Tag Archives: kaum quraisy

Kisah Pemboikotan Kaum Quraisy terhadap Bani Hasyim



Jakarta

Nabi Muhammad SAW merupakan penutup para nabi bagi umat Islam. Selama menjalani tugasnya untuk menegakkan agama Islam, Nabi Muhammad menghadapi banyak tantangan.

Pemboikotan kaum Quraisy terhadap Bani Hasyim menjadi salah satu tantangan besar yang dihadapi Rasulullah SAW.

Pemboikotan Quraisy terhadap Bani Hasyim

Dirangkum dari buku Sirah Nabawiyah karya Abul Hasan Ali al-Hasani an-Nadwi, Islam mulai tersebar di berbagai kabilah. Kaum Quraisy pun mengadakan pertemuan dan merencanakan untuk menulis surat kesepakatan untuk memboikot Bani Hasyim dan Bani Muthalib.


Kaum Quraisy sepakat untuk tidak mengadakan pernikahan dan tidak melakukan jual beli dengan kedua kaum tersebut. Hasil pertemuan mereka ditulis dalam sebuah lembaran sebagai surat perjanjian yang akan dipatuhi bersama. Mereka menggantungkan surat tersebut di dalam Kakbah dalam rangka memperoleh legitimasi.

Ketika pemboikotan dilaksanakan, Bani Hasyim dan Bani Muthalib berpihak kepada Abu Thalib. Mereka masuk bersama Abu Thalib ke dalam kelompok yang diboikot. Hal ini terjadi pada bulan Muharram tahun ke-7 dari kenabian.

Sedangkan Abu Lahab bin Abdul Muthalib menyatakan keluar dari Bani Hasyim. Ia memilih bergabung dengan kaum Quraisy.

Kaum Bani Hasyim yang bertahan harus merasakan kepayahan karena sempitnya blokade. Mereka memakan daun samur, anak-anak mereka kejang karena kelaparan, hingga tangisan mereka terdengar dari jauh.

Mereka berada dalam pemboikotan selama tiga tahun. Rasulullah SAW tetap melakukan dakwah kepada kaumnya baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Kaum Bani Hasyim pun tetap bersabar dan mempertimbangkan segala sesuatunya.

Rusaknya Kesepakatan dan Berakhirnya Pemboikotan

Beberapa orang dari kaum Quraisy yang memiliki kedudukan dan rasa kesetiakawanan sosial yang tinggi beraksi. Di antara mereka yang menonjol adalah Hisyam bin ‘Amr bin Rabi’ah.

Mereka beraksi karena jiwa mereka bertentangan dengan surat keputusan Quraisy. Mereka tidak setuju dengan surat yang bersifat menzhalimi tersebut.

Hisyam adalah lelaki dari kaum Quraisy yang gandrung akan perdamaian. Ia memiliki kedudukan tinggi di kalangan kaumnya.

Ia membangkitkan perasaan empati dan harga diri sebagai kaum laki-laki. Mereka yang berjumlah lima orang itu berkumpul dan sepakat untuk menghapuskan surat pemboikotan.

Keesokan harinya saat kaum Quraisy berada di majelis pertemuan mereka, Zuhair bin Abi Umaiyah berkata, “Wahai penduduk Makkah! Apakah kita akan memakan makanan dan memakai pakaian, sedangkan Bani Hasyim dalam keadaan menderita, tidak boleh mengadakan hubungan jual beli dengan kita? Sungguh, aku tidak akan duduk hingga surat pemboikotan yang jahat itu hancur.”

Abu Jahal yang hendak ikut campur dalam pembicaraan tersebut tidak diperkenankan. Kemudian al-Muth’im bin ‘Adi bangkit dan mendatangi surat pemboikotan itu untuk merobeknya.

Namun al-Muth’im menemukan bahwa hampir seluruh surat pemboikotan tersebut telah dimakan rayap. Hanya kalimat “bismikallahumma” (dengan nama-Mu, ya Allah) yang tersisa.

