Tag Archives: keracunan

Pagi-pagi Manasin Mobil, Masih Perlu Nggak Sih?



Jakarta

Kebiasaan pemilik kendaraan pagi-pagi sebelum berangkat beraktivitas adalah memanaskan mesin mobil. Tapi, masih perlu nggak sih memanaskan mesin mobil terkini?

Dikutip dari Newsroom Toyota Astra, sebenarnya mobil terkini tidak perlu dipanaskan mesinnya. Apalagi kalau memanaskan mesin mobil dalam waktu yang lama, yang ada hanya membuang bensin dan menyumbang polusi udara.

Toyota menyebut, teknologi material mesin yang makin presisi sudah tidak mensyaratkan untuk dipanaskan setiap pagi. Namun, bukan berarti memanaskan mesin mobil tidak boleh sama sekali. Ada beberapa kondisi yang mengharuskan mesin mobil dipanaskan. Misalnya karena ditinggal lama di garasi agar aki tidak tekor.


Untuk itu, dalam memanaskan mesin mobil, Toyota menyarankan tidak perlu terlalu lama. Mobil keluaran terbaru cukup dipanaskan sebentar saja, sekitar satu sampai dua menit sebagai persiapan berangkat. Di waktu yang sama, kamu bisa memeriksa tekanan ban dan panel instrumen dari kemungkinan masalah, serta menyiapkan keperluan lain seperti uang elektronik.

Kalau terlalu lama, malah boros bahan bakar dan mempercepat penumpukan karbon yang justru akan menurunkan kinerjanya. Mesin modern sudah dirancang untuk cepat menyesuaikan suhu kerja optimal. Cukup biarkan sebentar, lalu jalan pelan supaya mesin menyesuaikan dengan alami.

Dalam memanaskan mesin mobil juga tidak perlu menginjak-injak gas. Kebiasaan menginjak pedal gas langsung setelah mesin menyala dapat membuat oli belum sempat mengalir sempurna ke seluruh komponen. Akibatnya, gesekan jadi lebih tinggi dan bisa mempercepat aus. Selain itu, campuran udara dan BBM belum sempurna jadi boros dan emisinya tinggi.

Ketika memanaskan mesin mobil juga perlu dipastikan sirkulasi udara sekitar memadai. Gas buang yang keluar bisa menumpuk dan membahayakan kesehatan penghuni rumah. Khususnya karena gas CO tidak berbentuk dan tidak memiliki jejak bau. Kejadian keracunan gas karbonmonoksida berlangsung cepat dan mematikan.

Sebaiknya panaskan mobil di area terbuka atau pintu garasi dibuka. Sehingga, sirkulasi udara tetap lancar dan gas buang tidak terperangkap. Selain menjaga kesehatan, cara ini juga membuat suasana lebih nyaman.

Lanjut, sambil memanaskan mesin mobil, cek indikator di panel instrumen. Kalau ada tanda peringatan, kamu bisa langsung tahu dan mengambil tindakan. Jika dirasakan berbahaya seperti indikator tekanan oli atau rem menyala, segera bawa mobil ke bengkel untuk pengecekan.

Meskipun sudah dipanaskan, mesin butuh waktu beradaptasi untuk mencapai suhu kerja optimal. Sebaiknya, mobil dibawa dengan kecepatan santai dan tidak buru-buru. Kalau langsung dipacu, bisa-bisa komponen mesin bekerja terlalu keras. Akhirnya, umur mesin jadi lebih pendek. Belum lagi kalau komponen penting seperti rem belum siap atau bermasalah.

Cara terbaik adalah jalan perlahan dulu beberapa menit sembari memastikan komponen lain seperti rem dan radiator berfungsi normal. Biarkan mesin dan oli bekerja dengan ritme yang pas sebelum mengemudi lebih cepat. Perilaku ini akan membuat performa mesin lebih stabil dan awet.

Untuk mobil yang tidak dipakai setiap hari, cukup panaskan tiga hari sekali, dan hanya sebentar saja agar menjaga aki tetap terisi dan oli bersirkulasi. Memanaskannya setiap hari justru bikin boros bahan bakar.

(rgr/dry)



Sumber : oto.detik.com

FSGI Petakan 4 Masalah Program MBG, Beri 4 Rekomendasi



Jakarta

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) masih menuai sorotan dari berbagai pihak. Selain kasus keracunan massal, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menilai program ini juga berpotensi menimbulkan pemborosan anggaran negara.

“Ada begitu banyak makanan yang diduga kuat mubazir setiap harinya di berbagai sekolah, yang berpotensi merugikan uang negara. Anggaran jumbo MBG ternyata juga belum mampu diserap maksimal hingga September 2025,” tulis FSGI dalam keterangannya, Kamis (2/10/2025).


4 Masalah Utama dalam MBG Menurut FSGI

FSGI memetakan sedikitnya ada empat masalah utama dalam program MBG, yakni:

1. MBG tidak tunduk pada Perpres pengadaan barang dan jasa

Menurut FSGI, permasalahan pertama adalah penggunaan dana MBG masih dikelola oleh kekuasaan lembaga politik. Sesuai dengan Perpres No 12 Tahun 2021, prosedur pengadaannya seharusnya dilakukan dengan lelang/tender, ada pelaporan surat pertanggungjawaban, dan diawasi oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

“Sedangkan di program MBG, BGN bermitra dengan UMKM dan melibatkan partisipasi masyarakat,” tulis FSGI.

