Tag Archives: live science

Urutan 7 Benua Terbesar di Dunia, Asia Nomor Satu?



Jakarta

Tahukah detikers bahwa Asia luasnya hampir sepertiga dari seluruh daratan bumi? Dengan bentang alam dari Timur Tengah hingga Jepang, Asia masih jadi benua terbesar di dunia.

Data resmi dari Guinness World Records mencatat, Asia masih memegang gelar benua terbesar dengan luas mencapai 44,5 juta kilometer persegi. Jika dibandingkan dengan luas benua lain yang ada di bumi, Asia mengungguli benua lain seperti Afrika.

Asia bukan hanya unggul dalam ukuran wilayah, tetapi juga jumlah penduduk. Lebih dari 4,7 miliar orang atau sekitar 60% populasi dunia tinggal di benua ini, sebagaimana dilansir Live Science.


Fakta ini membuat Asia tidak hanya besar secara geografis, tetapi juga berpengaruh besar dalam hal budaya, ekonomi, dan politik global. Meski demikian, definisi “benua” seringkali berbeda-beda.

Misalnya ada yang menggabungkan Asia dan Eropa menjadi satu kawasan bernama Eurasia. Namun model tujuh benua yang umum digunakan tetap menempatkan Asia sebagai benua terbesar.

Urutan 7 Benua Terbesar Berdasarkan Luasnya

Selain Asia, berikut perbandingan benua lain berdasarkan luas wilayah:

1. Asia

Luas wilayah: sekitar 44,5 juta km²

2. Afrika

Luas wilayah: sekitar 30 juta km²

3. Amerika Utara

Luas wilayah: sekitar 24 juta km²

4. Amerika Selatan

Luas wilayah: sekitar 17,8 juta km²

5. Antarktika

Luas wilayah: sekitar 14 juta km²

6. Eropa

Luas wilayah: sekitar 10 juta km²

7. Australia

Luas wilayah: sekitar 9 juta km²

Jika dibandingkan, luas Asia hampir dua kali lipat benua Amerika Utara. Kemudian lebih dari lima kali lipat Australia yang menjadi benua terkecil.

Jadi Rumah bagi Negara-negara Terpadat di Dunia

Asia dihuni oleh negara-negara dengan penduduk terpadat di dunia. China dan India sebagai pemuncak populasi terbanyak di dunia, berada di Asia. Kemudian ada Indonesia, yang juga salah satu negara dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia.

Selain itu, cincin api Pasifik melintasi wilayah di Asia seperti Jepang, Indonesia, hingga Filipina. Kondisi ini yang membuat negara-negara di Asia memiliki banyak gunung berapi aktif.

Di Asia, juga terdapat lanskap terkenal seperti pegunungan Himalaya, gurun Gobi, hingga hutan tropis Asia Tenggara.

*Penulis adalah peserta magang Program PRIMA Magang PTKI Kementerian Agama

(faz/faz)



Sumber : www.detik.com

Tingkat CO2 Capai Rekor Baru, Bumi Makin Membara


Jakarta

Jumlah karbon dioksida (CO2) yang memasuki atmosfer Bumi meningkat dalam jumlah yang memecahkan rekor pada 2024, yang mengakibatkan Bumi makin membara akibat pemanasan global lebih lanjut.

Kadar CO2 meningkat sebesar 3,5 bagian per juta (ppm) dari 2023 hingga 2024, menandai peningkatan satu tahun terbesar sejak pencatatan modern dimulai pada 1957. Para peneliti menghubungkan rekor peningkatan ini dengan penggunaan bahan bakar fosil yang terus berlanjut oleh manusia, lonjakan kebakaran hutan, dan berkurangnya penyerapan dari penyerap karbon Bumi (seperti lautan dan hutan) yang secara alami menyerap CO2 dari atmosfer.


Para ilmuwan telah memperingatkan selama beberapa dekade bahwa umat manusia perlu mengurangi jumlah CO2 di atmosfer agar perubahan iklim tetap terkendali. Temuan laporan baru yang diterbitkan oleh badan meteorologi dunia World Meteorological Organization (WMO), menunjukkan bahwa yang terjadi justru sebaliknya, dengan tingkat CO2 yang melonjak tajam. WMO merekomendasikan pengurangan emisi CO2 dan peningkatan pemantauan.

