Tag Archives: masturi irham

Niat dan Bentuk Sedekah untuk Orang yang Sudah Meninggal Dunia


Jakarta

Seorang muslim sudah sepatutnya bersedekah kepada mereka yang membutuhkan. Dalam Islam, sedekah menjadi amalan yang dianjurkan sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an.

Allah SWT berfirman dalam surah Ali ‘Imran ayat 92,

لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتّٰى تُنْفِقُوْا مِمَّا تُحِبُّوْنَ ۗوَمَا تُنْفِقُوْا مِنْ شَيْءٍ فَاِنَّ اللّٰهَ بِهٖ عَلِيْمٌ ٩٢


Artinya: “Kamu sekali-kali tidak akan memperoleh kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai. Apa pun yang kamu infakkan, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui tentangnya.”

Menukil dari buku Hidup Berkah dengan Sedekah susunan Ustaz Masykur Arif, kata sedekah berasal dari bahasa Arab yaitu shadaqa yang artinya benar atau jujur. Dengan kata lain, sedekah menjadi bukti pembenar bagi keimanan muslim.

Dari Abu Malik Al-Harits bin Ashim Al-As’ariy RA, Rasulullah SAW bersabda,

“Suci adalah sebagian dari iman, membaca alhamdulillah dapat memenuhi timbangan. Subhanallah dan alhamdulillah dapat memenuhi semua yang ada di antara langit dan bumi. Salat adalah cahaya, sedekah itu adalah bukti iman, sabar adalah pelita dan Al-Qur’an untuk berhujjah terhadap apa yang kamu sukai ataupun terhadap yang tidak kamu sukai. Semua orang pada waktu pagi menjual dirinya, kemudian ada yang membebaskan dirinya, dan ada pula yang membinasakan dirinya.” (HR Muslim)

Sedekah untuk Orang yang Sudah Meninggal

Selain dilakukan oleh orang yang masih hidup, sedekah juga bisa dikerjakan atas nama orang yang telah meninggal dunia. Hal ini tidak bertentangan dengan hadits Rasulullah SAW sebagaimana dikutip dari buku 37 Masalah Populer: Untuk Ukhuwah Islamiyah susunan Abdul Somad.

Nabi Muhammad SAW bersabda, “Apabila manusia meninggal dunia, maka putuslah amalnya kecuali tiga: sedekah jariyah, atau ilmu yang bermanfaat, atau anak shaleh yang mendoakannya.” (HR Muslim)

Menurut penjelasan dalam buku tersebut, makna dari ‘amal mayat itu terputus’ bukan berarti amal orang lain yang terputus kepada dirinya. Sebagai contoh, doa anak saleh masih terus mengalir sebagai amalan ketika seseorang wafat. Dengan demikian, tidak ada larangan bersedekah untuk orang yang sudah meninggal dunia atau pun atas namanya.

Turut disebutkan dalam hadits dari Ibnu Abbas RA terkait hukum sedekah atas nama orang yang sudah meninggal,

(صَحِيحٌ) حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مَنِيعٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا رَوْحُ بْنُ عُبَادَةَ، قَالَ: حَدَّثَنَا زَكَرِيَّا بْنُ إِسْحَاقَ، قالَ: حَدَّثَنِي عَمْرُو بْنُ دِينَارٍ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَجُلًا قَالَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّي تُوُفِّيَتْ أَفَيَنْفَعُهَا إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا؟ قَالَ: ((نَعَمْ)). قَالَ: فَإِنَّ لِي مَخْرَفًا فَأُشْهِدُكَ أَنِّي قَدْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَنْهَا. هَذَا حَدِيْثٌ حَسَنٌ. وَبِهِ يَقُوْلُ أَهْلُ الْعِلْمِ، يَقُوْلُوْنَ: لَيْسَ شَيْءٌ يَصِلُ إِلَى الْمَيِّتِ إِلَّا الصَّدَقَةُ وَالدُّعَاءُ. وَقَدْ رَوَى بَعْضُهُمْ هَذَا الْحَدِيثَ عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ مُرْسَلًا. قَالَ: وَمَعْنَى قَوْلِهِ إِنَّ لِي مَخْرَفًا يَعْنِي: بُسْتَانًا. [((صَحِيحُ أَبِي دَاوُد)) .]٦٥٦٦): خ

Artinya: “(Shahih) Dari Ahmad bin Mani, dari Rauh bin Ubadah, dari Zakariya bin Ishaq, dari Amr bin Dinar, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah SAW., “Wahai Rasulullah, ibuku telah meninggal dunia, lalu apakah akan berguna baginya jika saya bersedekah atas namanya?” Rasulullah SAW. menjawab, “Ya, itu berguna baginya.” Laki-laki itu berkata lagi, “Sesungguhnya, saya mempunyai sebidang kebun, maka saya persaksikan dirimu bahwa saya menyedekahkannya atas nama ibuku.”