2. MBG tidak tunduk pada pasal 1320 KUH Perdata

FSGI melihat belum adanya MoU Kemitraan berisi hak, kewajiban, dan tanggung jawab para pihak. MoU ini seharusnya sesuai dengan pasal 1320 KUHerdata tentang dasar pernjanjian kontak.

“Belum ada lembaga yang berwenang mengawasi pelaksanaan MoU para pihak,” jelas keterangan FSGI.

3. Alokasi anggaran MBG atas nama deskresi

Permasalahan selanjutnya adalah alokasi dana MBG masih mengatasnamakan deskresi. Artinya, pemerintah memiliki kebebasan untuk mengambil keputusan atau tindakan sendiri terkait MBG karena tidak adanya peraturan yang jelas.

Hal ini, menurut FSGI berdampak besar pada alokasi anggaran MBG dalam APBN yang menyita banyak anggaran pendidikan.

4. Anggaran MBG 2026 bisa ancam kesejahteraan guru

Terakhir, FSGI berpendapat alokasi anggaran MBG tahun 2026 yang besar bisa mengancam Tunjangan Profesi Guru (TPG). Menurut FSGI, jika anggaran MBG sampai menghilangan TPG maka akan menjadi keputusan yang salah.

“Pengalokasian anggaran pendidikan mengalihkan, memprioritaskan, mengutamakan dana untuk MBG dengan cara menunda atau meniadakan hak atas tunjangan profesi bagi guru adalah kesalahan penyelenggara negara dalam mengambil keputusan yang berdampak merugikan guru dan nyata melanggar UU No.14 Tahun 2005 Pasal 16,” tulis FSGI.

4 Rekomendasi FSGI terhadap Program MBG

FSGI menyampaikan empat rekomendasi yang juga merupakan tanggung jawab pemerintah agar program MBG benar-benar bermanfaat bagi siswa, guru, hingga masyarakat luas, berikut di antaranya:

1. Pemerintah wajib obati dan pulihkan korban keracunan

FSGI menegaskan pemerintah memiliki kewajiban penuh untuk menanggung pengobatan dan pemulihan kesehatan korban keracunan MBG. Bahkan, jika diperlukan, korban juga harus mendapat kompensasi tambahan dalam bentuk lain.

2. Pemerintah harus memperbaiki layanan MBG

Menurut FSGI, tugas pemerintah ketika muncul persoalan adalah memperbaikinya. Anak yang sakit harus diobati, sementara yang sehat tetap dijaga imunitasnya dengan pemberian makanan bergizi.

“Harapan banyak pihak dapur berasap, kegiatan dapur MBG tetap berjalan dengan perbaikan total dan terus-menerus, sesuai amanat UU No 30 Tahun 2014 Pasal 10 ayat (1) huruf h,” tegas FSGI.

3. Hak guru jangan diganggu

FSGI juga mengingatkan agar penggunaan dana MBG tidak mengorbankan tunjangan profesi guru. Guru pemegang sertifikat pendidik tetap berhak menerima haknya sesuai regulasi yang berlaku.

4. MBG harus jadi berkah bagi semua

Terakhir, FSGI menekankan program MBG seharusnya membawa manfaat bagi semua pihak. Mulai dari anak-anak, ibu hamil, hingga ibu menyusui.

FSGI berharap pemerintah menjalankan program MBG dengan prinsip tanggung jawab, kepastian hukum, serta asas pemerintahan yang baik.

(cyu/cyu)



Sumber : www.detik.com

Guru Besar UGM Saran MBG Dikelola Kantin Sekolah, Belajar dari Negara Maju



Jakarta

Guru Besar Departemen Manajemen Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM) Agus Sartono sarankan agar program makan bergizi gratis (MBG) dikelola oleh kantin sekolah. Mengapa hal ini perlu dilakukan?

Ia menjelaskan, MBG dilaksanakan di Indonesia usai belajar dari pengalaman berbagai negara lainnya. Beberapa negara yang dimaksud yakni Brasil dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT).

Bukan hanya dasar programnya, Agus menyoroti berbagai praktik baik menjalankan MBG di negara maju seharusnya juga bisa diperhatikan. Termasuk tentang program MBG yang dilaksanakan melalui kantin sekolah.


“Cara ini lebih baik dibanding dengan cara atau sistem yang diterapkan di Indonesia saat ini,” tuturnya dikutip dari laman resmi UGM, Minggu (5/10/2025).

Melalui kantin sekolah, menurutnya makanan yang tersaji dalam MBG akan lebih segar dan tidak cepat basi. Seluruh prosesnya bisa terkontrol dengan baik lantaran berada dalam lingkup yang relatif kecil.

Agus yakin cara-cara seperti ini bisa dilakukan di Indonesia. Sekolah bisa bekerja sama dengan komite untuk proses pengelolaannya.

“Sekolah bersama komite sekolah saya kira mampu mengelola ini dengan baik,” urainya.

Jika sistem MBG dilakukan oleh kantin, ia berpendapat, kebutuhan baku bahan makanan bisa dipenuhi dari UMKM sekitar sekolah. Langkah ini dapat berimbas pada terciptanya sirkulasi ekonomi yang baik.

“Dengan demikian sekolah mendapatkan dana utuh sebesar Rp 15 ribu per porsi, bukan seperti yang terjadi selama ini hanya sekitar Rp 7.000 per porsi,” tegas Agus.