Ketika itu, Rasulullah SAW telah mengetahui hal tersebut dan memberitahukannya kepada Abu Thalib. Maka, lembaran surat tersebut dihancurkan dan seluruh isinya tidak berlaku.

Dampak Pemboikotan yang Dilakukan Kaum Quraisy

Dirangkum dari buku Membaca Sirah Nabi Muhammad SAW dalam Sorotan Al-Qur’an dan Hadis-hadis Shahih karya M. Quraish Shihab, pemboikotan oleh kaum Quraisy sangat merugikan kaum Bani Hasyim dan Bani Muthalib. Bukan hanya dalam aspek kesehatan, tetapi juga pada perkembangan dakwah islamiyah. Bahkan Abu Thalib dan Khadijah yang mendampingi Nabi SAW pun wafat setelah masa pemboikotan tersebut.

Meskipun sangat merugikan, pemboikotan tersebut tidak seluruhnya berakibat negatif. Pemboikotan oleh kaum Quraisy tersebut membuka mata masyarakat secara umum tentang kehadiran satu ajaran baru yang mengajak kepada keluhuran budi pekerti, yang penganutnya bersedia berkorban demi mempertahankan agamanya atau karena simpati terhadap penganjurnya.

Kaum Bani Hisyam dan Bani Muthalib mendapatkan bagian tertentu dari harta rampasan perang, apalagi mereka tidak dibenarkan menerima zakat. Kedua kaum ini memperoleh hak tersebut sebagai ganjaran Ilahi atas dukungan mutlak kepada Nabi Muhammad SAW.

(dvs/dvs)



Sumber : www.detik.com

Kisah Utsman bin Affan Hendak Dibunuh Kaum Quraisy Sebelum Perjanjian Hudaibiyah



Jakarta

Utsman bin Affan pernah diutus Rasulullah SAW untuk mendatangi Makkah dan bertemu kaum Quraisy. Seruannya untuk mengajak pada perdamaian ternyata disambut dengan amarah yang membuat kaum Quraisy hendak membunuh Utsman.

Utsman bin Affan adalah sahabat Rasulullah SAW yang dikenal setia serta berani membela ajaran Islam. Ia bahkan sama sekali tak gentar meskipun dirinya diancam untuk dibunuh.

Mengutip buku 150 Kisah Utsman ibn Affan oleh Ahmad Abdul Al Atl-Thathawi dikisahkan bahwa Rasulullah SAW mengutus Utsman bin Affan untuk menghadapi kaum Quraisy dalam Perjanjian Hudaibiyah dan menyeru untuk menghindari peperangan. Rasulullah SAW memanggil Utsman dan berkata,


“Pergilah kepada kaum Quraisy dan beritahu kepada mereka bahwa kita tidak datang untuk memerangi mereka, tetapi kita datang sebagai pengunjung Baitullah dan pengagung kehormatannya. Kita juga membawa hewan sembelihan. Kita akan menyembelihnya, kemudian pergi.”

Peristiwa ini terjadi sebelum disepakatinya Perjanjian Hudaibiyah.

Kaum Quraisy Mencoba Membunuh Utsman

Mendengar perintah dari Rasulullah SAW, Utsman lantas pergi sendirian menyusuri perbatasan Tanah Haram, Makkah untuk menemui penduduk Makkah. Dengan berani Utsman melangkah tanpa rasa takut dan khawatir akan bahaya yang mengintainya.

Di pesisir Makkah dan Lembah Baldah, Utsman bertemu dengan orang-orang bersenjata yang terdiri atas para ksatria Quraisy. Mereka hendak membunuh Utsman yang dianggap telah masuk ke wilayah Quraisy.

Utsman hampir saja dibunuh jika tidak ada Aban ibn Sa’id ibn Al-Ash ibn Abi Al-Ash ibn Umayyah ibn Abd Syam yang memberikan jaminan kepada para petugas yang berjaga. Aban ibn Sa’id memberikan jaminan perlindungan bagi putra dari pamannya itu (Utsman bin Affan).

