Tag Archives: kolom edukasi

Investasi Sehat Menuju Indonesia Emas 2045


Jakarta

Setiap tanggal 10 Oktober dunia memperingati Hari Kesehatan Mental Sedunia. Namun di balik peringatan ini, ada kenyataan yang perlu kita hadapi: gangguan kesehatan mental bisa dialami siapa saja, tanpa mengenal batas ekonomi, pendidikan, suku, agama, bahkan usia.

Anak-anak dan remaja bukan pengecualian. Sebuah penelitian terbaru oleh Reaume dan tim (2025) yang dimuat dalam Journal of Social Psychiatry and Psychiatric Epidemiology mengungkapkan bahwa sekitar satu dari lima anak pernah mengakses layanan kesehatan mental. Menariknya, banyak di antara mereka juga mengalami gangguan fisik, yang membuat kondisi mereka semakin kompleks.

Fakta ini memperkuat seruan global untuk segera mengatasi krisis kesehatan mental pada anak dan remaja. Koalisi Kesehatan Mental Pan-Eropa WHO menempatkan peningkatan kualitas layanan kesehatan mental anak sebagai prioritas utama di berbagai negara. Hal ini bukan tanpa alasan-karena sebagian besar gangguan mental dimulai sejak usia dini, bahkan sebelum anak beranjak dewasa.


Penelitian besar oleh Solmi dan rekan-rekannya (2022) dalam Molecular Psychiatry menunjukkan bahwa rata-rata usia munculnya gangguan mental adalah 14,5 tahun. Artinya, masa remaja awal menjadi periode kritis bagi perkembangan mental seseorang. Jika diabaikan, gangguan ini dapat memengaruhi tumbuh kembang anak dan berdampak hingga dewasa.

Sebuah studi nasional di Inggris mengungkap tren peningkatan gangguan kesehatan mental pada anak-anak selama hampir dua dekade terakhir. Penelitian yang dilakukan pada tahun 1999, 2004, dan 2017 terhadap anak-anak berusia 5-15 tahun itu menunjukkan bahwa pada 2017, anak dengan gangguan mental mengalami kesulitan yang lebih berat serta dampak yang lebih besar dalam aktivitas di sekolah, di rumah, dan dalam kehidupan sehari-hari. Riset yang dipublikasikan dalam Journal of Child Psychology and Psychiatry ini menunjukkan adanya kecenderungan memburuknya kondisi psikologis anak dari waktu ke waktu. Para peneliti menilai, hasil tersebut menjadi peringatan bagi berbagai pihak untuk memberi perhatian lebih serius terhadap kesehatan mental anak.

Bermain Penting Bagi Anak

Sejatinya bermain adalah bagian penting dari masa kecil. Setiap anak memiliki hak untuk bermain, berkreasi, berekreasi, dan beristirahat sesuai usianya. Bermain bukan sekadar hiburan, melainkan hak dasar yang dijamin oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

Melalui bermain, anak belajar bersosialisasi, mengekspresikan emosi, dan mengembangkan kemampuan berpikir. Namun, realitas saat ini menunjukkan perubahan besar. Di tengah meningkatnya penggunaan ponsel pintar dan internet, banyak anak justru kehilangan waktu bermain di dunia nyata.

Kecanduan layar kini menjadi ancaman nyata. Data BPS dalam Laporan Komitmen Pemerintah Melindungi Anak di Ruang Digital menyebut: BPS tahun 2024 menyebut bahwa 33,44% anak usia dini di Indonesia telah menggunakan handphone/gawai. Menurut laporan IDN Times (2024), anak-anak Generasi Alpha di Indonesia – usia 5 hingga 11 tahun – menghabiskan rata-rata 2,8 hingga 3,5 jam setiap hari di depan layar. Angka ini jauh melebihi batas waktu bermain digital yang disarankan para ahli.

Penelitian menunjukkan bahwa penggunaan gadget yang berlebihan dapat memicu berbagai masalah kesehatan, seperti kecemasan, depresi, gangguan tidur, hingga gangguan fisik, intensitas bermain gadget yang tinggi berdampak langsung pada penyimpangan perilaku dan gangguan perkembangan mental. Khusus bagi anak-anak, frekuensi penggunaan gadget memang perlu dikendalikan. Dalam konteks anak-anak, bermain menjadi salah satu cara untuk mengatasi gangguan kesehatan mental tersebut, play therapy digunakan banyak konselor dan para ahli dan efektif untuk mendukung kesejahteraan mental, mengurangi kecemasan.