Uang MBG Diberikan Secara Tunai ke Siswa

Jika proses pengolahan MBG tidak mungkin dilakukan oleh kantin sekolah, Agus memberikan alternatif lain. Ia mengatakan, dana bisa diberikan secara tunai kepada siswa.

Sistem ini akan melibatkan orang tua yang harus membelanjakan dan menyiapkan bekal kepada anak-anaknya. Jika ingin diterapkan, Badan Gizi Nasional (BGN) harus menyusun panduan teknis dan melakukan pengawasan.

Dalam pelaksanaannya, guru di sekolah juga perlu bertindak tegas. Ketika ada anak yang tidak membawa bekal, sekolah perlu memberi peringatan hingga memanggil orang tuanya.

“Jika sampai satu bulan tidak membawa (bekal), bisa memanggil orang tuanya dan jika masih terus, bisa dihentikan,” tegas Agus Sartono.

Cara seperti ini dinilainya lebih efektif dan menanggulangi praktik pemburu rente atau uang program rutin. Dana MBG bisa ditransfer langsung ke siswa setiap bulan layaknya penyaluran KIP atau BOS.

Penyebab Keracunan MBG

Agus juga mencoba merunut mengapa persoalan keracunan MBG bisa mencuat. Menurutnya hal ini bisa terjadi karena panjangnya rantai penyaluran makanan.

Seperti yang diketahui, penyaluran MBG dilakukan melalui Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) kepada sekolah-sekolah. Proses ini menurut Agus hanya menguntungkan pengusaha besar, mengingat ia menemukan anggaran yang seharusnya Rp 15 ribu per anak menjadi Rp 7 ribu saja.

“Program Makan Bergizi Gratis pun bisa menjadi ‘Makar Bergiri Gratis’ bagi pengusaha besar karena mereka mendapat keuntungan yang besar secara ‘gratis’,” singgungnya.

Ia mencoba menghitung pendapatan yang diterima SPPG. Jika margin per porsi diambil Rp 2 ribu dan satu SPPG melayani 3.000 porsi, maka keuntungan yang diperoleh sebesar Rp 150 juta per bulan atau Rp 1,8 miliar per tahun.

“Secara nasional margin Rp 2.000 dari Rp 15.000 atau sekitar 13 persen merupakan suatu jumlah yang besar. Karenanya implementasi MBG dengan memberikan tunai kepada siswa akan mampu menekan dan menghilangkan kebocoran/keuntungan pemburu rente sebesar Rp 33,3 triliun,” papar Agus.

Meski sudah berjalan, Agus yakin masih ada waktu untuk BGN berbenah diri soal MBG. Ia mengajak pemerintah untuk perpendek rantai distribusi MBG dan menghilangkan cara-cara kotor dalam prosesnya.

“Saya kira masih belum terlambat, dan ajakan saya mari kita perpendek rantai distribusi MBG agar lebih efektif dan hilangkan cara-cara kotor memburu rente. Jadikan MBG benar-benar sebagai Makan Bergizi Gratis bagi siswa,” pungkasnya.

(det/twu)



Sumber : www.detik.com

Dosen IPB Tegaskan Ikan Hiu Bukan Bahan Pangan yang Aman bagi Anak!



Jakarta

Dosen Program Studi Manajemen Industri Jasa Makanan dan Gizi Sekolah Vokasi IPB University, Rosyda Dianah menegaskan bahwa ikan hiu bukanlah bahan pangan yang aman bagi anak-anak. Hal ini diungkapnya usai kasus keracunan menu Makan Bergizi Gratis (MBG) di SDN 12 Benua Kayong, Ketapang, Kalimantan Barat.

Rosyda menyebut ikan hiu mengandung logam berat di dalam tubuhnya karena perannya sebagai predator puncak. Untuk itu, daging ikan hiu berbahaya jika dikonsumsi manusia, apalagi anak-anak.

“Hiu adalah predator puncak yang mudah mengakumulasi merkuri, arsenik, dan timbal melalui proses biomagnifikasi. Akumulasi ini menjadikan daging hiu berbahaya jika dikonsumsi manusia,” tutur Rosyda dikutip dari laman resmi IPB University.


Dampak Memakan Daging Ikan Hiu pada Anak

Dalam rantai makanan, ada sebuah proses yang disebut dengan biomagnifikasi atau keadaan ketika konsentrasi zat beracun meningkat. Merkuri yang ada di laut umumnya terserap oleh tumbuhan laut lalu berpindah ikan.

Lantaran hiu adalah predator puncak yang memakan ikan lain, merkuri yang ada di proses sebelumnya akan terkumpul dalam jumlah tinggi di tubuh hiu. Kandungan merkuri pada daging hiu bersifat racun yang dapat menimbulkan mual hingga gangguan saraf serius.

Rosyda menekankan, anak-anak menjadi kelompok yang paling rentan terhadap efek ini. Oleh karena itu, seharusnya pengolahan daging hiu tidak jadi pilihan pada MBG.

“Kandungan metil merkuri pada hiu bersifat toksik, dapat menimbulkan mual, muntah, sakit kepala, hingga gangguan saraf serius,” jelas Rosyda.

Tidak hanya daging, sirip ikan hiu juga mengandung merkuri dan arsenik dalam kadar tinggi. Paparan arsenik dapat merusak hati, ginjal, kulit, dan paru-paru.

Jenis logam terakhir yang ada di daging hiu adalah timbal. Jika dikonsumsi, timbal bisa menimbulkan gejala kejang, koma, bahkan kematian.

