Tag Archives: Mazhab Maliki

Membayar Fidyah dengan Uang, Berapa Rupiah Ya?



Jakarta

Fidyah adalah denda yang wajib dibayarkan oleh orang dengan kondisi tertentu karena meninggalkan kewajiban puasa Ramadan. Menurut Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al- Arba’ah karya Syaikh Abdurrahman Al-Juzairi yang diterjemahkan, fidyah adalah memberi makan satu orang miskin untuk setiap satu hari tidak berpuasa, dengan ukuran makanan yang sama seperti makanan untuk kafarah.

Dalam praktiknya di Indonesia, mengutip dari laman Baznas Kota Yogyakarta dalam tulisan berjudul Hukum Syarat dan Ketentuan yang Berlaku untuk Pembayaran Fidyah Online dijelaskan bahwa fidyah adalah salah satu bentuk kewajiban zakat bagi muslim yang tidak mampu melaksanakan puasa pada bulan Ramadan karena sakit atau kehamilan. Bahkan, dalam era teknologi modern saat ini, banyak orang yang memilih untuk membayar fidyah secara online.

Perihal fidyah ini juga dijelaskan dalam Al-Qur’an yaitu dalam surah Al Baqarah ayat 184 yaitu,


اَيَّامًا مَّعْدُوْدٰتٍۗ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَّرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ۗوَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهٗ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنٍۗ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهٗ ۗوَاَنْ تَصُوْمُوْا خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ

Artinya: “(Yaitu) beberapa hari tertentu. Oleh karena itu, siapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Bagi orang yang berat menjalankannya, wajib untuk membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, itu lebih baik baginya dan berpuasa itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”

Dikutip dari Tafsir Quran Kemenag yang menjabarkan keterangan dalam ayat ini bahwa siap yang benar-benar merasa berat untuk berpuasa, ia boleh untuk menggantinya dengan fidyah.

Membayar Fidyah dengan Uang

Menurut landasan Kitab al-Fiqih al-Islami wa Adillatuhu, ada perbedaan pendapat di antara kalangan imam besar mazhab seputar kadar dan jenis fidyah yang ditunaikan bagi tiap muslim. Pendapat pertama menyebut, kadar fidyah sebesar satu 1 makanan pokok yang senilai dengan satu hari puasa Ramadan yang ditinggalkan.

Hasil konversi satuan mud ke dalam hitungan satuan internasional menjadi sebesar 675 gram atau 0,75 kg, seperti ukuran telapak tangan dewasa yang ditengadahkan saat berdoa. Ukuran mud ini berdasarkan pendapat dari Mazhab Maliki dan Syafi’i.

Di sisi lain, Mazhab Hanafi menyebutkan kadar dan jenis fidyah yang dikeluarkan yakni sama dengan kadar zakat fitrah. Tepatnya sebesar 2 mud atau 0,5 sha’ gandum yang bila dikonversi menjadi sekitar 1,5 kg. Aturan ini kemudian dijadikan acuan muslim untuk membayar fidyah berupa beras.

Dalam Mazhab Hanafi ini pula, umat muslim mengenal kebolehan membayar fidyah puasa dengan uang atau qimah.

“Menurut Mazhab Hanafi, maksud pemberian makanan untuk fakir miskin adalah memenuhi kebutuhan mereka, dan tujuan tersebut bisa tercapai dengan membayar qimah (nominal harta) yang sebanding dengan makanan,” tulis Syekh Wahbah al-Zuhaili dalam Kitab al-Fiqih al-Islami wa Adillatuhu.

Takaran fidyah untuk satu hari puasa yang ditinggalkan sebesar dengan acuan 1,5 kg makanan pokok sehari-hari atau harga kurma atau anggur seberat 3,25 kg yang dikonversi menjadi nilai rupiah.

Berdasarkan Surat Keputusan Ketua Baznas Nomor 07 Tahun 2023 tentang Zakat Fitrah dan Fidyah untuk wilayah Ibukota DKI Jakarta Raya dan Sekitarnya, ditetapkan bahwa nilai fidyah dalam bentuk uang sebesar Rp 60.000.

Sebagai referensi lain, diputuskan bahwa daerah Yogyakarta memiliki besaran fidyah sebanyak Rp 10.000. Sehingga tiap daerah dapat berbeda sesuai dengan harga saat itu di daerah atau menilik keputusan Baznas tiap daerahnya.

Ada sejumlah golongan yang dibolehkan meninggalkan puasa Ramadan dan menggantinya dengan fidyah. Beberapa golongan orang yang diperbolehkan di antaranya sebagai berikut.