Ruang Bermain Sebagai Ruang Terapeutik

Di tengah meningkatnya kasus gangguan kesehatan mental pada anak, muncul kesadaran baru bahwa solusi tidak selalu harus datang dari terapi klinis atau teknologi canggih. Kadang, jawabannya sesederhana menyediakan ruang bermain yang layak di sekitar tempat tinggal. Penelitian Jin, Wang, Sun, Chen, dan Zheng (2025) dalam Frontiers in Public Health menunjukkan bahwa taman bermain anak di kawasan permukiman memberi dampak positif nyata bagi kesehatan mental masyarakat-terutama anak-anak dan penduduk usia muda.

Namun, manfaat ini bergantung pada seberapa aktif ruang bermain digunakan. Sayangnya, meningkatnya screen time membuat banyak taman bermain menjadi sepi. Riset JF Bobby Saragih dan Michael Tedja berjudul “How Children Create Their Space for Play?” menegaskan bahwa faktor fisik dan sosial sangat menentukan minat anak untuk bermain di ruang publik. Akses mudah, kebersihan, keamanan, dan suasana yang ramah anak terbukti mendorong anak-anak untuk lebih aktif bermain. Sebaliknya, taman yang tertutup, penuh aturan, atau kurang terpelihara justru menghilangkan rasa bebas dan membuat anak kembali pada layar gawai.

Hal senada ditemukan oleh Mila Karmilah (2019), yang mengungkap bahwa keterbatasan fasilitas, kondisi lingkungan yang tidak nyaman, serta kurangnya perawatan mendorong anak-anak mencari tempat bermain alternatif yang lebih aman-meskipun bukan taman bermain resmi. Anak-anak akan tetap bermain, tetapi ketika ruang yang disediakan tidak mendukung, mereka akan menciptakan ruang bermainnya sendiri di lokasi yang tak selalu ideal.

Penelitian dalam Journal of Environmental Psychology menambahkan bahwa ruang bermain yang dirancang dengan baik-menggunakan elemen alami, tantangan fisik, dan akses yang inklusif-berpotensi menjadi ruang terapeutik yang mendukung kesehatan mental anak dan memperkuat interaksi sosial komunitas.

Sementara itu, telaah sistematis oleh Vanaken dan Danckaerts (2018) dalam International Journal of Environmental Research and Public Health terhadap 21 studi di PubMed dan Scopus memperkuat bukti bahwa paparan ruang hijau yang digunakan untuk bermain berperan penting dalam menekan masalah emosional, hiperaktivitas, dan perilaku anak di tengah laju urbanisasi yang semakin cepat.

Ruang Bermain Inklusif

Seperti disampaikan sebelumnya, gangguan kesehatan mental dapat dialami oleh siapa pun. Namun, penelitian Child Mental Health Problems and Poverty oleh Graham dan Maughan (2025) menunjukkan bahwa anak-anak yang hidup dalam kemiskinan memiliki risiko tertinggi mengalami masalah kesehatan mental. Tidak seperti anak anak yang lain yang bisa mengekses ruang bermain dalam berbagai dimensi, mereka yang berada dalam kelompok ini tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk mengakses ruang bermain dengan mudah.

Untuk mengatasi keterbatasan mereka, langkah paling nyata adalah dengan menyediakan ruang bermain yang inklusif. Pemerintah pusat dan daerah memiliki tanggung jawab moral sekaligus hukum untuk memastikan tersedianya ruang publik yang aman, layak, dan ramah bagi semua anak, ruang bermain inclusive.

Dan pada akhirnya, sudah saatnya taman bermain dipandang bukan sekadar pelengkap kota, melainkan ruang pemulihan jiwa tempat anak-anak dapat bertumbuh secara sehat-fisik, mental, dan sosial. Karena seringkali, kebahagiaan anak tidak datang dari terapi mahal, melainkan dari kesempatan sederhana untuk bermain dengan bebas di ruang yang menerima semua golongan. Ruang bermain adalah fondasi penting untuk membentuk Generasi dan Indonesia Emas 2045, mengabaikannya berarti melewatkan peluang besar untuk menyiapkan generasi yang sehat, tangguh, dan siap menghadapi masa depan.