“Panas yang terperangkap oleh CO2 dan gas rumah kaca lainnya mempercepat iklim kita dan menyebabkan cuaca yang lebih ekstrem,” ujar Ko Barrett, wakil sekretaris jenderal WMO, dalam sebuah pernyataan yang dikutip dari Live Science.

“Oleh karena itu, mengurangi emisi sangat penting tidak hanya untuk iklim kita tetapi juga untuk ketahanan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat kita,” tambahnya.

CO2 dan gas rumah kaca lainnya memerangkap panas dengan menyerap radiasi. Seiring meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca, suhu rata-rata global pun meningkat. Efek pemanasan global adalah perubahan pola cuaca, kenaikan permukaan laut, penurunan kemampuan kita untuk bercocok tanam, dan berbagai dampak merugikan lainnya yang pada akhirnya mengancam kehidupan miliaran orang.

Para ilmuwan iklim menganggap CO2 sebagai gas rumah kaca yang paling signifikan memengaruhi iklim. Gas ini telah menyumbang sekitar 80% dari total dampak pemanasan gas rumah kaca di atmosfer kita sejak 1990, menurut National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA).

Kadar CO2 di atmosfer terus meningkat selama beberapa dekade. Peningkatan sebesar 3,5 ppm pada 2024 ini meningkat dari kenaikan sebesar 2,4 ppm pada 2023, dan lebih tinggi daripada laju pertumbuhan tahunan rata-rata sebesar 2,57 ppm yang tercatat selama dekade terakhir. Total konsentrasi CO2 di atmosfer mencapai sekitar 423,9 ppm pada 2024, naik 152% dibandingkan tingkat pra-industri, perkiraan konsentrasi sebelum 1750.

Konsentrasi metana (CH4) dan dinitrogen oksida (N2O), gas rumah kaca terpenting kedua dan ketiga, juga meningkat dalam jumlah yang memecahkan rekor pada 2024, naik 166% dan 25% dari tingkat pra-industri masing-masing, menurut laporan tersebut.

Negara penghasil emisi terbesar

China, AS, dan India merupakan tiga negara penghasil emisi terbesar pada 2024, menurut Emissions Database for Global Atmospheric Research. China bertanggung jawab atas sekitar 29,2% dari seluruh emisi gas rumah kaca manusia, sementara AS menyumbang 11,1%, dan India menyumbang 8,2%. Lebih lanjut, China dan India meningkatkan emisi mereka dibandingkan 2023, sementara emisi AS sebagian besar tetap tidak berubah.

China mengeluarkan emisi CO2 dalam jumlah yang sangat besar, tetapi baru-baru ini juga menetapkan target untuk mengurangi emisi gas rumah kacanya. Di AS, Donald Trump telah menandatangani perintah eksekutif untuk menarik AS dari Perjanjian Paris 2015 (untuk kedua kalinya ), sebuah perjanjian internasional yang bertujuan untuk membatasi pemanasan global. Presiden juga bertekad untuk melakukan pengeboran lebih masif, sebagai bagian dari strategi untuk memperluas eksplorasi minyak dan gas.

Baik AS maupun China tidak melakukan upaya yang memadai untuk memerangi emisi, menurut Climate Action Tracker, sebuah proyek ilmiah independen yang memantau upaya aksi iklim terhadap target Perjanjian Paris yang telah disepakati sebelumnya. Climate Action Tracker saat ini menilai upaya China dan AS ‘sangat tidak memadai’, berada di peringkat terburuk pertama dan kedua.

Manusia dapat secara langsung mengurangi jumlah gas rumah kaca di atmosfer Bumi dengan mengurangi pembakaran bahan bakar fosil, seperti minyak dan gas alam, serta membatasi aktivitas lain yang menghasilkan emisi. Planet ini melakukan sebagian dari pekerjaan tersebut untuk kita melalui penyerap karbon, yang menyerap sekitar setengah dari total CO2 yang dipancarkan setiap tahun, sementara sisanya tetap berada di atmosfer.