Selain itu, dalam hadits lainnya disebutkan bahwa pahala sedekah atas nama orang yang sudah meninggal akan sampai kepadanya. Dari Aisyah RA mengatakan bahwa seorang laki-laki berkata kepada Nabi Muhammad SAW:

“Ibu saya mati mendadak, dan saya yakin seandainya dia bisa bicara, dia bersedekah, apakah ibu saya mendapat pahala, seandainya saya bersedekah untuk ibu saya? Rasulullah menjawab, “Ya ada pahala bagi ibumu.” (HR Bukhari dan Muslim)

Niat Sedekah untuk Orang yang Meninggal Dunia

Tim detikHikmah belum menemukan dalil terkait bacaan niat sedekah untuk orang yang sudah meninggal dunia. Meski demikian, menukil dari buku Jalan ke Hadirat Allah tulisan Syamsul Rijal Hamid ada lafal yang bisa dibaca muslim ketika bersedekah untuk orang tua yang sudah meninggal dunia.

“Ya Allah, aku berniat menghadiahkan pahala sedekahku ini kepada almarhum bapakku atau almarhumah ibuku.”

Mengacu pada buku Hidup Berkah dengan Sedekah, niat dalam Islam menjadi ukuran bagi amalan yang dikerjakan muslim. Ini sesuai dengan hadits Rasulullah SAW,

“Sesungguhnya, segala amal itu hendaklah dengan niat.” (HR Bukhari dan Muslim)

Niat yang benar dalam sedekah adalah niat untuk mengeluarkan sedekah semata-mata karena Allah SWT, bukan karena yang lain. Niat sangat berhubungan dengan motivasi dalam diri seseorang untuk mengerjakan sesuatu.

Mengutip dari kitab Ad-Da’awat Al-Mustajabah wa Mafatih Al-Faraj oleh Imam Al Ghazali yang ditahqiq Muhammad Utsman Al-Khuyst terjemahan Masturi Irham, ada doa yang bisa diamalkan muslim ketika melakukan sedekah. Berikut bacaannya,

رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

Arab latin: Rabbanā taqabbal minnā innaka antas samī’ul ‘alīmu.

Artinya: “Tuhan kami, terimalah persembahan dari kami. Sungguh Engkau maha mendengar lagi maha mengetahui.”

Bentuk Sedekah untuk Orang yang Sudah Meninggal Dunia

Diterangkan dalam Buku Saku Terapi Bersedekah yang disusun Manshur Abdul Hakim, sedekah jariyah menjadi bentuk sedekah yang paling baik untuk orang yang sudah meninggal dunia. Seperti diketahui, sedekah jariyah merupakan sedekah yang pahalanya terus mengalir meski orang tersebut sudah wafat.

Bentuk atau sarana dari sedekah jariyah itu antara lain membangun masjid, membantu dalam pengembangan ilmu pengetahuan, memberi makan orang mukmin sampai kenyang, memberi minum dan menggali sumur.

Dari Abu Hurairah RA, Nabi Muhammad SAW bersabda,

“Sesungguhnya yang didapati oleh orang yang beriman dari amalan dan kebaikan yang ia lakukan setelah ia mati adalah, ilmu yang ia ajarkan dan sebarkan, anak saleh yang ia tinggalkan, mushaf Al-Qur’an yang ia wariskan, masjid yang ia bangun, rumah bagi ibnu sabil (musafir yang terputus perjalanan) yang ia bangun, sungai yang ia alirkan, sedekah yang ia keluarkan dari harta ketika ia sehat dan hidup, semua itu akan dikaitkan dengannya setelah ia mati.” (HR Ibnu Majah)

Wallahu a’lam.

(aeb/kri)



Sumber : www.detik.com

Kisah Aisyah Istri Rasulullah SAW dari Lahir hingga Wafat


Jakarta

Aisyah RA adalah istri Rasulullah SAW. Usianya saat menikah dengan nabi cukup terbilang muda.