*)JF Bobby Saragih adalah Guru Besar Arsitektur Binus University, pengajar mata kuliah Perilaku dalam Arsitektur.

*) Pernah menjadi anggota penyusunan Sertifikasi Ruang Bermain Ramah Anak, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Sebagian besar penelitian terkait dengan ‘Ruang Bermain Ramah Anak’.

*) Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com

(nwk/nwk)



Sumber : www.detik.com

Kampus Kecil di Tengah Arus Besar Pendidikan Tinggi



Jakarta

Pendidikan tinggi di Indonesia, dalam idealitasnya, didesain untuk menjadi lokomotif perubahan sosial. Ia adalah kawah candradimuka tempat anak bangsa dididik dan dipersiapkan menjadi pemimpin, inovator, dan pejuang kemanusiaan.

Dalam visi besar nasional, perguruan tinggi ditempatkan sebagai garda depan untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045. Namun, di balik narasi gemerlap pendidikan tinggi, terdapat potret lain yang jarang terangkat, yakni pergumulan perguruan tinggi kecil yang tersebar di pelbagai daerah, jauh dari hiruk pikuk universitas besar yang terus mengukir prestasi global.

Ketika universitas besar berlomba memperluas jejaring internasional dan meraih akreditasi unggul, perguruan tinggi kecil justru sibuk memastikan roda akademik tetap berputar. Situasi ini menimbulkan paradoks: tuntutan nasional dan global semakin tinggi, tetapi daya dukung kelembagaan justru semakin rapuh.


Persoalan Mendasar

Salah satu problem krusial di perguruan tinggi kecil adalah aspek kemahasiswaan. Jumlah mahasiswa yang relatif kecil serta latar belakang sosial-ekonomi yang homogen membuat dinamika akademik berjalan datar. Banyak lulusan sekolah menengah di daerah memilih langsung bekerja untuk menopang ekonomi keluarga. Pendidikan tinggi belum sepenuhnya dipandang sebagai investasi jangka panjang, melainkan sebagai beban tambahan yang sulit ditanggung.

Padahal, John Dewey dalam Democracy and Education (1916), pernah menegaskan bahwa pendidikan adalah sarana utama untuk memastikan demokrasi tetap hidup. Melalui pendidikan, individu dipersiapkan untuk berpartisipasi aktif dalam kehidupan sosial. Pandangan ini memberi pesan penting bahwa ketika akses pendidikan tinggi masih dianggap barang mewah, maka partisipasi sosial pun terancam pincang. Paradoks inilah yang setiap tahun dihadapi perguruan tinggi kecil.

Masalah lain yang kerap muncul adalah aspek manajemen pengelolaan. Tidak jarang konflik internal terjadi antara pimpinan yayasan, rektorat, dan unit-unit kerja di bawahnya. Perselisihan ini sering berakar pada perbedaan kepentingan, transparansi keuangan, atau perebutan posisi strategis. Alih-alih menjadi motor penggerak kemajuan, konflik manajerial justru menyita energi kelembagaan. Akibatnya, pengambilan keputusan berjalan lambat, program akademik terhambat, dan suasana organisasi menjadi tidak kondusif bagi tumbuhnya iklim akademik yang sehat.

Selain mahasiswa dan tata kelola, persoalan mendasar lainnya adalah sumber daya manusia. Dosen sebagai jantung kehidupan kampus sering kali tidak mudah direkrut dan dipertahankan. Honorarium yang terbatas membuat banyak dosen muda terbaik menjadikan kampus daerah sebagai batu loncatan sebelum pindah ke perguruan tinggi besar yang menawarkan kesejahteraan lebih baik. Situasi ini menciptakan kerentanan berlapis, karena tanpa dosen yang stabil dan berkualitas, sulit menciptakan proses akademik yang sehat dan berkesinambungan.

Problem lain yang tak kalah serius adalah ihwal pembinaan karier dosen. Jalur kenaikan pangkat dan pengembangan jabatan akademik di perguruan tinggi kecil kerap terhambat oleh pelbagai keterbatasan. Minimnya dukungan riset, sulitnya menghasilkan publikasi di berkala ilmiah bereputasi, serta akses yang sempit terhadap jejaring akademik membuat proses karier berjalan jauh lebih lambat dibandingkan rekan sejawat mereka di perguruan tinggi besar. Tidak mengherankan bila dosen dengan jabatan lektor kepala, apalagi guru besar, masih menjadi sesuatu yang langka sekaligus mahal di lingkungan perguruan tinggi kecil.

