Tag Archives: kisah

Kisah Utsman bin Affan dan Kedermawanannya dalam Berbagi



Jakarta

Utsman bin Affan merupakan sosok sahabat Rasulullah SAW yang dikenal akan kedermawanannya. Dia juga termasuk ke dalam golongan yang pertama memeluk Islam atau biasa disebut Assabiqunal Awwalun.

Usia Utsman dengan Nabi Muhammad terpaut 6 tahun lebih muda. Dirinya juga merupakan sosok pemimpin ketiga setelah Abu Bakar As-Shiddiq dan Umar bin Khattab.

Utsman memeluk Islam atas ajakan Abu Bakar Ash-Shiddiq. Saat Rasulullah SAW diangkat menjadi nabi, usia Utsman kala itu masih 34 tahun.


Nama lengkapnya Utsman bin Affan bin Abil Ash bin Umaiyah bin Abdusy Syams bin Abdul Manaf bin Qushai bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luwa’i bin Ghaib bin Fihr bin Malik bin an-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’addu bin Adnan. Ia lahir di Thai kawasan Hijaz, sebuah wilayah bagian barat laut Arab Saudi.

Sebagai sosok yang dermawan, Utsman bin Affan tidak pernah ragu dalam menyumbangkan hartanya di jalan Allah dan membantu sesama. Dijelaskan dalam buku Utsman bin Affan RA susunan Abdul Syukur al-Azizi, Syurahbil bin Muslim RA menuturkan bahwa Utsman pernah memberi makan banyak orang dengan makanan para bangsawan.

Setelahnya, Utsman masuk ke rumahnya untuk makan cuka dan minyak samin. Dia memberikan makanan yang baik-baik kepada orang lain sementara dirinya hanya memakan cuka dan minyak samin.

Mengutip dari buku Kisah Edukatif 10 Sahabat Nabi yang Dijamin Masuk Surga tulisan Luthfi Yansyah, kedermawanan dan kemurahan hati Utsman tidak ada yang menandingi. Ketika masjid Nabawi terasa sempit karena banyak jemaah yang ikut salat, Rasulullah SAW bermaksud membeli tanah milik seorang sahabat untuk keperluan perluasan masjid, beliau berkata:

“Siapa yang membeli tanah keluarga Fulan lalu menambahkannya ke masjid, maka dia akan memperoleh kebaikan dari tanah itu di surga,”

Tanpa pikir panjang, Utsman segera membelinya dari harta pribadi senilai 25 ribu dinar. Dia juga membeli sebuah sumur yang dinamai Sumur Rumah seharga 1000 dirham.

Sumur itu lantas diserahkan kepada kaum muslimin dari berbagai kalangan, baik itu kaya, sederhana, miskin, ataupun mereka yang kehabisan bekal perjalanan. Begitu dermawannya sosok Utsman bin Affan.

Pernah pada suatu ketika di masa kekhalifahan Umar bin Khattab terjadi musim paceklik. Sawah dan ladang menjadi kering sampai-sampai masa itu disebut sebagai tahun Ramadah atau debu.

Kaum muslimin merasa sangat kesulitan hingga banyak nyawa manusia yang terancam. Umar berkata kepada mereka,

“Bersabarlah dan berharap pahala-lah kalian kepada Allah! Aku amat berharap semoga Allah memudahkan kesulitan kalian pada petang ini,”

Di penghujung hari, datanglah kabar bahwa kafilah Utsman bin Affan datang dari Syam dan rombongan tersebut tiba di Madinah pada pagi hari. Usai salat Subuh, masyarakat berbondong-bondong menyambut kedatangan mereka.

Tak disangka-sangka, rombongan yang terdiri dari 1000 unta itu membawa gandum, minyak, dan anggur kering. Kafilah unta tersebut berhenti di depan pintu rumah Utsman.

Bersamaan dengan itu, para budak menurunkan muatan yang ada di punggung unta. Para pedagang segera menemui Utsman dan berkata kepadanya,

“Juallah kepada kami segala yang kau bawa, wahai Abu Amr (panggilan Utsman)!”

Ia lalu menjawab, “Aku akan menjualnya dengan senang hati kepada kalian, akan tetapi berapa harga yang hendak kalian tawarkan kepadaku?”

“Setiap dirhak yang engkau bayarkan akan kami ganti dua dirham!”

“Aku akan mendapatkan lebih dari itu,” ujar Utsman.

Para pedagang akhirnya menambahkan harga tawaran mereka. Namun, Utsman berkata, “Sesungguhnya aku akan mendapatkan lebih dari harga yang kalian tambahkan,”

“Wahai Abu Amr, sesungguhnya tidak ada pedagang lain di Madinah selain kami. Dan tidak ada seorang pun yang mendahului kami datang ke tempat ini. lalu siapa yang telah memberikan tawaran kepadamu melebihi harga yang kami tawarkan?”

“Allah SWT akan memberikan 10 kali lipat dari setiap dirham yang aku bayarkan. Apakah kalian dapat membayar lebih dari ini?” jelas Utsman.

Pedagang itu kemudian menjawab, “Kami tidak sanggup untuk membayarnya, wahai Abu Amr!”

Lalu, Utsman langsung berkata, “Aku bersaksi kepada Allah bahwa aku akan menjadikan semua barang bawaan yang dibawa oleh kafilah ini sebagai sedekah untuk kaum fakir dan miskin. Aku tidak pernah berharap satu dirham ataupun satu dinar sebagai gantinya,”

Saking dermawannya Utsman, ia rela memberikan bantuan pangan yang ada pada 1000 unta itu. Dia tidak mengharapkan uang sebagai ganti, melainkan ridha dan balasan dari Allah SWT.

(aeb/lus)



Sumber : www.detik.com

Kisah Bakti Sa’ad bin Abi Waqqash dengan Sang Ibu yang Beda Keyakinan



Jakarta

Sa’ad bin Abi Waqqash merupakan sahabat Rasulullah yang berasal dari keturunan kaum Quraisy. Pemilik nama asli Sa’ad bin Malik az-Zuhri itu sangat dihormati dan disegani oleh kaumnya.

Sa’ad lahir di Mekkah pada tahun 595 M. Mengutip dari buku Memaafkan yang Tak Termaafkan karya Arifah Handayani, ayahnya bernama Malik bin Wuhaib dan ibunya bernama Hamnah binti Sufyan.

Berasal dari lingkungan yang terdidik dan baik, Sa’ad bin Abi Waqqash menyatakan keislamannya di usia 17 tahun. Meski begitu, masuk Islamnya Sa’ad sangat ditentang oleh sang ibu yang menyembah berhala.


