Tag Archives: jurnal nature

Terungkap! Sel Lemak Punya ‘Memori’ yang Bikin Berat Badan Selalu Naik Lagi


Jakarta

Sekali menggendut, rasanya susah sekali untuk mempertahankan berat badan ideal. Baru kurus sebentar setelah diet ketat, kemasukan cokelat dubai secuil saja tiba-tiba sudah gendut lagi.

Sebuah penelitian terbaru di jurnal Nature menjelaskan hal ini. Berat badan naik lagi setelah sempat kurus erat kaitannya dengan modifikasi kimia pada DNA (Deoxyribo Nucleic Acid), atau penanda epigenetik, yang mungkin membuat sel-sel mempertahankan memori tentang status berat badan terakhirnya.

Dikutip dari Livescience, DNA memang akan tetap sama sepanjang hayat. Namun cara tubuh membaca kode DNA bersifat dinamis, dipengaruhi oleh modifikasi epigenetik. Modifikasi tersebut mengubah fungsi sel karena cara mereka membaca DNA juga berubah.


Dalam sebuah eksperimen, para ilmuwan mengamati sekelompok tikus yang diberi diet tinggi lemak selama beberapa waktu sebelum dikembalikan ke diet normalnya. Secara metabolik, tikus-tikus ini tidak berbeda dengan tikus lain yang tidak diberi diet tinggi lemak.

Namun ketika diperiksa sel-sel lemaknya, tikus-tikus yang sempat gemuk tersebut ternyata masih membawa perubahan epigentik yang didapat ketika berat badannya meningkat. Untuk memastikan mekanisme serupa juga terjadi pada manusia, para ilmuwan membandingkannya dengan pasien operasi bariatrik, operasi yang biasanya dilakukan pada obesitas ekstrem.

“Di sana, mereka menemukan pola aktivitas gen yang menunjukkan perubahan epigenetik memang terjadi dan bertahan setelah berat badan turun,” kata Laura Hinte, mahasiswa doktoral ETH Zurich, yang juga co-author dalam penelitian tersebut.

NEXT: Menjelaskan kenapa susah kurus jika sudah pernah gemuk

Pengamatan lebih dekat pada sel-sel lemak tikus makin memperkuat adanya ‘memori’ tentang kegemukan. Sel-sel yang diambil dari tikus dengan diet glukosa dan palmitate, yang tinggi gula, membesar lebih cepat dibanding sel-sel lemak dari tikus normal. Tikus yang sempat gemuk juga lebih mudah mengalami kenaikan berat badan saat diberi diet tinggi kalori.

Penelitian ini memang tidak membuktikan bahwa perubahan epigenetik secara langsung berhubungan dengan ‘rebound’ atau kenaikan kembali berat badan. Namun diyakini, temuan ini menunjukkan bahwa mekanisme tersebut mungkin berperan dalam interaksi kompleks yang mendorong obesitas.

(up/up)

Sumber : health.detik.com

Alhamdulillah sehat wal afiyat اللهم صل على رسول الله محمد
Source  : unsplash.com / Jonas Kakaroto

Tips Tembus Jurnal Top Tier, Profesor Unair Cerita Bagaimana Tembus Nature


Jakarta

Ada sejumlah tips agar bisa menembus jurnal top tier internasional. Hal ini disampaikan Wakil Rektor Bidang Riset, Inovasi, dan Community Development Universitas Airlangga (Unair), Prof dr Muhammad Miftahussurur, MKes, SpPD, KGEH, PhD.

Prof Miftah turut membagikan pengalamannya bagaimana bisa menembus jurnal Nature. Apa saja tips yang bisa dicoba ini?

Tips Tembus Jurnal Internasional

Prof Miftah menegaskan pentingnya memilih jurnal yang tepat. Ia menilai, peneliti perlu mengenali jurnal-jurnal favorit di bidang ilmu masing-masing dan tidak hanya terpaku pada peringkat kuartil.


Ia juga mengatakan, penting untuk memahami karakter jurnal hingga selera editor. Prof Miftah memaparkan saran yang pernah diterimanya.

“Saya pernah disarankan sensei saya, kalau mau submit ke jurnal A, jangan analisis bakterinya, tapi analisis human-nya, karena editornya lebih suka itu. Memahami karakter seperti ini penting,” ungkapnya dalam program Unair Menulis edisi spesial pada Senin (6/10/2025).

“Kalau panjenengan sering berafiliasi dengan teman-teman di luar negeri, sebenarnya kita itu sudah mempunyai jurnal-jurnal favorit yang mungkin saja dia tidak masuk top tier atau Q1, tapi jurnal itu bagus,” imbuhnya, dikutip dari laman Unair.

Cerita Saat Tembus Nature

Prof Miftah bercerita bagaimana ketika ia berhasil menembus jurnal Nature. Mengetahui keterbatasan fasilitas dan dana riset di Indonesia, maka ia memilih strategi untuk tidak bersaing langsung di bidang keilmuan murninya.

Ia menggeser fokus riset bakteri Helicobacter pylori untuk memprediksi migrasi manusia. Topik ini menurutnya diminati oleh grup riset terkemuka dari Max Planck Institute di Jerman.

“Saya tahu kalau saya murni ngomongin tentang pylori, maka saya akan kalah dalam kompetisi karena fasilitas dan dana,” ujarnya.

Maka, Prof Miftah berkolaborasi dengan grup riset tersebut, salah satunya dengan mengirim timnya ke Shanghai untuk analisis data bersama. Ia berpendapat keterbatasan dapat diatasi dengan memaksimalkan sumber daya lain melalui kolaborasi.