“Pemilihan ikan hiu sebagai bahan menu Makan Bergizi Gratis (MBG) jelas tidak tepat, apalagi untuk konsumsi anak sekolah,” tegasnya.

Makanan MBG Harus Aman

Tidak sembarangan, penyusunan makanan anak-anak di MBG harus mengikuti konsep B2SA, yakni beragam, bergizi, seimbang, dan aman. Konsep ini bisa memastikan anak memperoleh energi dan gizi yang cukup tanpa risiko kesehatan.

Bila konsepnya siap diterapkan, Rosyda mengingatkan agar bahan makanan yang dibeli harus bisa diterima anak-anak dengan tetap menyesuaikan kemampuan daya beli masyarakat

Sorot Kebersihan Dapur dan Distribusi Makanan

Hal penting lainnya yang tak luput dari sorotan Rosyda yaitu kebersihan dapur dan distribusi makanan. Ia menekankan, dapur pembuatan MBG harus selalu bersih, bebas kontaminasi, memiliki fasilitas cuci tangan, serta memenuhi standar pengendalian hama.

Sedangkan distribusi makanan MBG ke sekolah diharapkan tepat waktu. Terlambatnya distribusi berpengaruh pada keamanan pangan.

Kasus yang terjadi di Ketapang, baginya merupakan sebuah pembelajaran yang harus diperhatikan. Masyarakat diharapkan lebih berhati-hati dalam memilih serta mengelola pangan.

“Anak-anak tidak boleh dijadikan korban dari kelalaian dalam penyusunan menu dan pengelolaan makanan. Konsep B2SA harus menjadi pedoman utama,” pungkasnya.

(det/twu)



Sumber : www.detik.com

Pakar UGM Sebut Celah Ini Picu Keracunan MBG



Jakarta

Angka keracunan massal Makan Bergizi Gratis (MBG) tembus 10.482 anak per 4 Oktober 2025, berdasarkan catatan Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI). Dalam kurun 29

September-3 Oktober 2025, korban keracunan MBG mencapai 1.883 anak, lebih tinggi dari rata-rata mingguan 1.531 anak/minggu.


Merespons lonjakan kasus keracunan MBG, Pusat Kedokteran Tropis Universitas Gadjah Mada (PKT UGM) menilai kejadian luar biasa (KLB) ini menunjukkan perlunya evaluasi menyeluruh agar aman dilaksanakan.

Direktur PKT UGM, Dr dr Citra Indriani MPH menjelaskan ada celah risiko keracunan MBG dari pengelolaan makanan yang dilakukan Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG).

Celah Risiko Keracunan MBG

Ia menjelaskan, pengelolaan makanan skala besar menjadi celah keracunan. Terlebih jika jumlahnya di luar kapasitas pengelola.

Citra menyorot skala produksi SPPG disebut setara, bahkan lebih, dari katering industri. Sayangnya, kondisi ini tidak diikuti dengan disiplin terhadap standar Hazard Analysis and Critical Control Points (HACCP) yang seharusnya ditaati produksi skala besar tersebut.

Ia mengungkap, hasil kajian investigasi UGM terhadap sejumlah kasus KLB pangan terkait MBG di Yogyakarta menunjukkan terdapat kesenjangan penerapan kaidah HACCP.

Di samping itu, pihak UGM menemukan minimnya pengawasan dan terbatasnya pengetahuan pelaksana MBG di lapangan.

“Jumlah porsi yang diproduksi setiap hari sangat besar. Setiap celah dalam proses, mulai dari pemilihan bahan baku, memasak, penyimpanan, hingga distribusi, bisa berdampak pada ribuan anak sekolah,” kata Citra, dikutip dari laman UGM, Senin (6/10/2025).

Masalah Pengelolaan Pangan Skala Besar

Investigasi UGM juga mengungkap total durasi antara proses memasak, pengemasan, sampai konsumsi sering kali lebih dari 4 jam. Masalahnya, manajemen penyimpanan makanan dengan jumlah besar tersebut belum memadai.

Di proses memasak sendiri, Citra mengatakan beberapa menu kurang matang lantaran dimasak dalam banyak porsi.

Sedangkan di tahap pengemasan, ia mengatakan sejumlah sekolah mengemas ulang makanan tanpa dipanaskan kembali.

“Kondisi ini memperbesar risiko terjadinya keracunan massal,” ucapnya.

Saran Perbaikan untuk Hindari Keracunan MBG

Berikut sejumlah rekomendasi PKT UGM untuk perbaikan MBG:

  • Standarisasi fasilitas dan kapasitas SPPG
  • Asesmen awal untuk menilai kelayakan produksi massal
  • Penerapan SOP berbasis HACCP, mulai dari bahan baku sampai siap dikonsumsi siswa.
  • Kewajiban pelatihan keamanan pangan dan memastikan setiap staf SPPG mengantongi Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS).
  • Pengawasan, termasuk mekanisme kontrol yang jelas, monitoring periodik, serta penguatan koordinasi lintas sektor.

“Kolaborasi berbagai pihak mutlak diperlukan agar anak-anak benar-benar mendapat manfaat program tanpa terpapar risiko keracunan pangan,” ucap Citra.

(twu/faz)



Sumber : www.detik.com

Pakar UGM Ungkap Beda Alergi dan Keracunan Serta Cara Menanganinya


Jakarta

Pakar sekaligus Guru Besar Mikrobiologi Klinik Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Tri Wibawa soroti banyaknya kasus keracunan makanan dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG). Terlebih korban dari kasus ini berasal dari kalangan siswa yang menjadi sasaran MBG.