Namun, menurut laporan tersebut, penyerap karbon ini kini mungkin terganggu. Seiring Bumi semakin panas, para ilmuwan memperkirakan penyerap seperti lautan akan menyerap lebih sedikit CO2 karena gas-gas tersebut tidak larut dengan baik di perairan yang lebih hangat. Proses ini dikenal sebagai lingkaran umpan balik positif, yakni ketika pemanasan menyebabkan pemanasan lebih lanjut.

“Ada kekhawatiran bahwa penyerap CO2 di darat dan laut menjadi kurang efektif, yang akan meningkatkan jumlah CO2 yang tertahan di atmosfer, sehingga mempercepat pemanasan global,” ujar Oksana Tarasova , seorang pejabat ilmiah senior di WMO.

“Pemantauan gas rumah kaca yang berkelanjutan dan diperkuat sangat penting untuk memahami siklus ini,” tutupnya.

(rns/rns)



Sumber : inet.detik.com

Gunung Api Iran ‘Bangkit’ Lagi Setelah Tidur 700 Ribu Tahun


Jakarta

Sebuah gunung berapi di Iran selatan yang diperkirakan telah punah sekitar 710 ribu tahun telah muncul kembali.

Penelitian baru yang diterbitkan pada 7 Oktober di jurnal Geophysical Research Letters menemukan bahwa area tanah di dekat puncak gunung berapi Taftan naik 9cm selama 10 bulan antara Juli 2023 hingga Mei 2024. Pengangkatan tersebut belum surut, menunjukkan adanya peningkatan tekanan gas di bawah permukaan gunung berapi.


Temuan ini menunjukkan perlunya pemantauan lebih ketat terhadap gunung berapi tersebut, yang sebelumnya tidak dianggap berisiko bagi manusia, kata penulis senior studi Pablo González, seorang ahli vulkanologi di Institute of Natural Products and Agrobiology, pusat penelitian Spanish National Research Council (IPNA-CSIC).

Gunung berapi dianggap punah jika belum meletus pada era Holokon, yang dimulai 11.700 tahun yang lalu. Mengingat aktivitasnya baru-baru ini, kata González, Taftan mungkin lebih tepat disebut sebagai gunung berapi dorman.

“Entah bagaimana ia harus meletus di masa mendatang, entah dengan dahsyat atau lebih pelan. Tidak ada alasan untuk khawatir akan letusan yang akan segera terjadi. Tetapi gunung berapi tersebut perlu dipantau lebih ketat,” ujar González seperti dikutip dari Live Science.

Gunung berapi Taftan adalah gunung berapi stratovolkano setinggi 3.940 meter di tenggara Iran, terletak di antara pegunungan dan gunung berapi yang terbentuk oleh subduksi kerak samudra Arab di bawah benua Eurasia.

Saat ini, gunung berapi ini memiliki sistem hidrotermal aktif dan lubang-lubang penghasil sulfur berbau yang disebut fumarol, tetapi belum diketahui apakah gunung berapi ini pernah meletus dalam sejarah manusia.

Ketika Mohammadhossein Mohammadnia, seorang mahasiswa doktoral yang bekerja di bawah bimbingan González di IPNA-CSIC, pertama kali memeriksa citra satelit gunung berapi tersebut pada 2020, ia tidak melihat bukti adanya aktivitas gunung berapi tersebut.

Namun kemudian, pada 2023, orang-orang mulai melaporkan emisi gas dari gunung berapi tersebut di media sosial. Emisi tersebut dapat tercium dari kota Khash yang berjarak sekitar 50 kilometer.

Mohammadnia kembali mengamati citra satelit dari misi Sentinel-1 milik Badan Antariksa Eropa, ESA. Taftan terpencil dan tidak memiliki sistem pemantauan GPS seperti yang terdapat di gunung berapi seperti Gunung St. Helen. Wilayah ini juga berbahaya karena aktivitas kelompok pemberontak dan konflik perbatasan antara Iran dan Pakistan. Citra satelit menunjukkan sedikit peningkatan permukaan tanah di dekat puncak, yang menunjukkan peningkatan tekanan di bawah.