Dikisahkan dalam buku Kisah Edukatif 10 Sahabat Nabi yang Dijamin Masuk Surga yang disusun oleh Luthfi Yansyah, ibu Sa’ad sangat marah mengetahui keislaman putranya. Walau begitu, Sa’ad menghadapi tentangan dari ibunya dengan lemah lembut.

Dengan cara yang baik, Sa’ad berusaha melunakkan hati sang ibu agar membiarkannya dengan jalan yang dipilih. Meski berbeda keyakinan dengan ibunya, Sa’ad tetap menjaga baktinya sebagai seorang anak dan selalu bersikap baik.

Sayangnya, ibu Sa’ad tetap tidak melunak. Ia bahkan bersikukuh untuk tidak makan dan minum sampai Sa’ad meninggalkan Islam.

Mengetahui hal itu, Sa’ad berkata kepada sang ibunda,

“Jangan lakukan itu wahai ibu. Demi Allah, aku tidak akan meninggalkan agamaku, dan tidak akan berpisah darinya,”

Alih-alih luluh akan sikap dan perkataan Sa’ad, ibunya justru bersikeras. Ia mengetahui betul bahwa putranya sangat mencintai dirinya.

Tindakannya untuk tidak makan dan minum mungkin akan membuat Sa’ad iba, terlebih jika kondisi sang ibu menjadi lemah dan tidak sehat lagi. Tetapi, karena Sa’ad tetap teguh dengan akidahnya, ia pun berkata,

“Wahai ibu, demi Allah. Andai engkau memiliki 70 nyawa yang keluar satu demi satu, maka aku tetap tidak akan meninggalkan agamaku untuk selama-lamanya,”

Mengetahui Sa’ad tidak akan melepas keyakinannya sebagai seorang muslimin, ibunya mengalah. Kisah mengenai Sa’ad dan sang ibu bahkan menjadi salah satu alasan diturunkannya surat Luqman ayat 15, Allah SWT berfirman,

وَإِن جَٰهَدَاكَ عَلَىٰٓ أَن تُشْرِكَ بِى مَا لَيْسَ لَكَ بِهِۦ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا ۖ وَصَاحِبْهُمَا فِى ٱلدُّنْيَا مَعْرُوفًا ۖ وَٱتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَىَّ ۚ ثُمَّ إِلَىَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ

Arab latin: Wa in jāhadāka ‘alā an tusyrika bī mā laisa laka bihī ‘ilmun fa lā tuṭi’humā wa ṣāḥib-humā fid-dun-yā ma’rụfaw wattabi’ sabīla man anāba ilayy, ṡumma ilayya marji’ukum fa unabbi`ukum bimā kuntum ta’malụn

Artinya: “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan,”

(aeb/lus)



Sumber : www.detik.com

Saat Ali bin Abi Thalib Dobrak Benteng Kuat Khaibar Seorang Diri



Jakarta

Bersama 1.600 pasukan muslimin, Nabi Muhammad SAW bergerak menuju Khaibar. Pada permulaan bulan Rabiulawal tahun ke-7 Hijriah itu, Rasulullah SAW benar-benar merahasiakan pergerakan pasukannya untuk mengagetkan pasukan Yahudi sekaligus mencegah bantuan-bantuan militer yang datang dari kabilah-kabilah Ghathfan.

Menurut buku Kisah-kisah Manusia Suci susunan Sayyid Mahdi Ayatullah, di bawah lindungan kegelapan malam kaum Muslimin mengepung benteng-benteng Khaibar dan mengambil posisi di antara pepohonan kurma. Pada pagi harinya, pertempuran pun pecah dan jatuhlah benteng-benteng tersebut satu demi satu.

Dalam Perang Khaibar ini, ada sebuah kisah menarik mengenai Ali bin Abi Thalib RA yang turut serta di dalamnya. Keberanian Ali RA dibuktikan dengan menerobos gerbang Khaibar tanpa pelindung sebagaimana dijelaskan melalui buku 125 Cerita Fakta Islam yang Unik & Menakjubkan tulisan Alifa Aryatna.


Sebelumnya, kaum Muslimin kesulitan menaklukkan dua benteng tempat kaum Yahudi berkumpul untuk melakukan perlawanan pada kaum Muslimin dengan menggunakan anak panah. Rasulullah SAW kemudian mengutus Abu Bakar RA memimpin sebagian kekuatan pasukan Islam, sayangnya beliau menelan kekalahan.

Akhirnya Nabi Muhammad SAW mengutus Umar bin Khattab RA, namun kaum Muslimin tetap kalah. Hal itu lantas mendorong kaum Yahudi untuk mengolok-olok kekalahan pasukan Islam.

Kemudian, Rasulullah SAW bersabda:

“Sungguh besok aku akan menyerahkan panji-panji kepada seorang lelaki yang mencintai Allah serta rasul-Nya, dan Allah serta rasul-Nya pun mencintainya. Ia akan bertempur terus dan tidak melarikan diri. Karenanya ia tidak akan kembali hingga Allah memberikan kemenangan kepadanya,”

Mendengar ucapan Nabi Muhammad SAW, pasukan muslim bertanya-tanya siapakah sosok tersebut. Ketika pagi tiba, Rasulullah SAW memanggil Ali bin Abi Thalib RA dan menyerahkan panji-panji kepadanya serta mendoakannya meraih kemenangan.

Ali bin Abi Thalib RA mengibarkan panji-panji dan bergerak bersama pasukan muslim untuk menghadapi musuh-musuh. Kaum Yahudi yang tengah terlena karena sebagian kemenangannya, sehingga sebagian kekuatan mereka berada di luar benteng.

Pada saat itu pula, Ali RA bersama pasukan muslim masuk dan melancarkan serangan tak terduga. Bahkan, Ali RA berhasil membunuh Marhab dan Al Harits yang kala itu merupakan pahlawan Yahudi hingga menimbulkan ketakutan dalam barisan Yahudi.

Setelahnya, pasukan Yahudi menarik diri ke dalam benteng dan mengunci seluruh pintunya. Kaum Muslimin menghalau agar mereka tidak masuk benteng. Namun, ketika pasukan Yahudi masuk dan mengunci pintu benteng, barisan muslimin tidak dapat mendobraknya.

Ali RA kemudian menjulurkan tangannya ke pintu benteng dan menggoyangkan pintu itu sekuat tenaga. Atas izin Allah, dicabutnya pintu tersebut dan dijadikan sebagai jembatan penyeberangan pasukan Islam.