Menurut sebuah hadits, Aisyah RA dinikahi Rasulullah SAW saat berusia 6 tahun. Diriwayatkan dari Hisyam bin Urwah dari Aisyah RA berkata:

“Nabi SAW menikahiku ketika aku masih berusia enam tahun. Kami berangkat ke Madinah. Kami tinggal di tempat bani Haris bin Khajraj. Kemudian aku terserang penyakit demam panas yang membuat rambutku banyak yang rontok.


Kemudian ibuku, Ummu Ruman, datang ketika aku sedang bermain-main dengan beberapa orang temanku. Dia memanggilku, dan aku memenuhi panggilannya, sementara aku belum tahu apa maksudnya memanggilku.

Dia menggandeng tanganku hingga sampai ke pintu sebuah rumah. Aku merasa bingung dan hatiku berdebar-debar. Setelah perasaanku agak tenang, ibuku mengambil sedikit air, lalu menyeka muka dan kepalaku dengan air tersebut, kemudian ibuku membawaku masuk ke dalam rumah itu. Ternyata di dalam rumah itu sudah menunggu beberapa orang wanita Anshar. Mereka menyambutku seraya berkata: ‘Selamat, semoga kamu mendapat berkah dan keberuntungan besar:’

Lalu ibuku menyerahkanku kepada mereka. Mereka lantas merapikan dan mendandani diriku. Tidak ada yang membuatku kaget selain kedatangan Rasulullah SAW. Ibuku langsung menyerahkanku kepada beliau, sedangkan aku ketika itu baru berusia sembilan tahun.” (HR Bukhari)

Sirah Aisyah RA

Dijelaskan dalam Sirah Aisyah Ummil Mukminin karya Sulaiman An-Nadawi yang diterjemahkan Iman Firdaus, Aisyah mempunyai gelar Ash-Shiddiqah sering dipanggil Ummul Mukminin, dan nama keluarganya adalah Ummu Abdullah, Rasulullah suka memanggilnya Humairah, atau binti Ash-Shiddiq.

Ayah Aisyah bernama Abdullah, dijuluki Abu Bakar yang memiliki gelar Ash-Shiddiq, sedangkan ibunya bernama Ummu Ruman yang berasal dari suku Quraisy kabilah Taimi.

Menurut buku ini, moyang Aisyah bertemu dengan moyang Rasulullah SAW di kakek ketujuh, sedangkan moyang kakek dari pihak ibunya dari kakek kesebelas atau dua belas.

Kelahiran Aisyah

Sebelum menikah dengan Abu Bakar, Ummu Ruman merupakan istri Abdullah bin al-Harits al-Azadi, setelah Abdullah bin Al-Harits meninggal barulah Ummu Ruman menikah dengan Abu Bakar.

Pernikahan mereka berdua dikaruniai dua anak, yakni Abdullah dan Aisyah. Beberapa pengarang kitab sirah dan mengutip pendapat Ibnu Sa’ad dalam bukunya, Thabaqat menyatakan, “Kelahiran Aisyah terjadi pada awal tahun ke-4 kenabian. Pada tahun kesepuluh kenabian, Rasulullah menikahinya saat ia berumur enam tahun.”

Pernikahan Aisyah RA dengan Rasulullah SAW

Kisah pernikahan Aisyah RA dengan Rasulullah SAW diceritakan dalam Aisyah Ummul Mu’minin, Ayyamuha Wa Siratuha Al-Kamilah Fi Shafahat karya Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi yang diterjemahkan Masturi Irham dan Arif Khoiruddin.

Awal mula Nabi Muhammad SAW melamar Aisyah RA karena sebuah wahyu yang diturunkan kepada beliau. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dalam kitab Shahih-nya dari Aisyah RA, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda,

أُرِيتُكِ فِي الْمَنَامِ ثَلَاثَ لَيَالٍ، جَاءَنِي بِكِ الْمَلَكُ فِي سَرَقَةٍ مِنْ حَرِيرٍ، فَيَقُولُ : هَذِهِ امْرَأَتُكَ، فَأَكْشِفُ عَنْ وَجْهِكَ فَإِذَا أَنْتِ هِيَ، فَأَقُولُ : إِنْ يَكُ هَذَا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ يُمْضِهِ

Artinya: “Aku diperlihatkan dirimu dalam mimpi selama tiga malam. Malaikat datang kepadaku membawamu dengan mengenakan pakaian sutera terbaik. Malaikat itu berkata, “Ini adalah istrimu.” Lalu aku singkap penutup wajahmu, ternyata itu adalah dirimu. Lalu aku bergumam, “Seandainya mimpi ini datangnya dari Allah, pasti Dia akan menjadikannya nyata.”

