimewaan ini menjadikan Royal Safari Garden sebagai satu-satunya hotel di Jawa Barat yang menghadirkan pengalaman makan bersama jerapah, sebuah momen langka yang sangat disukai keluarga dan anak-anak.

Royal Safari GardenInteraksi dengan Jerapah Foto: Royal Safari Garden

Royal Safari Garden juga menghadirkan berbagai wahana rekreasi yang seru, mulai dari berbagai outbound seperti, high rope, paintball, flying fox, dan achery. Bagi Anda yang memiliki kebutuhan bisnis maupun acara spesial, resort ini menyediakan 19 ruang pertemuan yang fleksibel digunakan untuk gathering, pertemuan perusahaan, hingga pernikahan.

Tamu juga dapat berwisata kuliner dan dimanjakan dengan berbagai restoran berkonsep tematik. Salah satu yang paling ikonik adalah De’Savanna Restaurant, di mana tamu dapat bersantap sambil menyaksikan satwa Afrika seperti zebra, meerkat, dan walabi melalui dinding kaca besar.

Sementara itu, Kanoopi Coffee & Eatery menjadi favorit untuk menikmati wood fire pizza, kopi, hingga gelato dengan suasana hangat. Anda juga bisa bersantai sambil menikmati udara puncak dari restaurant rooftop yang bernama Sky Garden, terletak di gedung Leopard lt 5 Royal Safari Garden resto ini menghadirkan konsep open space yang nyaman dengan pemandangan alam yang asri.

Royal Safari Garden telah meraih predikat platinum dari KPAI sebagai hotel ramah anak, menjadikannya destinasi pilihan utama untuk liburan keluarga. Komitmen ini menunjukkan bahwa resort tidak hanya fokus pada hiburan, tetapi juga keamanan, kenyamanan, serta nilai edukatif bagi semua tamu.

(anl/ega)



Sumber : travel.detik.com

Predator Super Paling Ditakuti Melebihi Singa, Siapa Dia?


Jakarta

Singa dijuluki sebagai Si Raja Hutan. Akan tetapi, masih ada satu super predator yang lebih ditakuti oleh banyak spesies melebihinya. Siapa predator tersebut?

Jawabannya adalah kita, manusia. Dalam lebih dari 10.000 rekaman satwa liar di sabana Afrika, 95% spesies yang diamati merespons dengan jauh lebih ngeri terhadap suara manusia.

“Rasa takut terhadap manusia sudah mengakar dan menyebar luas. Ada anggapan bahwa hewan-hewan akan terbiasa dengan manusia jika tidak diburu. Namun, kami telah menunjukkan bahwa kenyataannya tidak demikian,” kata ahli biologi konservasi Michael Clinchy dari Western University, Kanada.


Dalam penelitian yang dipublikasikan tahun lalu, ahli ekologi dari Western University, Liana Zanette dan rekan-rekannya memperdengarkan serangkaian vokalisasi dan suara kepada hewan-hewan di lubang-lubang air di Taman Nasional Kruger Raya Afrika Selatan dan merekam respons mereka.

Kawasan lindung ini merupakan rumah bagi populasi singa (Panthera leo) terbesar yang tersisa di dunia, sehingga mamalia lain sangat menyadari bahaya yang ditimbulkan oleh karnivora ini.

Melansir Science Alert, para peneliti menyiarkan suara percakapan manusia dalam bahasa lokal, termasuk Tsonga, Sotho Utara, Inggris, hingga Bahasa Afrika lainnya. Ada juga suara perburuan manusia, termasuk gonggongan anjing dan tembakan. Mereka juga memutar suara singa yang berkomunikasi satu sama lain.

“Kuncinya adalah vokalisasi singa tersebut berupa geraman dan geraman, seolah-olah sedang ‘berbicara’, bukan saling mengaum. Dengan begitu, vokalisasi singa tersebut dapat dibandingkan secara langsung dengan suara manusia yang sedang berbicara,” ucap Clinchy.

Hasilnya mengejutkan, hampir semua 19 spesies mamalia yang diamati dalam eksperimen dua kali lebih mungkin meninggalkan kubangan air ketika mendengar manusia berbicara dibandingkan dengan singa atau bahkan suara berburu. Mamalia tersebut meliputi badak, gajah, jerapah, macan tutul, hyena, zebra, dan babi hutan, beberapa di antaranya dapat menimbulkan bahaya tersendiri.

“Mendengar vokalisasi manusia secara khususlah yang memicu rasa takut terbesar,” tim menjelaskan dalam makalah mereka.

“(Ini) menunjukkan bahwa satwa liar mengenali manusia sebagai bahaya yang sebenarnya, sedangkan gangguan terkait seperti gonggongan anjing hanyalah proksi yang lebih kecil,” sambungnya.

Zanette mengatakan bahwa meluasnya rasa takut di seluruh komunitas mamalia sabana merupakan bukti nyata dampak lingkungan yang ditimbulkan manusia.

“Bukan hanya melalui hilangnya habitat, perubahan iklim, dan kepunahan spesies, yang semuanya merupakan hal-hal penting. Tetapi kehadiran kita di lanskap tersebut saja sudah cukup menjadi sinyal bahaya sehingga mereka merespons dengan sangat kuat. Mereka sangat takut pada manusia, jauh lebih takut daripada predator lainnya,” tuturnya.

Penelitian ini telah dipublikasikan di Current Biology.

(ask/ask)



Sumber : inet.detik.com