Menyaksikan peristiwa itu, tentara muslim terkejut. Bagaimana bisa Ali RA mendobrak pintu itu seorang diri sementara sebelumnya mereka mencoba mendobrak pintu dengan kekuatan tujuh orang.

Setelah itu, pasukan muslim meraih kemenangan. Kaum Yahudi memohon perdamaian dengan Rasulullah dan meminta untuk tetap diizinkan menghuni rumah-rumah mereka, dengan catatan mereka menyerahkan separuh penghasilan setiap tahun kepada kaum Muslimin.

(aeb/kri)



Sumber : www.detik.com

Kisah Nabi Nuh Membuat Perahu Besar, Selamatkan Umatnya dari Azab Allah



Jakarta

Nabi Nuh merupakan satu dari 25 nabi dan rasul yang dikisahkan dalam Al-Qur’an. Bahkan, ia termasuk ke dalam Ulul Azmi.

Ulul Azmi adalah gelar kenabian istimewa yang Allah berikan kepada para rasul dengan kedudukan khusus, ini disebabkan karena mereka memiliki keteguhan hati, ketabahan, dan kesabaran luar biasa dalam menghadapi segala ujian seperti dijelaskan oleh Khalid Muhammad Khalid dalam Hadza Al-Rasul.

Dakwa Nabi Nuh diperuntukkan bagi Bani Rasib untuk menyampaikan tauhid. Selama masa kenabiannya, ia memperoleh kurang lebih 70 orang pengikut beserta 8 anggota keluarganya.


Bani Rasib memperlakukan Nabi Nuh dengan hina, mereka bahkan menyekutukan Allah. Mengutip dari buku Mutiara Kisah 25 Nabi dan Rasul oleh M Arief Hakim, kaum Nabi Nuh terkenal congkak dan zalim.

Mereka sangat kaya, materialis dan suka meremehkan orang lain. Menurutnya harta benda dan materi adalah satu-satunya tolak ukur untuk mengangkat martabat dan harga diri manusia.

Bahkan, fakir miskin sangat diremehkan dan dipandang sebelah mata. Alih-alih ditolong, mereka malah ditindas.

Para budak dan binatang juga menjadi korban dari kezaliman kaum Nabi Nuh. Melihat hal itu, Nabi Nuh sangat sedih, karenanya ia terus berusaha berdakwah dengan harapan mereka mengikuti ajaran tauhid.

Sayangnya, meski berdakwah sangat lama, pengikut Nabi Nuh hanya sedikit. Kadang-kadang Nabi Nuh merasa lelah dan hampir putus asa, namun Allah selalu membesarkan hatinya.

Sampai suatu ketika, Nabi Nuh memperingatkan kaumnya akan azab dan bencana yang akan melanda. Peringatan itu justru ditantang oleh kaum Nabi Nuh, mereka menganggap beliau pembual.

Akhirnya, Nabi Nuh berdoa dan memohon kepada Allah agar kaumnya diberi pelajaran. Saking zalimnya, tak jarang mereka mengusir Nabi Nuh dan para pengikutnya, bahkan mengancam akan membunuh atau mencelakakannya.

Peringatan banjir yang dahsyat tidak dihiraukan. Nabi Nuh bersama pengikutnya lantas membuat perahu besar dengan cara bergotong-royong.

Kaum Nabi Nuh mengolok-olok mereka dan merasa heran, “Hai Nuh, kalian memang sudah gila. Buat apa membuat perahu, sementara air laut saja tidak ada!”

Setelah Nabi Nuh dan pengikutnya berhasil membuat perahu besar, penghinaan yang dilontarkan oleh kaum Nuh makin menjadi-jadi. Mereka bahkan melakukan penghinaan dengan cara membuang hajat di atas perahu Nuh, menjadikannya sebagai tempat buang air.

Walau begitu, Nabi Nuh kerap memperingatkan mereka akan azab banjir besar yang Allah hendak jatuhkan. Sayangnya, mereka makin semena-mena dan kerap menyebut Nabi Nuh pembohong.

Setelah Nabi Nuh dan pengikutnya membersihkan perahu dari tinja, mereka bersiap-siap sambil membawa perbekalan. Atas izin Allah, dalam perahu itu bahkan ada juga hewan-hewan yang ikut.

Benar saja, banjir bandang menerpa. Saking dahsyatnya banjir tersebut, Allah menganjurkan Nabi Nuh untuk menyelamatkan sejumlah hewan dan binatang piaraan yang menumpang di perahunya.

Saking besarnya banjir tersebut, dianalogikan seperti gulungan air yang bertabrakan juga naik ke atas sehingga membentuk gunung. Perahu itu terombang-ambing oleh air yang menenggelamkan orang-orang kafir.

Ketika Nabi Nuh memandangi banjir tersebut, beliau melihat anaknya, Kan’aan dan berkata, “Wahai anakku, berimanlah kepada Allah. Naiklah ke atas perahu ini sebelum kamu ditelan oleh gelombang air itu, dan ikut binasa bersama orang-orang kafir itu.”

Kan’aan menjawab seperti dalam Surah Hud ayat 43, “Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari air bah!”

Nuh berkata lagi sesuai dalam Surah Hud ayat 43, “Tidak ada yang melindungi hari ini dari azab Allah selain Allah (saja) yang Maha Penyayang.”

Setelah semua penghuni Bumi dan orang kafir tenggelam, kecuali orang-orang yang berada di atas perahu, Allah memerintahkan Bumi untuk menghisap air yang memenuhi daratan, dan langit untuk segera berhenti menurunkan hujan. Atas kuasa Allah, perahu tersebut berlabuh di Gunung al-Juudi, satu-satunya gunung yang tidak tenggelam.

(aeb/nwk)



Sumber : www.detik.com

Kisah Khalid bin Walid Penggal Kepala Jin Uzza



Jakarta

Khalid bin Walid adalah sahabat nabi yang mendapat julukan pedang Allah SWT. Ia dikisahkan pernah memenggal kepala jin Uzza.

Kisah Khalid bin Walid memenggal jin Uzza ini merupakan perintah dari Rasulullah SAW tepatnya setelah menaklukkan Kota Makkah.

Manshur Abdul Hakim menceritakan dalam buku Khalid bin Al-Walid Saifullah Al-Maslul, setelah menaklukkan Kota Makkah Rasulullah SAW mengutus Khalid bin Al Walid untuk menghancurkan berhala Al Uzza yang disembah oleh kaum musyrik Makkah pada zaman Jahiliyah. Berhala itu dihancurkan pada tanggal 25 Ramadan pada tahun tersebut.