Mohammadnia menghitung bahwa pendorong pengangkatan ini berada 490 hingga 630 meter di bawah permukaan. Mustahil untuk mengetahui secara pasti apa yang terjadi, tetapi para peneliti mengesampingkan faktor eksternal seperti gempa bumi atau curah hujan di dekatnya.

Reservoir magma gunung berapi ini berada lebih dari 3,5 km di bawah permukaan, jauh lebih dalam daripada apa pun yang mendorong pengangkatan tersebut.

Sebaliknya, pengangkatan tersebut disebabkan oleh perubahan pada jaringan hidrotermal di bawah gunung berapi yang menyebabkan penumpukan gas, atau sejumlah kecil magma mungkin telah bergeser di bawah gunung berapi, yang memungkinkan gas untuk menggelembung ke dalam bebatuan di atas, meningkatkan tekanan dalam pori-pori dan retakan batuan, dan menyebabkan tanah sedikit terangkat.

Tahap selanjutnya dalam penelitian ini, menurut González, adalah berkolaborasi dengan ilmuwan yang melakukan pemantauan gas di gunung berapi. “Studi ini tidak bertujuan untuk menimbulkan kepanikan di masyarakat. Studi ini merupakan seruan bagi pihak berwenang di kawasan Iran untuk mengalokasikan sejumlah sumber daya guna meninjau hal ini,” tutupnya.

(rns/rns)



Sumber : inet.detik.com

Ngeri! Ditemukan Topeng Berusia 5.000 Tahun Terbuat dari Tulang Manusia


Jakarta

Cawan dan topeng terbuat dari tulang manusia ditemukan di antara tumpukan tulang manusia berusia 5.000 tahun yang dibuang di China, menurut sebuah studi baru.

Tengkorak yang dipahat itu ditemukan bercampur dengan tembikar dan sisa-sisa hewan, tetapi tujuan dari benda-benda mengerikan itu sejauh ini belum diketahui para ahli.


Tulang-tulang ini berasal dari budaya Liangzhu, yang mencakup kota tertua di Asia Timur, menurut penelitian yang diterbitkan 26 Agustus di jurnal Scientific Reports. Koleksi tulang tersebut telah dikarbonisasi dan diperkirakan berasal dari antara 3000 dan 2500 SM, pada periode Neolitikum China.

Beberapa pemakaman Liangzhu telah ditemukan di masa lalu, tetapi tidak satu pun di antaranya memiliki tulang pahatan. Para arkeolog menemukan lebih dari 50 tulang manusia dari kanal dan parit di lima situs yang menunjukkan tanda-tanda ‘diolah’, yakni dibelah, dilubangi, dipoles, atau digiling dengan alat.

“Fakta bahwa banyak tulang manusia yang diolah tidak selesai dan dibuang di kanal menunjukkan kurangnya rasa hormat terhadap orang mati,” kata penulis utama studi Junmei Sawada, seorang antropolog biologi di Niigata University of Health and Welfare di Jepang, dikutip dari Live Science.

Tidak ada jejak tulang yang berasal dari orang yang meninggal karena kekerasan, atau tanda-tanda bahwa kerangka tersebut telah dipisahkan. Artinya, tulang-tulang tersebut kemungkinan besar diproses setelah mayat membusuk, kata Sawada.

Para peneliti menemukan bahwa tulang yang paling umum dikerjakan adalah tengkorak manusia. Mereka menemukan empat tengkorak dewasa yang telah dipotong atau dibelah secara horizontal untuk membentuk ‘mangkuk tengkorak’, dan empat tengkorak lainnya yang dibelah dari atas ke bawah untuk membentuk objek seperti kerangka topeng.

arkeologiPara arkeolog menemukan empat cawan tengkorak di situs Neolitikum di China. Foto: Scientific Reports

Cawan tengkorak manusia sebelumnya telah ditemukan dari pemakaman budaya Liangzhu yang berstatus tinggi, tulis para peneliti dalam penelitian tersebut, yang menunjukkan bahwa cawan itu mungkin dibuat untuk tujuan keagamaan atau ritualistik.

Namun, tengkorak wajah yang menyerupai topeng itu tak tertandingi. Jenis-jenis tulang olahan lain yang dibuang, termasuk tengkorak berlubang di bagian belakang dan rahang bawah yang sengaja diratakan, juga unik.

