Tag Archives: konteks

Penjelasan Psikolog soal Ciri-ciri IQ Tinggi dan Rendah, Bisa Dilihat dari Hal Ini


Jakarta

IQ atau Intelligence Quotient merupakan ukuran kemampuan seseorang dalam berpikir logis, memecahkan masalah, memahami konsep abstrak, serta beradaptasi terhadap situasi baru. Tes IQ biasanya digunakan untuk menilai kemampuan kognitif seseorang secara menyeluruh, mulai dari daya ingat, penalaran, hingga kecepatan berpikir.

Psikolog klinis Anastasia Sari Dewi mengatakan, IQ menggambarkan tingkat intelegensi seseorang yang mencakup banyak aspek, bukan hanya soal kepintaran akademis.

“Kalau IQ itu terkait tingkat intelegensi, kecerdasan seseorang, ciri-cirinya itu apakah bisa dilihat dari ucapan atau perilaku. Sebenarnya kalau secara ucapan ini nanti menyangkut ke daya persuasi lagi ya, ke kemampuan komunikasi,” katanya saat dihubungi detikcom, Rabu (19/10/2025).


“Tapi kalau IQ itu aspeknya ada banyak, ada kemampuan daya abstraksi, secara numerik, secara daya tangkap, secara logika, analisa masalah, kemampuan dia berpikir secara fleksibel dan secara abstrak atau secara utuh, jadi aspeknya itu ada banyak kalau di inteligensi,” lanjutnya.

Ia menegaskan, tidak ada korelasi pasti antara kemampuan berbicara atau perilaku seseorang dengan tingkat kecerdasannya. Orang yang pandai berbicara belum tentu memiliki IQ tinggi, begitu juga sebaliknya.

Meski begitu, orang dengan IQ tinggi umumnya mampu berucap dan bertindak secara logis serta mempertimbangkan risiko sebelum mengambil keputusan. Mereka juga cenderung cepat memahami informasi baru dan mampu mengolahnya menjadi kesimpulan yang tepat.

“Saat dia dihadapkan pada situasi atau mendapat informasi baru, daya tangkapnya cepat, dia bisa merangkai informasi-informasi yang ada menjadi satu kesatuan dan bisa menarik kesimpulan itu dengan relatif tepat, sesuai dengan informasi yang dia miliki,” kata Sari.

Sebaliknya, individu dengan IQ yang lebih rendah biasanya menunjukkan kesulitan dalam memahami konteks pembicaraan atau berpikir secara analitis.

“Kalau IQ rendah biasanya kalau diajak komunikasi agak sulit nyambung, kemudian menanyakan hal yang sama berulang kali, secara logika sebab-akibat atau analisa masalahnya juga kesulitan, saat menarik kesimpulan juga kurang tepat, proses berpikirnya juga tidak jangka panjang. Itu biasanya ciri-cirinya,” ungkapnya.

(suc/suc)



Sumber : health.detik.com

Bolehkah Berjabat Tangan dengan Lawan Jenis? Ini Penjelasan Ulama


Jakarta

Jabat tangan atau bersalaman merupakan bentuk sapaan dan penghormatan yang lazim dilakukan. Dalam Islam, berjabat tangan sesama muslim menjadi bagian dari sunnah yang mengandung pahala dan mempererat ukhuwah. Namun, bagaimana hukumnya jabat tangan yang dilakukan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram?

Mengutip buku Fikih di Medsos: Antara Teks, Konteks, dan Akal Sehat karya M. Nadi el-Madani, berjabat tangan antara sesama laki-laki atau sesama perempuan merupakan sunnah muakkad (sangat dianjurkan) ketika bertemu, sebagaimana dianjurkan memberi salam.


Imam Nawawi dalam al-Adzkar menegaskan, “Ketahuilah! Sesungguhnya berjabat tangan disepakati hukumnya sunnah ketika saling bertemu.”

Imam al-Munawi dalam Faydh al-Qadir menyatakan, “Berjabat Tangan sangat dianjurkan.”