Tak berhenti di situ, keterbatasan infrastruktur semakin memperberat keadaan. Minimnya laboratorium, gedung belajar yang serba terbatas, hingga fasilitas teknologi yang tertinggal membuat pembelajaran lebih banyak berhenti pada transfer pengetahuan. Mahasiswa tidak mendapat ruang yang cukup untuk mengalami proses riset dan eksplorasi ilmiah. Padahal, di era digital yang berkembang cepat, kemampuan bereksperimen dan menghasilkan inovasi justru semakin dibutuhkan.

Keterbatasan yang berlapis ini akhirnya membuat perguruan tinggi kecil rawan terjebak pada fungsi formalitas, yakni sekadar menyelenggarakan kuliah rutin tanpa benar-benar menjadi pusat penciptaan ilmu. Alih-alih menjadi motor perubahan sosial, kampus justru dipaksa sibuk bertahan hidup dari tahun ke tahun.

Tri Dharma yang Tereduksi

Perguruan tinggi lahir dengan mandat besar yakni mengajar, meneliti, dan mengabdi kepada masyarakat. Namun, di banyak perguruan tinggi kecil, mandat ini kerap menyusut. Sekali lagi, orientasi lebih banyak berhenti pada aspek pengajaran semata. Paradigma yang terbentuk adalah learning oriented, bukan research oriented atau community oriented. Situasi ini bukan semata-mata pilihan sadar, melainkan keterpaksaan akibat keterbatasan anggaran dan dukungan kelembagaan.

Padahal, penelitian dan publikasi ilmiah merupakan roh perguruan tinggi. Dari situlah ilmu diperbarui, pengetahuan dikembangkan, dan masyarakat memperoleh manfaat nyata. Seperti diingatkan Ernest Boyer dalam Scholarship Reconsidered: Priorities of the Professoriate (1990), persoalan akademik tidak boleh dipersempit hanya pada pengajaran. Ia mencakup empat dimensi penting: penemuan, integrasi, penerapan, dan pengajaran. Penekanan Boyer ini relevan, bahwa penelitian tidak hanya untuk memenuhi tuntutan birokratis, melainkan untuk memperkaya kehidupan sosial dan memberi makna lebih luas bagi keberadaan perguruan tinggi.

Namun, fakta di lapangan justru menunjukkan sebaliknya. Banyak kampus yang sulit mengalokasikan dana riset, apalagi publikasi bereputasi. Keterbatasan keuangan membuat penelitian hanya sekadar formalitas, atau bahkan dikesampingkan. Akibatnya, Tri Dharma yang seharusnya berjalan seimbang, tereduksi hanya menjadi satu: mengajar.

Dampaknya jelas. Perguruan tinggi kehilangan energi pembaruan pengetahuan. Dosen tidak terdorong menghasilkan riset bermutu. Mahasiswa pun hanya dijejali materi tanpa kesempatan cukup untuk mengalami proses penciptaan ilmu. Perguruan tinggi yang mestinya menjadi pusat inovasi, berubah sekadar ruang penyampaian pengetahuan.

Jika dirunut lebih jauh, problem ini membentuk lingkaran yang saling mengikat. Jumlah mahasiswa yang sedikit membuat pemasukan terbatas. Dana yang minim berdampak pada kesejahteraan dosen dan sarana prasarana yang tertinggal. Kualitas akademik pun merosot, reputasi kampus menurun, hingga pada akhirnya makin tidak diminati oleh calon mahasiswa. Lingkaran ini berputar terus-menerus, sulit diputus tanpa adanya intervensi kebijakan yang nyata.

Padahal, pendidikan yang sehat seharusnya mampu menumbuhkan imajinasi, empati, dan daya kritis. Perguruan tinggi idealnya menjadi ruang subur bagi tumbuhnya kualitas-kualitas tersebut. Namun, realitas menunjukkan bahwa perguruan tinggi kecil kerap terjebak dalam pola bertahan hidup, sehingga energi yang seharusnya dipakai untuk pengembangan akademik lebih banyak tersita untuk sekadar menjaga keberlangsungan lembaga.