Ibnu Ishaq berkata, “Kemudian Rasulullah SAW mengutus Khalid untuk menghancurkan berhala Al-Uzza, yang terletak di sebuah rumah di perkebunan kurma yang disembah oleh suku Quraisy, Kinanah dan Mudhar Penjaga dan pengurus berhala itu adalah dari Bani Syaiban dari kabilah Bani Sulaim sekutu kabilah Bani Hasyim.”

Lebih lanjut diceritakan, ketika penjaganya mendengar Khalid sedang berjalan menuju berhala, maka ia mengalungkan pedangnya di atas berhala, kemudian ia menaiki bukit sambil melantunkan bait syair.

Wahai Al Uzza, hertahanlah dengan kuat jangan lemah
Atas serangan Khalid, lemparkanlah tutup dan bersiaplah Wahai Al Uzza, jika kamu tidak bisa membunuh Khalid
Maka kembaliku dengan dosa akan segara atau kamu yang menang

Ketika Khalid sampai pada berhala, maka ia langsung merobohkannya dan kembali lagi kepada Rasulullah SAW. Al Waqidi dan lainnya meriwayatkan bahwa ketika itu Khalid mendatangi berhala pada tanggal 25 Ramadan.

Rasulullah SAW kemudian bertanya, “Apa yang telah kamu lihat?” Khalid menjawab, “Aku tidak melihat apa-apa.” Lalu Rasulullah SAW memerintahkan untuk kembali lagi.

Ketika Khalid kembali ke tempat itu, tiba-tiba keluar dari rumah berhala seorang wanita hitam yang menguraikan rambutnya sambil berteriak-teriak meratapi kesedihannya. Kemudian Khalid mengacungkan pedangnya ke atas sambil berkata melantunkan bait syair.

Wahai Al-Uzza, kekafiranmu dan ketidaksucianmu
Sesungguhnya aku melihat Allah telah menghinamu

Kemudian Khalid menghancurkan rumah tersebut dan mengambil harta yang ada di dalamnya, lalu ia kembali mengabari Rasulullah SAW.

Maka Rasulullah bersabda, “Itulah Al-Uzza yang tidak akan disembah lagi untuk selamanya.”

Abu Ath-Thufail turut meriwayatkan hal yang sama.

Rasulullah SAW menghancurkan semua berhala yang berada di sekitar Ka’bah dan kabilah-kabilah terdekat. Beliau mengutus para sahabatnya dalam rombongan pasukan kecil untuk menghancurkan berhala-berhala seperti yang dilakukan Khalid terhadap berhala Al-Uzza.

Hanatul Ula Maulidya dalam buku Sang Panglima Tak Terkalahkan “Khalid Bin Walid” juga menceritakan hal yang sama mengenai kisah Khalid bin Walid.

Setibanya di tempat Uzza berada, Khalid bin Walid menghancurkan kepala Uzza menggunakan pedangnya. Kemudian Khalid membakar reruntuhan patung terbesar itu dengan semangat yang berkobar seolah-olah ia ingin membakar dan memusnahkan kekufuran dari muka bumi.

Setelah Khalid bin Walid berhasil menghancurkan Uzza, Khalid mendapat tugas baru dari Nabi Muhammad SAW untuk berangkat ke pemukiman Bani Khuza’ah (Bani Judzaimah) untuk menyebarkan agama Islam.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Muadzin Terbaik di Zaman Rasulullah yang Dijamin Masuk Surga



Jakarta

Muadzin terbaik di zaman Rasulullah SAW adalah Bilal Bin Rabah, seorang budak berkulit hitam. Ia menjadi muadzin pertama yang diperintahkan untuk mengumandangkan adzan sebagai seruan sholat.

Dikisahkan dalam buku Sejarah Ibadah karya Syahruddin El-Fikri, Bilal bin Rabah termasuk salah seorang yang pertama kali masuk Islam sehingga dijuluki sebagai as-sabiqun al-Awwalun.

Awalnya, Bilal merupakan budak milik keluarga bani Abduddar yang diwariskan kepada Umayyah bin Khalaf, seorang tokoh penting kaum kafir. Ketika keislamannya diketahui oleh sang majikan, Bilal mendapat siksaan yang sangat berat.


Ia pernah dicambuk, dijemur di bawah terik matahari, bahkan tubuhnya ditindih dengan batu agar meninggalkan agama Islam. Meskipun demikkian, Bilal tetap tak goyah dan teguh menyatakan keimanannya kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW.

Penderitaan yang dialami Bilal baru berakhir setelah Abu Bakar As-Shiddiq RA membelinya dan memerdekakannya. Ia kemudian menjadi muslim yang taat dan ikut dalam rombongan hijrah ke Madinah.

Turunnya Perintah Adzan dan Ditunjuknya Bilal Sebagai Muadzin

Melansir dari buku Sirah Nabawiyah karya Ibnu Hisyam, pada awal-awal Rasulullah SAW tinggal di Madinah, kaum muslimin mengerjakan sholat lima waktu bersama beliau tanpa adanya panggilan atau seruan.

Nabi SAW pernah bermaksud membuat terompet besar seperti terompet orang Yahudi untuk memanggil para sahabat menunaikan sholat, tetapi beliau tidak menyukainya.

Abdullah bin Zaid bin Tas’alabah menjadi orang yang mendengar seruan adzan dalam mimpinya, lantas bergegas mendatangi Rasulullah SAW dan berkata,

“Wahai Rasulullah, tadi malam aku bermimpi didatangi oleh seseorang. lalu seorang lelaki yang mengenakan dua potong baju berwarna hijau melintasiku dengan membawa lonceng. Aku bertanya kepadanya, ‘Wahai hamba Allah, apakah engkau menjual lonceng ini?’

Orang itu bertanya, ‘Untuk apa lonceng ini?’ Aku menjawab, ‘Untuk memanggil orang supaya sholat.’ Kemudian orang itu berkata, ‘Maukah kutunjukkan kepadamu sesuatu yang lebih baik daripada lonceng ini?’ Aku balik bertanya, ‘Apa itu?’ Orang itu kembali menjawab, ‘Ucapkanlah:

Allahu Akbar, Allahu Akbar.

Allahu Akbar, Allâhu Akbar.

Asyhadu an lâ ilâha illallah. Asyhadu an lâ ilâha illallâh. Asyhadu anna Muhammadan Rasûlullah. Asyhadu anna Muhammadan Rasûlullah.

Hayya ‘alash shalah, hayya ‘alash shalâh.

Hayya ‘alal falah, hayya ‘alal falah.