“Kami menduga bahwa kemunculan masyarakat perkotaan, dan pertemuan yang dihasilkan dengan ‘lingkungan sosial’ di luar komunitas tradisional, mungkin menjadi kunci untuk memahami fenomena ini,” kata Sawada.

Karena banyak tulang yang diolah belum selesai, hal ini menunjukkan bahwa tulang manusia tidak terlalu langka atau bernilai tinggi, menurut penelitian tersebut, yang menyoroti transformasi persepsi orang mati selama budaya Liangzhu yang berkembang pesat.

Ketika orang tidak lagi mengenal semua tetangga mereka atau menganggap mereka sebagai kerabat, mungkin akan lebih mudah untuk memisahkan tulang dari orang-orang yang memilikinya, menurut para penulis penelitian.

“Hal yang paling menarik dan unik dari temuan ini adalah fakta bahwa tulang-tulang manusia yang telah diolah ini pada dasarnya adalah sampah,” ujar Elizabeth Berger, seorang bioarkeolog di University of California, Riverside.

Berger sependapat dengan para peneliti bahwa perlakuan yang tidak lazim terhadap tulang-tulang tersebut mungkin berkaitan dengan meningkatnya anonimitas masyarakat urban. Praktik budaya Liangzhu dalam mengolah tulang manusia muncul tiba-tiba, berlangsung setidaknya selama 200 tahun berdasarkan penanggalan radiokarbon, dan kemudian menghilang.

“Masyarakat Liangzhu mulai menganggap beberapa tubuh manusia sebagai bahan mentah yang tidak aktif. Tapi apa yang menyebabkan hal itu terjadi dan mengapa hal itu hanya bertahan selama beberapa abad?,” tanyanya.

Sawada mengatakan bahwa studi-studi mendatang dapat membantu menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, terutama dengan mengungkap kapan dan bagaimana orang-orang mendapatkan tulang-tulang tersebut. Analisis tambahan ini dapat membantu para peneliti mengungkap makna di balik praktik tersebut dan hubungannya dengan perubahan ikatan sosial dan kekerabatan di China pada masa Neolitikum.

(rns/rns)



Sumber : inet.detik.com

Satelit Deteksi Gravitasi Aneh, Berdampak Perubahan Bumi


Jakarta

Satelit mendeteksi sinyal gravitasi aneh di lepas pantai Afrika hampir 20 tahun lalu, yang menunjukkan sesuatu yang tidak biasa telah terjadi jauh di dalam planet yang menyebabkan distorsi medan gravitasinya, menurut sebuah studi terkini.

Anomali gravitasi besar ini berlangsung selama sekitar dua tahun di Samudra Atlantik bagian timur. Puncaknya terjadi pada Januari 2007. Para peneliti baru-baru ini menemukan sinyal tersebut saat menganalisis data yang dikumpulkan oleh satelit Gravity Recovery and Climate Experiment (GRACE) antara tahun 2003 hingga 2015.


Anomali gravitasi tersebut terjadi sekitar waktu yang sama dengan ‘sentakan’ geomagnetik, yakni perubahan mendadak dalam variasi medan magnet Bumi.

Para peneliti menduga anomali aneh dan sentakan tersebut disebabkan oleh proses geologi yang sebelumnya tidak diketahui. Temuan mereka, yang dipublikasikan pada 28 Agustus di jurnal Geophysical Research Letters, menunjukkan bahwa pergeseran mineral mungkin telah menyebabkan redistribusi massa yang cepat di mantel dalam, dekat inti, yang mengubah medan magnet Bumi.

Rekan penulis studi Mioara Mandea, seorang ahli geofisika di National Centre for Space Studies (CNES) di Prancis dan peneliti utama untuk proyek Gravimetry, Magnetism, Rotation and Core Flow Dewan Riset Eropa. Pada awalnya, ia mempertanyakan validitas sinyal tersebut.

“Seperti yang sering terjadi dalam penelitian ilmiah, respons awal saya adalah pertanyaan: apakah sinyal itu asli, bagaimana cara memvalidasinya, dan bagaimana seharusnya ditafsirkan?,” ujar Mandea seperti dikutip dari Live Science.