Keberpihakan dan Kolaborasi

Apakah berarti kampus kecil ditakdirkan untuk selamanya berada di pinggiran? Tidak. Keterbatasan tidak selalu identik dengan kebuntuan. Ada sejumlah langkah strategis yang bisa ditempuh.

Pertama, keberpihakan negara dalam pembinaan perguruan tinggi kecil perlu terus diperkuat. Program hibah dan bantuan pemerintah harus benar-benar menyentuh kebutuhan kampus kecil, tidak hanya berfokus pada kampus besar. Wujud keberpihakan itu dapat berupa langkah afirmatif maupun kebijakan klasterisasi perguruan tinggi swasta, sehingga setiap institusi memperoleh dukungan yang proporsional sesuai kapasitas dan tantangannya. Pada akhirnya, pendidikan tinggi harus dipahami sebagai urusan kebangsaan yang menuntut kolaborasi dan pemerataan, bukan semata kompetisi antar lembaga.

Kedua, kampus kecil harus membangun kolaborasi. Di era digital, jarak bukan lagi penghalang. Jejaring riset lintas kampus, baik nasional maupun internasional, bisa membuka akses publikasi dan inovasi. Kerja sama ini bukan sekadar formalitas, melainkan upaya membangun ‘ekosistem belajar’ yang saling menopang.

Ketiga, transformasi pembelajaran. Perguruan tinggi kecil harus berani meninggalkan metode tradisional yang hanya mengandalkan ceramah. Mereka perlu mengadopsi blended learning, problem-based learning, atau pendekatan partisipatif lain yang memberi ruang kreativitas mahasiswa. Dengan demikian, keterbatasan fisik bisa diimbangi oleh inovasi pedagogi.

Namun, setiap langkah strategis harus disertai analisis risiko. Bidang kemahasiswaan berisiko kehilangan calon mahasiswa jika tidak ada diversifikasi strategi penerimaan. SDM berisiko stagnan jika insentif tidak diperbaiki. Infrastruktur pembelajaran berisiko tertinggal jika kebijakan anggaran tidak berpihak. Riset dan publikasi berisiko macet jika jejaring tidak dibangun. Pendidikan berisiko melahirkan lulusan tidak kompetitif jika metode pembelajaran tidak berubah.

Dengan risk mapping yang jelas, perguruan tinggi kecil bisa menyiapkan mitigasi yang realistis, misalnya: beasiswa daerah, insentif kinerja, shared facilities, konsorsium riset, dan digitalisasi pembelajaran. Langkah-langkah ini bukan sekadar teknis, tetapi strategi bertahan hidup sekaligus melangkah maju.

Kampus kecil di daerah ibarat lilin kecil di tengah gelapnya malam. Cahayanya mungkin redup, tetapi ia tetap memberikan arah bagi anak-anak bangsa yang haus ilmu. Lilin itu bisa padam jika dibiarkan berjuang sendiri, tetapi bisa pula semakin terang bila ditiup angin keberpihakan dan dilindungi kaca kolaborasi.

Menyulam asa kampus kecil adalah bagian dari menyulam masa depan bangsa. Indonesia tidak akan maju hanya dengan menonjolkan kampus besar di kota-kota utama. Kekuatan bangsa justru akan lahir jika kampus di pelosok pun mendapat ruang tumbuh yang sama. Di situlah sejatinya keadilan pendidikan, yakni menghadirkan cahaya pengetahuan di setiap sudut negeri.

*) Ahmad Tholabi Kharlie
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Anggota Dewan Pendidikan Tinggi Kemdiktisaintek RI

*) Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com

(nwk/nwk)



Sumber : www.detik.com

Hentikan ‘Budaya Lapor’ Berlebihan demi Masa Depan Pendidikan Murid



Jakarta

Belakangan ini, dunia pendidikan di Indonesia dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan: meningkatnya ‘budaya lapor’ yang dilakukan oleh sebagian orang tua murid terhadap guru, bahkan untuk hal-hal yang dianggap sebagai teguran atau pendisiplinan wajar.

Sedikit saja anak merasa tidak nyaman, entah karena ditegur, dinasihati dengan nada tegas, atau diberi sanksi ringan, orang tua cenderung langsung melapor atau menuntut. Fenomena ini menciptakan iklim ketakutan bagi para guru dan secara perlahan menggerus otoritas serta peran pendidik.


Penting untuk disadari bahwa fungsi guru bukan hanya sekadar mentransfer ilmu akademis, tetapi juga membentuk karakter dan mental murid. Dalam proses pembentukan ini, ketegasan dan teguran adalah bagian yang tak terhindarkan.