Dia berseru, ” Wahai orang-orang Quraisy, sesungguhnya Utsman berada dalam perlidunganku. Maka, biarkanlah Utsman!”

Kedatangan Utsman Membawa Pesan Bagi Kaum Quraisy

Utsman tiba di Baldah, sebuah daerah dekat Makkah. Di sana, ia bertemu dengan orang-orang Quraisy. Mereka lantas bertanya, “Hendak ke manakah kamu?”

Utsman menjawab, “Rasulullah SAW telah mengutusku agar menemui kalian untuk menyeru kepada Allah dan Islam. Kalian semua hendaknya masuk agama Allah. Sebab, Allah pasti akan memenangkan agama-Nya dan memuliakan Nabi-Nya. Jika tidak, hendaklah kalian membiarkan kami. Lalu, urusan selanjutnya diserahkan kepada orang-orang selain kalian. Jika mereka berhasil mengalahkan Muhammad, itulah yang kalian inginkan. Namun jika Muhammad yang menang, kalian memiliki pilihan: apakah kalian masuk ke agama Islam atau kalian memerangi kami dengan jumlah kalian yang banyak dan lengkap. Padahal, sesungguhnya peperangan telah menyiksa kalian dan menghilangkan orang-orang terpilih di antara kalian.”

Menurut Al Shalabi dalam buku berjudul Utsman bin Affan, Utsman terus berbicara kepada mereka tentang hal-hal yang sebenarnya tidak ingin mereka dengar. Kaum Quraisy lantas berkata, “Kami telah mendengarkan apa yang kamu ucapkan. Dan hal seperti ini tidak akan pernah terjadi. Dia (Muhammad) tidak akan pernah memasuki Makkah dengan jalan kekerasan. Pulanglah kepada kawanmu itu. Beri tahukan kepadanya bahwa dia tidak akan pernah sampai kepada kami.”

Utsman Membalas Kebaikan Abdullah ibn Sa’aad

Usai menyampaikan pesan kepada kaum Quraisy, Utsman tidak pernah lupa dengan kebaikan Abdullah ibn Saad ibn Abi Al Sarh yang telah memberinya perlindungan dan menjaganya selama di Makkah.

Ketika terjadi pembebasan Makkah, Abdullah ibn Sa’ad bersembunyi di rumah Utsman. Kemudian Utsman membawa dan mengantarkannya kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah, Abdullah telah berbaiat, lalu dia membatalkan baiatnya (keluar dari Islam).” Beliau pun melihat Abdullah tiga kali. Hal itu menunjukkan bahwa beliau tidak suka. Namun beliau membaiatnya kembali ke dalam Islam setelah melihatnya tiga kali.

Setelah itu, beliau menghadap kepada para sahabat dan bertanya, “Tidakkah di antara kalian ada orang yang mengerti dan menghampiri orang ini untuk membunuhnya ketika aku tidak mengulurkan tanganku untuk membaiatnya?”

Mereka menjawab, “Kami tidak mengetahui apa yang ada di dalam benakmu, wahai Rasulullah. Mengapa engkau tidak memberikan isyarat mata kepada kami?”

Rasulullah menjawab, “Seorang nabi tidak patut memiliki mata yang berkhianat.”

Abdullah ibn Sa’ad adalah salah seorang penulis wahyu. Namun, ia murtad dan melarikan diri ke Makkah. Karena itulah Rasulullah SAW menghalalkan darahnya untuk dibunuh.

Merujuk pada buku Sejarah Kebudayaan Islam karya Fida Abdillah, akhirnya Rasulullah dan kaum Quraisy menyepakati Perjanjian Hudaibiyah. Situasi di Makkah menjadi aman dan tidak ada peperangan. Bahkan, pengikut Nabi Muhammad SAW yang pada awalnya hanya berjumlah 1.400 orang bertambah menjadi hampir 10.000 orang.

(dvs/erd)



Sumber : www.detik.com