“Meskipun hasil dan publikasinya tentu saja memuaskan, pikiran utamanya adalah mempertimbangkan langkah selanjutnya dan kemungkinan implikasinya,” ujarnya.

Satelit GRACE adalah sepasang wahana antariksa identik yang dioperasikan sebagai bagian dari misi gabungan antara NASA dan Pusat Antariksa Jerman (DLR). Para ilmuwan menggunakan satelit-satelit ini, yang aktif sejak 2002 hingga kehabisan bahan bakar pada 2017, untuk mengukur variasi gravitasi Bumi. Satelit-satelit tersebut bergerak beriringan mengelilingi Bumi, dan para peneliti mengukur jarak antara kedua objek tersebut untuk mencari perubahan yang terjadi akibat variasi gaya gravitasi Bumi.

Variasi gravitasi semacam itu sering kali disebabkan oleh variasi konsentrasi massa. Semakin banyak massa, semakin besar gravitasinya. Misalnya, arus air menggeser massa di lautan, yang dapat menyebabkan variasi lokal pada medan gravitasi Bumi.

Dalam studi baru ini, para peneliti meneliti data GRACE untuk mencari sinyal gravitasi anomali yang berpotensi berasal dari dalam Bumi, alih-alih dari pergeseran air di permukaan atau di dekat permukaan.

Sinyal tersebut merupakan anomali gravitasi yang berorientasi utara-selatan, membentang sekitar 7.000 kilometer, mendekati panjang seluruh benua Afrika, dari tahun 2006 hingga 2008.

Para peneliti masih mempelajari mantel dalam Bumi dan batas antara lapisan batuan dan inti luar cair planet kita, tetapi bagian bawah mantel sebagian besar terdiri dari magnesium silikat (MgSiO3). Para penulis studi berpendapat bahwa redistribusi massa yang mereka kaitkan dengan sinyal tersebut terjadi sebagai akibat dari transformasi fase perovskit menjadi pasca-perovskit di bagian mantel bawah ini, yang mengakibatkan struktur magnesium silikat berubah di bawah tekanan, menggeser massa jauh di dalam Bumi.

Mandea mencatat bahwa pesan utama penelitian tersebut adalah bahwa Bumi itu kompleks dan diperlukan kumpulan data dan metode yang berbeda untuk memahami proses internalnya.

“Bumi adalah sistem kompleks yang harus dipelajari menggunakan beragam data dan metode analisis yang saling melengkapi. Sinergi ini memberi kita kesempatan untuk mengungkap dan lebih memahami proses tersembunyi di kedalaman Bumi,” ujar Mandea.

(rns/rns)



Sumber : inet.detik.com

Remaja Belanda Mendadak Hanya Bicara Bahasa Inggris usai Operasi Lutut, Kok Bisa?


Jakarta

Seorang remaja berusia 17 tahun di Belanda menjalani operasi lutut setelah cedera saat bermain sepak bola. Setelah menjalani operasi dia mendadak hanya berbicara dalam bahasa Inggris.

Dikutip dari laman Live Science, remaja ini berulangkali sangat meyakini kalau dia berada di Amerika Serikat. Padahal, dirinya hanya berbicara bahasa asing tersebut selama pelajaran bahasa Inggris di sekolah.

Remaja yang tidak disebutkan namanya ini juga tidak mengenali orang tuanya, serta tidak bisa berbicara bahasa Belanda lisan. Menurut laporan kasus, pasien tidak memiliki riwayat gejala kejiwaan dan tidak memiliki riwayat medis keluarga yang relevan, selain beberapa kasus depresi dari pihak ibu.


Pada awalnya, perawat yang menyadari pasien berbicara bahasa Inggris mengira remaja itu mengalami delirium emergensi, suau kondisi yang bisa terjadi selama pemulihan dari anestesi. Namun, setelah pasien tidak juga berbicara bahasa Belanda sepatah kata pun beberapa jam kemudian, mereka memanggil psikiater.

Saat diperiksa oleh tim psikiatris, pasien bisa menjawab pertanyaan, meski dalam bahasa Inggris dengan aksen Belanda. Kemudian dia mulai memberi jawaban singkat dalam bahasa Belanda meski kesulitan.