Realitas kehidupan di masa depan jauh lebih keras dan kompleks dari lingkungan sekolah yang serba ‘ramah’ dan ‘manis di bibir’. Jika anak terbiasa bahwa setiap rasa tidak nyaman bisa diselesaikan dengan ‘melapor’ dan membuat pihak yang menegur bermasalah, bagaimana mereka akan siap menghadapi tantangan di dunia nyata, dunia kerja, atau dalam kehidupan sosial yang penuh persaingan dan kritik?

Tentu saja, perlindungan terhadap anak dari tindak kekerasan fisik atau perundungan yang melanggar hukum harus diutamakan. Namun, batasan antara pendisiplinan yang mendidik dan kekerasan harus dipahami secara bijaksana, bukan didasarkan pada perasaan subjektif orang tua yang cenderung ingin selalu membela anak.

Peningkatan kasus pelaporan terhadap guru menunjukkan adanya pergeseran cara pandang terhadap peran pendidik. Dulu, ketegasan guru dianggap sebagai bagian dari upaya mendidik dan didukung oleh orang tua. Kini, guru justru rentan diserang dan dituntut. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan kolaborasi yang sehat antara sekolah dan orang tua.

Pertama, sekolah dan guru perlu membangun komunikasi efektif dan transparan dengan orang tua sejak awal tahun ajaran, menjelaskan metode pendisiplinan yang diterapkan dan mengapa hal itu penting. Sebaliknya, orang tua harus menggunakan jalur komunikasi yang disediakan sekolah untuk mengklarifikasi masalah, bukan langsung menempuh jalur hukum atau media sosial.

Kedua, perlu adanya edukasi masif kepada orang tua mengenai pentingnya ketahanan mental (resiliensi) dan karakter pada anak. Anak-anak perlu diajarkan untuk menerima kritik, beradaptasi dengan ketidaknyamanan, dan menyelesaikan masalah tanpa selalu bergantung pada intervensi instan dari orang tua.

Ketiga, pemerintah dan organisasi profesi guru harus memperkuat regulasi yang secara jelas melindungi guru yang melakukan tindakan pendisiplinan wajar dan sesuai kode etik. Ini penting untuk mengembalikan rasa aman dan motivasi para pahlawan tanpa tanda jasa.

Pendidikan yang berhasil adalah hasil dari sinergi. Jika guru terus berada di bawah bayang-bayang ketakutan ‘dilaporkan’, kualitas pendidikan-terutama dalam pembentukan karakter-akan menjadi korbannya.

Menghentikan ‘budaya lapor’ yang berlebihan bukan berarti mengabaikan hak anak, melainkan mengembalikan esensi pendisiplinan sebagai bagian integral dari proses pendidikan yang menyiapkan anak untuk kerasnya kenyataan hidup.

*) Odemus Bei Witono, Direktur Perkumpulan Strada dan Pemerhati Pendidikan

*) Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detikcom

(nwk/nwk)



Sumber : www.detik.com

Ekosistem Pendidikan Indonesia: Bodoh Serasa Pintar



Jakarta

Pendidikan adalah hal fundamental setiap individu. Pendidikan yang identik dengan pengetahuan tentu saja merupakan salah satu faktor utama kesejahteraan. Dalam setiap individu, keluarga, kelompok masyarakat bahkan negara pendidikan harus menjadi hal yang mendapat perhatian khusus. Pendidikan yang baik akan menghasilkan manusia yang baik, manusia yang baik akan menciptakan kehidupan yang baik.

Dalam hal menciptakan pendidikan yang baik tentunya ada banyak faktor yang harus diperhatikan. Salah satunya adalah aktor pendidikan seperti guru, pelajar, personel sekolah, personel intitusi yang menaungi sekolah dan lainnya. Merekalah yang menjadi penggerak segala instrumen pendidikan yang ada.

Dan pengaruh aktor pendidikan sangat besar dalam mewujudkan pendidikan yang berkualitas. Sebagus apapun fasilitas pendidikan, sebanyak apapun dana untuk pendidikan jikalau terdapat masalah dalam aktor pendidikan maka harapan yang diinginkan tidak akan dapat tercapai.