Tri menjelaskan selain menyoroti kasusnya, masyarakat dan tenaga pendidik perlu memahami tentang perbedaan alergi dan keracunan makanan. Pemahaman ini diperlukan agar masyarakat bisa mengambil langkah pertolongan pertama yang tepat bila hal itu terjadi.

Lalu apa perbedaan diantara keduanya? Dikutip dari laman resmi UGM, Kamis (9/10/2025) berikut informasinya.


Perbedaan Alergi dan Keracunan Makanan

Alergi dijelaskan Tri sebagai reaksi yang diberikan sistem kekebalan tubuh setelah mengonsumsi makanan tertentu. Reaksi ini bisa timbul bahkan ketika seseorang memakan makanan pemicu alergi sekecil apapun.

“Makanan pemicu alergi dapat menyebabkan gejala seperti biduran, pembengkakan saluran pernapasan yang memicu asma, hingga gangguan pencernaan,” tuturnya.

Alergi makanan yang menimpa seseorang tidak bisa dipandang sebelah mata. Hal ini bisa terjadi karena dalam beberapa kasus reaksi alergi dapat berujung pada kondisi yang mengancam jiwa atau dikenal sebagai anafilaksis.

Berbeda dengan alergi, keracunan makanan tidak berhubungan dengan reaksi sistem imun manusia. Keracunan makanan bisa terjadi karena masuknya kuman atau zat berbahaya dari makanan/minuman yang dikonsumsi.

Ketika seseorang mengalami keracunan makanan, biasanya ada gejala yang ditimbulkan. Gejala yang dimaksud seperti sakit perut, muntah, dan diare yang muncul beberapa jam hingga hari setelah mengonsumsi makanan.

Sebagian besar kasus keracunan makanan bersifat ringan, sehingga bisa sembuh tanpa pengobatan khusus. Tetapi, dalam kondisi tertentu kasus ini bisa berakibat serius jika tidak ditangani, terlebih bila pemicunya adalah bakteri seperti Salmonella sp dan Escherichia coli (E. coli).

Bakteri Salmonella sp bisa bertahan dalam tubuh, terhindar dari asam lambung, dan bisa menyerang mukosa usus. Dengan begitu, bila keracunan karena bakteri ini, biasanya seseorang akan merasa sakit perut karena terjadi peradangan serta luka pada dinding usus.

Sedangkan, bakteri E coli mampu menghasilkan toksin Shiga (Shiga toxin-producing E. coli / STEC). Toksin ini dapat menyebabkan penyakit tular makanan yang parah.

Tri menegaskan setiap kasus keracunan memiliki penanganan yang berbeda-beda. Penangan yang dimaksud sesuai dengan jenis bakteri yang menyerang tubuh.

“Meskipun gejalanya mirip, mekanisme penyebabnya berbeda-beda tergantung jenis bakterinya,” ungkapnya.

Tips Beri Pertolongan Pertama Saat Keracunan Makanan

Dalam konteks MBG, Tri memberikan tips beri pertolongan pertama saat keracunan makanan, yakni:

1. Cegah Dehidrasi

Jika gejala keracunan yang timbul adalah muntah dan diare, korban bisa kehilangan cairan dan elektrolit. Untuk itu langkah paling penting yang harus dilakukan adalah mengganti cairan dan elektrolit yang hilang agar mencegah korban dehidrasi.

Ia menyarankan agar penderita banyak minum air putih. Jika dirasa kurang, orang tersebut juga bisa diberikan suplemen elektrolit.

“Jika muntah masih terjadi, minumlah sedikit demi sedikit. Dan jika kondisi memburuk, segera cari pertolongan dari petugas kesehatan,” tambahnya.

2. Jangan Panik Kalau Demam

Selain muntah dan diare, demam bisa menjadi salah satu gejala yang mungkin muncul saat keracunan. Ketika hal ini terjadi, detikers diharapkan tidak panik.

Demam disebutkan Tri menjadi mekanisme alami tubuh dalam melawan infeksi. Peningkatan suhu tubuh dapat membantu memperlambat pertumbuhan bakteri serta mengoptimalkan kerja sistem imun.

“Demam membantu mengendalikan infeksi dengan memberi tekanan panas pada patogen dan meningkatkan efektivitas sistem kekebalan tubuh,” paparnya.

Meski ada langkah pertolongan pertama ketika keracunan makanan datang, Tri mengingatkan mencegah adalah langkah paling baik. Diperlukan pengawasan yang ketat terhadap seluruh rantai produksi makanan MBG.

Menurutnya, setiap tahap proses baik dari pemilihan bahan, penyimpanan, pengolahan, hingga distribusi dapat menjadi titik masuk bagi bakteri, virus, jamur, atau parasit penyebab keracunan. Oleh karena itu, standar kebersihan harus diterapkan secara optimal.

Tri berpesan agar masyarakat juga harus paham perbedaan antara alergi dan keracunan, serta upaya preventif terjadinya keracunan makanan. Keduanya merupakan kunci untuk mecegah risiko fatal dari keracunan makanan.

“Kata kuncinya adalah menjaga mutu bahan dan proses, menaati standar kebersihan, dan segera bertindak tepat ketika gejala muncul,” tandasnya.

(det/pal)



Sumber : www.detik.com

Honeymoon Berujung Duka di Solok: Istri Meninggal-Suami Kritis



Solok

Niat hati ingin berbulan madu, tapi pasangan suami istri (pasutri) di Solok malah berujung duka. Sang istri meninggal dunia, sedangkan suaminya kritis.