Dalam hadits, Rasulullah SAW bersabda,

“Tidaklah dua orang muslim saling berjabat tangan, melainkan dosa keduanya akan diampuni sebelum keduanya berpisah.” (HR Abu Dawud, At-Tirmidzi)

Namun, bagaimana bila jabat tangan itu terjadi antara pria dan wanita yang bukan mahram?

Dalil tentang Larangan Menyentuh Lawan Jenis

Al-Qur’an tidak menyebutkan secara eksplisit “jabat tangan”, tetapi beberapa ayat menegaskan larangan mendekati zina dan menjaga pandangan serta kehormatan diri.

Termaktub dalam surah An-Nur ayat 30-31,

قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ

Artinya:”Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman agar mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya…” (QS An-Nur: 30)

وَقُل لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ

Artinya: “Dan katakanlah kepada perempuan yang beriman agar mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya…” (QS An-Nur: 31)

Menurut Tafsir Al-Qur’an Kementerian Agama RI, ayat tersebut menegaskan agar laki-laki dan perempuan sama-sama menjaga diri dari perbuatan yang bisa menimbulkan syahwat atau mendekati zina, termasuk kontak fisik tanpa kebutuhan syar’i. Bila pandangan tak sengaja terarah ke sesuatu yang diharamkan, segera alihkan untuk menghindari hal-hal yang diharamkan sebagaimana dikatakan dalam hadits,

عَنْ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدِ اللّٰهِ اَلْبَجَلِيِّ قَالَ سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ نَظْرِ الْفُجَأَةِ فَأَمَرَنِى اَنْ أَصْرِفَ بَصَرِى . )رواه مسلم وأحمد وابو داود والترمذى والنسائى(

Artinya: “Dari Jarir bin Abdullah al-Bajalī dia bertanya kepada Rasulullah SAW tentang pandangan/penglihatan (terhadap perempuan) secara tiba-tiba, kemudian beliau memerintahkan untuk memalingkan pandanganku.” (HR Muslim, Abu Daud, Ahmad, at-Tirmizi dan an-Nasā’i)

Hadits tentang Larangan Jabat Tangan dengan Lawan Jenis

Beberapa hadits secara tegas menyebutkan bahwa Rasulullah SAW tidak pernah menyentuh tangan perempuan yang bukan mahram. Dikutip dari buku Fikih Keseharian: Fatwa Soal Pilkada Hingga Hukum Kartu Kredit karya Hafidz Muftisany, terdapat beberapa hadits yang menegaskan larangan berjabat tangan dengan lawan jenis:

Hadits dari Ummul Mukminin ‘Aisyah RA

“Demi Allah, tangan Rasulullah SAW tidak pernah menyentuh tangan seorang wanita (yang bukan mahram). Baiat beliau kepada para wanita hanya dengan ucapan.” (HR Al-Bukhari, Muslim)

Hadits dari Ma’qil bin Yasar RA

“Sesungguhnya kepala seseorang ditusuk dengan jarum dari besi lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (HR Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir, no. 16880; dinilai hasan oleh Al-Albani)

Wallahu a’lam.

(dvs/dvs)



Sumber : www.detik.com

Kompetensi Nazhir Belum Maksimal, Akselerasi Wakaf Terkendala Serius



Malang

Potensi wakaf nasional Indonesia yang mencapai Rp 180 triliun belum dikelola secara maksimal. Salah satu hambatan utama dalam pengelolaan tersebut adalah rendahnya kompetensi nazhir, yaitu pihak yang mengelola dan mengembangkan harta wakaf.

Badan Wakaf Indonesia (BWI) mencatat, dari 450.000 nazhir wakaf tanah dan 500 nazhir wakaf uang, sebagian besar masih menghadapi keterbatasan dalam pengelolaan profesional dan produktif.

Wakil Ketua BWI, Tatang Astaruddin dalam acara Waqf Goes to Campus XV di Universitas Brawijaya, Malang pada Senin (20/10/2025) mengatakan bahwa kompetensi nazhir yang belum maksimal membuat akselerasi perwakafan nasional berjalan lambat.