Aktor pendidikanlah yang menciptakan ekosistem pendidikan. Negara maju lahir karena pengelolaan pendidikan yang baik. Selain dukungan dalam bentuk fasilitas dan finansial tentu saja peningkatan kualitas aktor pendidikan sangat diperhatikan oleh negara-negara maju. Lantas apa permasalahan pendidikan Indonesia sehingga belum bisa meraih pencapaian seperti negara-negara lainnya? Apakah ada yang salah dengan aktor pendidikan di Indonesia?

Salah satu permasalahan ekosistem pendidikan di Indonesia adalah budaya belas kasih yang berlebihan. Sejak pendidikan dasar setiap siswa seperti sudah terjamin kelulusannya. Sangat jarang kita dapati siswa yang tidak naik kelas atau tidak lulus dari sekolah. Akan tetapi apakah nilai yang diberikan sesuai dengan pencapaian yang di raih dalam pembelajaran? Bahkan di bangku sekolah menengah pun ada siswa yang tetap diluluskan walaupun jarang masuk kelas.

Namun, timbul juga pertanyaan. Bukankah tetap ada perbedaan nilai antara yang memang layak dan tidak layak? Bukankah nilai yang diberikan kepada siswa yang tidak mahir adalah nilai pas-pasan? Artinya setiap siswa tetap mendapatkan nilai sesuai dengan kemampuan dan haknya.

Jika kriteria ketuntasan minimal di salah satu sekolah adalah 60 dan siswa yang bahkan jarang masuk kelas diberikan nilai 60, apakah benar penguasaan materi dari siswa tersebut adalah 60% dari 100% yang disampaikan oleh guru? Padahal pemahaman siswa terhadap materi yang disampaikan mungkin tidak sampai 50% dari seluruh materi.

Walaupun angka di ujian semester menunjukkan fakta yang sebenarnya akan ketidakmampuan dari siswa, di akhir cerita angka rapor tetap berbeda. Dan lulus dari sebuah mata pelajaran, mendapatkan pengakuan bahwa menguasai mata pelajaran adalah hal yang sangat mudah untuk didapatkan.

Hal seperti inilah yang membuat anak-anak Indonesia merasa pintar dalam kebodohannya. Sejak kecil memang sudah didukung untuk mendapatkan validasi palsu. Pengakuan di atas ketidakmampuan. Bahkan di jenjang perguruan tinggi pun hal ini juga dapat kita jumpai.

Ekosistem seperti ini sudah terasa normal di Indonesia. Terlebih lagi sejumlah institusi pendidikan sengaja meninggikan nilai dari siswa-siswanya untuk akreditasi sekolah. Lengkaplah sudah ekosistem negatif yang ada di pendidikan Indonesia. Dan tentunya ekosistem negatif ini tercipta oleh para aktor pendidikan.

Ketika masa belajar telah usai, barulah dampak negatifnya tampak kontras. Ketidaktahuan dalam sejumlah pengetahuan dan ketidakmampuan dalam praktik di dunia kerja. Dan nilai-nilai yang ditorehkan di atas kertas tidaklah berarti apa-apa setelahnya. Mental serba mudah yang dipupuk sejak kecil akan membentuk manusia malas yang enggan berusaha lebih. Ini juga merupakan salah satu penyebab masyarakat Indonesia memiliki mental konsumtif.

Tentunya karakter seperti ini menyebabkan lambatnya bahkan mundurnya perkembangan individu. Dan jumlah individu yang banyak berdampak langsung kepada negara. Pola pikir masyarakat yang terbelakang menciptakan negara yang tertinggal sedangkan pola pikir masyarakat yang cerdas menciptakan negara yang maju.

Jika Indonesia ingin menjadi negara maju maka pendidikan harus menjadi salah satu fokus utama. Permasalahan utama pendidikan seperti ekosistem pendidikan yang tidak baik harus dibenahi hingga tuntas.

Normalisasi pemberian nilai yang tidak sesuai dengan kemampuan adalah hal negatif jangka panjang yang harus dilawan. Kesadaran setiap aktor pendidikan adalah penentu perubahan ini. Dan mari kita tolak normalisasi ini mulai dari diri dan lingkungan kita demi Indonesia yang terpelajar.

*) Faiz Arhasy, pelajar diaspora Indonesia, Awardee Turkiye Scholarship 2021 dan Erasmus+2024 Polandia
*) Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com

(nwk/nwk)



Sumber : www.detik.com