Allahu Akbar, Allâhu Akbar, Lâ ilâha illallâh.'”

Mengetahui hal itu, Rasulullah SAW bersabda, “Insya Allah ini mimpi yang benar. Temui Bilal dan sampaikan kepadanya seruan itu, lalu suruh ia mengumandangkannya. Sesungguhnya, suaranya lebih merdu darimu.”

Berdasarkan riwayat tersebut, Bilal menjadi muadzin terbaik di zaman Rasulullah SAW sebab ia memiliki suara merdu dibandingkan dengan sahabat lainnya.

Bilal bin Rabbah Muadzin Terbaik Rasulullah SAW

Disebutkan dalam buku The Great Sahaba karya Rizem Aizid, Bilal bin Rabah dikenal sebagai muadzin pertama umat islam yang diberi gelar Muadzin ar-Rasul. Sebagai muadzin Rasulullah SAW, nama Bilal diabadikan untuk selama-lamanya.

Hingga saat ini, muadzin di masjid-masjid juga dipanggil dengan julukan ‘bilal’. Sosok Bilal bin Rabah memang seorang berkulit hitam, tetapi ia memiliki suara yang sangat nyaring dan jernih hingga mampu menjangkau seluruh negeri Madinah.

Saat Bilal mengumandangkan adzan, kaum muslimin yang tinggal di Madinah langsung datang ke Masjid. Rizem Aizid dalam bukunya menyebutkan, tidak ada satupun sahabat yang memiliki kemampuan dalam mengumandangkan adzan melebihi Bilal bin Rabbah.

Salah satu keistimewaan Bilal bin Rabah, yaitu derap langkahnya telah terdengar di surga sehingga ia termasuk orang yang dijamin masuk surga oleh Allah SWT.

Hal ini sebagaimana diterangkan dalam sebuah riwayat, dari Abu Hurairah RA, ia bercerita bahwa Rasulullah SAW bersabda kepada Bilal bin Rabah setelah menunaikan sholat Subuh:

“Wahai Billa, beritahukanlah kepadaku tentang perbuatan-perbuatanmu yang paling engkau harapkan manfaatnya dalam islam. Sebab, sesungguhnya tadi malam aku mendengar suara terompahmu di depanku di surga.”

Bilal menjawab, “Tidak ada satu perbuatan pun yang pernah aku lakukan, yang lebih kuharapkan manfaatnya dalam Islam dibandingkan dengan (harapanku terhadap) perbuatanku yang senantiasa melakukan sholat (sunnah) yang mampu aku lakukan setiap selesai bersuci (wudhu) dengan sempurna pada waktu siang ataupun malam.” (HR Muslim).

Itulah sepenggal kisah Bilal bin Rabbah, seorang sahabat yang menjadi muadzin terbaik di zaman Rasulullah SAW. Semoga dapat menjadi teladan dan menambah wawasan ya, detikers!

(dvs/dvs)



Sumber : www.detik.com

Kisah Dakwah Rasulullah SAW di Thaif, Alami Penolakan hingga Dilempari Batu



Jakarta

Sebagai seorang nabi dan rasul, Nabi Muhammad SAW berdakwah untuk menyebarluaskan ajaran Islam. Selain di Madinah dan Makkah, Rasulullah SAW juga sempat berdakwah di Kota Thaif.

Letak Kota Thaif ini berada di sebelah Makkah dan berjarak sekitar 75 mil atau sekitar 120,7 kilometer. Nama Thaif diambil dari adanya pagar atau tembok yang mengelilingi kota tersebut, seperti dijelaskan dalam Sirah Nabawiyah susunan Abul Hasan Ali al-Hasani an-Nadwi.

Kala itu, Rasulullah berdakwah di Thaif selama 10 hari. Banyak ujian dan cobaan yang beliau dapatkan saat di Thaif.


Mengutip dari buku Saat-saat Rasulullah Bersedih oleh Majdi Muhammad Asy-Syahawi, dikisahkan mengenai dakwah Nabi Muhammad di Thaif. Kisah ini diriwayatkan dari Muhammad bin Jubair bin Muth’im.

Seusai wafatnya Abu Thalib, orang-orang Quraisy tak segan menyakiti Rasulullah. Karenanya, beliau memutuskan pergi ke Thaif untuk berdakwah dengan ditemani Zaid bin Haritsah RA.

Ketika di Thaif, Rasulullah SAW mendatangi para pemuka dan menyampaikan dakwahnya. Sayangnya, tak seorang pun dari mereka yang memenuhi dakwah beliau.

Selain berdakwah, kedatangan Nabi Muhammad SAW di Thaif juga bertujuan memohon perlindungan kepada suku Tsaqif dari tekanan yang ia peroleh di Makkah sepeninggal Abu Thalib. Menurut buku 113 Al-Qur’an Stories susunan Vanda Arie, datangnya Nabi Muhammad di kota tersebut karena Thaif menjadi pusat kekuatan serta kepemimpinan kedua setelah Makkah. Selain itu, bisa paman-paman beliau juga berasal dari Bani Tsaqif.

Rasulullah SAW ditolak keras oleh suku Tsaqif. Mereka bahkan tega menghina beliau, membujuk orang-orang bodoh dan budak-budaknya untuk meneriaki serta melempari Nabi Muhammad dengan batu.

Zaid bin Haritsah yang menemani Rasulullah bahkan berusaha melindungi beliau dari lemparan batu tersebut. Sayangnya, batu-batu itu tetap mengenai tubuh sang rasul hingga berdarah-darah.

Bersama Zaid, Nabi Muhammad kemudian beristirahat di bawah pohon kurma. Apa yang dirinya alami di Thaif justru lebih berat ketimbang di Makkah.

Lalu, keduanya kembali ke Makkah. Peristiwa tersebut menjadi awal pergerakan hijrah Rasulullah bersama sahabat dan penduduk muslim Makkah lainnya menuju Madinah.