“Tanpa mengurangi rasa hormat, kami melihat kompetensi para nazhir masih jadi kendala utama dalam optimalisasi aset wakaf,” ujarnya sebagaimana dalam rilis yang diterima detikHikmah.

BWI menegaskan bahwa wakaf tidak boleh hanya berhenti pada pembangunan masjid atau makam. Wakaf harus berkembang menjadi instrumen keuangan sosial yang mendukung pendidikan, kesehatan, ketahanan pangan, pelestarian lingkungan, hingga program Sustainable Development Goals (SDGs).

Dalam konteks ini, peran nazhir menjadi sangat vital. Sayangnya, keterbatasan kompetensi dalam manajemen aset, literasi keuangan, hingga pemanfaatan teknologi digital membuat banyak potensi wakaf tidak berkembang.

Akibatnya, dana wakaf yang seharusnya bisa menjadi sumber daya ekonomi produktif justru stagnan atau bahkan tidak dimanfaatkan.

Minimnya Literasi Masyarakat tentang Wakaf

Selain itu, ada tantangan yang tak kalah besar adalah minimnya literasi masyarakat tentang wakaf. Hingga saat ini, sebagian besar masyarakat Indonesia masih mengidentikkan wakaf hanya dengan pembangunan masjid, makam, atau tempat ibadah lainnya.

Pemahaman ini menyebabkan potensi wakaf produktif tidak tersentuh secara maksimal. Padahal, dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, telah ditegaskan bahwa wakaf memiliki spektrum yang luas, dan bisa digunakan untuk kepentingan umum, seperti pendidikan, kesehatan, pengentasan kemiskinan, hingga pelestarian lingkungan.

“Wakaf tidak hanya sebatas ibadah mahdhah. Sekarang makna ibadah dalam wakaf juga mencakup kesejahteraan umum. Wakaf bisa untuk pendidikan, konservasi lingkungan, sampai untuk mendukung agenda Sustainable Development Goals (SDGs),” jelas Tatang.

Dalam upaya memperkuat ekosistem wakaf produktif, BWI menggandeng perguruan tinggi dan pesantren melalui program Waqf Goes to Campus (WGTC). Menurut Tatang, kampus sejatinya merupakan lembaga wakaf karena berdiri untuk kepentingan umum dan bersifat jangka panjang.

“Visi kami, wakaf menjadi pilar pertumbuhan dan ketahanan ekonomi nasional. Kampus dan pesantren adalah tempat strategis untuk mengembangkan regulasi, literasi, dan kompetensi wakaf,” tambah Tatang.

Selain menjadi tempat kalangan terdidik, kampus juga dinilai memiliki keunggulan dalam pemanfaatan teknologi dan semangat literasi keagamaan. BWI menyebut bahwa potensi wakaf uang dari sektor kampus bisa mencapai Rp 5,7 triliun.

Walikota Malang, Wahyu Hidayat, yang turut hadir dalam acara WGTC, menyoroti besarnya potensi wakaf di Kota Malang yang dikenal sebagai kota pendidikan.

Dengan lebih dari 57 perguruan tinggi dan sekitar 800.000 mahasiswa, potensi partisipasi dalam gerakan wakaf sangatlah besar.

“Karena kita tahu potensi wakaf begitu besar, hasil kajian BWI wakaf uang kita potensinya Rp 180 triliun, itu baru menyasar 17 cluster yang diantaranya kampus yang punya potensi wakaf uang Rp 5,7 triliun,” jelas Tatang.

BWI juga menegaskan bahwa penguatan peran nazhir sangat krusial dalam mewujudkan ekosistem tersebut. Tanpa nazhir yang kompeten, wakaf produktif akan sulit tumbuh.

Oleh karena itu, program pelatihan, sertifikasi, serta pendampingan nazhir terus digalakkan, terutama melalui kerja sama dengan lembaga pendidikan tinggi.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

Apa Itu Haji Ifrad, Dalil, Tata Cara, Waktu dan Perbedaan dengan Jenis Haji Lainnya


Jakarta

Bagi umat Islam, melaksanakan ibadah haji merupakan salah satu rukun Islam yang wajib ditunaikan bagi mereka yang mampu. Haji Ifrad adalah salah satu dari tiga jenis haji yang dikenal dalam ajaran Islam, selain Haji Tamattu’ dan Haji Qiran.