Pasutri yang sedang berbulan madu itu mengalami kejadian tragis saat menginap di sebuah glamping di kawasan pinggir Danau Diateh, Alahan Panjang Solok, Sumatera Barat.

Pasangan yang baru menikah itu diduga mengalami keracunan akibat kebocoran gas dari tabung pemanas air di bagian kamar mandi glamping.


Sang istri bernama Cindy Desta Nanda (28 tahun) meninggal dunia. Sementara sang suami, Gilang Kurniawan (28 tahun) sempat pingsan dan dilarikan ke rumah sakit.

Kapolsek Lembah Gumanti, AKP Barata Rahmat Sukarsih menyebutkan peristiwa berawal saat pasutri itu masuk ke penginapan pada Rabu (8/10/2025) siang.

Pasutri asal Padang itu kemudian menginap untuk berbulan madu. Pada Kamis (9/10/2025) pagi, datang pelayan mengantarkan sarapan pagi.

“Saat pelayanan mau mengantarkan sarapan pagi pasutri itu masih merespons atau menyahut kedatangan pelayan,” kata Barata kepada wartawan, Sabtu (11/10/2025).

Namun saat itu sarapan belum sempat diberikan karena pasutri tersebut sedang mandi. Setelah pelayan itu kembali lagi dan mau mengantarkan sarapan, pasutri tersebut sudah tidak lagi merespons.

“Saat pelayan datang untuk kedua kalinya, pasutri itu tidak lagi menyahut,” kata Barata.

Kemudian pelayan itu memberitahu ke rekannya lain lalu mereka masuk ke dalam kamar dengan cara membuka paksa pintu.

“Mereka menemukan kedua pasutri sedang tergeletak di lantai kamar mandi,” kata Barata.

Kemudian kedua korban dilarikan ke Puskesmas Alahan Panjang. Di Puskesmas itu, sang istri Cindy Desta Nanda (28) dinyatakan meninggal dunia. Sedangkan suami, Gilang Kurniawan dirujuk ke RSUD Arosuka dengan kondisi kritis.

Pihak kepolisian belum bisa menyimpulkan penyebab pasti kematian korban, meskipun ada dugaan akibat kebocoran tabung gas untuk kebutuhan air panas yang ada di dalam kamar mandi. Lokasi penginapan tersebut memang berada di dekat danau, sehingga lokasi sangat dingin

“Kondisi suami saat ditemukan dalam kondisi kritis. Dilarikan ke Puskesmas Alahan Panjang, lalu dirujuk ke RSUD Aro Suka. Kemudian dirujuk lagi ke SPH Padang,” kata Barata Rahmat.

“Kami belum bisa menyimpulkan. Kalau untuk kemungkinan-kemungkinan bisa semua. Tapi belum bisa dipastikan,” katanya lagi.

——–

Artikel ini telah naik di detikSumut.

(wsw/wsw)



Sumber : travel.detik.com

6 Tanaman Beracun di Dunia dan Ciri-cirinya, Jangan Asal Sentuh!



Jakarta

Seperti halnya hewan, sejumlah spesies tumbuhan juga mengembangkan mekanisme perlindungan diri. Bedanya, tumbuhan tidak memiliki kemampuan untuk melarikan diri, sehingga mereka harus mengandalkan strategi lain.

Pertahanan tersebut bisa berbentuk perlindungan fisik, seperti duri atau rambut tajam pada batang dan daun. Namun, banyak pula tumbuhan yang menggunakan pertahanan kimiawi, yakni dengan memproduksi racun.

Racun ini menimbulkan efek mulai dari iritasi ringan hingga kematian bagi hewan pemakan tumbuhan. Tanaman beracun tidak hanya tumbuh di hutan liar, tapi juga bisa ditemukan di taman atau pekarangan rumah. Dari Oleander yang sering jadi tanaman hias, hingga Manchineel yang dijuluki “pohon kematian”.


Berikut 6 tanaman yang dikenal paling berbahaya di dunia seperti dikutip dari BBC Wildlife. Yuk, kenali ciri-cirinya supaya detikers tidak salah sentuh dan bisa lebih waspada saat berinteraksi dengan alam!

1. Deadly Nightshade (Atropa belladonna)

Sekilas, tanaman ini tampak cantik dengan bunga ungu keunguan dan buah beri hitam mengkilap. Namun jangan tertipu! Atropa belladonna mengandung atropine dan scopolamine, dua racun yang bisa melumpuhkan sistem saraf.

Nama tanaman ini berasal dari kata Yunani “Atropos” dan merujuk pada salah satu dari tiga Dewi Takdir dalam mitologi Yunani seperti dikutip dari Science Direct. Adapun “Bella-donna” adalah frasa Italia yang berarti “wanita cantik”.

Ciri-ciri:

  • Bunga berbentuk lonceng berwarna ungu kecoklatan.
  • Buah berupa beri bulat kehitaman, mirip blueberry, dengan permukaan mengkilap.
  • Tinggi tanaman bisa mencapai 1,5 meter.
  • Tumbuh di daerah lembap Eropa dan Asia Barat.
  • Efek racunnya dapat menyebabkan pupil melebar, halusinasi, jantung berdebar, hingga kematian bila dikonsumsi dalam jumlah besar. Di masa Romawi, racun ini bahkan pernah digunakan untuk meracuni musuh.