  • Orang tua yang tidak mampu berpuasa, bila ia tidak berpuasa diganti dengan fidyah.
  • Wanita hamil dan yang sedang menyusui. Menurut Imam Syafi’i dan Aḥmad, bila wanita hamil dan wanita yang sedang menyusui khawatir akan terganggu kesehatan janin/bayinya, lalu mereka tidak puasa, maka wajib atas keduanya mengqada puasa yang ditinggalkannya, dan membayar fidyah.
  • Lalu, jika mereka khawatir atas kesehatan diri mereka saja yang terganggu dan tidak khawatir atas kesehatan janin/bayinya, atau mereka khawatir atas kesehatan dirinya dan janin/bayinya, lalu mereka tidak puasa, maka wajib atas mereka diqadha puasa saja.
  • Sedangkan menurut pendapat dari Abu Hanifah, ibu hamil dan yang sedang menyusui dalam semua hal yang disebutkan di atas, cukup mengqadha puasa saja.
  • Orang-orang sakit yang tidak sanggup berpuasa dan penyakitnya tidak ada harapan untuk ada kesembuhan, hanya diwajibkan membayar fidyah.
  • Buruh dan petani yang penghidupannya hanya dari hasil kerja keras dan membanting tulang setiap hari.
  • Orang yang sedang musafir. Menurut beberapa pendapat diperbolehkan jika perjalanannya itu dalam jarak jauh, yang ukurannya paling sedikit 16 farsakh (kurang lebih 80 km).

Begitulah pembahasan kali ini mengenai fidyah dan berapa uang yang harus kita bayarkan. Semoga dapat membantu dan bermanfaat.

(rah/rah)



Sumber : www.detik.com

Fatimah al-Fihri, Pendiri Masjid Al-Qarawiyyin & Madrasah Tertua di Dunia



Jakarta

Nama Fatimah al-Fihri tak bisa dipisahkan dari sejarah pendidikan. Ia adalah muslimah yang mendirikan Masjid dan Madrasah Al-Qarawiyyin yang merupakan madrasah tertua di dunia.

Dalam pandangan masyarakat Jahiliyah, perempuan kerap dijadikan pelengkap dan diidentikkan sebagai barang. Keberadaan perempuan dianggap aib dan pantas direndahkan. Namun, Islam memperlakukan perempuan dengan cara yang berbeda, yakni dengan memuliakannya.

Sejarah Islam mencatat bahwa begitu banyak tokoh muslim perempuan yang berperan penting dalam membangun peradaban. Islam memberikan kesempatan yang sama kepada perempuan untuk menciptakan masyarakat yang teratur lagi beradab.


Salah satu tokoh berpengaruh dan inspiratif adalah Fatimah binti Muhammad Al-Fihriya al Qurashiyah atau dikenal dengan Fatimah al-Fihri. Dalam banyak riwayat, dijelaskan bahwa ia merupakan sosok pendiri Madrasah Al-Qarawiyyin, salah satu pusat pendidikan yang berkembang menjadi universitas pertama di dunia.

Profil Fatimah binti Muhammad al-Fihriya al-Qurashiyah

Fatimah al-Fihri memiliki julukan “Ummu Al-Banin” yang berarti ibu dari anak-anak. Beliau lahir pada tahun 800 M di Tunisia. Dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa Fatimah Al Fihri merupakan seorang muslimah yang taat beribadah dan luhur budinya.

Megutip buku Tokoh Muslim Terkemuka yang disusun oleh Tim Penulis Smart Media, disebutkan bahwa Fatimah terlahir dari keluarga bangsawan dan berpendidikan, namun hal itu tidak membuatnya menjadi pribadi yang sombong. Ayahnya, Muhammad al-Fihri, adalah seorang pedagang sukses yang berasal dari Kota Qairouan atau yang sekarang dikenal dengan nama Tunisia.

Pada awal abad ke-9, ayahnya memboyong keluarganya untuk pindah ke Kota Fez di Maroko dan melebarkan bisnisnya sehingga mereka menjadi pengusaha yang kaya raya. Sayang, ia dan saudara-saudaranya harus merelakan kepergian sang ayah setelah sekian tahun menetap.

Kepedulian Fatimah pada dunia pendidikan membuat namanya cukup tersohor dalam banyak literatur sejarah. Fatimah yang memiliki latar belakang pendidikan mumpuni menyadari bahwa ilmu adalah hal yang dapat mengangkat derajat seseorang dan dengan ilmu maka seseorang akan menjadi mulia.

Fatimah Mendirikan Madradah Al-Qarawiyyin

Selepas kepergian Muhammad Al Fihri, Fatimah dan saudarinya, Maryam, merupakan dua perempuan terdidik yang mewarisi harta melimpah dari sang ayah. Mereka pun menggunakan harta warisan tersebut untuk membangun sebuah masjid. Tepatnya pada Ramadhan 245 H atau 859 M. Sementara itu, Maryam membangun masjid Al Andalus di Spanyol.