Rasulullah merasa sangat sedih sepulang dari Thaif. Di perjalanan pulang, beliau memanjatkan doa. Dinukil oleh Imam at-Thabrani dalam al-Mujam al-Kabir, al-Baghdadi dalam al-Jami’ li Akhlaq ar-Rawi, berikut bunyinya,

اللّهُمّ إلَيْك أَشْكُو ضَعْفَ قُوّتِي ، وَقِلّةَ حِيلَتِي ، وَهَوَانِي عَلَى النّاسِ، يَا أَرْحَمَ الرّاحِمِينَ ! أَنْتَ رَبّ الْمُسْتَضْعَفِينَ وَأَنْتَ رَبّي ، إلَى مَنْ تَكِلُنِي ؟ إلَى بَعِيدٍ يَتَجَهّمُنِي ؟ أَمْ إلَى عَدُوّ مَلّكْتَهُ أَمْرِي ؟ إنْ لَمْ يَكُنْ بِك عَلَيّ غَضَبٌ فَلَا أُبَالِي ، وَلَكِنّ عَافِيَتَك هِيَ أَوْسَعُ لِي ، أَعُوذُ بِنُورِ وَجْهِك الّذِي أَشْرَقَتْ لَهُ الظّلُمَاتُ وَصَلُحَ عَلَيْهِ أَمْرُ الدّنْيَا وَالْآخِرَةِ مِنْ أَنْ تُنْزِلَ بِي غَضَبَك أَوْ يَحِلّ عَلَيّ سُخْطُكَ، لَك الْعُتْبَى حَتّى تَرْضَى وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوّةَ إلّا بِك

Arab latin: Allahumma ilaika asykuu dho’fa quwwatii, wa qillata hiilatii wa hawaani ‘alan naas yaa arhamar raahimiin. Anta rabbal mustadh’afiina wa anta rabbii ilaa man takilunii ilaa ba’iidin yatajahhamunii am ilaa ‘aduwwu mallaktuhu amrii in lam yakun bika ‘alayya ghadhabun falaa ubaalii wa lakinna ‘aafiyatika hiya auw sa’ulii a’uudzu binuuri wajhikal ladzii asyraqat lahudh dhulumaatu wa sholuha ‘alaihi amrud dunyaa wal aakhiroti mn an tunzila bii ghadhabika ‘alayya sukhtuka lakal ‘utbaa hattaa tardhoo walaa haula walaa quwwata illa bika

Artinya: “Ya Allah, kepada-Mu aku mengadukan kelemahanku, kekurangan daya upayaku di hadapan manusia. Wahai Tuhan Yang Maharahim, Engkaulah Tuhan orang-orang yang lemah dan Tuhan pelindungku. Kepada siapa hendak Engkau serahkan nasibku? Kepada orang jauhkah yang berwajah muram kepadaku atau kepada musuh yang akan menguasai diriku? Asalkan Engkau tidak murka kepadaku, aku tidak peduli sebab sungguh luas kenikmatan yang Engkau limpahkan kepadaku. Aku berlindung kepada nur wajah-Mu yang menyinari kegelapan dan karena itu yang membawa kebaikan di dunia dan akhirat dari kemurkaan-Mu dan yang akan Engkau timpakan kepadaku. Kepada Engkaulah aku adukan halku sehingga Engkau ridha kepadaku. Dan, tiada daya upaya melainkan dengan kehendak-Mu,”

Menyaksikan hal itu, Malaikat Jibril merasa terluka. Ia lalu berkata kepada Nabi Muhammad, “Allah mengetahui apa yang terjadi padamu dan orang-orang ini. Allah telah memerintahkan malaikat-malaikat di gunung-gunung untuk menaati perintahmu,”

Alih-alih memberi penduduk Thaif pelajaran, Nabi Muhammad justru menjawab dengan lembut, “Tidak. Aku mohon mereka diberi tangguh waktu. Ke depannya, mudah-mudahan Allah berkenan melahirkan dari mereka generasi yang akan menyembah-Nya tanpa mempersekutukan dengan sesuatu apa pun,” seperti dikutip dari buku Kelengkapan Tarikh Rasulullah susunan Ibnu Qayyim Al-Jauziyah.

Alasan pemilihan Thaif sebagai tempat tujuan dakwah Rasulullah disebabkan wilayah tersebut sangat strategis bagi masyarakat Quraisy. Bahkan, kaum Quraisy sangat ingin menguasai Thaif.

Thaif memiliki sumber daya pertanian yang sangat kaya. Tak sedikit orang-orang kaya di Makkah yang memiliki simpanan harta di Thaif.

Selain itu, untuk mengisi waktu-waktu rehat di musim panas kaum Quraisy mengunjungi Thaif. Karenanya, jika Rasulullah berhasil dakwah di sana maka bisa membuat kaum Quraisy terancam.

Prof Dr M Yunan Yusuf melalui bukunya yang berjudul Dakwah Rasulullah menyebut Thaif mulai mengalami islamisasi sesudah Fathu Makkah, yaitu berakhirnya perang Hunain pada tahun kedelapan Hijriah. Sejak saat itu, Thaif dan penduduknya suku Tsaqif menjadi kaum yang beriman.

(aeb/rah)



Sumber : www.detik.com

Kisah Wafatnya Khalifah Ali bin Abi Thalib, Ditikam pada Waktu Subuh



Jakarta

Ali bin Abi Thalib RA merupakan salah satu sahabat Rasulullah SAW yang juga termasuk ke dalam Assabiqunal Awwalun, yaitu orang-orang yang pertama memeluk Islam. Ali lahir di Makkah pada 13 Rajab, tepatnya tahun ke-32 dari kelahiran Nabi Muhammad. Ada juga yang menyebut Ali lahir pada 21 tahun sebelum hijriah.

Ayah Ali merupakan paman dari Rasulullah SAW, yaitu Abu Thalib bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdi Manaf bin Qushay. Sementara ibunya bernama Fathimah binti Asad bin Hasyim bin Abdi Manaf.

Mengutip dari buku Akidah Akhlak susunan Drs H Masan AF M Pd, sejak umur Ali menginjak 6 tahun dia sudah tinggal bersama Nabi Muhammad. Karenanya, sifat-sifat yang ada pada Ali ia teladani dari Rasulullah SAW.


Selain itu, Ali juga dikenal sebagai orang yang sangat cerdas. Saking cerdasnya, Khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar, dan Khalifah Utsman kerap mendatanginya untuk membantu memecahkan permasalahan yang sulit.

Ali bin Abi Thalib sendiri baru menjadi khalifah usai wafatnya Khalifah Utsman bin Affan. Ali terpilih menjadi pengganti Utsman sehingga pada tahun 35 Hijriah dia dinobatkan sebagai khalifah keempat, seperti dinukil dari buku Sejarah Peradaban Islam tulisan Akhmad Saufi dan Hasmi Fadhilah.

Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah selama 5 tahun, mulai dari 35 Hijriah sampai beliau wafat pada 40 Hijriah. Kisah wafatnya Ali cukup tragis.

Diceritakan dalam buku Kisah 10 Pahlawan Surga oleh Abu Zaein, usai Khalifah Utsman bin Affan wafat banyak terjadi fitnah di kalangan umat Islam. Karenanya, masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib tergolong sebagai waktu-waktu yang sulit.