Pasien kemudian didiagnosis mengidap Foreign Language Syndrome (FLS) atau sindrom bahasa asing. Kondisi ini terjadi saat seseorang tiba-tiba dan tanpa sadar beralih menggunakan bahasa kedua bukan bahasa ibu dalam jangka waktu tertentu.

Ahli saraf tidak menemukan kelainan apapun selama pemeriksaan neurologis lengkap pasien. Kemudian, setelah melalui 18 jam pasca operasi, remaja ini mampu memahami bahasa Belanda meski belum bisa berbicara dalam bahasa tersebut.

Namun, saat temannya datang mengunjungi dirinya sehari setelah operasi, tiba-tiba dia bisa memahami dan berbicara bahasa Belanda lagi. Sebab dia secara spontan mulai berbicara dalam bahasa aslinya, dokter menganggap tidak perlu melakukan tes neuropsikolgis, elektroensefalogram (EEG), atau jenis pemindaian otak lainnya. Pada akhirnya, dia diperbolehkan pulang tiga hari setelah operasi.

(elk/suc)



Sumber : health.detik.com

Indonesia ‘Terpanggang’, Berapa Suhu Maksimum yang Bisa Ditahan Tubuh Manusia?



Jakarta

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat suhu maksimum di Indonesia mencapai 37,6°C. Kondisi ini diprakirakan masih akan berlanjut hingga akhir Oktober atau awal November 2025.

Deputi Bidang MeteorologiBMKGGuswanto menjelaskan penyebab utama suhu panas ini adalah posisi gerak semu Matahari yang berada di selatan ekuator. Faktor lainnya adalah penguatan angin timuran atau Monsun Australia yang membawa massa udara kering dan hangat.


“Posisi ini membuat wilayah Indonesia bagian tengah dan selatan, seperti Jawa, Nusa Tenggara, Kalimantan, dan Papua, menerima penyinaran matahari yang lebih intens sehingga cuaca terasa lebih panas di banyak wilayah Indonesia” kata Guswanto dalam laman BMKG dikutip Jumat (17/10/2025).

Dengan suhu tinggi, BMKG mengimbau masyarakat untuk membatasi aktivitas di luar ruangan pada pukul 10.00 hingga 16.00 WIB. Tak hanya itu, BMKG juga meminta warga mewanti-wanti dehidrasi bahkan heatstroke akibat panas ekstrem ini.

Di tengah suhu panas ini, muncullah pertanyaan baru, berapa suhu maksimum yang bisa ditahan tubuh manusia?

Suhu Maksimum yang Bisa Ditahan Tubuh Manusia

Berdasarkan sebuah studi tahun 2020 di jurnal Science Advances, suhu maksimum yang bisa ditahan tubuh manusia adalah 35°C. Hal ini juga disebut dengan suhu bola basah.

Suhu bola basah tidak sama dengan suhu udara. Sebaliknya, suhu bola basah diukur menggunakan termometer yang dilapisi kain yang dibasahi air, dan metrik yang dihasilkan memperhitungkan panas dan kelembapan.

“Jika kelembapan rendah tetapi suhu tinggi, atau sebaliknya, suhu bola basah kemungkinan besar tidak akan mendekati titik kritis tubuh manusia,” kata Colin Raymond, penelitipascadoktoral di Laboratorium Propulsi JetNASA yang mempelajari panas ekstrem.

Namun, ketika kelembapan dan suhu sangat tinggi, suhu bola basah dapat mendekati tingkat yang berbahaya.

Dilansir dari Live Science, alasan manusia tidak dapat bertahan hidup dalam suhu panas dan kelembapan tinggi adalah karena kita tidak dapat lagi mengatur suhu internal tubuh. Pada titik ini, tubuh menjadi hipertermia, mengalami sengatan panas pada suhu internal di atas 40°C. Hal ini dapat menyebabkan gejala seperti denyut nadi cepat, kebingungan, delirium, kulit gatal, pingsan, dan koma.

Namun, suhu bola basah 34°C tidak akan langsung menyebabkan kematian. Dibutuhkan waktu sekitar 3 jam agar suhu panas tersebut bisa mematikan.

(nir/nwk)



Sumber : www.detik.com