Cikal bakal Universitas Al-Qarawiyyin bermula dari aktivitas diskusi yang digelar di masjid tersebut. Komunitas Qarawiyyin yang berasal dari Qairawan (Tunisia) di Kota Fez, Maroko, biasa menggelar diskusi di serambi Masjid Al-Qarawiyyin atau yang dikenal sebagai Jami’ as-Syurafa’.

Menurut pakar sejarah, perubahan status masjid menjadi universitas berlangsung pada masa pemerintahan Dinasti Murabithun dan disempurnakan pada masa pemerintahan Dinasti Bani Marin.

Di tangan Fatimah al-Fihri, proses pembangunan masjid yang berdiri pada masa pemerintahan Dinasti Idrisiyah tersebut penuh dengan kisah spiritual. Konon, Fatimah berpuasa selama pembangunan berlangsung. Seluruh biaya berasal dari kantong pribadinya. Bahkan, ia tidak ingin mengambil keuntungan apapun dari orang lain.

Menyimpan Karya dan Arsip Penting

Dikutip dari buku Sejarah Terlengkap Peradaban Islam yang ditulis oleh Abdul Syukur al-Azizi, Universitas Al-Qarawiyyin berhasil mengumpulkan sejumlah risalah penting dari berbagai disiplin ilmu. Kompilasi dari manuskrip penting disimpan di perpustakaan yang didirikan oleh Sultan Abu-Annan, seorang penguasa Dinasti Marinid.

Beberapa risalah penting lain yang tersimpan di perpustakaan antara lain Mutta of Malik (ditulis pada tahun 795 M), Sirat Ibnu Ishaq (ditulis pada tahun 883 M), salinan kitab suci Al-Qur’an yang dihadiahkan Sultan Ahmed al-Mansur al-Dhahabi pada tahun 1602.

Selain itu, perpustakaan tersebut juga menyimpan salinan asli dari buku karya Ibnu Khaldun berjudul Al-Ibar. Ilmuwan muslim terkemuka itu menghadiahkan buku yang ditulisnya kepada perpustakaan pada tahun 1396 M.

Mencetak Ilmuwan Berpengaruh

Pada tahun 1998, Universitas Al-Qarawiyyin mendapatkan rekor dunia dari Guinness Book of World Records kategori universitas tertua yang menawarkan gelar sarjana.

Sebelumnya, Majalah Time edisi 24 Oktober 1960 juga menuliskan kisah berdirinya Universitas Al-Qarawiyyin dalam tulisan berjudul Renaissance in Fez, yang menyatakan bahwa universitas tersebut berperan besar bagi perkembangan Eropa.

Hal tersebut dikarenakan kala itu banyak ilmuwan muslim maupun nonmuslim yang belajar di Universitas Al-Qarawiyyin, kemudian menerapkan ilmu yang diperoleh dengan memberi dampak pencerahan bagi masyarakat Eropa pada abad ke-15 M.

Melansir buku Journey To Andalusia: Jelajah 3 Daulah yang disusun oleh Marfuah Panji Astuti, beberapa ilmuwan termasyhur yang pernah mengenyam bangku pendidikan di Universitas Al-Qarawiyyin antara lain Al Idrisi sang kartografer (pembuat peta), Ibnu Khaldun atau Al Arabi sang sosiolog, juga nonmuslim seperti Gerbert of Aurillac yang kelak dikenal sebagai Paus Sylvester II, hingga filsuf yahudi Maimonides.

Di kemudian hari, Pope Sylvester II inilah yang mengenalkan sistem desimal dan angka Arab ke Eropa. Sistem desimal dan angka Arab ini kemudian menggantikan sistem angka Romawi Kuno yang telah ada selama lebih dari seribu tahun lamanya. Hingga kini, sistem desimal dan angka Arab telah digunakan secara umum di seluruh dunia.

Selain itu, disebutkan dalam buku Tokoh Muslim Terkemuka: Biografi yang diterbitkan oleh Penerbit Intera bahwa Abu al-Abbas az-Zawawi yang seorang pakar matematika, Ibnu Bajjah yang seorang pakar bahasa Arab dan dokter, dan Abu Madhab al-Fasi yang seorang pemuka dari Mazhab Maliki juga pernah belajar di sana.

Universitas Al Qarawiyyin merupakan pusat antara budaya Barat dan Timur sehingga eksistensinya mampu mengilhami berdirinya Universitas Cordoba dan universitas-universitas lain di dunia.

Demikian profil singkat dan kisah penuh inspirasi dari tokoh muslim perempuan Fatimah al-Fihri. Pengaruhnya yang besar dalam dunia pendidikan tentu didasari oleh kesadaran atas pentingnya menuntut ilmu bagi siapa saja. Semoga penjelasan di atas dapat memberikan manfaat bagi kita semua.

(dvs/dvs)



Sumber : www.detik.com