Banyak pemberontak menyebarkan berita bohong bahwa seharusnya yang menjadi khalifah ialah Mu’awiyah, bukan Ali bin Abi Thalib. Penyebar fitnah itu ialah Abdurrahman Amru atau Ibnu Muljam, Alburak bin Abdullah Attamimi, dan Ambru bin Bakar Attamimi.

Ibnu Muljam kala itu pergi menuju Kufah untuk menjalankan rencana kejinya. Dengan pedang yang ia bawa, ia melukai Ali bin Abi Thalib yang kala itu hendak pergi ke masjid untuk sholat Subuh.

Dalam buku 150 Kisah Ali bin Abi Thalib yang ditulis oleh Ahmad Abdul ‘Al Al-Thahthawi, Muhammad ibn Al Hanafiyyah menuturkan,

“Tiba-tiba aku melihat kilatan cahaya dan mendengar seseorang berkata, ‘Hukum hanya milik Allah, bukan milikmu, wahai Ali, bukan pula milik sahabat-sahabatmu!’ Aku melihat pedang, lalu disusul pedang kedua. Aku mendengar Ali berteriak, ‘Tangkap orang itu!’ Orang-orang pun mengepungnya dari segala penjuru,”

Setelah Ibnu Muljam diringkus, orang-orang datang menemui Hasan dengan panik. Mereka membawa Ibnu Muljam dengan tangan yang diborgol.

Tiba-tiba Ummu Kultsum binti Ali berteriak sambil menangis seraya berkata, “Wahai musuh Allah, ayahku pasti akan baik-baik saja dan Allah akan menghinakanmu,”

Ibnu Muljam lalu menyahut, “Lalu, untuk siapa kau menangis?! Demi Allah, aku membeli pedang itu seharga seribu, lalu aku bubuhi racun seharga seribu juga. Seandainya tebasan itu mengenai seluruh penduduk kota ini, niscaya mereka akan mati semua!”

Usai peristiwa tragis itu, Abdullah ibn Malik mengatakan para tabib dikumpulkan untuk mengobati luka Ali. Ketika itu, Atsir ibn ‘Amr Al-Sukuni sebagai tabib yang paling hebat dan berasal dari Kirsi, memeriksa kondisi Ali bin Abi Thalib.

Atsir meminta paru-paru kambing yang masih hangat untuk diambil uratnya, lalu diletakkan pada luka yang diderita Ali. Atsir kemudian meniup urat itu dan mengeluarkannya dari luka Ali.

Atsir menemukan bahwa ternyata luka Ali telah sampai pada bagian otak. Dengan demikian, nyawa Ali tidak dapat tertolong.

Ali bin Abi Thalib meninggal dunia pada Jumat, 17 Ramadhan tahun 40 Hijriah. Ali meninggalkan 33 anak, 15 laki-laki dan 18 perempuan.

(aeb/nwk)



Sumber : www.detik.com

Kisah Nabi Musa Membelah Laut Merah, Tenggelamkan Firaun dan Bala Tentaranya



Jakarta

Nabi Musa termasuk ke dalam 25 nabi dan rasul yang disebutkan dalam Al-Qur’an. Sebagai utusan Allah SWT, tentu Nabi Musa dikaruniai mukjizat.

Mukjizat diberikan oleh Allah SWT kepada utusan-Nya untuk membuktikan kenabian atau kerasulan mereka. Dalam bahasa Arab, mukjizat berasal dari kata a’jaza yang artinya melemahkan atau menjadikan tidak mampu, seperti dikutip dari buku Aqidah Akhlak susunan Taofik Yusmansyah.

Salah satu mukjizat Nabi Musa yang paling terkenal ialah membelah Laut Merah. Hal ini dijelaskan dalam surat Thaha ayat 77-79,


وَلَقَدْ اَوْحَيْنَآ اِلٰى مُوْسٰٓى اَنْ اَسْرِ بِعِبَادِيْ فَاضْرِبْ لَهُمْ طَرِيْقًا فِى الْبَحْرِ يَبَسًاۙ لَّا تَخٰفُ دَرَكًا وَّلَا تَخْشٰى (77

فَاَتْبَعَهُمْ فِرْعَوْنُ بِجُنُوْدِهٖ فَغَشِيَهُمْ مِّنَ الْيَمِّ مَا غَشِيَهُمْ (78 ۗ

وَاَضَلَّ فِرْعَوْنُ قَوْمَهٗ وَمَا هَدٰى (79

Artinya: “Sungguh, telah Kami wahyukan kepada Musa, “Pergilah bersama hamba-hamba-Ku (Bani Israil) pada malam hari dan pukullah laut itu untuk menjadi jalan yang kering bagi mereka tanpa rasa takut akan tersusul dan tanpa rasa khawatir (akan tenggelam).” Firaun dengan bala tentaranya lalu mengejar mereka (Musa dan pengikutnya), tetapi mereka (Firaun dengan bala tentaranya) digulung ombak laut (yang dahsyat) sehingga menenggelamkan mereka. Fir’aun telah menyesatkan kaumnya dan tidak memberi (mereka) petunjuk,” (QS. Taha: 77-79)

Dikisahkan dalam buku Agama Islam yang ditulis oleh Hj Hindun Anwar, wahyu yang pertama kali diterima Nabi Musa ialah langsung dari Allah. Wahyu tersebut menjadi tanda kenabian pada diri nabi Musa.

Bukit Thursina merupakan lokasi Musa berdialog dengan Allah SWT. Dalam surat Al Qashash ayat 31, Allah berfirman,

وَأَنْ أَلْقِ عَصَاكَ ۖ فَلَمَّا رَءَاهَا تَهْتَزُّ كَأَنَّهَا جَآنٌّ وَلَّىٰ مُدْبِرًا وَلَمْ يُعَقِّبْ ۚ يَٰمُوسَىٰٓ أَقْبِلْ وَلَا تَخَفْ ۖ إِنَّكَ مِنَ ٱلْءَامِنِينَ

Artinya: “Dan lemparkanlah tongkatmu. Maka tatkala (tongkat itu menjadi ular dan) Musa melihatnya bergerak-gerak seolah-olah dia seekor ular yang gesit, larilah ia berbalik ke belakang tanpa menoleh. (Kemudian Musa diseru): “Hai Musa datanglah kepada-Ku dan janganlah kamu takut. Sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang aman,”

Mukjizat Nabi Musa sampai ke telinga Firaun. Ia lantas menentang sang nabi dan mengundang ahli sihir untuk melawan kekuatan Nabi Musa AS.