Namun, kandungan yang dimiliki tanaman ini juga bisa dimanfaatkan untuk pengobatan dengan takaran yang tepat.

2. Manchineel (Hippomane mancinella)

Disebut sebagai pohon paling berbahaya di dunia, Manchineel tumbuh di kawasan tropis Amerika Tengah dan Kepulauan Karibia. Dikutip dari laman University of Florida, nama “manchineel” berasal dari bahasa Spanyol “manzanilla”, yang berarti “apel kecil” mengacu pada daun dan buah pohon apel. Namun, karena sifatnya yang sangat beracun, orang Spanyol juga menjuluki pohon ini “arbol de la muerte” yang berarti “pohon kematian”.

Ciri-ciri:

  • Kulit batang abu-abu dengan getah putih kental yang sangat beracun.
  • Daunnya hijau mengkilap, buah kecil mirip apel, aromanya manis menipu.
  • Biasanya tumbuh di tepi pantai berpasir atau hutan mangrove.
  • Efek getahnya mengandung phorbol ester yang bisa menyebabkan kulit melepuh. Asap dari pembakaran rantingnya dapat membuat mata dan tenggorokan terbakar.
  • Air hujan yang menetes dari daunnya saja bisa menimbulkan luka bakar kimia di kulit!

3. Rosary Pea (Abrus precatorius)

Menurut Extension Gardner, tanaman merambat ini sering dijumpai di daerah tropis Asia, termasuk Indonesia, dan dikenal dengan nama Saga Gunung atau Saga Pohon. Bijinya berwarna merah mengkilap dengan titik hitam, sering dijadikan manik-manik gelang, padahal sangat beracun!

Ciri-ciri:

  • Daun kecil majemuk, mirip daun saga biasa.
  • Biji berwarna merah cerah dengan bintik hitam di salah satu ujungnya.
  • Merambat di pagar, pepohonan, atau semak.
  • Bijinya mengandung abrin, racun yang lebih mematikan daripada racun ular kobra. Mengunyah satu biji saja bisa menyebabkan gagal ginjal dan kematian. Meski cangkangnya keras, saat pecah racunnya mudah masuk ke tubuh.

4. Oleander (Nerium oleander)

Bunga oleander sering menghiasi taman karena warnanya yang indah-merah muda, putih, atau kuning. Tapi di balik tampilannya, semua bagian tanaman ini mengandung oleandrin, racun yang menyerang jantung.

Ciri-ciri:

  • Bunga berwarna cerah dengan kelopak tebal dan aroma lembut.
  • Daun memanjang, hijau pekat, tersusun berhadapan.
  • Batangnya berkayu dan dapat tumbuh hingga 3 meter.
  • Efek racunnya menyebabkan muntah, pusing, detak jantung tidak teratur, bahkan henti jantung jika tertelan. Hewan peliharaan seperti kucing dan anjing juga bisa keracunan bila menggigit daunnya.

Di beberapa daerah, tanaman ini sering disalah artikan sebagai tanaman yang aman karena banyak dijual sebagai tanaman hias.

5. Bunga Bakung Gunung (Convallaria majalis)

Si mungil beraroma manis ini kerap dipakai dalam buket pernikahan, tapi siapa sangka ia menyimpan racun jantung yang berbahaya.

Ciri-ciri:

  • Bunga putih kecil berbentuk lonceng, menggantung pada tangkai panjang.
  • Daunnya lebar dan hijau cerah, menyerupai daun pisang mini.
  • Berbuah merah jingga saat musim panas.
  • Mengandung cardiac glycosides seperti convallatoxin yang bisa mengganggu ritme jantung. Gejala umum yang dapat ditimbulkan antara lain: mual, muntah, dan detak jantung tidak teratur.

Meski baunya harum, sebaiknya jangan menyentuh atau mencium terlalu dekat bila kamu memiliki kulit sensitif.

6. Monkshood (Aconitum spp.)

Disebut juga “wolf’s bane”, tanaman ini punya bunga ungu kebiruan yang elegan, sering jadi favorit di taman bergaya Eropa. Namun, racunnya, aconitine, termasuk salah satu neurotoksin paling kuat di dunia.

Ciri-ciri:

  • Bunga menyerupai tudung biksu (itulah asal nama Monkshood).
  • Daunnya menjari dengan tepi bergerigi halus.
  • Tumbuh di daerah pegunungan atau dataran tinggi yang sejuk.
  • Efek racunnya dapat menyebabkan mati rasa, kesemutan, gangguan pernapasan, hingga henti jantung hanya dalam waktu 30 menit jika tertelan. Bahkan menyentuh akarnya tanpa sarung tangan bisa menimbulkan iritasi.

Para ilmuwan menyebut tanaman-tanaman ini sebagai contoh mekanisme pertahanan alami yang ekstrim. Racun pada tumbuhan sejatinya berevolusi untuk melindungi diri dari herbivora dan serangga, bukan untuk menyerang manusia. Namun, pengetahuan tentang ciri dan bahayanya penting agar kita bisa menghargai alam tanpa mengundang risiko.

(pal/pal)



Sumber : www.detik.com

Banyak SPPG Ganti Menu Jadi Snack-Biskuit, Wamenkes: MBG Harus Dimasak


Jakarta

Belakangan tidak sedikit satuan pelayanan pemenuhan gizi (SPPG) yang mengganti menu makan bergizi gratis dengan snack dan roti kering. Hal ini ikut disoroti Wakil Menteri Kesehatan dr Benjamin Paulus Octavianus.