Haji Ifrad merupakan salah satu jenis ibadah haji di mana seseorang melaksanakan ibadah haji terlebih dahulu, dan umrah dilakukan secara terpisah setelahnya di luar musim haji. Dengan kata lain, dalam Haji Ifrad, umrah tidak dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan haji.

Apa Itu Haji Ifrad

Dalam buku Ensiklopedia Fikih Indonesia: Haji & Umrah yang disusun oleh Ahmad Sarwat, dijelaskan bahwa ifrad berasal dari kata mashdar dengan akar kata ‘afrada’, yang artinya memisahkan sesuatu sehingga menjadi sendiri-sendiri, atau memisahkan sesuatu yang sebelumnya digabungkan.


Secara harfiah, ifrad memiliki makna yang berlawanan dengan qiran, yaitu menggabungkan.

Dalam konteks ibadah haji, ifrad merujuk pada pemisahan antara ibadah haji dan umrah. Dengan demikian, pelaksanaan haji tidak dilakukan bersamaan dengan umrah.

Orang yang melaksanakan haji ifrad hanya menunaikan ibadah haji tanpa melakukan umrah. Namun, mereka tetap diperbolehkan melakukan umrah, tetapi setelah seluruh rangkaian haji selesai.

Haji Ifrad adalah satu-satunya jenis haji yang tidak mengharuskan jemaah membayar denda berupa penyembelihan kambing sebagai dam. Berbeda dengan Haji Tamattu’ dan Qiran, yang mewajibkan jemaah untuk membayar dam.

Dalil Pelaksanaan Haji Ifrad

Haji Ifrad dilaksanakan berdasarkan dalil dari hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah memisahkan antara ibadah haji dan umrah saat menunaikan haji.

Dasar pelaksanaan Haji Ifrad bersumber dari hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah RA. Dia berkata,

“Kami keluar bersama Rasulullah SAW pada tahun ketika beliau melaksanakan haji Wada’. Di antara kami ada yang berihram untuk umrah, berihram untuk umrah dan haji (haji qiran), dan ada pula yang berihram untuk melaksanakan haji saja. Sementara Rasulullah berihram untuk haji. Adapun yang berihram untuk haji atau yang berihram dengan menggabungkan antara haji dan umrah, maka mereka tidak bertahallul hingga pada hari Nahar (tanggal 10 Zulhijah).” (HR Bukhari dan Muslim).

Tata Cara dan Rangkaian Haji Ifrad

Kembali mengacu pada buku Ensiklopedia Fikih Indonesia: Haji & Umrah yang disusun oleh Ahmad Sarwat, tata cara pelaksanaan Haji Ifrad adalah dengan menunaikan ibadah haji terlebih dahulu. Setelah menyelesaikan haji, jamaah kemudian mengenakan ihram untuk umrah dan melaksanakan rangkaian amalan umrah.

Secara ringkas, urutan pelaksanaan Haji Ifrad adalah menyelesaikan haji terlebih dahulu, kemudian melanjutkan dengan umrah. Menurut buku Fiqh As-Sunnah Jilid 3 karya Sayyid Sabiq, terjemahan Khairul Amru Harahap dan kawan-kawan, mereka yang menunaikan Haji Ifrad melafalkan talbiyah dengan lafaz sebagai berikut:

Labbaika bi-hajjin

Artinya: “Aku memenuhi panggilan-Mu untuk haji.”