Menurutnya, apabila tidak memiliki uang, maka ada waktu. Jika tidak memiliki waktu, maka ada sumber daya.

“Kita kerahkan ke sana. Dengan cara ini kita bisa (menembus jurnal top),” ujarnya.

Variabel Penting Tembus Jurnal Top Tier

Prof Miftah menggarisbawahi tiga variabel penting untuk menembus jurnal top tier, yakni riset yang teliti (rigorous research); adanya kebaruan (novelty) dan signifikansi; dan reputasi jurnal tersebut sendiri.

Ia membeberkan pengalamannya menerbitkan riset dengan tema yang sama seperti profesornya 15 tahun lalu. Penelitian profesornya masuk jurnal dengan impact factor 10, sedangkan miliknya masuk dengan impact factor 3 karena tingkat novelty yang berbeda.

(nah/pal)



Sumber : www.detik.com

Uban Bisa Hilang? Ilmuwan Temukan Kunci agar Rambut Kembali ke Warna Aslinya!


Jakarta

Seiring bertambahnya usia, pigmen warna pada rambut akan memudar dan berubah menjadi putih atau disebut dengan uban. Hal ini biasa jika di alami orang yang sudah berusia senja.

Namun, bagaimana jika pertumbuhan uban dialami oleh mereka yang masih muda? Apakah bisa warna asli rambut seseorang kembali seperti semula setelah memutih? Ini penjelasannya menurut sains.

Rambut Beruban Bisa Kembali ke Warna Aslinya?

Rambut beruban sering kali jadi tanda penuaan, tapi ternyata tidak selalu begitu. Berdasarkan studi terbaru yang diterbitkan di jurnal Nature, uban muncul karena “kemacetan” sel di dalam folikel rambut, bukan karena tubuh menua secara keseluruhan.


Peneliti dari NYU Langone Health, Amerika Serikat, menemukan bahwa sel penghasil pigmen warna rambut, yakni sel induk melanosit (melanocyte stem cells/McSCs), gagal berpindah tempat sesuai waktunya. Akibatnya, rambut tetap tumbuh sehat, tetapi warnanya memudar menjadi abu-abu atau putih.

“Studi kami menambah pemahaman dasar tentang bagaimana sel induk melanosit bekerja untuk mewarnai rambut,” kata Qi Sun, PhD, peneliti utama studi tersebut, dikutip dari NYU Langone Health.

Mengapa Rambut Bisa Berubah Jadi Uban?

Di dalam folikel rambut terdapat dua jenis “tim kerja”:

  • Sel induk rambut, yang mengatur pertumbuhan rambut.
  • Sel induk melanosit, yang bertugas memberi warna pada rambut.

Saat rambut baru mulai tumbuh, sel induk melanosit seharusnya bergerak ke area yang kaya protein WNT yaitu sinyal kimia yang memerintahkan mereka berubah menjadi sel penghasil pigmen (melanosit).

Namun, ketika sel-sel tersebut “macet” di tempat atau tak lagi menerima sinyal, tahap pewarnaan tidak terjadi, dan rambut yang tumbuh menjadi berwarna abu-abu.

“Sel induk melanosit seharusnya bisa berperilaku seperti bunglon yang bisa berubah dan beradaptasi sesuai lingkungannya. Ketika kemampuan itu hilang, rambut menjadi abu-abu,” jelas Mayumi Ito, PhD, profesor dermatologi di NYU Langone Health.

Penelitian Langsung di Folikel Rambut

Penemuan ini bukan hasil dugaan semata. Tim ilmuwan melakukan penelitian langsung jangka panjang dan analisis RNA sel tunggal pada folikel rambut tikus.

Mereka melacak posisi setiap sel dan melihat bagaimana instruksi genetik berubah selama beberapa siklus pertumbuhan rambut.

Hasilnya, semakin sering pertumbuhan rambut dipaksa berulang, semakin banyak sel induk pigmen yang tertinggal di tempat yang salah dan jumlah uban pun meningkat.

Dengan kata lain, posisi, pergerakan, dan waktu kerja sel menentukan warna rambut.

Meskipun temuan ini terdengar menjanjikan, para peneliti menegaskan bahwa belum ada obat untuk menghilangkan uban secara permanen.

Stres, genetik, dan faktor lingkungan tetap berpengaruh pada munculnya uban.

Langkah berikutnya adalah membuktikan apakah pola serupa juga terjadi pada manusia. Jika iya, maka ilmuwan bisa mencari cara aman untuk mendorong sel bergerak tepat waktu atau menguatkan sinyal dalam folikel rambut agar warna kembali muncul secara alami.

“Tujuannya bukan sekadar mengubah warna rambut, tetapi menjaga keseimbangan antara sel yang aktif dan yang beristirahat,” ungkap tim peneliti.

Uban Bukan Rambut Rusak

Bagi detikers yang mulai menemukan helai putih di kepala, jangan khawatir. Rambut beruban bukan berarti rambut lemah atau tidak sehat.

Folikel rambut tetap berfungsi dengan baik, hanya saja tim sel pewarna rambut sedang terlambat menerima instruksi kerja.

Kini, sains sedang mencari cara untuk memperbaiki “kemacetan” di dalam folikel tersebut. Jika berhasil, warna rambut bisa kembali seperti semula, tanpa pewarna kimia.

Untuk saat ini, uban bukan lagi misteri, melainkan soal waktu dan koordinasi sel yang sedang dipelajari sains.

Penulis adalah peserta program PRIMA Magang PTKI Kementerian Agama di detikcom.

(nah/nah)



Sumber : www.detik.com