Ia menegaskan, kebijakan itu tidak sejalan dengan tujuan program makan bergizi gratis (MBG) yang mengutamakan makanan segar dan dimasak langsung.

“Saya setuju bahwa dari Kementerian Kesehatan, masyarakat harus diberikan makanan yang dimasak. Karena makanan yang dimasak itu kualitasnya lebih aman dibanding kita pakai biskuit atau makanan kering lain,” ujar Benjamin, dalam Temu Media di Kementerian Kesehatan RI, Jumat (17/10/2025).


dr Benjamin menjelaskan berdasarkan laporan terakhir yang diterima Kementerian Kesehatan, Jumat pagi (17/10), terdapat 439 kasus keracunan pangan MBG di delapan kabupaten. Tren tersebut menurutnya fluktuatif.

“Kemenkes ini luar biasa, laporan tadi pagi 439 kasus di delapan kabupaten. Kami punya laporan setiap hari, kemarin 200, sebelumnya 103, jadi naik-turun dari sekitar hampir 35 juta orang yang makan,” jelasnya.

Ia menegaskan, target pemerintah adalah zero case, artinya tidak boleh ada satu pun kasus keracunan dalam program makan bergizi gratis.

“Targetnya kita ya harus zero, nggak boleh ada orang keracunan,” tegas Benjamin.

Alasan SPPG Beralih ke Snack Kering

Menurut Benjamin, sebagian SPPG memilih menyediakan makanan kering seperti biskuit atau snack kemasan karena kendala operasional di lapangan, misalnya belum memiliki dapur layak atau keterbatasan waktu dalam pengadaan bahan segar.

“Memang ada yang sudah mampu langsung masak makanan, ada juga yang karena harus segera membeli makan, akhirnya memilih makanan jadi seperti biskuit,” katanya.

Namun, pemerintah ingin memastikan setiap penerima program mendapatkan makanan bergizi yang benar-benar memenuhi standar keamanan dan nilai gizi.

Kementerian Kesehatan kini tengah memperkuat sistem pengawasan terhadap mutu makanan yang disalurkan oleh SPPG, termasuk menyiapkan standar kelayakan dapur, sanitasi, dan pelatihan pengelolaan bahan makanan. Benjamin menyebut peningkatan kualitas ini menjadi kunci untuk menjaga keberlanjutan dan kredibilitas program.

“Kita tingkatkan kualitasnya. Makanan yang berproses dan dimasak itu jauh lebih baik untuk kesehatan penerima manfaat,” ucapnya.

(naf/up)



Sumber : health.detik.com

Wamenkes Benny Jelaskan Alasan MBG Tak Disetop Meski Ada Kasus Keracunan


Jakarta

Menghentikan program makan bergizi gratis (MBG) dinilai pemerintah bukan menjadi langkah tepat untuk menekan kemungkinan bertambahnya kasus keracunan pangan. Wakil menteri kesehatan baru dr Benjamin Paulus Octavianus yang kini ikut mendampingi Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, menekankan kejadian luar biasa (KLB) keracunan pangan MBG sebetulnya terjadi saat dapur MBG atau satuan pelayanan pemenuhan gizi (SPPG) sudah beroperasi tanpa kesiapan, khususnya fasilitas sanitasi.

Dorongan untuk penghentian MBG dinilai relatif tak berdasar lantaran lebih dari 99 persen pelaksanaan MBG berjalan baik di berbagai daerah.

“Kalau ada satu lokasi bermasalah lalu 10 ribu titik lain ikut dihentikan, itu justru merugikan. Tugas kami menjaga, memantau, dan mencegah agar kejadian seperti itu tak terulang,” kata pria yang akrab disapa dr Benny, dalam Temu Media di Kemenkes RI, Jumat (17/10/2025).


Kemenkes RI disebutnya kini ikut terlibat dalam pengawasan keamanan MBG, dengan menggerakkan dinas kesehatan di setiap daerah.

Salah satu langkah tegas yang diberlakukan adalah SPPG dengan fasilitas tak layak, dilarang melanjutkan operasional.

“Sekarang setiap pagi kami menerima laporan dari tim di lapangan. Pemantauan berjalan setiap hari di seluruh puskesmas yang memantau SPPG. Jadi pengawasan sudah jauh lebih bagus,” ujarnya di Jakarta, Jumat (18/10/2025).

Sebagai langkah perbaikan, Kemenkes RI juga mengusulkan penambahan ahli kesehatan lingkungan di setiap pelaksana MBG untuk memastikan aspek kebersihan dan keamanan makanan.

“Menambah satu petugas khusus di setiap unit itu tidak mudah karena berarti menambah anggaran. Tapi ini sudah disetujui, dan ini langkah luar biasa untuk menjaga keamanan pangan,” jelasnya.

Terkait regulasi, Kemenkes juga telah memberikan masukan terhadap Peraturan Presiden (Perpres) terkait tata kelola MBG. Usulan tersebut kini tengah dibahas di tingkat pemerintah pusat bersama Badan Gizi Nasional (BGN).

“Usulan Perpres sudah masuk dan kami sudah berikan masukan. Semua kementerian terkait juga dilibatkan,” ujarnya.

Kemenkes menekankan, program MBG masih dalam tahap awal dan akan terus disempurnakan.

“Ini proyek besar, pasti ada kekurangan. Tapi semua langkah perbaikan terus dilakukan agar masyarakat tetap aman dan mendapat manfaat maksimal,” tegasnya.

(naf/naf)



Sumber : health.detik.com