Secara lebih rinci berikut ini adalah tata cara dan rangkaian kegiatan haji Ifrad:

  1. Ihram di miqat untuk haji
  2. Tawaf qudum
  3. Sa’i haji
  4. Tanggal 8 Dzulhijjah, masih keadaan ihram
  5. Tanggal 9 Dzulhijjah, wukuf di Arafah
  6. Tanggal 10 Dzulhijjah, mabit di Muzdalifah
  7. Lempar jumrah Aqabah
  8. Tahalul Awal
  9. Tawaf Ifadhah
  10. Tahalul Tsani
  11. Mabit di Mina
  12. Tanggal 11 Dzulhijjah, melempar tiga jumrah
  13. Tanggal 12 Dzulhijjah, melempar tiga jumrah
  14. Meninggalkan Mina untuk Nafar Awal
  15. Tanggal 13 Dzulhijjah, melempar tiga jumrah
  16. Meninggalkan Mina untuk Nafar Tsani

Waktu Pelaksanaan Haji Ifrad

Dikutip dari buku Tuntunan Lengkap Wajib & Sunnah Haji dan Umrah karya H. Halik Lubis, berikut ini adalah waktu pelaksanaan Haji Ifrad:

8 Zulhijah – Mekah (pagi)

Berangkat menuju Mina bila melakukan sunah Tarwiyah atau menuju Arafah setelah meninggalkan sunah Tarwiyah.

8 Zulhijah – Mina (siang-malam)

Bermalam/mabit di Mina sebelum berangkat ke Arafah seperti yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW.

9 Zulhijah – Mina (pagi)

Berangkat menuju Arafah setelah matahari terbit atau setelah melakukan salat Subuh.

9 Zulhijah – Arafah (siang-sore)

Sembari menunggu wukuf pada tengah hari, jangan lupa berdoa, berzikir, dan bertasbih. Selanjutnya meng-qashar salat Dzuhur dan Ashar. Kedua salat ini dilakukan pada waktu Dzuhur. Setelah salat selesai, berlanjut dengan wukuf dan berdoa, berzikir, dan bertalbiah, dilakukan terus menerus hingga waktu Maghrib tiba.

9 Zulhijah – Arafah (sore-malam)

Setelah matahari terbenam, dilanjutkan menuju Muzdalifah. Melakukan salat Maghrib di Muzdalifah dengan jamak salah Isya seperti yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW.

9 Zulhijah – Muzdalifah (malam)

Menjamak takhir Maghrib dan Isya. Bermalam sebentar hingga lewat tengah malam sembari mengumpulkan 7 kerikil yang bertujuan untuk melempar jumrah aqabah.

10 Zulhijah – Mina

Melontarkan jumrah aqabah sebanyak 7 kali, melakukan tahalul awal, kemudian melanjutkan tawaf ifadah, sa’i, dan sunah melakukan tahallul qubra dengan cara mencukur rambut kepala. Jemaah harus sudah tiba di Mina sebelum waktu Magrib kemudian bermalam di Mina hingga tengah malam.

11 Zulhijah – Mina

Melontarkan jumrah Ula, wusta, dan Aqabah sebanyak 7 kali. Kemudian bermalam di Mina paling tidak sebelum Maghrib hingga tengah malam.

12 Zulhijah – Mina

Melontar jumrah Ula, Wusta, dan Aqabah masing-masing 7 kali saat waktu subuh. Nafar awal, kembali ke Mekah sebelum Maghrib tiba. Hingga akhirnya dilanjutkan melakukan tawaf ifadah dan sa’i setelah tahallul qubra bagi yang belum melakukan.

13 Zulhijah – Mina (pagi)

Melontar jumrah Ula, Wusta, dan Aqabah sebanyak 7 kali.

13 Zulhijah – Mekah (siang-malam)

Melakukan tawaf iafadah, sa’i, dan melakukan tahallul qubra bagi yang belum melaksanakannya. Setelah ini, ibadah haji pun selesai.

Perbedaan Haji Ifrad dengan Haji Qiran dan Tamattu

Menurut buku Fiqih Lima Mazhab: Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali karya Mighniyah, Haji Ifrad adalah ibadah haji yang dilaksanakan secara terpisah dari umrah. Dalam praktiknya, Haji Ifrad dimulai dengan pelaksanaan haji terlebih dahulu, kemudian dilanjutkan dengan ibadah umrah setelahnya.

Sementara itu, Haji qiran adalah ibadah haji dan umrah yang dilakukan secara bersamaan. Dalam haji qiran, jamaah berihram dengan niat umrah dan haji sekaligus.