Khaulan binti Hakim mendatangi Rasulullah SAW sesudah Khadijah RA wafat dan berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah SAW, tidakkah engkau ingin menikah lagi?”

Beliau bersabda, “Dengan siapa?” ia menjawab, “Jika engkau mau dengan seorang gadis, dan jika engkau mau dengan seorang janda.”

Lalu beliau bersabda, “Siapa yang gadis dan siapa yang janda?” Ia kembali menjawab, “Adapun yang gadis adalah putri dari makhluk Allah Subhanahu wa Ta’ala yang paling engkau cintai, yaitu Aisyah Radhiyallahu Anha. Adapun yang janda adalah Saudah binti Zam’ah RA; ia telah beriman kepadamu dan menjadi pengikutmu.”

Beliau bersabda, “Pergilah dan ceritakanlah keduanya kepadaku.” Kemudian Khaulah pergi dan masuk ke rumah Abu Bakar RA.

Di situ ia menemui Ummu Ruman, dan berkata, “Kebaikan dan keberkahan apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala masukkan kepada kalian?”

Ummu Ruman bertanya, “Apa maksudnya?” la menjawab, “Rasulullah SAW mengutusku untuk meminangkan Aisyah.” Ummu Ruman berkata, “Aku lebih suka jika kamu menunggu Abu Bakar RAdatang.”

Lalu Abu Bakar RA pun datang, dan Khaulah menceritakan hal tersebut kepadanya, lalu Abu Bakar RA berkata, “Apakah ia (Aisyah) boleh untuk beliau, karena ia adalah putri saudaranya?”

Kemudian Khaulah kembali dan menceritakan hal itu kepada Rasulullah SAW, lalu beliau bersabda, “Katakan padanya, “Aku dan kamu adalah saudara dalam Islam, dan putrimu halal (boleh) untukku.”

Lalu Abu Bakar RA datang dan menikahkan Aisyah RA dengan beliau, yang saat itu Aisyah RA berusia enam tahun.

Pernikahan Nabi Muhammad SAW dengan Aisyah RA hanyalah sebatas kihtbah/ akad saja. Rasulullah SAW belum menggauli dan membina rumah tangga dengannya, hingga hijrah ke Madinah.

Wafatnya Aisyah RA

Menurut Siiratus Sayyidah Aisyah Ummul Mu’miniina RA karya Sayyid Sulaiman an-Nadwi yang diterjemahkan Abu Vihraza, Aisyah RA wafat pada usia 67 tahun. Saat itu beliau mengalami sakit di bulan Ramadan pada 58 Hijriah, bertepatan dengan akhir pemerintahan Muawiyah RA.

Keutamaan Aisyah RA

Aisyah RA adalah wanita mulia yang memiliki sejumlah keutamaan. Mengutip buku The Golden Stories of Ummahatul Mukminin karya Ukasyah Habibu Ahmad, berikut tiga di antaranya.

1. Memiliki Derajat yang Tinggi di Mata Allah SWT

Aisyah RA istri Rasulullah SAW adalah wanita yang memiliki derajat tinggi di mata Allah SWT. Dalam hadits dikatakan, “Keutamaan Aisyah atas wanita-wanita lain adalah seperti keutamaan tsarid atas makanan-makanan yang lain.” (HR Bukhari)

Menurut kitab Al-Lu’lu wal Marjan karya Muhammad Faud Abdul Baqi, maksud tsarid adalah makanan utama masyarakat Arab saat itu, berbentuk seperti bubur daging yang mempunyai gizi lengkap, lezat, dan mudah dikonsumsi.

2. Wanita Cantik dan Cerdas

Aisyah RA juga dikenal dengan parasnya yang cantik. Selain cantik, ia juga dikenal cerdas dan berwawasan luas karena belajar langsung kepada Rasulullah SAW.

3. Aisyah Tempat Bertanya Umat Islam

Sesudah wafatnya Nabi Muhammad SAW, para sahabat sering meminta pendapat kepada Aisyah RA, ketika mereka menemui permasalahan yang sulit diselesaikan.

Demikianlah pembahasan mengenai Aisyah istri Rasulullah SAW mulai dari kelahirannya hingga wafat. Semoga Allah SWT senantiasa merahmatinya.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com