“Hai Musa, jika kamu memang benar, coba kamu buktikan pada ahli sihir ini,” kata Firaun.

Para ahli sihir memperlihatkan kemampuan mereka masing-masing. Mereka berhasil mengubah tali menjadi ular, namun Nabi Musa tidak takut dengan ancaman Firaun.

Tanpa ragu, Nabi Musa melemparkan tongkatnya. Atas izin Allah SWT, tongkat tersebut berubah menjadi ular yang besar dan memakan ular-ular kecil milik para ahli sihir.

Menyaksikan mukjizat Nabi Musa, para ahli sihir sangat terkejut. Setelah kejadian itu, mereka menjadi pengikut Musa dan beriman kepada Allah SWT.

Usai kejadian itu, pengikut Nabi Musa semakin banyak. Firaun semakin murka mengetahui hal tersebut hingga memerintahkan tentaranya untuk mengejar Musa sampai di Laut Merah.

Kala itu, Nabi Musa bingung. Sebab, tidak ada jalan selain melintasi Laut Merah, sementara bala tentara Firaun mengejar mereka di belakang.

Allah SWT segera memberi perintah kepada Nabi Musa untuk memukulkan tongkatnya. Atas kuasa Allah, Laut Merah tersebut terbelah hingga membentuk jalan.

Nabi Musa dan pengikutnya segera berjalan melewati laut tersebut sampai tiba di seberang lautan. Bala tentara Firaun tidak menyerah, mereka terus mengejar Musa dan pengikutnya melalui jalan di laut yang muncul akibat pukulan tongkat Sang Nabi.

Setelah Nabi Musa dan pengikutnya sampai di seberang lautan, dipukulkan lagi tongkat itu ke laut. Seketika, Laut Merah kembali menutup dan menyebabkan Firaun beserta tentaranya tenggelam.

Kisah mengenai Nabi Musa yang membelah Laut Merah diabadikan dalam surat Al Baqarah ayat 50,

وَإِذْ فَرَقْنَا بِكُمُ ٱلْبَحْرَ فَأَنجَيْنَٰكُمْ وَأَغْرَقْنَآ ءَالَ فِرْعَوْنَ وَأَنتُمْ تَنظُرُونَ

Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Kami belah laut untukmu, lalu Kami selamatkan kamu dan Kami tenggelamkan (Firaun) dan pengikut-pengikutnya sedang kamu sendiri menyaksikan,”

(aeb/nwk)



Sumber : www.detik.com

Kekalahan Pasukan Muslim di Perang Uhud, Apa Penyebabnya?


Jakarta

Pasukan muslim sempat menelan kekalahan ketika Perang Uhud. Peristiwa yang terjadi pada Syawal 3 H itu berlangsung di kaki Bukit Uhud, tepatnya sebelah utara Kota Madinah.

Perang Uhud termasuk ke dalam salah satu peperangan besar dalam Islam. Rasulullah SAW memimpin langsung pasukan muslim pada perang ini.

Menurut buku Sang Panglima Tak Terkalahkan Khalid Bin Walid karya Hanatul Ula Maulidya, kala itu jumlah pasukan muslim hanya 1.000, sementara tentara kafir Quraisy mencapai 3.000 pasukan. Rincian pasukan muslim terdiri atas gabungan masyarakat Makkah dan Madinah.


Sementara itu, pasukan Quraisy mencakup 200 tentara berkuda, 700 pasukan berkendara unta, dan sisanya pasukan pemanah serta pejalan. Namun, ketika dalam perjalanan menuju Gunung Uhud, Abdullah bin Ubah yang merupakan pemimpin bani terbesar di kaum Quraisy membelot, ia lantas membawa 300 pasukan muslimin.

Dengan demikian, prajurit muslim hanya tersisa 700 orang. Dengan jumlah yang sedikit itu, kaum muslimin tetap harus mengalahkan pasukan kafir Quraisy.

Perang Uhud dilatarbelakangi kekalahan pasukan kafir Quraisy dalam Perang Badar yang menyebabkan munculnya dendam terhadap kaum muslimin. Menurut As-Sirah An-Nabawiyah susunan Ibnu Hisyam, ketika kaum Quraisy kalah pada Perang Badar, tentara yang tewas dimasukkan ke dalam sebuah sumur sedangkan sisanya yang hidup kembali ke Makkah.

Karenanya, pada Perang Badar ini kafir Quraisy merencanakan serangan besar-besaran kepada pasukan muslim. Bahkan, Abu Sufyan dan para saudagar mengumpulkan harta bersama dengan golongan Ahabisy, yaitu kabilah-kabilah Arab di luar Quraisy yang telah sepakat menyerah Nabi Muhammad SAW.

Lantas, apa penyebab kekalahan pasukan muslim di Perang Uhud?

Penyebab Kalahnya Prajurit Muslim pada Perang Uhud

Mengutip dari buku Islam at War yang ditulis oleh George F Nafziger, meski jumlah antara pasukan muslim dan kafir Quraisy berbanding terbalik, ketika peperangan berlangsung kaum muslimin sempat unggul. Bahkan pasukan Quraisy yang dipimpin Abu Sufyan terlihat kewalahan.

Keunggulan ini disebabkan strategi Rasulullah SAW yang menempatkan 150 pasukan pemanah di atas bukit untuk melindungi pasukan yang berada di bawah bukit. Nabi Muhammad SAW menginstruksikan pasukan pemanah dalam Perang Uhud untuk tidak berpindah dari posisi mereka dan selalu waspada, apapun yang terjadi.

Sayangnya, imbauan beliau tidak dihiraukan. Ketika pasukan Quraisy kewalahan dan korban berjatuhan, pemanah muslimin justru berbondong-bondong turun dari bukit dan berebut harta rampasan perang. Padahal, Rasulullah SAW sudah menginstruksikan mereka untuk tetap pada posisi.

Hal tersebut lantas mengakibatkan pasukan Quraisy yang sebelumnya sudah mundur menjadi kembali karena aman dari ancaman pemanah. Korban dalam Perang Uhud tercatat menjadi yang terbanyak selama Rasulullah SAW masih hidup, yaitu 72 orang.

Dalam Perang Uhud, sahabat Nabi Muhammad SAW yaitu Hamzah bin Abdul Muthalib ikut gugur. Ia dibunuh oleh Wahsyi bin Harb, seorang budak Quraisy yang kemudian masuk Islam.

(aeb/kri)



Sumber : www.detik.com