Jenis Haji yang terakhir, Haji Tamattu merupakan ibadah haji yang diawali dengan melakukan umrah terlebih dahulu.

(hnh/lus)



Sumber : www.detik.com

Hasil Mudzakarah dan Ijtima Ulama MUI Beda, PERSIS: Harus Disinkronkan



Jakarta

Mudzakarah Perhajian Indonesia 2024 menghasilkan sejumlah putusan terkait penyelenggaraan ibadah haji yang berbeda dengan hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI.

Ketua Umum Pimpinan Pusat Persatuan Islam (PERSIS) KH Jeje Zaenudin turut bicara terkait adanya perbedaan hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI Pusat di Bangka pada Mei 2024 lalu dengan hasil kesimpulan dan rekomendasi di Mudzakarah Perhajian baru-baru ini.

Saat pembukaan Mudzakarah Perhajian 2024 yang diselenggarakan pada 7-9 November di Bandung, PP PERSIS diamanahi oleh Kementerian Agama untuk menjadi tuan rumah.


“Saya berharap agar keputusan Mudzakarah Perhajian tahun 2024 yang diselenggarakan oleh Kemenag di Bandung, dapat disinkronisasi dan mendapatkan titik temu dengan hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI se-Indonesia di Bangka,” kata Ajengan Jeje dalam keterangan rilis yang diterima detikHikmah, Rabu (13/11/2024).

Ajengan Jeje menjelaskan bahwa sangat penting untuk menyikapi hal ini. Sebab, ada masalah hukum yang berbeda antara keputusan hasil Mudzakarah perhajian Kemenag dengan hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI se-Indonesia pada 28-31 Mei 2024.

Perbedaanya yaitu keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI menyatakan pemanfaatan hasil investasi setoran awal BIPIH calon jemaah haji untuk membiayai penyelenggaraan haji jemaah lain adalah haram. Sementara kesimpulan hasil Mudzakarah Kemenag menyatakan mubah atau boleh.

Perbedaan lainnya terkait kebolehan dan sahnya penyembelihan hewan hadyu atau dam haji tamattu’ di luar wilayah Makkah berbeda dengan keputusan fatwa MUI yang menyatakan tidak boleh dan tidak sah.

Perbedaan ini tentunya akan membingungkan umat, terutama para jemaah haji. “Maka kami meminta agar perbedaan kesimpulan hukum ini dapat dibahas bersama untuk disinkronisasi dan mencari titik temu dengan mengurai titik perbedaan pandangannya,” jelas Ajengan Jeje.

Karena menurut Ajengan Jeje, kewenangan dua forum kajian itu berbeda. Forum Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI adalah forum pengkajian untuk mengeluarkan berbagai fatwa hukum atas berbagai masalah yang ditanyakan oleh umat maupun pemerintah.

Adapun forum Mudzakarah Perhajian lebih tepatnya sebagai forum pengkajian berbagai persoalan haji, baik aspek regulasi maupun masalah pelaksanaan di lapangan untuk menjadi rekomendasi kebijakan dalam memperbaiki kualitas pelayanan penyelenggaraan haji.

“Oleh sebab itu, memang seharusnya menyamakan persepsi dan melakukan sinkronisasi, agar tidak ada yang melampaui kewenangan dan tupoksinya,” ucapnya.

Ia menilai, forum Mudzakarah Perhajian meskipun menghadirkan narasumber ulama ahli fikih dan hukum Islam, sejatinya tidak dalam konteks untuk mengeluarkan fatwa atau keputusan hukum, tetapi lebih kepada rekomendasi teknis tata kelola penyelenggaraan dalam mengatasi berbagai problem di lapangan. Hal itulah, ia kira yang dipahami oleh mayoritas para narasumber dan para peserta.

“Kewenangan mengeluarkan fatwa hukum seharusnya tetap pada lembaga fatwa yang lebih lengkap dan lebih luas pesertanya, seperti pada Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI,” ujar Ajengan Jeje.

(lus/kri)



Sumber : www.detik.com